Wednesday, 17 July 2013

Bagian XI


Kepahitan Jiwa
Kehilangan Mazra berubah menjadi hal yang paling sulit dalam hidupku.
Dua bulan belakangan Aku sangat merasakan kesepian, kehilangan Mazra seakan menjadi pukulan telak terhadap jiwaku. Aku mulai merasakan kehilangan arah, kehilangan orientasi serta dilanda rasa keputusasaan yang tiada berujung.
Hidupku kini menjadi tak menentu.
Aku sendiri sebenarnya sangat risau dengan kehidupanku yang sudah jauh terjatuh ke jurang-jurang dosa. Saban malam Aku jarang tidur, mabuk-mabukan, yang membuat Aku semakin berantakan. Aku sebenarnya sadar dengan kemunduran yang menimpaku ini, namun kesadaran itu tak cukup kuat untuk dijadikan sebagai benteng yang dapat membendung kegilaanku yang justru sedang Aku nikmati. Anehnya lagi, Aku justru membiarkan kegilaanku itu setiap hari semakin menjadi-jadi.
Banyak teman-teman serta para sahabat yang mulai mengabaikanku, terutama mereka yang selama ini memandang diriku sebagai seorang yang bisa dibilang cukup cerdas dan aktif dalam berbagai forum ilmiah. Menulis pun Aku seperti sudah enggan, apalagi jika disuruh berdiskusi ilmiah, mungkin Aku sudah melupakannya.
Bayang-bayang Mazra yang kini sudah berada dalam pelukan orang membuat Aku semakin gila. Aku tertekan, dan jika saja Jis tidak menahanku mungkin tempo hari Aku sudah tidak lagi bernafas sewaktu Aku nekad mengakhiri hidupku di rel kereta api.
Sikap nekad ini lahir setelah beberapa hari yang lalu Mazra menelpon dan memberitahukanku bahwa dirinya sedang hamil muda. Kabar itu terasa semakin runyam ketika Mazra meminta doa agar nanti anaknya bisa menjadi orang seperti Aku yang dahulu ia kenal sangat gemar menulis artikel dan menulis novel. Dan Aku berusaha mendoakannya meski sebenarnya ini perkara yang sulit Aku melakukannya.
Aku merenung terdiam di kamar kost saat mendung bergelayut yang separtinya sebentar lagi akan turun hujan deras.
Dalam renunganku, dalam hati Aku mendoa;
Oh Tuhan.! Jika cinta terkadang dapat berubah menjadi sebuah derita, maka biarkan derita itu menggenggam hatiku untuk sementara waktu.
Oh Tuhan.! Jika memang cinta Kau ciptakan untuk membahagiakan manusia, termasuk Aku, maka Aku ingin cinta itu sendiri yang menyadarkanku.
Tuhan.! Saat ini dunia sedang gelap dalam pandangan buta mata dan hatiku.
Aku meminta agar cinta saja yang menerangkannya.
Mazra berhak mendapatkan rasa cintaku yang terang.
Jika memang raganya telah dimiliki orang, maka biarkan Aku hanya memiliki cintanya, sebab Aku tahu dia masih menyimpan setitik cinta kepadaku.
Jika memang Mazra sudah tak berhak menerima cintaku, maka berikanlah rasa suci itu kelak pada anaknya.
            Mazra memang sudah memilik jalannya sendiri, sementara Aku masih saja berada di persimpangan jalan. Pikiranku buntu, jiwaku telah rusak, sehingga bingung harus memilih jalan mana yang mesti Aku titi.
            Mazra yang dahulu menguatkan langkahku, tapi kini dia juga yang menghancurkan sendi-sendi kekuatan yang lama bersemayam di jiwaku. Sementara ini Aku pasrah.!#
Disqus Comments