Seseorang yang berharap terlalu banyak terhadap sesuatu hal akan sibuk dengan dirinya sendiri. Dia sangat sibuk dengan harapannya, bahkan menggunakan segala cara agar realitas di sekelilingnya sesuai dengan harapannya tersebut. Variabel-variabel disambungkannya, kata demi kata dia kumpulkan untuk kemudian dirangkai agar sesuai dengan harapannya itu hingga akhirnya dia lupa mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.
Di sebuah warung kopi, seorang kawan lama berujar tentang perasaan sakit yang menurutnya tiada tandingannya di dunia ini.
“Sakit hati, patah hati, adalah penyakit yang tiada tandingannya dari semua pesakitan di dunia ini,” ucap Qalbi dengan nada emosional.
Mufied tak bergeming mendengar kata-kata Qalbi. Dia hanya pasang wajah melongo seolah-olah baru mendengarkan kalimat seperti itu, padahal di dalam hatinya bergumam geram dengan kata-kata murahan itu.
“Bocah udah gedenya segitu kok baru tahu bagaimana rasanya hati yang sakit, padahal dulu di zaman kuliah bab tentang qalbu sudah dibahas tuntas,”.
Mufied sengaja tak mau menimpali kata-kata Qalbi supaya tak ada curhat di antara mereka sore menjelang maghrib hari ini. Mufied menyibukkan diri dengan laptopnya sembari membuka internet.
Maghrib tiba, senja telah berlalu dan hari mulai gelap. Syahdunya alunan suara adzan memanggil menutup siang menjemput malam mengajak hambaNya mengevaluasi aktifitas seseorang sejak bangun tidur hingga sore hari dengan cara sujud menyembah memohon ampunan dari segala kesalahan sekaligus menjadikannya sebagai bahan renungan untuk kemudian melakukan kebaikan lagi di esok hari.
Mufied beranjak, Qalbi pun demikian. Mereka menuju musholla di warung kopi yang memang tersedia. Keduanya tampak larut dalam sujud dan beribu-ribu doa yang dipohonkan.
Dari gelagatnya, Qalbi memang tampak sedang patah hati. Dia tak mampu menyembunyikan gelagat dan raut wajahnya yang agak tak bersemngat dan kusam, tampak sedang putus asa. Suatu keadaan yang tak pernah dipercaya oleh Mufied karena setahunya selama bersahabat Qalbi adalah sosok periang, bahkan terkenal cerewet.
Tetapi hari ini, baru pertama kali berjumpa setelah lulus kuliah dua tahun silam, warung kopi favorit yang kerap ditongkrongi kedua sahabat ini seperti jadi saksi bisu bagi Mufied akan perubahan drastis dari sosok Qalbi. Wajahnya kusut, pucat pasi dan sudah tampak tak cantik lagi. Mufied sebenarnya ingin membuang muka melihat wajah Qalbi yang dianggapnya sudah layu itu. Ia jelas tak senang dengan keadaan Qalbi yang sekarang, sudah tak seperti dulu.
Dulu, kenang Mufied, Qalbi merupakan sosok perempuan idaman. Wajahnya cantik, periang, murah senyum, ramah, akrab, dan tentunya cerdas. Namun, sejak dulu kekaguman Mufied akan sosok Qalbi hanyalah sebatas sebagai seorang sahabat dan bahkan tak pernah terbesit untuk menjadikannya seorang kekasih. Bahkan hingga kini, Mufied masih punya perasaan yang sama, tak sedikit pun berubah.
Setelah dua tahun terpisah, perjumpaan kali ini seperti mengusik rasa penasaran Mufied. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang menimpa Qalbi mulai berkecamuk di dalam pikirannya. Qalbi kini tampil murung.!
Rasa penasaran Mufied terjawab. Ia ingat dengan celotehan Qalbi tadi yang mengatakan sakit hati adalah kesakitan yang tiada tandingannya di muka bumi. Rasa penasaran Mufied tersebut makin menjadi-jadi, mengganggu aktifitasnya yang sejak tadi berselancar di dunia maya bernama internet. Dihentikannya seketika aktifitasnya. Laptopnya disingkirkan. Posisi duduk dirubah menghadap ke depan Qalbi. Seketika itu Qalbi terperanjat tetapi berusaha tetap bersikap cuek tak menghiraukan Mufied yang menatapnya penuh tanya.
