Wednesday, 17 July 2013

Bagian X


Pulang Ke Jogja
Tidurku sangat pulas.
Dan tak terasa bus jurusan Surabaya-Jogja sudah sampai di kawasan Jogja setelah melewati Klaten, Jawa Tengah. Aku lantas memberitahukan kepada kondektur bahwa Aku akan turun di Janti. Tak butuh waktu lama, bus sudah berhenti di Janti dan Aku segera turun, menghampiri becak untuk mengantarkan Aku ke kost yang letaknya tidak terlalu jauh. Sampai di kost, Aku memutuskan untuk melanjutkan tidur kembali.
Waktu berlalu begitu cepat.
Aku sibuk berkutat dengan kesibukanku menulis artikel dan novel untuk mengisi hari-hariku yang kosong. Hingga hari ini Aku belum mendapatkan pekerjaan tetap sebagai sandaranku dan memanfaatkan titel sarjana yang telah Aku sandang.
Untuk mengisi aktivitasku yang kosong, Aku menulis artikel, menulis novel dan mengedit naskah buku. Aku sengaja menyibukkan diri agar hari-hariku terisi dengan sebuah pekerjaan yang sekiranya dapat memberikan manfaat, setidaknya manfaat buat diriku sendiri.
Tanpa Aku sadari, Aku telah kehilangan sosok Mazra selama dua minggu setelah terakhir Aku menemuinya di Surabaya tempo hari. Setelah itu, dan sampai detik ini Aku belum punya keinginan untuk menceritakan peristiwa itu kepada Hatima, lagi pula dia sedang sibuk dengan urusan akademiknya. Aku tak mau menganggunya, setidaknya sampai akhir bulan ini.
Hari-hari Aku ditemani oleh Fida dan Jis. Mereka sering mengajak nongkrong di warung kopi, terutama di malam harinya. Selama sebulan belakangan Aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap karena sangat sulit. Lowongan kerja memang sangat banyak, tetapi persyaratan yang dibuat oleh beberapa perusahaan juga sangat sulit Aku tembus. Sampai akhirnya Aku memutuskan untuk menjadi editor freelance yang dibayar dengan bayaran editor pada umumnya. Bagiku, bayaran untuk seorang editor naskah buku di Jogja sangat minim, bahkan dapat dikatakan tidak sesuai dengan tenaga dan pikiran yang harus dikeluarkan. Pikirku, dunia kerja adalah bukti nyata praktek eksploitasi jasa manusia yang feedback-nya tidak seimbang dengan jasa atau tenaga yang dikeluarkan. Dunia kerja memang kejam.!
Di suatu pagi, Hatima mendatangi tempat persemayamanku, kost. Dia membawakan makan lengkap dengan air minumnya serta beberapa makanan ringan di dalam kantong plastik besar.
Hatima menghampiriku yang sedang berhadapan dengan laptop. Aku sedang mengedit sebuah naskah pesanan seorang dosen yang rencananya akan naik terbit menjadi sebuah buku. Naskah ini merupakan hasil penelitian dosen tersebut yang mengangkat wacana tentang kelautan Indonesia.
Melihat Hatima, Aku menghentikan aktivitasku dan mempersilahkannya duduk.
“Makan yuk”, ajaknya.
Tanpa berpikir dan sungkan, Aku memenuhi mengiyakannya karena memang perutku terasa sangat lapar. Kami pun makan.
Setelah makan, Aku dan Hatima berbincang-bicang ringan tentang aktivitas masing-masing. Dan di sela-sela obrolan kami, Hatima meminta bantuanku menuliskan sebuah makalah, tugas perkuliahan. Tugas tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kami selesaikan. Dia berterima kasih atas bantuanku.
“Eh, ngomong-ngomong bagaimana dengan masalahmu, sudah kelar?”, tanya Hatima santai.
Aku mencoba mengalihkan pertanyaannya dengan mengajaknya untuk kembali memeriksa makalahnya yang telah kami selesaikan siapa tahu ada yang salah. Pikiran Hatima pun teralihkan. Padahal, sebenarnya tidak ada kesalahan apa-apa di makalahnya tersebut. Hanya saja, Aku memang tak ingin Hatima mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi antara Aku dan Mazra di Surabaya tempo hari.
“Haha, kamu mencoba mengalihkan pertanyaanku ya”, cetusnya sambil tertawa.
Hatiam sadar pertanyaanya berhasil Aku alihkan. Aku pun ikut tertawa. Hatima mencubit tanganku geram karena merasa pertanyaannya tidak Aku hiraukan dan malah justru mengalihakannya.
