Pulang Ke Jogja
Tidurku sangat pulas.
Dan tak terasa bus jurusan Surabaya-Jogja sudah sampai
di kawasan Jogja setelah melewati Klaten, Jawa Tengah. Aku lantas
memberitahukan kepada kondektur bahwa Aku akan turun di Janti. Tak butuh waktu
lama, bus sudah berhenti di Janti dan Aku segera turun, menghampiri becak untuk
mengantarkan Aku ke kost yang letaknya tidak terlalu jauh. Sampai di kost, Aku
memutuskan untuk melanjutkan tidur kembali.
Waktu berlalu begitu cepat.
Aku sibuk berkutat dengan kesibukanku menulis artikel
dan novel untuk mengisi hari-hariku yang kosong. Hingga hari ini Aku belum
mendapatkan pekerjaan tetap sebagai sandaranku dan memanfaatkan titel sarjana
yang telah Aku sandang.
Untuk mengisi aktivitasku yang kosong, Aku menulis
artikel, menulis novel dan mengedit naskah buku. Aku sengaja menyibukkan diri
agar hari-hariku terisi dengan sebuah pekerjaan yang sekiranya dapat memberikan
manfaat, setidaknya manfaat buat diriku sendiri.
Tanpa Aku sadari, Aku telah kehilangan sosok Mazra
selama dua minggu setelah terakhir Aku menemuinya di Surabaya tempo hari. Setelah
itu, dan sampai detik ini Aku belum punya keinginan untuk menceritakan
peristiwa itu kepada Hatima, lagi pula dia sedang sibuk dengan urusan
akademiknya. Aku tak mau menganggunya, setidaknya sampai akhir bulan ini.
Hari-hari Aku ditemani oleh Fida dan Jis. Mereka
sering mengajak nongkrong di warung kopi, terutama di malam harinya. Selama
sebulan belakangan Aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap karena sangat
sulit. Lowongan kerja memang sangat banyak, tetapi persyaratan yang dibuat oleh
beberapa perusahaan juga sangat sulit Aku tembus. Sampai akhirnya Aku
memutuskan untuk menjadi editor freelance yang dibayar dengan bayaran editor
pada umumnya. Bagiku, bayaran untuk seorang editor naskah buku di Jogja sangat
minim, bahkan dapat dikatakan tidak sesuai dengan tenaga dan pikiran yang harus
dikeluarkan. Pikirku, dunia kerja adalah bukti nyata praktek eksploitasi jasa
manusia yang feedback-nya tidak seimbang dengan jasa atau tenaga yang
dikeluarkan. Dunia kerja memang kejam.!
Di suatu pagi, Hatima mendatangi tempat
persemayamanku, kost. Dia membawakan makan lengkap dengan air minumnya serta
beberapa makanan ringan di dalam kantong plastik besar.
Hatima menghampiriku yang sedang berhadapan dengan
laptop. Aku sedang mengedit sebuah naskah pesanan seorang dosen yang rencananya
akan naik terbit menjadi sebuah buku. Naskah ini merupakan hasil penelitian
dosen tersebut yang mengangkat wacana tentang kelautan Indonesia.
Melihat Hatima, Aku menghentikan aktivitasku dan mempersilahkannya
duduk.
“Makan yuk”, ajaknya.
Tanpa berpikir dan sungkan, Aku memenuhi mengiyakannya
karena memang perutku terasa sangat lapar. Kami pun makan.
Setelah makan, Aku dan Hatima berbincang-bicang ringan
tentang aktivitas masing-masing. Dan di sela-sela obrolan kami, Hatima meminta
bantuanku menuliskan sebuah makalah, tugas perkuliahan. Tugas tersebut tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk kami selesaikan. Dia berterima kasih atas
bantuanku.
“Eh, ngomong-ngomong bagaimana dengan masalahmu, sudah
kelar?”, tanya Hatima santai.
Aku mencoba mengalihkan pertanyaannya dengan
mengajaknya untuk kembali memeriksa makalahnya yang telah kami selesaikan siapa
tahu ada yang salah. Pikiran Hatima pun teralihkan. Padahal, sebenarnya tidak
ada kesalahan apa-apa di makalahnya tersebut. Hanya saja, Aku memang tak ingin
Hatima mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi antara Aku dan Mazra di
Surabaya tempo hari.
“Haha, kamu mencoba mengalihkan pertanyaanku ya”,
cetusnya sambil tertawa.
Hatiam sadar pertanyaanya berhasil Aku alihkan. Aku
pun ikut tertawa. Hatima mencubit tanganku geram karena merasa pertanyaannya
tidak Aku hiraukan dan malah justru mengalihakannya.
