Kebijakan tentang Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri sepertinya mengalami antiklimaks setelah
Mendiknas memutuskan membuka jalur undangan pada tahun 2013 untuk SNMPTN, dan
Seleksi Mandiri Bersama untuk jalur ujian tulis yang akan diselenggarakan oleh
Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri.
Kebijakan ini akan
berlaku tahun depan dengan daya tampung untuk SNMPTN sekitar 150.000 kursi atau
50 persen dari jumlah total kursi bagi mahasiswa baru yang mencapai 300.000
kursi, sementara untuk jalur ujian tulis di SMB 30 persen, dan adapun 20 persen
lainnya dari calon mahasiswa akan diperoleh melalui jalur mandiri yang
dilaksanakan masing-masing PTN. (Kompas/11/12/12).
Secara spesifik, SNMPTN
dan SMB dibedakan. SNMPTN dikhususkan bagi siswa yang memiliki prestasi
akademik atas rekomendasi kepala sekolah, sedangkan SMB dikhususkan bagi siswa
yang memiliki prestasi non-akademik.
Kabar baik dari kebijakan
ini adalah dibebaskannya siswa dari biaya pendaftaran. Dan alokasi anggaran
dari kebijakan ini diambil dari APBN. Seperti yang kita ketahui bersama, selama
ini biaya SNMPTN terbilang cukup mahal, sehingga terkesan sulit untuk masuk ke
perguruan tinggi.
Melihat kebijakan ini
sekilas agak mencerahkan dunia pendidikan. Namun, ada dua hal yang patut
menjadi perhatian untuk dijadikan sebagai kajian ulang, yaitu kaitannya dengan
SNMPTN jalur undangan yang menjadikan hasil Ujian Nasional sebagai penentu
masuk PTN. Kedua, apakah kebijakan ini akan mewakili siswa yang berasal dari
pedalaaman?
Pertama, hasil Ujian Nasional (UN) jadi syarat masuk PTN. Hasil UN yang
disertai dengan standar nilai yang dijadikan sebagai syarat kelulusan, seperti
setiap mata pelajaran minilam harus mencapai nilai 5,5, justru melahirkan
berbagai praktek kecurangan di mana-mana. Demi memperoleh nilai kelulusan, 5,5
yang sesuai dengan Permendiknas Nomor 75 tahun 2009 silam, siswa bahkan rela
melakukan apa saja, meski harus menerabas norma dan etika, seperti mencontek
dan lain sebagainya. Citra UN pun sempat jatuh di mata publik.
Dalam pada itu, inilah
wujud nyata dari wacana nilai UN menjadi salah satu syarat masuk ke Perguruan
Tinggi Negeri. Sebelumnya, Menteri Pendidikan Muhammad Nuh mengatakan bahwa ide
ini terinspirasi oleh digunakannya nilai UN pada jenjang pendidikan SD-SMP
sebagai prasyarat untuk melanjutkan ke SLTA. Sedangkan semangat dari wacana
yang awalnya akan diterapkan tahun ini, adalah keinginan Kemendiknas
pengintegrasian serta upaya penyatuan sistem di lembaga-lembaga pendidikan
negeri, namun kenyataannya wacana ini menjadi kebijakan yang akan diterapkan
tahun depan.
Kedua, menimbang siswa yang berasal dari sekolah di pedalaman. Tak
sedikit kalangan yang khawatir jika mekanisme seleksi justru lebih banyak
menguntungkan siswa yang berasal dari perkotaan karena sekolah-sekolah favorit
lebih banyak terdapat di kota-kota besar. Dan untuk menghindari hal ini, maka
pemerintah sebaiknya melakukan olah data yang tepat sehingga siswa yang berasal
dari pedalaman tidak tenggelam oleh sekolah-sekolah favorit yang bergelimpangan
di kota-kota besar.