“Nggak usah sok cuek deh,” celetuk Mufied sambil menatap tajam ke wajah Qalbi.
Mufied tampak serius dengan celotehan singkatnya itu. Qalbi tetap mencoba tak bergeming, berpura-pura sibuk dengan androidnya.
“Heh!,” cetus Mufied agak membentak.
Lagi-lagi Qalbi tak bergeming.
“Aku pinjem androidnya dong bi,” bujuknya.
Qalbi memberikannya. Mufied berniat membuka android tersebut melainkan meletakkannya di atas laptop di samping kanannya. Qalbi sepertinya sudah tahu jika Mufied ingin bertanya sesuatu kepada dirinya sehingga wajahnya disodorkan tepat di depan Mufied di mana keduanya duduk berseberangan di antara satu meja dan dua kursi. Qalbi di sebalah barat, Mufied di sebelah timur.
Belum sempat mengajukan pertanyaan, Qalbi sudah mendahului.
“Mau tanya aja fied?,” tanyanya cepat.
Dalam hati, Mufied geram. Sikap Qalbi yang seolah-olah tak pernah sesuatu terjadi pada dirinya membuat Mufied makin geram. Mufied tak suka Qalbi berbohong, karena ia hanya ingin melihat sahabatnya itu tak dirundung duka. Bagi Mufied, sikap ini adalah salah satu komitmen sebagai seorang sahabat.
Qalbi masih menanti jawaban dari Mufied dengan menebar senyum yang tampak dipaksakan.
“Kamu mau curhat fied? Sini... sini cerita ke aku, siapa tau aku punya ide untuk dijadikan solusi,” Qalbi meledek.
Mufied menjawab ledekan Qalbi dengan diam. Diam saja. Ia menunggu waktu yang tepat untuk buka suara, sampai Qalbi tak bersikap cengengesan seperti itu.
Setelah ditatapnya Qalbi agak lama, barulah Mufied buka suara.
“Selama aku kenal kamu bi, aku nggak pernah melihat kondisimu yang menurutku telah mengalami perubahan drastis setelah dua tahun belakangan ini,” ujar Mufied.
Qalbi mendengarkan secara seksama dan tak terlihat ingin memotong omongan Mufied. “Kamu ini dari tadi tak liat kok aneh sikapmu, wajahmu kusam, matamu merah, bibirmu pecah-pecah, rambutmu kusut. Itu coba lihat jerawatmu bikin kulit pipimu tambah jelek,” Mufied bicara sambil meledek tapi tampak serius.
Qalbi menjulurkan lidah, melet mendengar deskripsi Mufied tentang penampilannya tersebut. Mufied semakin geram.
“Kerudungmu mana kerudungmu?,” tanya Mufied meminta penjelasan.
“Dalem tas, itu!,” sahutnya singkat.
Mufied hanya mengangguk dan tak berniat melihat ke dalam isi tas tersebut. Rasa penasaran Mufied belum kunjung terjawab, ia melihat Qalbi masih belum ingin membuka suara, menceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi pada dirinya. Ia berusaha sekeras mungkin agar sahabatnya itu mau menjelaskan kepadanya tentang sesuatu hal yang telah merombak total sikap dan penampilan Qalbi, sekalipun sesuatu hal itu bersifat privacy. Dan Mufied sadar, selama bersahabat dengan Qalbi, baru kali ini ia ingin tahu tentang persoalan pribadi sahabat karibnya tersebut.
Entah apa alasannya sikap Mufied yang tiba-tiba muncul ini, tetapi dalih sementara Mufied ialah tak suka dengan sikap serta penampilan Qalbi yang dianggapnya tak sesuai dengan jati diri Qalbi. Qalbi sosok cerdas, dewasa, mengerti banyak hal tentang dinamika hidup, juga merupakan sosok individu yang selalu rasional dalam memandang hidup. Itu falsafah hidupnya yang selama ini Mufied ketahui dari sosok Qalbi Muthmainna. Tetapi kali ini, batin Mufied, sikap dan penampilan yang dipertontonkan Qalbi di hadapannya tak sesuai dengan kandungan doa di balik namanya. Qalbi Muthmainna “Hati yang tenang”.