Hatima kemudian memintaku untuk menceritakan hasil
dari petualanganku ke Surabaya menemui Mazra. Karena Hatima mendesak, maka Aku
pun tidak dapat menolak permintaannya.
Kemudian Aku ceritakan kepadanya tentang perjalananku
ke Surabaya sampai Aku datang ke rumah Mazra. Aku juga menceritakan kepada
Hatima mengenai keadaan yang terjadi di rumah Mazra, di mana Aku merasa menjadi
orang terdakwa dalam sebuah sidang.
Hatima mendengarkan ceritaku dengan seksama. Sesekali
dia menatapku iba, karena Aku hampir saja meneteskan airmata, tapi untung
airmata itu tidak sampai jatuh karena Aku berusaha sekuat tenaga menahannya
agar tidak tumpah. Aku tentu malu jika Aku sampai menangis meratapi kisah lara
yang menimpa jiwaku ini.
Dengan sikap empatik, Hatima mengungkapkan bahwa
dirinya turut bersedih mendengar ceritaku. Dia berusaha menguatkanku dengan
berbagai nasehat, motivasi serta masukan yang ia berikan kepadaku.
Hatima terlihat sebagai sosok pendengar yang baik. Dia
tidak mencecariku dengan berbagai pertanyaan yang seharusnya banyak yang perlun
dipertanyakan, tapi ia menahannya.
Namun Hatima bertanya apakah Aku melakukan apa yang
menjadi sarannya saat sebelum Aku pamit berangkat ke Surabaya.
“Di dalam situasi yang serba kalut, Aku teringat
dengan pesanmu Tim, bahwa Aku harus mendahulukan pikiran ketimbang ego”,
tuturku.
Hatima tersenyum manis mendengar pengakuanku.
“Aku sendiri merasa sangat tertolong oleh saranmu
tempo hari, sehingga pada akhirnya Aku bisa berbesar hati dan mengikhlaskanya”,
lanjutku.
Hatima mengangguk bangga.
“Ya sudah. Aku mengerti apa yang kamu rasakan sobat”,
dia menguatkanku.
“Aku tau kamu orang yang kuat menghadapi berbagai
masalah, termasuk masalah ini. Jadi, tak ada pilihan lain bahwa pelajaran dan
hikmahnya saja yang dibutuhkan agar kamu dapat tetap berpikir sehat”, ujarnya
menasehati.
Aku tersenyum mendengar nasehat Hatima.
“Ya sudahlah Tim mau diapakan lagi ‘kan?”, Aku
menimpali.
Dengan nada tegas Aku berkata bahwa Aku sudah
mengikhlaskan segalanya, toh jodoh juga Tuhan yang menentukan, kita hanya bisa
berusaha semampunya. Kita mencoba menciptakan sebuah takdir, tapi takdir
pulalah yang akan menjawabnya.
Selain itu, Aku berusaha memperlihatkan kepada Hatima
bahwa hal ini sudah tidak lagi menjadi bahan pikiranku, atau bahkan mungkin Aku
telah melupakannya.
Di sela-sela obrolan kami, Hatima justru mengajak
bercanda lalu spontan berkata;
“Patah hati itu obatnya ya jatuh cinta lagi.!”, dia
tertawa lebar.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Hatima pamit pulang
karena mendung sudah bergelayut. Hatima pun bergegas pulang dan Aku kembali
melanjutkan editanku yang tadi sempat terhenti.
Tak lama kemudian hujan benar-benar turun sangat deras
menyetubuhi bumi yang sejak tadi terasa panas. Aku menghentikan pekerjaanku dan
memilih berdiam diri sambil membaringkan badan di atas kasur hingga Aku
tertidur.
Saat Aku terbangun, hujan sudah berhenti. Bumi basah
kuyup dan air bergelimangan di halaman kost. Kemudian Aku beranjak mandi karena
Jis sebentar lagi akan datang menjemput untuk ajak Aku ngopi.
Setelah Jis datang, kami berdua pun berangkat ke
warung kopi Mato. Kopi sore ini memang benar-benar terasa nikmat, terlebih
cuaca dingin setelah hujan turun seakan menjadi pelengkap kenikmatan kopi manis
yang menjadi favoritku di kedai langganan ini.
Kami nongkrong hingga malam. Dan suasana Mato semakin hangat
membuat diri seakan tak ingin beranjak. Canda tawa bertaburan di setiap sudut
kedai kopi Mato yang semakin malam justru tampak semakin ramai.#