Malioboro, Riwayat Waktu Dulu dan Masa Kini
.jpg)
Berkilas ke belakang, sekitar era tahun 80-an ke bawah, Malioboro menjadi ikonografiYogyakarta yang mempesona. Tiap wisatawan domestik maupun mancanegara yang datang ke Kota Budaya—rasanya perjalanan liburan mereka belum lengkap bila tak mampir di Malioboro. Sungguh Malioboro acapkali membuat kangen tiap orang.
Suasana duduk santai di lesehan sambil menikmati hidangan pecel lele plus minuman teh hangat/dingin seraya diringi musik anak jalanan jadi oleh-oleh tersendiri bagi wisatawan. Menurut banyak cerita orang, para seniman Malioboro pada waktu itu bisa menjadi cermin untuk melihatYogyakarta yang terbuka. Dengan dandanan simbol ala Jawa: memakai blangkon, surjan, dan sabuk/lontong, serta sikap mereka yang ramah terhadap tamu, para seniman Yogyakarta mampu membentuk identitas yang berbeda dengan seniman di kota-kota lain. Itulah salah satu yang khas di Maliboro masa lalu dan akan selalu menjadi kenangan indah bagi siapa saja yang pernah merasakan nuansa itu. Dikatakan menjadi kenangan, sebab nuasa serta suasana seperti itu nampaknya sedikit demi sedikit mulai pudar seiring berkembangnya arus globalisasi yang modernis.
Lantas bagaimana dengan Malioboro masa kini. Masihkah tempat tersebut menjanjikan kenyamanan bagi seniman untuk berekspresi, membuat kreasi, dan berkarya?. Apakah para budayawan, politikus, insan akademik, masih menjadikan Malioboro sebagai tempat favorit untuk sekedar bertukar pikiran, berbagi pengalaman, dan merangsang ide-ide segar?.
Tampaknya masa lalu Malioboro yang menyejarah dan membentuk peradaban budaya masyarakat Yogyakarta itu hanya menyisahkan romantika cerita. Pemandangan Malioboro kini terlihat kumuh. Saat Ramadhan dan jelang Lebaran, di sepanjang jalan Malioboro tampak sesak oleh kendaraan. Kepulan asap kendaraan membuat udara di sekitar kawasan tersebut menjadi tak segar.
Belum lagi kita lihat kesemrautan parkiran motor yang membentang di sepanjang emperan Malioboro. Pemandangan Malioboro makin tak karuan manakala lahan yang mestinya bisa menjanjikan kenyamanan bagi pejalan kaki justru dipersempit dengan keberadaan gerobak-gerobak para penjual.
.jpg)
Ya, begitulah sekelumit cerita (miris) yang saya saksikan di Malioboro. Masyarakat berharap semangat zaman Malioboro tempoe doloe dapat dihidupkan kembali di zaman modern ini. Keadaan yang menggambarkan simbol budaya dan sejarah Yogyakarta yang kuat.
Dengan maksud itulah, saya dan kita semua tentu sangat berharap besar kapada pihak terkait terutama para pejabat DIY dapat menata kembali keadaan Malioboro seperti dulu lagi. Karena bagaimanapun Malioboro tetap ikon Yogyakarta yang telah dicintai banyak orang bukan saja masyarakat lokal tapi juga wisatawan.
Malioboro kini
Kemodernan telah merubah wajah Malioboro yang dulu sangat kental dengan nuansa tradisional dan lokal. Pemandangan yang menunjukkan salah satu ciri kebudayaan Indonesia-Yogyakarta khususnya- menjadi pudar seiring berkembangnya zaman yang ke-barat-barat-an. Sesuatu tidak dikatakan modern jika masih melestarikan budaya dan kebiasaan lama, atau bahkan dikatakan katrok dan ketinggalan zaman. Orang tidak mau dikatakan ketinggalan zaman atau kampungan. Atau dalam bahasa Tukul Arwana : Ndeso.!
Hal inilah yang menunjukkan akan ketidakmampuan kita melestarikan budaya di Negara sendiri. Kita akan merasa kehilangan apabila suatu saat budaya kita diklaim orang lain, contohnya kasus Reog Ponorogo yang diklaim Malaysia adalah budaya mereka. Maka pertanyaannya, apakah dengan gemerlap kemodernan kemudian kita mengikis serta meninggalkan budaya milik sendiri.
Modern merupakan budaya Barat dan kita memiliki budaya dan kebiasaan sendiri di negeri ini. Ironisnya, budaya Barat yang kita konsumsi sedangkan budaya sendiri dilupakan hanya karena tidak sesuai dengan kebiasaan atau budaya di Barat sana.
Malioboro merupakan salah satu simbol kebudayaan Indonesia yang memiliki hikayat yang bersejarah. Bahkan Malioboro telah menjadi ikon kota Yogyakarta yang dikenal sebagaikota budaya, selain juga dijuluki kota pelajar. Maka, tidak jarang kita mendengarkan orang-orang yang berdatangan ke Kota Gudeg ini : tidak lengkap kiranya jika tidak mampir ke Malioboro. Sebab, Malioboro sudah terlanjur dikenal oleh orang-orang seluruh Indonesia. Dalam kontruksi pikiran mereka bahwa Malioboro itu indah seperti yang pernah di dengar, baik dari teman sendiri maupun media massa dan elektronik.
Namun kenyataannya, bahwa keindahan Malioboro telah berubah tidak seperti sediakala yang kental dengan nuansa tradisional seperti yang disebutkan di atas tadi. Malioboro yang dahulu menjadi tempat berkumpulnya para seniman, sekarang telah berubah menjadi kawasan perekonomian, pusat perbelanjaan dan lahan parkir. Sehingga jalan Malioboro sebagian telah tertutup dan hanya menyisakan seperuhnya saja.
Kita berharap banyak kepada pemerintah daerah Yogyakarta untuk kembali melestarikan Malioboro sebagai salah satu tempat wisata, selain Candi Prambanan dan Pantai Parangtritis.