Demi mencairkan suasana, berharap Qalbi mau terbuka, Mufied mengajaknya sholat isya berjamaah di musholla lagi. Kedua sahabat karib itu segera beranjak menuju musholla yang terletak di timur warung kopi.
Selesai menunaikan isya, keduanya kembali ke posisi semula tanpa android dan laptop. Keduanya belum membuka obrolan lagi, namun dari sikapnya tampak Qalbi ingin segera memulai. Mufied memang berharap Qalbi curhat. Sebagai seorang yang paham betul tentang psikologi, Mufied ingin tampil sebagai penasehat, karena merasa telah berpengalaman menghadapi persoalan orang lain. Mufied pernah menjadi psikolog sebaya semasa kuliah.
Mufied tampak tak sabar, ingin segera tahu masalah yang menimpa Qalbi. Ia putuskan tuk terlebih dahulu membuka obrolan. Mungkin perlu dipancing, batin Mufied. Ia pun mulai bicara tentang pengalaman kerjanya di Jakarta sebagai seorang jurnalis selama dua tahun belakangan.
Cerita Mufied berhasil mencairkan suasana yang kaku di antara keduanya. Banyak hal yang di-share Mufied kepada Qalbi, bahkan di antara cerita panjang lebar Mufied itu, Qalbi sesekali tertawa, sesekali berkomentar sehingga suasana makin cair.
“Ya begitu itu pengalamanku selama jadi jurnalis di Jakarta, banyak kejadian-kejadian lucu yang aku sendiri aja pengen ketawa kalau nginget-nya,” simpul Mufied sembari tersenyum lebar.
“Dari dulu fied, kamu itu nggak berubah-berubah, selalu kandas di tengah jalan. Itu lagu lama,” kata Qalbi mengkomentari Mufied yang harus terkena pecat karena jarang ke kantor selama bekerja.
“Hahaha. Namanya juga nyari pengalaman kerja, jadi nggak selamanya harus fokus di satu tempat,” ucap Mufied beralibi.
“Kamu gimana pengalamanmu bi?,” tanya Mufied berharap Qalbi memulai ceritanya dari pertanyaan ini.
Qalbi tampak agak ragu-ragu ingin bercerita tentang pengalamannya selama bekerja di Bandung. Dia bekerja di sebuah bank swasta sebagai teller.
“Kalau aku sih lancar-lancar aja kerjaanku karena aku memang fokus bekerja di situ,” ujarnya memuji diri.
Mufied membiarkan Qalbi bercerita, menunggu pernyataan yang dapat dijadikannya sebagai ‘bahan’ agar Qalbi mau angkat biacara tentang masalah yang sebenarnya.
“Kamu sih enak bi, kerja di dalam kantor, lha aku di lapangan pusing mondar mandir kesana kemari mendatangi sumber informasi untuk bahan berita,” Mufied menimpali.
“Fokus aja di situ kalau udah merasa enak bekerjanya. Soalnya kamu tau sendiri betapa susahnya mendapatkan pekerjaan,” sambung Mufied.
“Iya sih,” sahut Qalbi dengan nada berat.
“Yes!,” teriak Mufied dalam hati. Akhirnya ia mendapatkan ‘bahan’ yang memang sejak tadi dicarinya lewat cerita Qalbi.
Kalimat ‘iya sih’ yang terasa sangat berat diucapkan Qalbi menunjukkan sesuatu hal yang telah terjadi pada dirinya. Kalimat itu kemudian menjadi sumber terbukanya Qalbi terhadap masalah yang sedang manimpa dirinya, biang kerok perubahan drastis dari sikap dan penampilannya. Mufied tak mau mensia-siakannya.
Seperti mendengar teriakan hati Mufied, Qalbi menarik nafas panjang, dia pun bilang ingin bercerita tentang masalah yang sedang menimpanya. Mufied lega.
“Jadi begini fied........,” Qalbi bercerita dari awal.
“Selama kuliah di Yogyakarta ini, aku menjalin hubungan dengan lelaki bernama Firman. Pada hari lebaran dia dan orangtuanya datang ke rumah dengan maksud melamarku. Oleh kedua orangtuaku, lamaran itu langsung diterima mengingat Firman tak lain tak bukan adalah pacarku sejak SMA, dan sudah kenal baik dengan keluarga sejak dulu,” ungkap Qalbi.
