Thursday, 25 October 2012

Senjakala Pidana Nikah Sirri


Senjakala Pidana Nikah Sirri
           
            Wacana mempidanakan para perilaku nikah siri sebaiknya dipertimbangkan matang-matang. Terutama sebelum RUU sebagai pelengkap UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terutama menyangkut pengenaan sanksi pidana terhadap para pelaku perkawinan siri,  mut’ah, perkawinan kedua, ketiga, keempat, dan perceraian, benar-benar akan disahkan.
            RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan memuat 24 BAB dan 165 Pasal tersebut dimaksudkan untuk melengkapi UU Nomor 1 Tahun 1994 tentang perkawinan yang tak memuat serta mengatur sanksi pidana. Ketentuan sanksi pidana baru disebutkan di peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan PP tersebut didenda Rp. 750.000 untuk pelaku, sementara denda sebesar Rp 750.000 ditambah tiga bulan penjara diperuntukan kepada pegawai pencatat nikah yang melanggar ketentuan tersebut. Dan rencananya, denda tersebut akan dinaikkan menjadi Rp 6.000.000 untuk pelaku, sedangkan denda untuk pegawai pencatat nikah sebesar Rp 12.000.000 jika terbukti melanggar.
            Hukuman atau sanksi di atas tampaknya tidak menjadi momok menakutkan. Karuan saja, praktek nikah siri malah justru semakin merajalela dan bertambah jumlahnya dengan berbagai alasan. Pemerintah menganggap nikah siri lebih besar mudlorot ketimbang manfaatnya, dan bahkan berpotensi merugikan pihak istri serta anak, maka dikeluarkanlah fatwa haram dari kacamata hukum positif melakukan praktek nikah di bawah tangan ini. Sedangkan bila dilihat serta dinilai dari sisi agama tetap sah asalkan memenuhi syarat dan rukun perkawinan seperti, ijab kabul, mas kawin atau mahar, wali, dan dua saksi. Di dalam RUU yang rencananya akan disahkan pemerintah tersebut, mencakup syarat sah perkawinan, perceraian, perwalian anak, hak dan kewajiban suami-istri, rujuk, perkawinan campuran, dan ketentuan pidana dan larangannya. Sanksi pidana yang termaktub denda enam juta rupiah dan 12 juta rupiah.
Dua Konteks
Secara prinsip, nikah siri bukanlah perilaku yang diharamkan. Untuk itu, kita dapat memandang praktek nikah di bawah tangan ini dari dua konteks. Pertama, konteks agama, dalam hal ini agama Islam karena RUU ini mengacu pada komplikasi hukum Islam di Indonesia. Kedua, dalam konteks hukum positif negara Indonesia.
Bila dilihat dari segi agama jelas bahwa nikah siri tidak bermasalah alias sah-sah saja asalkan telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun, bila kemudian dilihat dari hukum positif negara yang berasaskan Pancasila, maka nikah siri di masa mendatang (apabila RUU disahkan) akan menjadi haram dan statusnya melanggar hukum yang tentu akan diproses secara hukum positif jika tertangkap melakukan pernikahan bawah tangan ini. Karuan saja, aparatus hukum di negeri ini nantinya akan mengadakan persidangan untuk pelanggaran baru, yakni nikah siri. Gagasan ini tak terlepaskan dari definisi nikah siri yang menyatakan bahwa perkawinan yang memenuhi syarat agama tetapi tidak dicatatkan dan dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah (KUA/BP4). Pemerintah memiliki kepentingan tersendiri mencatat dan mengetahui jumlah penduduk negara yang dipastikan bertambah seiring adanya pernikahan, dan RUU ini sebagai kuncinya, apalagi ledakan penduduk Indonesia semakin tahun kian meningkat tajam. Singkatnya, nikah sirri diharamkan karena khawatir tidak tercatat di KUA atau BP , sebab pemerintah memiliki kepentingan untuk melaksanakan sensus penduduk.
Faktor Lain
            Kekerasan terhadap istri dan anak (KDRT) serta fenomena kawin cerai yang belakangan kian gencar terjadi tampak menjadi pertimbangan mendasar dilahirkannya RUU pelengkap UU Nomor 1 dan 9 Tahun 1974 dan 1975 ini. Kedua kasus tersebut menunjukkan betapa sebuah ikatan suci berupa pernikahan seakan telah sengaja dilecehkan serta dianggap sebagai sebuah permainan belaka, terlepas apapun motif retaknya hubungan suami-istri di dalam rumah tangga, kedua kasus itu bukanlah perkara yang sepele dan tak serius. Memang seharusnya ada upaya preventif serta kuratif dalam rangka menanggulangi kasus yang seakan telah menjelma menjadi penyakit sosial itu.
