Terorisme dan Politik Pengalihan Isu
Sampai kapanpun, terorisme akan tetap menjadi isu seksi dalam perjalanan sejarah kenegaraan. Isu seksi dalam arti bahwa ketika dilemparkan ke publik, maka otomatis akan menggugah perhatian serta keingintahuan masyarakat banyak. Selain sebagai bentuk antisipasi, rasa ingin tahu masyarakat juga dimaksudkan untuk menilai kinerja pemerintah, hal ini kepolisian dalam memberantas pelaku-pelaku terror hingga ke akar-akarnya. Teroris adalah momok menakutkan bagi masyarakat dan negara ini, karena mengancam keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, bukan berarti bahwa Indonesia lantas diklaim sebagai negara sarang teroris. Sebab, tindakan-tindakan teroris yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu itu bukan tak ada sebab serta alasannya. Bisa saja karena akibat kekecewaan dan tak menutup kemungkinan karena titipan dunia internasional, khususnya Amerika Serikat pasca dideklarasikannya perang terhadap teroris sebagai bentuk aksi balas dendam terhadap runtuhnya menara WTC beberapa tahun silam itu. Dan di samping itu, bisa jadi ini adalah bentuk beban moral Indonesia terhadap Australia karena korban bom Bali beberapa tahun lalu jelas didominasi warga negara Kanguru tersebut.
Kita memiliki alasan kuat untuk mengatakan hal tersebut. Baru saja pentas politik nasional negeri ini sedang mendidih karena skandal bank century yang menyatakan bahwa bailout adalah pelanggaran hukum di sidang paripurna DPR akhir bulan lalu, secara tiba-tiba isu terorisme spontan mencuat ke permukaan. Sementara proses penyelesian kasus century belum membuahkan apa-apa selain kesimpulan belaka.
Laporan pertanggungjawaban SBY?
Pengalihan isu sebenarnya adalah pemandangan biasa terjadi di negeri ini. Hal itu dimaksudkan untuk mengelabui masyarakat atas kegagalan kinerja pemerintah. Proses penyelesaian skandal bank century belum rampung, lantas Dulmatin, sang teoris kelas kakap tiba-tiba dinyatakan telah tewas di tangan Densus 88 Antiteror meski masih menimbulkan pertanyaan. Pengejaran para teroris berlanjut. Berbeda tempat, bahkan pulau, dari area penyergapan Joko Pitono itu, yakni di Aceh. Para teroris dinyatakan berkeliaran dan berlatih di serambi Mekkah itu. Perhatian masyarakat dengan sendirinya teralihkan serta diporsir ke isu paling aktual saat ini, yakni perburuan Densus 88 terhadap teroris di Aceh.
Dalam keadaan tidak stabil ini, SBY justru berlabuh ke Australia dalam rangka agenda kunjungan kenegaraan. Perburuan teroris di Indonesia boleh jadi sebagai laporan Presiden kepada pemerintah Australia sekaligus tema awal untuk membuka komunikasi kunjungan tersebut, sebab tak mungkin SBY membuka komunikasi tersebut dengan menceritakan kisruh century yang telah membuat iklim politik nasional memanas. Dengan komunikasi yang diawali oleh isu terorisme di Indonesia, dapat dipastikan pemerintah Australia memberikan respon positif serta aplaus yang meriah kepada SBY dan pemerintah Indonesia umumnya.
Aceh bukan sarang teroris!
Di tengah-tengah acara kunjungan SBY ke Australia, Aceh justru mandapat sorotan tajam di negeri ini. Bagaimana tidak, perburuan para, menurut klaim polri, teoris yang selama ini dicari-cari atau buronannya saat ini bermarkas di Aceh, bahkan sedang bergerilya melawan kekuatan Densus 88 yang terus memburu mereka dengan instruksi tembak di tempat atau tembak mati. Pilihan terakhir bila ternyata yang diburu melakukan perlawanan.
