Sepertinya tidak ada orang yang paling berdosa di negeri ini kecuali pemerintah dan anggota dewan. Korupsi, suap-menyuap, mafia peradilan, pemborosan uang negara, hingga pebunuhan terorganisir lengkap sudah menghiasi institusi-institusi negeri ini. Berbagai macam kejahatan ibarat hantu gentayangan dan berkeliaran bebas namun dilindungi. Kejahatan-kejahatan yang terjadi di lembaga-lembaga negara ada namun tidak kelihatan dari permukaan sebab terlindungi oleh kekuasaan. Itulah hakikat kekuasaan, dapat melindungi segala apapun, termasuk kejahatan.
Kekuasaan adalah salah satu godaan terberat di dalam kehidupan manusia. Karena kuasa, orang bisa berbuat apa saja, tidak peduli negara menganut sistem apa. Jika kekuasaan disalahgunakan, maka ia akan melanggengkan kejahatan, namun sebaliknya, jika benar menggunakannya niscaya akan menjadi penentu jalan menuju kehidupan sejahtera dalam kebersamaan. Inti kesejahteraan sebenarnya terletak pada kekuasaan, tergantung siapa yang menduduki dan ke mana akan dibawa kekuasaan itu.
Dalam sejarah kepemimpinan di negeri ini, kekuasaan tidak sepenuhnya digunakan semata-mata untuk kebaikan bersama. Pada era Orde Baru, kekuasaan justru digunakan untuk melanggengkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan belakangan, kekuasaan kembali digunakan untuk menghamburkan serta merampok uang negara. Citra kekuasaan semakin memburuk, bahkan hanya untuk dijadikan sebagai alat pencitraan diri atau popularitas dan pemeliharaan praktek kejahatan. Tentu bukan kekuasaan yang kita persalahkan, tetapi orang yang menduduki kekuasaan itulah yang telah menyalahgunakan kursi kekuasaan tersebut untuk kepentingan-kepentingan pragmatis. Jika demikian, maka wajar kalau kekuasaan diperebutkan, karena kekuasaan dianggap bukan sebagai sebuah tanggung jawab, tapi ibarat kue lezat yang semua orang ingin menyantapnya.
Terlepas dari itu, belakangan tersiar sebuah berita mengenai anggota dewan yang menghamburkan uang negara untuk perkara tidak penting serta tidak ada sangkut-pautnya dengan pembangunan bangsa ini. Kabar mengenai anggota dewan yang menghamburkan uang negara itu sontak menyulut perhatian publik. Uang miliaran rupiah hanya semata-mata digunakan untuk memperbaiki fasilitas negara yang dianggap telah rusak atau tidak layak pakai. Dalam pandangan kaum elit dan orang beduit, barang yang hanya lecet sedikit dianggap telah rusak, jika tidak dibuang, maka harus diperbaiki, walau dengan biaya besar sekalipun. Itulah salah satu perbedaan antara orang yang hidup sederhana dengan orang yang hidup di bawah lingkaran kemewahan. Terlebih jika dibandingkan dengan orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, tentu amat mencolok.
Anggota dewan pemboros
Uang milyaran rupiah dianggap jumlah yang kecil bagi anggota dewan dan pemerintah negeri ini. Persepsi itu wajar karena mereka sudah terbiasa bergelut dengan uang. Bahkan dalam sekejap, mereka mampu menghabiskan jumlah uang sebesar 23,5 milyar hanya untuk keperluan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembangunan bangsa ini. Bagi masyarakat kebanyakan, uang sebanyak itu akan sangat besar manfaatnya jika digunakan untuk membantu masyarakat keluar dari kungkungan kemiskinan yang masih merajalela dalam kehidupan sehari-hari. Faktanya, penurunan angka kemiskinan, menurut data BPS, selama maret 2009-maret 2010 hanya mencapai 0,82 persen. Pada tahun 2010 saja, jumlah penduduk miskin mencapai 31, 02 juta orang yang berarti 13, 33 persen dari jumlah penduduk di negeri ini. Bagaimana dengan kondisi angka kemiskinan di tahun 2011 sampai 2012? Masyarakat pun lantas bertanya-tanya, apa hubungannya proyek renovasi ruang rapat Badan Anggaran (Banggar), seperti toilet, kebersihan ruangan, pengharum ruangan, finger print serta kalender, dengan pembangunan negara ini hingga harus menghabiskan uang sebanyak itu?
Jika anggota dewan diklaim sebagai dewan pemboros adalah wajar mengacu pada fakta yang terjadi belakangan. Fasilitas serba mewahpun, mereka nyatanya tidak mampu menjawab berbagai macam persoalan yang melilit masyarakat. Belum lagi praktek korupsi yang tak kunjung berhenti, bahkan semakin merajalela terjadi hampir di seluruh institusi negeri ini. Melihat kenyataan itu, masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa, diam menderita serta tertindas, melawan justru akan dilibas. Banyak sudah cerita-cerita yang dapat dijadikan sebagai bukti jika para pemimpin sebuah negara bermewah-mewahan, maka negara tersebut jatuh bahkan hancur. Dan kehancuran negara ini hanya tinggal menunggu waktunya saja jika pola hidup para pejabat tidak dirubah serta enggan untuk hidup sederhana dan menghemat kas negara. Diakui atau tidak, orang berbondong-bondong memperebutkan kekuasaan, khususnya di negeri ini, bukan untuk memperbaiki kondisi negara, tetapi berebut menghabiskan kas negara dengan dalih proyek pembangunan.
Itulah sedikit refleksi terhadap kondisi riil negeri ini. Persoalan sebenarnya bukan hanya terletak pada sistem, tetapi juga runtuhnya moralitas individu-individu yang memangku kekuasaan serta pemegang kebijakan-kebijakan. Mereka itulah yang patut kita sebut sebagai bandit-bandit negara.
.jpg)
.jpg)
.jpg)