Kepahitan Jiwa
Kehilangan Mazra berubah menjadi hal yang paling sulit
dalam hidupku.
Dua bulan belakangan Aku sangat merasakan kesepian,
kehilangan Mazra seakan menjadi pukulan telak terhadap jiwaku. Aku mulai
merasakan kehilangan arah, kehilangan orientasi serta dilanda rasa keputusasaan
yang tiada berujung.
Hidupku kini menjadi tak menentu.
Aku sendiri sebenarnya sangat risau dengan kehidupanku
yang sudah jauh terjatuh ke jurang-jurang dosa. Saban malam Aku jarang tidur,
mabuk-mabukan, yang membuat Aku semakin berantakan. Aku sebenarnya sadar dengan
kemunduran yang menimpaku ini, namun kesadaran itu tak cukup kuat untuk
dijadikan sebagai benteng yang dapat membendung kegilaanku yang justru sedang
Aku nikmati. Anehnya lagi, Aku justru membiarkan kegilaanku itu setiap hari semakin
menjadi-jadi.
Banyak teman-teman serta para sahabat yang mulai
mengabaikanku, terutama mereka yang selama ini memandang diriku sebagai seorang
yang bisa dibilang cukup cerdas dan aktif dalam berbagai forum ilmiah. Menulis
pun Aku seperti sudah enggan, apalagi jika disuruh berdiskusi ilmiah, mungkin
Aku sudah melupakannya.
Bayang-bayang Mazra yang kini sudah berada dalam
pelukan orang membuat Aku semakin gila. Aku tertekan, dan jika saja Jis tidak
menahanku mungkin tempo hari Aku sudah tidak lagi bernafas sewaktu Aku nekad mengakhiri
hidupku di rel kereta api.
Sikap nekad ini lahir setelah beberapa hari yang lalu
Mazra menelpon dan memberitahukanku bahwa dirinya sedang hamil muda. Kabar itu
terasa semakin runyam ketika Mazra meminta doa agar nanti anaknya bisa menjadi
orang seperti Aku yang dahulu ia kenal sangat gemar menulis artikel dan menulis
novel. Dan Aku berusaha mendoakannya meski sebenarnya ini perkara yang sulit
Aku melakukannya.
Aku merenung terdiam di kamar kost saat mendung
bergelayut yang separtinya sebentar lagi akan turun hujan deras.
Dalam renunganku, dalam hati Aku mendoa;
Oh Tuhan.! Jika cinta terkadang dapat berubah menjadi
sebuah derita, maka biarkan derita itu menggenggam hatiku untuk sementara
waktu.
Oh Tuhan.! Jika memang cinta Kau ciptakan untuk
membahagiakan manusia, termasuk Aku, maka Aku ingin cinta itu sendiri yang
menyadarkanku.
Tuhan.! Saat ini dunia sedang gelap dalam pandangan
buta mata dan hatiku.
Aku meminta agar cinta saja yang menerangkannya.
Mazra berhak mendapatkan rasa cintaku yang terang.
Jika memang raganya telah dimiliki orang, maka biarkan
Aku hanya memiliki cintanya, sebab Aku tahu dia masih menyimpan setitik cinta
kepadaku.
Jika memang Mazra sudah tak berhak menerima cintaku,
maka berikanlah rasa suci itu kelak pada anaknya.
Mazra memang sudah memilik jalannya sendiri, sementara
Aku masih saja berada di persimpangan jalan. Pikiranku buntu, jiwaku telah
rusak, sehingga bingung harus memilih jalan mana yang mesti Aku titi.
Mazra yang dahulu menguatkan langkahku, tapi kini dia
juga yang menghancurkan sendi-sendi kekuatan yang lama bersemayam di jiwaku.
Sementara ini Aku pasrah.!#