Senjakala Pidana Nikah
Sirri
Wacana mempidanakan para
perilaku nikah siri sebaiknya dipertimbangkan matang-matang. Terutama sebelum
RUU sebagai pelengkap UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terutama
menyangkut pengenaan sanksi pidana terhadap para pelaku perkawinan siri, mut’ah,
perkawinan kedua, ketiga, keempat, dan perceraian, benar-benar akan disahkan.
RUU
Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan memuat 24 BAB dan 165 Pasal
tersebut dimaksudkan untuk melengkapi UU Nomor 1 Tahun 1994 tentang perkawinan
yang tak memuat serta mengatur sanksi pidana. Ketentuan sanksi pidana baru
disebutkan di peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyebutkan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan PP tersebut didenda Rp. 750.000 untuk
pelaku, sementara denda sebesar Rp 750.000 ditambah tiga bulan penjara
diperuntukan kepada pegawai pencatat nikah yang melanggar ketentuan tersebut.
Dan rencananya, denda tersebut akan dinaikkan menjadi Rp 6.000.000 untuk
pelaku, sedangkan denda untuk pegawai pencatat nikah sebesar Rp 12.000.000 jika
terbukti melanggar.
Hukuman
atau sanksi di atas tampaknya tidak menjadi momok menakutkan. Karuan saja,
praktek nikah siri malah justru semakin merajalela dan bertambah jumlahnya
dengan berbagai alasan. Pemerintah menganggap nikah siri lebih besar mudlorot ketimbang
manfaatnya, dan bahkan berpotensi merugikan pihak istri serta anak, maka
dikeluarkanlah fatwa haram dari kacamata hukum positif melakukan praktek nikah
di bawah tangan ini. Sedangkan bila dilihat serta dinilai dari sisi agama tetap
sah asalkan memenuhi syarat dan rukun perkawinan seperti, ijab kabul, mas kawin
atau mahar, wali, dan dua saksi. Di dalam RUU yang rencananya akan disahkan pemerintah
tersebut, mencakup syarat sah perkawinan, perceraian, perwalian anak, hak dan
kewajiban suami-istri, rujuk, perkawinan campuran, dan ketentuan pidana dan
larangannya. Sanksi pidana yang termaktub denda enam juta rupiah dan 12 juta
rupiah.
Dua Konteks
Secara prinsip, nikah
siri bukanlah perilaku yang diharamkan. Untuk itu, kita dapat memandang praktek
nikah di bawah tangan ini dari dua konteks. Pertama, konteks agama, dalam hal
ini agama Islam karena RUU ini mengacu pada komplikasi hukum Islam di Indonesia.
Kedua, dalam konteks hukum positif negara Indonesia.
Bila dilihat dari segi
agama jelas bahwa nikah siri tidak bermasalah alias sah-sah saja asalkan telah
memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Namun, bila kemudian dilihat dari hukum
positif negara yang berasaskan Pancasila, maka nikah siri di masa mendatang
(apabila RUU disahkan) akan menjadi haram dan statusnya melanggar hukum yang
tentu akan diproses secara hukum positif jika tertangkap melakukan pernikahan
bawah tangan ini. Karuan saja, aparatus hukum di negeri ini nantinya akan
mengadakan persidangan untuk pelanggaran baru, yakni nikah siri. Gagasan ini
tak terlepaskan dari definisi nikah siri yang menyatakan bahwa perkawinan yang
memenuhi syarat agama tetapi tidak dicatatkan dan dilakukan di hadapan pegawai
pencatat nikah (KUA/BP4). Pemerintah memiliki kepentingan tersendiri mencatat
dan mengetahui jumlah penduduk negara yang dipastikan bertambah seiring adanya
pernikahan, dan RUU ini sebagai kuncinya, apalagi ledakan penduduk Indonesia
semakin tahun kian meningkat tajam. Singkatnya, nikah sirri diharamkan karena
khawatir tidak tercatat di KUA atau BP , sebab pemerintah memiliki
kepentingan untuk melaksanakan sensus penduduk.
Faktor Lain
Kekerasan
terhadap istri dan anak (KDRT) serta fenomena kawin cerai yang belakangan kian
gencar terjadi tampak menjadi pertimbangan mendasar dilahirkannya RUU pelengkap
UU Nomor 1 dan 9 Tahun 1974 dan 1975 ini. Kedua kasus tersebut menunjukkan
betapa sebuah ikatan suci berupa pernikahan seakan telah sengaja dilecehkan
serta dianggap sebagai sebuah permainan belaka, terlepas apapun motif retaknya
hubungan suami-istri di dalam rumah tangga, kedua kasus itu bukanlah perkara
yang sepele dan tak serius. Memang seharusnya ada upaya preventif serta kuratif
dalam rangka menanggulangi kasus yang seakan telah menjelma menjadi penyakit
sosial itu.
