Sepertinya, masyarakat yang berstatus ekonomi menengah ke bawah alias miskin hanya bisa bermimpi panjang untuk mengakses ilmu pengetahuan di Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) atau SBI. Lembaga pendidikan ini tidak ramah bagi orang yang berkantong tipis dan hanya ramah kepada mereka yang berkantong tebal. Tulisan ini bukan bermaksud melarang masyarakat yang notabene pendapatan ekonominya menengah ke bawah memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan berkualitas tersebut. Tapi, jika memang terpaksa harus memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan bermutu tinggi itu karena semua proses pendidikan terjamin, maka orang tua juga harus siap merogoh kocek dalam-dalam. Karena biaya pendidikan RSBI dan SBI mencapai Rp 450-500.00 per bulan. Uang bulanan. Sedangkan tarif masuk RSBI dan SBI kurang lebih 8 juta rupiah. Mahal bukan?
Terkotak-kotak
Pasca reformasi politik di negeri ini 12 tahun silam, banyak sekolah bermetamorfosis menjadi Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI. Ini merupakan dampak dari UU No. 20 Tahun 2003, terutama pasal 50 ayat 3 yang menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Dampak lebih luasnya dari keberadaan Undang-undang ini, sekolah menjadi terkotak-kotak dalam bentuk SBI, RSBI, SSN dan Sekolah Reguler atau SR, yang ditentukan biayanya. Untuk SBI dan RSBI tampaknya pemerintah memberikan porsi perhatian lebih, yakni dengan mengucurkan dana lebih dari satu milyar rupiah untuk tiap RSBI dan SBI tiap 3-4 tahunnya. Bantuan pemerintah untuk SBI dan RSBI RP 400 juta untuk tahun pertama dan Rp 300 juta untuk tahun berikutnya, dan secara otomatis SBI dan RSBI akan menerima Rp 600 -700 juta tiap tahunnya. Lantas bagaimana dengan nasib SSN dan SR? tampaknya pemerintah tetap memperhatikan kedua sekolah yang menyandang status itu, tapi tidak sebesar perhatian pada SBI dan RSBI.
Jadi, keberadaan SBI dan RSBI memiliki payung hukum yang telah jelas, yakni UU No. 20 Tahun 2003 pasal 50 seperti yang telah disebutkan di atas. Maka wajar jika kini sekolah di negeri ini bersaing ketat untuk bermetamorfosa menjadi sekolah bertaraf internasional dengan mematok tarif yang mahal sesuai tuntutan dari label “bertaraf internasional” yang dalam asumsi kita mutunya terjamin, prasarananya lengkap, dan kualitasnya mentereng.
Tak pelak, kondisi seperti itu mengindikasikan bahwa SBI dan RSBI bukanlah tempat di mana orang miskin harus memperoleh pendidikan. Sekolah itu tidak terlalu bersahabat dengan orang-orang yang memiliki latar belakang ekonomi terbatas, dan orang berduit tentu lebih diuntungkan dalam kondisi ini. Karena bagi mereka (baca: orang kaya) biaya tidak jadi persoalan asalkan mutu serta kualitas pendidikan terjamin dan anaknya lulus dengan prestasi yang bagus lagi memuaskan.
Tak adil
Di sisi lain, kondisi ini juga akan mengakibatkan terjadinya stratifikasi sosial ekonomi atau kastanisasi pendidikan. Menurut Darmaningtyas, stratifikasi sosial ekonomi sebagai dampak dari keberadaan sekolah bertaraf internasional ialah; pertama, kumpulan anak orang kaya dan pintar, kaya tetapi kurang pandai. Kedua-duanya akan bersekolah di SBI dan RSBI. Kedua, kumpulan orang miskin tetapi pintar. Kategori ini akan bersekolah di Sekolah Standar Nasional atau SSN. Ketiga, kumpulan orang miskin dan kurang pandai. Yang terakhir ini akan bersekolah di Sekolah Reguler atau SR. Senada dengan itu, Pierre Bourdieu, seorang kritikus sosiolog Prancis, menyatakan bahwa sekolah hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial dalam kondisi seperti ini.
Terlepas dari itu, orang miskin di negeri ini memang tidak dilarang sekolah, tapi tepatnya, mereka dilarang bersekolah di sekolah yang memiliki status dengan mutu dan kualitas tinggi. Mereka hanya berhak sekolah di sekolah yang memiliki status mutu dan kualitas rendahan serta kurang mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Akhirnya, transformasi ilmu pengetahuan menjadi timpang dan akan berakibat lebih jauh pada kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya dalam hal hak mendapatkan serta memperoleh pendidikan yang seharusnya merata tanpa mengenal status sosial masyarakat. Lantas pertanyaan reflektifnya, di manakah letak keadilan dalam hak memperoleh pendidikan di negeri tercinta ini? Ketika pendidikan telah bersentuhan dengan pasar yang bebas, maka benarlah Michael W. Apple yang menyatakan bahwa pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana institusi ekonomi mengelola modal finansial. Dan pertanyaan lebih lanjut, inikah bentuk riil dari praktek komersialisasi dalam institusi pendidikan yang memiliki daya tawar pendapatan ekonomi? Dan SBI serta RSBI harus segera dievaluasi lebih jauh secara maksimal untuk menghindari kesenjangan dalam proses pendidikan karena pendidikan merupakan investasi serta asset jangka panjang bangsa ini. Wallahu a’lam.
Thursday, 25 October 2012
Disqus Comments