Thursday, 13 December 2012

Menimbang Nasib Skripsi/Tesis/Disertasi Mahasiswa

         
Skripsi/Tesis/Disertasi adalah tugas akhir mahasiswa di seluruh perguruan tinggi. Skripsi/Tesis/Disertasi ini masuk dalam kategori karya ilmiah, hasil penelitian yang kemudian dijadikan sebagai syarat kelulusan demi meraih gelar sarjana/magister/doktor. Lantas bagaimana nasib karya-karya ilmiah itu pasca Dikti mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan bagi para calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan?
    Jika kita mengacu bahwa skripsi/tesis/disertasi merupakan sebuah karya ilmiah, maka kebijakan tersebut dirasa tidak perlu diterapkan. Cukup hasil penelitian mahasiswa berupa skripsi/tesis/disertasi itulah yang dimasukkan ke dalam jurnal ilmiah sebagaimana yang dimaksudkan dikti. Kita khawatir akan terjadi tumpang-tindih syarat kelulusan mahasiswa yang selama bertahun-tahun telah ditetapkan bahwa syarat itu berupa pembuatan skripsi/tesis/disertasi. Bukankah skripsi/tesis/disertasi juga bagian dari karya ilmiah? Artinya,  hasil penelitian mahasiswa berupa skripsi/tesis/disertasi/ itu saja yang dimasukkan ke dalam jurnal ilmiah tersebut, jadi tidak perlu membuat makalah ilmiah lainnya.
            Terlepas dari itu, membuat karya ilmiah bukanlah perkara gampang. Bahkan harus menghabiskan waktu yang relatif lama. Mengacu pada surat edaran dikti kepada kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia beberapa hari lalu, kita menemukan ketentuan itu cukup menyulitkan. Ketiga ketentuan itu berbunyi bahwa untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti, dan untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional. Pertanyaannya, siapa yang menjamin bahwa karya ilmiah itu dapat diterbitkan pada jurnal-jurnal yang dimaksud?
            Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memang terkadang membuat kebijakan yang agak aneh dari pendengaran umum kita. Maksudnya tentu mulia, namun sayangnya cara yang ditempuh justru muluk-muluk hanya karena merasa kalah dengan negara lain. Malaysia dan Indonesia memang telah sejak dahulu berbeda dalam segala hal, termasuk dalam bidang keilmuan. Bahkan rasa-rasanya kita juga tidak perlu harus sama, serupa atau seragam dengan mereka. Mereka memiliki metode sendiri dalam memajukan keilmuan untuk negaranya sesuai dengan tujuannya, begitu pula kita (baca: Indonesia) juga harus memiliki konsep, metode, serta tujuan tersendiri dalam bidang keilmuan. Bangsa ini seharusnya tidak perlu merasa tersaingi atau merasa tertinggal jauh di bidang keilmuan dari negara Jiran, namun yang paling penting bagi negeri ini ialah memperbaiki persoalan-persoalan krusial yang terjadi di dalam bidang pendidikan atau keilmuan, seperti masih banyaknya anak-anak yang putus sekolah, mahalnya biaya pendidikan, rumusan mengenai model pendidikan yang merata, dan lain sebagainya.
            Selanjutnya, kebijakan dikti ini perlu dikaji ulang. Belum tentu mudah menerapkan kebijakan rumit ini, karena seluruh PTN/PTS di Indonesia belum tentu pula siap menerapakannya, terlebih lagi, PTS/PTN tertentu dipastikan memiliki panduan tersendiri mengenai cara-cara pembuatan karya ilmiah. Selain itu, Kemendiknas, dalam hal ini Dikti, dengan sendirinya akan kesulitan membuat berbagai persyaratan tentang standar karya ilmiah yang dimaksudkan, apalagi jika hal tersebut dinasionalkan, dan hanya untuk itu tentu akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Belum lagi persoalan minimnya persediaan jurnal-jurnal ilmiah di negeri ini untuk mempublikasikan karya-karya ilmiah mahasiswa, membuat kebijakan ini akan semakin rumit serta berkepanjangan.
            Pungksanya, karya berupa skripsi/tesis/disertasi yang dihasilkan mahasiswa selama mengikuti proses studi di perguruan tinggi selama bertahun-tahun itu rasa-rasanya sudah cukup untuk dijadikan sebagai syarat kelulusan serta meraih titel sarjana/magister/doktor. Persoalannya selama ini hanya terletak pada ketiadaan media untuk mempublikasikan hasil karya ilmiah mahasiswa tersebut, bahkan ada sebagian mahasiswa yang memutuskan untuk menjadikan karyanya tersebut dalam bentuk buku yang diajukan ke beberapa penerbit sebagai media publikasi. Jurnal karya ilmiah di Indonesia tidak akan mengalami kekurangan jika hasil karya mahasiswa selama ini dapat terakomodasi dengan baik. Sayangnya, selama ini, karya-karya mahasiswa tersebut hanya menjadi museum di perpustakaan perguruan tinggi masing-masing, dan lambat laun akan dimakan rayap, hilang tak berbekas tanpa terdokumentasikan. Hal ini menyiratkan seolah-olah tidak ada pihak yang mau menghargai karya mahasiswa itu, sekalipun pemerintah, dalam hal ini Kemendiknas.!
Disqus Comments