“Aku tak menampik kalau aku memang masih mencintainya, begitu pun dia,” ujar Qalbi.
“Orangtuaku tak menolak lamaran itu, otomatis aku. Orangtuaku beralasan karena lelaki itu adalah sedaerah denganku, sehingga tak perlu mencari orang jauh, lebih-lebih jika di luar pulau Jawa. Aku pun berpikiran sama dengan kedua orangtuaku fied,” kisahnya.
Mufied hanya mengangguk dan mendengarkan cerita Qalbi secara seksama.
Namun, lanjut Qalbi, dirinya dengan Firman harus berpisah dulu karena masih sama-sama melanjutkan studi, kuliah di kota yang berbeda, Firman di Bandung sedangkan Qalbi di Yogyakarta.
“Tetapi setelah kami sama-sama jauh, hubungan kami nggak jelas, komunikasi jarang karena berjauhan. Aku nggak mau ambil pusing, bahkan nyaris lupa dengan dia. Ketidakjelasan hubungan kami semakin tegas setelah aku dengar dia sudah punya pacar lagi,” lanjut Qalbi.
“Terus?,” tanya Mufied penasaran.
“Mendengar dia udah punya pacar lagi, aku sakit hati, bahkan nyaris aku bunuh diri!,” ucap Qalbi dengan nada sedih.
“Masyaallah!,” sahutku spontan.
Qalbi menarik nafas panjang. Tampak dia sesak saat bercerita, namun dia tetap melanjutkan ceritanya. Mufied setia menjadi pendengar yang baik.
“Namun, aksiku itu digagalkan seseorang lelaki bernama Syah. Kami memang sudah lama kenal namun hanya sebatas teman meski dia pernah mengucapkan perasaan sukanya sama aku. Kami berteman saja. Tapi kali ini dia menolongku, mengangkat mentalku hingga akhirnya aksi bunuh diri itu batal!,” sambung Qalbi.
Diceritakan Qalbi, Syah, lelaki yang menggagalkan aksi bunuh diri Qalbi adalah orang luar pulau Jawa. Ya, Kalimantan. Bagi Qalbi, Syah merupakan sosok pria yang baik dan dewasa, pun sudah bekerja. Namun diakui Qalbi, hubungannya dengan Syah terjadi begitu saja, bisa disebut mereka telah berpacaran, meskipun Qalbi mengakui jika perasaannya dengan Syah susah untuk dijelaskannya.
“Suka ada, tetapi tak sepenuhnya, sebab masih berharap kepada Firman,” aku Qalbi.
Harapan hanya tinggal harapan. Qalbi mencoba kumpulkan berbagai daya dan upaya agar Firman bisa kembali ke pelukannya.
“Aku sadar, sikap kayak begini hanya akan menghancurkan perasaan Syah, tetapi perlahan aku punya perasaan besar sama dia,” ungkap Qalbi.
Empat bulan berlalu. Qalbi mengaku sudah mulai merasa nyaman bersama Syah. Perlahan, kata Qalbi, dirinya perlahan sudah mulai mengikis bayangan Firman dari ingatannya.
Qalbi menarik nafas panjang. “Hhhhaaah!,” desahnya. Mufied masih terus mendengar dan memahami cerita Qalbi.
“Di saat aku sudah mulai melupakan Firman, tiba-tiba dia menghubungiku mengajak bertunangan, aku kaget bukan kepalang,” cerita Qalbi.
Qalbi mengaku situasi semakin sulit karena antara orangtuanya dengan orangtua Firman bahkan telah sepakat menentukan hari pertunangan mereka. Situasi kian runyam karena Syah menyatakan ingin segera menikahi dirinya dalam waktu dekat, sementara orangtua Qalbi sudah terlanjur menerima Firman. Bahkan, Qalbi mengakui jika dirinya tak kuasa menolak keinginan kedua orangtuanya serta tak mungkin membangkang. Di satu sisi, kata Qalbi, tak dapat dipungkiri jika dalam hatinya terdalam masih sangat berharap dengan Firman. Qalbi bimbang.!
“Aku bimbang banget fied,” ujarnya.
“Sudah istikhoroh?,” tanya Mufied.
Qabli mengangguk.
