Sudahkah generasi penerus bangsa ini bebas dari penyalahgunaan narkoba? Pertanyaan ini menjadi penting dikemukakan mengingat peredaran narkoba secara bebas memburu para generasi bangsa agar mereka tak lagi memiliki masa depan cerah di masa-masa mendatang. Penyalahgunaan narkoba di kalangan muda diakibatkan peredaran barang haram tersebut selalu dialamatkan kepada mereka melalui transaksi tertutup. Pertanyaan selanjutnya, mengapa selalu kalangan muda yang dijadikan sasaran pengedar?
Melihat hasil riset Badan Narkotika Nasional dan Universitas di Indonesia tahun 2008, kasus pemakaian narkoba sungguh memprihatinkan. Pemakaian narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa di tahun 2008 mencapai 1.073.642 orang. Dari total 3.000.200 orang pelajar dan mahasiswa penyalahgunaan narkoba di kalangan mereka di seluruh Indonesia mencapai 30 persen. Di tahun yang sama, tercatat sebanyak 29.359 kasus penyalahgunaan narkoba dan jika diakumulasi sepanjang tahun 2004-2008 pertumbuhan kasus narkoba naik menjadi 40,05 persen per tahun. Pada tahun 2009 pun, kasus penyalahgunaan narkoba belum menunjukan angka penurunan yang signifikan karena secara geografis Indonesia merupakan wilayah strategis jalur peredaran narkoba trans-nasional.
Terlepas dari data itu, pengedar narkoba memang tak tebang pilih dalam melakukan aksinya. Namun, sang pengedar memang cukup cerdas memilih kalangan mana yang bisa membuat penjualan barang haram jadah narkoba dapat dengan mudah tersebar sekaligus terpasarkan. Kaum muda dijadikan sasaran empuk. Di mana kondisi psikologis anak muda memang masih labil. Motifnya ada dua. Pertama, agar barang narkoba terjual dan harganya cukup menjanjikan meski berisiko. Kedua, ingin menghancurkan masa depan anak muda yang notabene adalah generasi penerus estafet pembangunan bangsa. Awalnya memang diberikan secara cuma-cuma, tapi sang pengedar sadar bahwa salah satu efek samping setelah mengkonsumsi narkoba ialah ketagihan. Pilihannya ada dua, memenuhi rasa ketagihan tak peduli dengan cara apapun, dan jika tak mampu terpenuhi rasa ketagihan itu maka pilihan kedua ialah merusak diri sang pengguna, bahkan tak sedikit yang harus merenggang nyawa.
Meski pemerintah telah mengeluarkan UU No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika dan UU No.22 Tahun 1997 tentang narkotika, namun aturan dan hukuman penyalahgunaan kedua barang haram (baca: Narkoba dan Psikotropika) masih belum menjadi jaminan mutlak pemutus mata rantai peredaran dan penyalahgunaan narkoba dan psikotropika.
Mahasiswa antinarkoba
Salah satu perkara yang cukup mengkhawatirkan ialah ketika kasus penyalahgunaan narkoba merangsek ke dunia kampus. Dan mahasiswa adalah target utamanya. Fakta di atas merupakan satu refleksi panjang kasus peredaran serta penyalahgunaan narkoba di lingkungan kaum intelektual muda di kampus.
Kondisi ini kontras mengingat mahasiswa merupakan agen perubahan dan calon-calon penerus kaum intelektual yang diproyeksikan menjadi pemimpin bangsa di masa mendatang. Tapi asa itu akan runtuh seketika menakala narkoba justru menjadi konsumsi keseharian dalam aktivitas kerja kaum intelektual. Mestinya, sebagai kaum intelektual mahasiswa mampu membendung diri untuk tidak bersentuhan dengan barang haram narkoba dalam bentuk apapun. Mahasiswa seharusnya memiliki peran dan andil besar dalam upaya untuk membendung serta menekan peredaran dan penyalahgunaan narkoba, terutama di lingkungan para pelajar dan mahasiswa.
Pilihan kaum intelektual muda ini adalah menjadi mahasiswa antinarkoba. Itu merupakan peran ideal serta suatu idaman. Berbagai cara dapat diupayakan agar tidak bersentuhan dengan barang haram bernama narkoba dan psikotropika. Mengisi waktu dengan kegiatan-kegaiatan bernilai positif serta meleburkan diri di dalam aktivitas-aktivitas keilmuan atau kerja-kerja intelektual. Misalnya, penelitian, advokasi atau aktif di suatu organisasi.
Pungksanya, Indonesia seakan tak pernah usai menangani kasus pengedaran dan penyalahgunaan narkoba. Undang-undang antinarkoba yang dibuat pemerintah tidak menjadi jaminan utama sebagai alat pemutus mata rantai peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Selain UU memang harus ada upaya kontrol agar kasus penggunaan barang haram tersebut segera terjauhkan, terutama dari lingkungan pelajar dan mahasiswa. Bagi para pelajar menengah ke bawah, peran orantua amat sangat menentukan. Sedangkan bagi mahasiswa, peran teman sebaya atau sesama mahasiswa juga amat menentukan. Di sinilah letak penting disiplin ilmu konseling menawarkan konsep konseling sebaya (peer counseling) sebagai media alternatif dalam proses konseling.
Terlepas dari itu, jangan-jangan negeri tercinta ini justru menjadi lahan basah dan strategis dari aktivitas-aktivitas peredaran barang haram tersebut. Sehingga akan menambah citra buruk sebagai sebuah negara yang beragama dan bermoral setelah beberapa hari belakangan negeri ini diguncang oleh kasus mahadahsyat video porno artis ternama kita. Dan sekali lagi, kedua kasus ini (baca: narkoba dan video porno) otomatis menyerang generasi muda bangsa ini.