Skripsi/Tesis/Disertasi
adalah tugas akhir mahasiswa di seluruh perguruan tinggi. Skripsi/Tesis/Disertasi
ini masuk dalam kategori karya ilmiah, hasil penelitian yang kemudian dijadikan
sebagai syarat kelulusan demi meraih gelar sarjana/magister/doktor. Lantas
bagaimana nasib karya-karya ilmiah itu pasca Dikti mengeluarkan kebijakan yang
mengharuskan bagi para calon sarjana menghasilkan makalah yang terbit pada
jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan?
Jika
kita mengacu bahwa skripsi/tesis/disertasi merupakan sebuah karya ilmiah, maka
kebijakan tersebut dirasa tidak perlu diterapkan. Cukup hasil penelitian
mahasiswa berupa skripsi/tesis/disertasi itulah yang dimasukkan ke dalam jurnal
ilmiah sebagaimana yang dimaksudkan dikti. Kita khawatir akan terjadi
tumpang-tindih syarat kelulusan mahasiswa yang selama bertahun-tahun telah
ditetapkan bahwa syarat itu berupa pembuatan skripsi/tesis/disertasi. Bukankah
skripsi/tesis/disertasi juga bagian dari karya ilmiah? Artinya, hasil penelitian mahasiswa berupa
skripsi/tesis/disertasi/ itu saja yang dimasukkan ke dalam jurnal ilmiah
tersebut, jadi tidak perlu membuat makalah ilmiah lainnya.
Terlepas
dari itu, membuat karya ilmiah bukanlah perkara gampang. Bahkan harus
menghabiskan waktu yang relatif lama. Mengacu pada surat edaran dikti kepada
kepada Rektor/Ketua/Direktur PTN dan PTS seluruh Indonesia beberapa hari lalu,
kita menemukan ketentuan itu cukup menyulitkan. Ketiga ketentuan itu berbunyi
bahwa untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada
jurnal ilmiah, untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah
yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti,
dan untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima
untuk terbit pada jurnal internasional. Pertanyaannya, siapa yang menjamin
bahwa karya ilmiah itu dapat diterbitkan pada jurnal-jurnal yang dimaksud?
Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan memang terkadang membuat kebijakan yang agak aneh
dari pendengaran umum kita. Maksudnya tentu mulia, namun sayangnya cara yang
ditempuh justru muluk-muluk hanya karena merasa kalah dengan negara lain.
Malaysia dan Indonesia memang telah sejak dahulu berbeda dalam segala hal,
termasuk dalam bidang keilmuan. Bahkan rasa-rasanya kita juga tidak perlu harus
sama, serupa atau seragam dengan mereka. Mereka memiliki metode sendiri dalam
memajukan keilmuan untuk negaranya sesuai dengan tujuannya, begitu pula kita
(baca: Indonesia) juga harus memiliki konsep, metode, serta tujuan tersendiri
dalam bidang keilmuan. Bangsa ini seharusnya tidak perlu merasa tersaingi atau
merasa tertinggal jauh di bidang keilmuan dari negara Jiran, namun yang paling
penting bagi negeri ini ialah memperbaiki persoalan-persoalan krusial yang
terjadi di dalam bidang pendidikan atau keilmuan, seperti masih banyaknya
anak-anak yang putus sekolah, mahalnya biaya pendidikan, rumusan mengenai model
pendidikan yang merata, dan lain sebagainya.
Selanjutnya,
kebijakan dikti ini perlu dikaji ulang. Belum tentu mudah menerapkan kebijakan
rumit ini, karena seluruh PTN/PTS di Indonesia belum tentu pula siap
menerapakannya, terlebih lagi, PTS/PTN tertentu dipastikan memiliki panduan
tersendiri mengenai cara-cara pembuatan karya ilmiah. Selain itu, Kemendiknas,
dalam hal ini Dikti, dengan sendirinya akan kesulitan membuat berbagai
persyaratan tentang standar karya ilmiah yang dimaksudkan, apalagi jika hal
tersebut dinasionalkan, dan hanya untuk itu tentu akan menghabiskan waktu yang
cukup lama. Belum lagi persoalan minimnya persediaan jurnal-jurnal ilmiah di negeri
ini untuk mempublikasikan karya-karya ilmiah mahasiswa, membuat kebijakan ini
akan semakin rumit serta berkepanjangan.
Pungksanya,
karya berupa skripsi/tesis/disertasi yang dihasilkan mahasiswa selama mengikuti
proses studi di perguruan tinggi selama bertahun-tahun itu rasa-rasanya sudah
cukup untuk dijadikan sebagai syarat kelulusan serta meraih titel
sarjana/magister/doktor. Persoalannya selama ini hanya terletak pada ketiadaan
media untuk mempublikasikan hasil karya ilmiah mahasiswa tersebut, bahkan ada
sebagian mahasiswa yang memutuskan untuk menjadikan karyanya tersebut dalam
bentuk buku yang diajukan ke beberapa penerbit sebagai media publikasi. Jurnal
karya ilmiah di Indonesia tidak akan mengalami kekurangan jika hasil karya
mahasiswa selama ini dapat terakomodasi dengan baik. Sayangnya, selama ini,
karya-karya mahasiswa tersebut hanya menjadi museum di perpustakaan perguruan
tinggi masing-masing, dan lambat laun akan dimakan rayap, hilang tak berbekas
tanpa terdokumentasikan. Hal ini menyiratkan seolah-olah tidak ada pihak yang
mau menghargai karya mahasiswa itu, sekalipun pemerintah, dalam hal ini
Kemendiknas.!