“Dapat hasilnya?,” tanya Mufied mengejar.
Qalbi hanya diam. Dari gerak-geriknya, tampak jika dirinya lebih condong kepada Firmansyah ketimbang Syahreza.
“Aku tahu jawabannya. Bi, kamu lebih condong kepada Firman kan?,” tanya Mufied menebak.
Tanpa suara, Qalbi hanya mengangguk membenarkan tebakan Mufied. Bantin Mufied, Qalbi amat pantas mendapatkan lelaki terbaik dari dua lelaki baik, tetapi hanya Allah lah yang punya kuasa akan jawabannya. Dan akhirnya, pilihan Qalbi jatuh kepada Firman yang dianggapnya memperoleh dua alasan. Pertama, Qalbi masih mencintainya dan kedua, kedua orangtuanya inginkan Qalbi punya suami dari satu daerah dengan dirinya. Sementara Syah hanya memperoleh satu alasan saja yakni lelaki yang juga Qalbi cintai.
“Lalu, apa alasanmu kepada Syah?,” tanya Mufied.
“Dengan alasan kehendak dan restu kedua orangtuaku, akhirnya aku pilih meninggalkan Syah, dan aku memberikan pengertian kepadanya,” jawab Qalbi.
Mufied terdiam sejenak. Terbayang dalam fikiran Mufied betapa sulitnya pilihan yang dihadapi oleh sahabat karibnya tersebut. Namun Qalbi menceritakan jika Syah memang sempat mengakui kekecewaanya. “Kedewasaan Syah mengalahkan egonya fied,” cetus Qalbi.
“Maksudnya?,” tanya Mufied.
“Maksudnya, ya Syah menerima alasanku secara dewasa. Bahkan dia sempat mengatakan jika dia tak menyalahkan sesiapapun dalam hal ini, dia mengerti dan menerima dengan lapang dada. Aku pun meminta maaf kepadanya, dan jangan membenciku,” kata Qalbi menjelaskan sikap Syah.
“Hmmmmm, lelaki sejati,” puji Mufied.
Qalbi menangis. Mufied berusaha menghiburnya.
“Sudah... sudah, kamu sudah benar bi, aku mendukung keputusanmu, dan aku yakin Syah pun juga demikian meski dia kecewa tetapi kedewasaannya mengalahkan segalanya,” Mufied menasehati.
Setelah Mufied menasehati demikian, Qalbi menangis sejadi-jadinya. Karena situasi warung kopi ramai, Mufied meengajak Qalbi pindah ke lain tempat yang lebih sepi.
Akhirnya Mufied dan Qalbi berhenti di alun-alun utara Yogyakarta. Meski tak lekang dari keramaian, tetapi tempat tersebut lebih luas. Kalau pun Qalbi harus kembali menangis, pikir Mufied, setidaknya luasnya alun-alun dapat mengaburkan pandangan orang lain tentang air matanya.
Qalbi tampak agak leluasa bercerita karena Mufied meyakini ceritanya belum selesai. Karuan saja, Mufied benar, Qalbi masih menyimpan cerita lanjutan tentang kisah yang memukul psikisnya tersebut.
Dari matanya, Qalbi tampak sedang menyimpan tangisan lainnya. Di depan sebuah angkringan, kedua sahabat karib itu duduk di atas tikar kecil, dua gelar susu jahe, empat bungkus nasi kucing.
Kali ini kedua kawan lama itu duduk sejajar sambil menghadap ke tengah lapangan alun-alun. Sesekali Mufied menatap ke langit sembari melemparkan kalimat-kalimat bijak berbau nasehat yang ditujukan kepada Qalbi. Qalbi memilih diam, sementara Mufied mencoba menyimpulkan kejadian dari kisah yang telah diutarakan Qalbi tadi saat di warung kopi.
Mengutip kalimat dari Paulo Coelho, Mufied berucap kalimat fisolsofis bahwa apabila kamu hendak tahu ke mana arah yang ingin dituju, maka sebaiknya kamu terlebih dahulu harus tahu di mana dirimu sedang berada atau berpijak. Kata per kata Mufied menjelaskan maksud dari kalimat bijak dari novelis asal Brasil tersebut. Hingga akhirnya Mufied sampai pada sebuah kesimpulan yang dibuatnya sendiri, katanya terpenting dari semua hal yang kita kerjakan dan kita usahakan adalah sebuah harapan di mana cinta dapat menerimanya dengan segenap keikhlasan.