            Secara prinsip, pernikahan siri bukanlah sebuah aib. Hanya saja persoalan administratif yang berkaitan dengan kepentingan negara untuk mendata dan mengidentifikasi angka perkawinan di Indonesia. Menurut hemat penulis, tidaklah efektif fenomena pernikahan siri dipidanakan, tetapi  hal yang lebih penting ialah sosialisasi peraturan pemerintah secara massif ke hadapan masyarakat tanpa harus mempidanakan karena justru akan meresahkan. Terlebih, sebagaimana kita ketahui, pernikahan siri yang dilakukan tidak terlepas dari berbagai alasan mendasar, seperti belum tersedianya tempat pencatat nikah, terutama di daerah-daerah pedalaman. Hal ini berkaitan dengan persiapan negara secara administratif serta sumber daya manusianya sebagai petugas pencatat nikah. Kita tentu menyadari, keberadaan KUA atau BP4 saat ini terkesan tidak begitu diperhatikan dengan serius oleh pemerintah, baik dari prasarana, infrastruktur, hingga kesejahteraan petugas pencatat nikah masih dipandang sebelah mata. Bayangkan, hanya untuk menjalankan program kerja para petugas mesti banting tulang dalam hal pendanaan. Sementara pekerjaan yang harus dijalani karena memang kewajiban instansi atau lembaga, tidaklah sepele, seperti keliling daerah dalam rangka mendata jumlah keluarga, karantina calon pasangan suami istri, bahkan tidak jarang di hari libur pun kantor mesti dibuka mengingat acara pernikahan tidak mengenal hari libur.
            Atas pertimbangan keterbatasan dari segi infrastruktur dan prasarana inilah yang menjadi alasan mendasar terlalu dininya pernikahan siri dipidanakan. Seakan telah menjadi kebiasaan, ketika pemerintah menerapkan kebijakan tidak didasarkan pada pertimbangan kesiapan secara teknis atau administratif. Sehingga terkesan terburu-buru, gegabah dan tidak sabar. Meskipun ini adalah pertimbangan teknis tetapi bukan berarti tidak memiliki signifikasi efektifitas sebuah kebijakan yang diterapkan. Belum lagi berbicara mengenai mekanisme kontrol agar sebuah kebijakan berjalan efektif dan optimal, dan bila secara administratif serta teknis tidak mampu dipersiapkan secara matang, maka sebaiknya perlu dipertimbangkan kembali. Karena bagaimana pun, secara prinsip kebijakan pemerintah sebenarnya bertujuan baik, dalam hal apapun, namun bukankah harus dibarengi dengan kondisi lain sebagaimana teks-teks agama mengajarkan bahwa untuk menentukan sebuah hukum, maka harus adanya pertimbangan lain yang tidak memberatkan atau membatalkan?
            Oleh karena itu, menurut hemat penulis, kebijakan pemerintah yang akan segera mempidanakan para pelaku pernikahan siri sungguh sangat tergesa. Kasus kekerasan dalam rumah tangga selama ini bukanlah seluruhnya disebabkan pernikahan bawah tangan ini, tetapi lebih pada kurangnya pemahaman serta kesadaran pasangan suami-istri akan tugas dan tanggung jawab serta tujuan mulia sebuah ikatan pernikahan. Adapun persoalan kerugian istri dan anak dalam hal harta warisan sebetulnya tidak mesti melalui hukum yang telah dimatrealkan, asalkan bukti pengakuan suami terhadap istri dan sebaliknya, juga pengakuan istri-suami terhadap anaknya. Artinya, keberadaan anak setelah membina hubungan bertahun-tahun tidak bisa terelakan, karena tidak cukup bukti untuk mengatakan bahwa anak tersebut bukanlah buah hubungannya. Dan itu cukup terselesaikan di dalam kesadaran masing-masing yang dibarengi sikap tanggung jawab, maka di sinilah pentignya keberadaan penasehat. Penasehat tidak harus formal, tetapi hubungan informal seperti seorang konselor dan klien adalah diperlukan sepanjang kehidupan rumah tangga di dalam sebuah keluarga.
Disqus Comments