Secara
prinsip, pernikahan siri bukanlah sebuah aib. Hanya saja persoalan
administratif yang berkaitan dengan kepentingan negara untuk mendata dan
mengidentifikasi angka perkawinan di Indonesia. Menurut hemat penulis, tidaklah
efektif fenomena pernikahan siri dipidanakan, tetapi hal yang lebih
penting ialah sosialisasi peraturan pemerintah secara massif ke hadapan
masyarakat tanpa harus mempidanakan karena justru akan meresahkan. Terlebih,
sebagaimana kita ketahui, pernikahan siri yang dilakukan tidak terlepas dari
berbagai alasan mendasar, seperti belum tersedianya tempat pencatat nikah,
terutama di daerah-daerah pedalaman. Hal ini berkaitan dengan persiapan negara
secara administratif serta sumber daya manusianya sebagai petugas pencatat
nikah. Kita tentu menyadari, keberadaan KUA atau BP4 saat ini terkesan tidak
begitu diperhatikan dengan serius oleh pemerintah, baik dari prasarana,
infrastruktur, hingga kesejahteraan petugas pencatat nikah masih dipandang
sebelah mata. Bayangkan, hanya untuk menjalankan program kerja para petugas
mesti banting tulang dalam hal pendanaan. Sementara pekerjaan yang harus
dijalani karena memang kewajiban instansi atau lembaga, tidaklah sepele,
seperti keliling daerah dalam rangka mendata jumlah keluarga, karantina calon
pasangan suami istri, bahkan tidak jarang di hari libur pun kantor mesti dibuka
mengingat acara pernikahan tidak mengenal hari libur.
Atas
pertimbangan keterbatasan dari segi infrastruktur dan prasarana inilah yang
menjadi alasan mendasar terlalu dininya pernikahan siri dipidanakan. Seakan
telah menjadi kebiasaan, ketika pemerintah menerapkan kebijakan tidak
didasarkan pada pertimbangan kesiapan secara teknis atau administratif.
Sehingga terkesan terburu-buru, gegabah dan tidak sabar. Meskipun ini adalah
pertimbangan teknis tetapi bukan berarti tidak memiliki signifikasi efektifitas
sebuah kebijakan yang diterapkan. Belum lagi berbicara mengenai mekanisme
kontrol agar sebuah kebijakan berjalan efektif dan optimal, dan bila secara
administratif serta teknis tidak mampu dipersiapkan secara matang, maka
sebaiknya perlu dipertimbangkan kembali. Karena bagaimana pun, secara prinsip
kebijakan pemerintah sebenarnya bertujuan baik, dalam hal apapun, namun
bukankah harus dibarengi dengan kondisi lain sebagaimana teks-teks agama
mengajarkan bahwa untuk menentukan sebuah hukum, maka harus adanya pertimbangan
lain yang tidak memberatkan atau membatalkan?
Oleh
karena itu, menurut hemat penulis, kebijakan pemerintah yang akan segera
mempidanakan para pelaku pernikahan siri sungguh sangat tergesa. Kasus
kekerasan dalam rumah tangga selama ini bukanlah seluruhnya disebabkan
pernikahan bawah tangan ini, tetapi lebih pada kurangnya pemahaman serta
kesadaran pasangan suami-istri akan tugas dan tanggung jawab serta tujuan mulia
sebuah ikatan pernikahan. Adapun persoalan kerugian istri dan anak dalam hal
harta warisan sebetulnya tidak mesti melalui hukum yang telah dimatrealkan,
asalkan bukti pengakuan suami terhadap istri dan sebaliknya, juga pengakuan
istri-suami terhadap anaknya. Artinya, keberadaan anak setelah membina hubungan
bertahun-tahun tidak bisa terelakan, karena tidak cukup bukti untuk mengatakan
bahwa anak tersebut bukanlah buah hubungannya. Dan itu cukup terselesaikan di
dalam kesadaran masing-masing yang dibarengi sikap tanggung jawab, maka di
sinilah pentignya keberadaan penasehat. Penasehat tidak harus formal, tetapi
hubungan informal seperti seorang konselor dan klien adalah diperlukan
sepanjang kehidupan rumah tangga di dalam sebuah keluarga.