Kalimat kedua ini Mufied merasa tak perlu menjelaskannya karena ia yakin Qalbi terlalu cerdas untuk sekadar memahaminya, atau setidaknya Qalbi bergumam di dalam hatinya sendiri bahwa kalimat itu hanyalah bagian dari kebodohan seorang Mufied sang jurnalis belaka. Hahahahaha.!!
Malam semakin larut. Kedua sahabat karib itu belum beranjak pula. Suasana alun-alun perlahan mulai tampak sepi ditinggal para pengunjungnya.
“Ayo cerita lagi, masih ada penggalan cerita yang belum selesai itu tadi bi,” pinta Mufied kepada Qalbi yang sejak tadi terdiam tanpa bicara sepatah katapun.
“Aku udah ngambil dua keputusan yang sama-sama salahnya dalam hidupku fied, atau bahkan tiga,” jawab Qalbi.
“Apa itu?,” tanya Mufied.
“Pertama, aku mutusin Syah dengan alasan yang sebenarnya ngada-ngada. Kedua, memilih Firman dengan alasan karena direstui orangtua, dan ketiga, meninggalkan pekerjaanku hanya karena merasa sudah bertunangan. Dan kesemuanya itu gagal total!,” papar Qalbi emosional.
Mufied menangkap aroma tak sedap dari pengakuan sahabatnya itu. Tiga kesalahan? Tinggalkan Syah salah? Pilih Firman salah? Meninggalkan pekerjaan? Tiga hal yang menjadi pertanyaan besar yang menggurita di dalam otak Mufied. Terus yang benar yang mana? Masa sih seorang Qalbi Muthmainna gegabah dalam membuah suatu keputusan? Qalbi, sosok perempuan idaman setiap kaum Adam, kini sedang terkulai lemah tak berdaya sedang duduk di sampingnya, suatu kondisi yang sama sekali tak pernah ia temui dari seorang Qalbi selama yang ia kenal bertahun-tahun.
“Oke lah, coba kamu ceritakan yang kedua saja, tampaknya itu jadi pertanyaan besarku,” Mufied meminta.
Qalbi menarik nafas dalam-dalam. Dia berusaha untuk tak lagi mengeluarkan airmatanya, dan Mufied mengaku tak terbiasa melihat sahabatnya menangis.
“Begini fied, setelah aku dan Firman bertunangan, kami belum menentukan kapan akan menikah. Dia meyakinakanku dalam waktu dekat akan segera, tetapi setelah dua bulan berlalu, dengan alasan tempat tugasnya dipindah lantas dia meminta waktu lagi. Anehnya, setelah tempat tugasnya sudah fiks, dia justru sama sekali tak memberitahuku, aku malah tahunya dari mitranya. Dan kabarnya, menurut pengakuan rekan-rekan kerjanya, Firman sedang menjalin hubungan dengan seorang perawat. Dan hal itu dipertegas dua minggu lalu perawat yang dimaksud mengirim pesan ke aku lewat sms meminta agar meninggalkan Firman karena mereka akan segera menikah dalam waktu dekat. Aku konfirmasi akan kebenarannya ke orangtuaku dulu, ternyata mereka tak tahu, orang tua Firman nggak bisa dihubungi dan jarang di rumah, begitu pula Firman sudah tak ada kabarnya sejak dua bulan belakangan. Pernah suatu hari aku diantarkan temanku ke tempat tugas Firman, dan benar adanya jika dia telah berhubungan dengan perempuan lain. Di saat yang sama, kami bertengkar hebat dan singkatnya kami memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri sekaligus membatalkan pertunangan kami atas kesepakatan berdua tanpa sepengetahuan orang tua, kecuali setelahnya aku memberitahukan hal ini kepada kedua orangtuaku. Aku syok, begitu pula kedua orangtuaku,” jelas Qalbi panjang lebar.