Hatima kemudian memintaku untuk menceritakan hasil dari petualanganku ke Surabaya menemui Mazra. Karena Hatima mendesak, maka Aku pun tidak dapat menolak permintaannya.
Kemudian Aku ceritakan kepadanya tentang perjalananku ke Surabaya sampai Aku datang ke rumah Mazra. Aku juga menceritakan kepada Hatima mengenai keadaan yang terjadi di rumah Mazra, di mana Aku merasa menjadi orang terdakwa dalam sebuah sidang.
Hatima mendengarkan ceritaku dengan seksama. Sesekali dia menatapku iba, karena Aku hampir saja meneteskan airmata, tapi untung airmata itu tidak sampai jatuh karena Aku berusaha sekuat tenaga menahannya agar tidak tumpah. Aku tentu malu jika Aku sampai menangis meratapi kisah lara yang menimpa jiwaku ini.
Dengan sikap empatik, Hatima mengungkapkan bahwa dirinya turut bersedih mendengar ceritaku. Dia berusaha menguatkanku dengan berbagai nasehat, motivasi serta masukan yang ia berikan kepadaku.
Hatima terlihat sebagai sosok pendengar yang baik. Dia tidak mencecariku dengan berbagai pertanyaan yang seharusnya banyak yang perlun dipertanyakan, tapi ia menahannya.
Namun Hatima bertanya apakah Aku melakukan apa yang menjadi sarannya saat sebelum Aku pamit berangkat ke Surabaya.
“Di dalam situasi yang serba kalut, Aku teringat dengan pesanmu Tim, bahwa Aku harus mendahulukan pikiran ketimbang ego”, tuturku.
Hatima tersenyum manis mendengar pengakuanku.
“Aku sendiri merasa sangat tertolong oleh saranmu tempo hari, sehingga pada akhirnya Aku bisa berbesar hati dan mengikhlaskanya”, lanjutku.
Hatima mengangguk bangga.
“Ya sudah. Aku mengerti apa yang kamu rasakan sobat”, dia menguatkanku.
“Aku tau kamu orang yang kuat menghadapi berbagai masalah, termasuk masalah ini. Jadi, tak ada pilihan lain bahwa pelajaran dan hikmahnya saja yang dibutuhkan agar kamu dapat tetap berpikir sehat”, ujarnya menasehati.
Aku tersenyum mendengar nasehat Hatima.
“Ya sudahlah Tim mau diapakan lagi ‘kan?”, Aku menimpali.
Dengan nada tegas Aku berkata bahwa Aku sudah mengikhlaskan segalanya, toh jodoh juga Tuhan yang menentukan, kita hanya bisa berusaha semampunya. Kita mencoba menciptakan sebuah takdir, tapi takdir pulalah yang akan menjawabnya.
Selain itu, Aku berusaha memperlihatkan kepada Hatima bahwa hal ini sudah tidak lagi menjadi bahan pikiranku, atau bahkan mungkin Aku telah melupakannya.
Di sela-sela obrolan kami, Hatima justru mengajak bercanda lalu spontan berkata;
“Patah hati itu obatnya ya jatuh cinta lagi.!”, dia tertawa lebar.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Hatima pamit pulang karena mendung sudah bergelayut. Hatima pun bergegas pulang dan Aku kembali melanjutkan editanku yang tadi sempat terhenti.
Tak lama kemudian hujan benar-benar turun sangat deras menyetubuhi bumi yang sejak tadi terasa panas. Aku menghentikan pekerjaanku dan memilih berdiam diri sambil membaringkan badan di atas kasur hingga Aku tertidur.
Saat Aku terbangun, hujan sudah berhenti. Bumi basah kuyup dan air bergelimangan di halaman kost. Kemudian Aku beranjak mandi karena Jis sebentar lagi akan datang menjemput untuk ajak Aku ngopi.
Setelah Jis datang, kami berdua pun berangkat ke warung kopi Mato. Kopi sore ini memang benar-benar terasa nikmat, terlebih cuaca dingin setelah hujan turun seakan menjadi pelengkap kenikmatan kopi manis yang menjadi favoritku di kedai langganan ini.
Kami nongkrong hingga malam. Dan suasana Mato semakin hangat membuat diri seakan tak ingin beranjak. Canda tawa bertaburan di setiap sudut kedai kopi Mato yang semakin malam justru tampak semakin ramai.#
Disqus Comments