Namun hal itu tak terlalu penting karena kita semua maklum sekaligus mafhum itu adalah pilihan terakhir kepolisian (Densus 88) bila ternyata diajak berperang. Tapi, pertanyaan paling mendasar, benarkah oknum yang ditembak aparat di Aceh adalah para terorisme? Faktanya, pada awal operasi atau perburuan aparat justru menembak warga Aceh yang sama sekali tak terlibat bersekongkol dengan para teroris, tetapi hal itu justru dibantah pihak kepolisian bahwa warga yang tertembak bersenjata dan melawan. Logikanya, bagaimana mungkin warga tidak melawan jika ternyata mereka merasa teraniaya karena aksi main tembak yang dilakukan aparat. Kondisi ini sungguh mencekam. Masyarakat serba salah. Jika bekerja di kebun (hutan) dianggap teroris, dan sebaliknya bila tak bekerja lantas bagaimana mempertahankan keberlangsungan hidup. Pun aparat kepolisian tak memberikan jaminan kebutuhan sehari-hari masyarakat karena memang bukan tugasnya. Selain itu, bila masyarakat pergi ke kebun di hutan berjumpa dengan para teroris, sementara turun ke bawah warga harus berhadapan dengan moncong senjata polisi.
Entahlah. Petugas lapangan pasti lebih tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Kita hanya mampu berharap bahwa hal demikian itu tidak terjadi. Kepercayaan kita pertaruhkan dalam membela warga Aceh itu dengan rasa harap penuh aparat kepolisian di lapangan masih menyimpan aspek moralitas serta spiritualitas di dalam menjalankan tugasnya. Itupun kalau masih tersimpan di hati mereka dan jika tidak, maka kehidupan damai serta sejahtera di Aceh jangan harap akan terwujud, padahal serambi Mekah ini bukanlah sarang teroris, tapi hanyalah korban kepentingan kalangan atas untuk membangun serta memperbaiki citra mereka di hadapan masyarakat banyak. Untuk meraih itu apa saja dilakukan meski harus mengorbankan rakyat Aceh.
Ancaman disintegrasi bangsa
Inilah wajah politik pengalihan isu serta proses politik pencitraan. Bila praktek seperti ini terus dilakukan dapat dipastikan akan mengancam demokratisasi yang mulai menunjukan taringnya beberapa tahun belakangan. Selain itu, klaim bahwa para teroris bermarkas di Aceh harus segera dihapus, bagaimana pun caranya, sebab akan merugikan Indonesia yang merupakan negara kepuluan (maritim), dan Aceh merupakan bagian dari NKRI. Kita khawatir bila suatu hari kejengahan masyarakat serta pemerintah daerah Aceh telah mencapai titik nadir, membuat kekecewan-kekecewaan mendalam, sehingga tak menutup kemungkinan berujung pada disintegrasi bangsa hanya karena pendekatan yang dilakukan pemerintah pusat tak menggunakan cara-cara persuasif, tapi malah justru dengan kekerasan.
Seakan menunjukan ketidakinginan pemerintah pusat untuk merangkul negara kepulauan dengan cara-cara bijak dan damai, Papua, Ambon, Maluku, Poso serta daerah-daerah lain adalah contoh buruk pendekatan yang diupayakan pemerintah pusat, meski pada perkembangan berikutnya kerusuhan di beberapa daerah tersebut mampu terselesaikan. Bila upaya yang dilakukan pemerintah terus seperti di Aceh, dengan dalih apapun, maka, mungkin saja benar analisisi Benedict Anderson dalam imagined community bahwa beberapa tahun mendatang Indonesia akan mengalami diisintegrasi serta pulau-pulau yang berada dalam lingkup NKRI akan memisahkan diri dan berdiri menjadi negara sendiri. Karena secara teritori antar pulau di NKRI hanya terikat melalui hubungan kelautan semata, untuk itulah mengapa kekuatan laut kita mesti diperhatikan dengan serius oleh pemerintah, layaknya jaman kerajaan Majapahit yang justru lebih cerdas ketimbang pemerintah kita saat ini.