Sekali lagi, Qalbi tak dapat membendung airmatanya. Pipinya basah kuyup karena airmatanya dan Mufied sepertinya sengaja membiarkan tangisan itu. Qalbi mengungkapkan kejadian itu baru satu bulan belakangan ini, dan sejak saat itu Qalbi mengaku seperti kehilangan arah hingga akhirnya dia memutuskan main ke Yogyakarta sekaligus berjumpa dengan Mufied, sahabat lamanya. Karuan saja, setelah bertemu, kisah pilu Qalbi tumpah ruah di hadapan Mufied sendiri, dan Qalbi yakin Mufied adalah sahabat yang mau mendengarkan keluh-kesahnya.
Sebagai seorang sahabat, tentu saja Mufied welcome untuk sekadar mendengarkan keluh-kesah Qalbi. Mufied dikenal Qalbi sebagai sosok yang sederhana dan bijak dalam mengambil suatu keputusan, lebih-lebih kalau hanya sekadar menasehati. Lalu, apa kata Mufied?
Salah membuat sebuah keputusan dapat berdampak pada langkah keputusan selanjutnya. Oleh karena itu, ujar Mufied, jika ingin mengambil sebuah keputusan terpenting untuk sebuah pilihan memang sebaiknya seseorang tahu dulu posisinya sedang berada di mana, jika sedang berada di depan maka keputusan hanya satu melangkah ke depan, bukan mundur ke belakangan. Sebab, dalam dinamika kehidupan, belakang adalah sejarah dan sejarah fungsinya hanya dua, sebagai hiburan dan suatu pelajaran (ibroh). Jika kembali ke belakangan hanya untuk mengulang sejarah, itu merupakan kebodohan dan kemunduran, dan jika alasan ke belakang karena ingin menebus suatu perbuatan yang dianggap dosa, maka dosa itu bukan urusan manu-manusia dan perbuatan adalah tanggungjawab masing-masing individu. Adapun cara mempertanggungjawabkan perbuatan itu tak lain tak bukan hanya dengan kejujuran. Berlapangdada dan ikhlaskanlah sobat!
Mufied memberikan banyak nasehat penting untuk menguatkan Qalbi. Kuat atau tidaknya Qalbi tergantung diri Qalbi sendiri.
“Terus, setelah ini apa rencanamu bi?,” tanya Mufied lirih.
“Aku mau menata hatiku dulu fied, setelah itu aku akan kembali menjadi diriku sendiri,” jawab Qalbi mantap.
“Kuat dan bangkitlah, lalu rubah segalanya dan sejak sekarang hal ini harus ada di dalam pikiranmu. Jalan terbaik untuk menjadi manusia sejati adalah menjadi diri sendiri. Janga menyalahkan orang lain sebelum melihat diri sendiri. Cinta dan kebebasan adalah dua hal yang harus selalu beriringan. Jika ingin cinta sejati, maka bebaskanlah dirimu terlebih dahulu,” nasehat Mufied.
“Thank you banget deh Mufied. Aku simpatik padamu. Semoga saja rasa sakit di hatiku ini segera terobati, aku berharap itu segera,” ucap Qalbi.
“Kamu sudah memikirkan cara dan obatnya?,” tanya Mufied.
Sambil menatap tajam ke arah Mufied, Qalbi menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda belum memikirkan jawabannya. Qalbi mengaku tak tahu apa yang mesti diperbuat, dan menurutnya sakit hatinya ini sudah berada di titik nadir karena sudah kesekian kalinya.
Sambil berdiri, Mufied mengucapakn sebuah kalimat yang membuat Qalbi tercengang serta sumringah. “Andai kau mengizinkan, akan ku kecup luka di hatimu,” ucap Mufied sembari menatap ke langit tinggi.
Qalbi tampak tersipu malu. Mungkin hatinya kini menjadi berbunga-bunga setelah mendengar ucapan Mufied. Qalbi pun segera berdiri, bersiap memeluk Mufied dari belakang. Sayang, gelagat Qalbi terbaca oleh Mufied. Ketika Qalbi bergerak pelan-pelan mendekati Mufied, seketika itu pula Mufied membalikkan badan menyentak gerak Qalbi yang ingin memeluknya lalu berkata, “Sayangnya, aku orang pulau seberang!,” Mufied berlari ke tengah-tengah lapangan alun-alun sembari tertawa.
Qalbi cemberut, lalu dengan gaya sebal dia mengejar Mufied dan memeluknya. Pelukan sebagai seorang kekasih.!!!#The End