Pilihan Dilematis
Suasana rumah masih
dirundung duka.
Keluarga benar-benar merasa
kehilangan sosok kakak ipar yang teramat disayangi itu. Tak terkecuali Aku. Ya,
beliau adalah ipar yang paling baik.!
Beberapa hari kemudian.
Aku masih tak percaya
kalau sudah sepuluh hari ini Aku berada di rumah tanpa suatu aktivitas apapun.
Menanti hari dan menanti hari serta merenungi segala hal yang pantas untuk
direnungi, menyelami ide dan imajinasi yang masih terkubur di dalam benak, meraup
segala asa di balik ufuk barat tiap kali senja datang, saat siang berganti
dengan malam, saat burung-burung mulai pulang.
Waktu terus berputar.
Kepulanganku ke kampung halaman seakan tidak
membawa misi dan rencana apa-apa kecuali hanya sekadar pulang dan menemui Mak
dan segenap keluarga. Mereka juga bingung, tak ada solusi yang diberikan,
padahal Aku pulang membawa bekal satu lembar ijazah dan satu lembarnya lagi
bukti transkip nilai, disertai dengan photoku yang mengenakan toga sarjana,
ditambah lagi dengan sebuah patung mengenakan toga dan disematkan bersamanya
nama panjangku, Robi van Ritt, S. Psi, yang berarti Sarjana Psikologi. Alamak,
sarjana, gumamku sewot pada sosok patung tak bernyawa itu.
Keesokan harinya.
Tepatnya di pagi hari Aku mendapatkan berita buruk
dari Mazra saat dia meneleponku. Sambil memangis dia mengatakan bahwa dirinya
ingin pulang ke kampung, di Jawa Timur, karena bertengkar lagi dengan mbaknya.
Kali ini sepertinya emosi Mazra sudah sampai ke ubun-ubun dan dia sudah tak
kuasa lagi untuk menahannya, sehingga dia memutuskan untuk pulang saja sore
harinya.
“Kali ini Aku sudah nggak ada tolerir lagi mas sama
mbakku, dia udah kebangetan, hanya karena salah kecil dia marah-marah nggak
jelas, dan itu berulang-ulang selama beberapa hari ini”, ujar Mazra dalam
telepon sambil menangis.
Aku sebenarnya tak kuasa mendengarkan tangisan Mazra,
karena Aku memang tak terbiasa dengan kebiasaannya
akhir-akhir ini, yakni menangis, asing bagiku sejak Aku
mengenalnya. Bahkan, yang Aku tahu Mazra tak pernah meluapkan kesedihan dan
penderitaan dengan sebuah tangisan, dia selalu tegar dalam menghadapi segala
sesuatunya, tetapi kali ini sepertinya dia sudah tak kuasa tuk menahan air
matanya. Terkadang, tangisan seorang perempuan adalah kekuatan, sebuah
pertahanan terakhir yang ditunjukannya ketika sudah tak kuasa lagi menahan
sebuah amarah yang membara.
Dengan nada simpatik dan empatik, Aku mencoba menenangkan
Mazra meski hanya melalui suara dari kejauhan. “Dek, kamu yang sabar ya,
coba kamu pikirkan lagi keputusanmu tuk pulang itu, mungkin saja mbakmu marah
karena dia sedang ingin marah dan tak ada tempat lain untuk dia melampiaskan
kemarahannya. Bukankah hal serupa juga pernah terjadi?”, Aku
menasehatinya.
“Iya mas, dia memang lagi sensi beberapa hari ini,
mungkin dia lagi datang bulan, tapi kemarin Aku pernah berjanji dengannya jika
dia marah-marah lagi sama aku maka aku akan pulang kampung, dan aku sendiri tak
mau menelan ludahku sendiri”, sayup-sayup suara Mazra terdengar sendu, seperti
ingin memberontak.
Pendirian Mazra seperti tak tergoyahkan, teguh dan
tetap ngotot ingin segera pulang ka Jawa Timur. Sore harinya Aku dengar Mazra
sudah berada di dalam keretaapi untuk pulang, dan Aku sendiri tak bisa berbuat
apa-apa kecuali mengucapkan hati-hati di jalan, serta kasih kabar jika sudah
sampai di rumah. Iya jawabnya singkat.
Nasib dan jalan hidup Aku dan Mazra nyaris sama.
Aku pulang dalam keadaan bimbang yang diterpa siksaan
batin karena meninggalkan Mazra di Jogja, sementara Mazra meninggalkan Jogja
dengan siksaan batin karena bertengkar dengan mbaknya. Kesimpulannya, kami
berdua sama-sama meninggalkan kota tua itu, sebuah kota di mana kami dipertemukan
dan menjalin kisah kasih asmara yang sungguh sangat berkesan meski waktunya tak
selama orang-orang pada umumnya.
Hari-hari menjalankan hidup di rumah masing-masing.
Aku dan Mazra sangat sering menjalin komunikasi lewat
telepon genggam. Hampir setiap malam kami telepon-teleponan, seakan tak ada
habis obrolan kami, sampai-sampai kami menjadwalkan waktu untuk berbicara lewat
telepon genggam tersebut.
Suatu ketika, kami berencana tuk kembali lagi ke Jogja
beberapa bulan ke depan dengan kepentingan masing-masing, namun pada esensinya
sebenarnya kami ingin bersama-sama lagi seperti sediakala. Mazra ingin
melanjutkan studi ke jenjang S2 di salah satu perguruan tinggi ternama di
Jogja, sedangkan Aku berencana tuk bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan
buku, di kota ini juga. Hasrat untuk berkumpul bersama lagi sepertinya
benar-benar akan terwujud nyata, karena Aku sendiri telah memperoleh restu dari
Mak dan keluarga tuk menentukan masa depanku sendiri tanpa harus hidup di
kampung halaman yang teramat susah mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai
dengan kapasitasku yang menyandang titel sarjana sosial.
Beberapa bulan Aku berada di rumah sekan tiada artinya
bagi statusku sebagai seorang sarjana.
Di sini, teramat sulit menggunakan titel tersebut
untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak sesuai dengan gelar sarjanaku.
Hanya saja, ada satu hal yang membuat Aku merasa berat meninggalkan kampung
halaman lagi jika benar-benar jadi kembali ke Jogja, yaitu meninggalkan Makku.
Sebagai anak buntut, bungsu, Mak memang sering merindukanku, bahkan terkadang,
kata saudara-saudaraku, Mak tidak mau makan dan jarang tidur malam karena
memikirkanku. Begitu pula Aku, bagiku satu-satunya orang yang paling Aku
sayangi di bumi Tuhan ini hanyalah Mak sejak bapakku meninggalkan kami
sekeluarga 20 tahun silam. Hanya Mak sosok manusia yang Aku miliki selain
keluarga dan handai tolan, dan apa jadinya jika Aku sering meninggalkan beliau.
Aku sendiri memang sangat ingin menghabiskan sisa-sisa hidupku tuk bersama-sama
Mak, terserah mau di mana, yang terpenting Mak selalu ada di sampingku. Tapi
rasa-rasanya sangat sulit tuk mewujudkannya karena Aku adalah anak satu-satunya
yang belum berkelurga dan bekerja, sehingga Aku harus berjuang untuk memperoleh
pekerjaan, dan keinginanku hanya satu, merawat Mak bersamaku.
Dalam kondisi ini, Aku benar-benar dilema. Di satu
sisi Aku ingin menghabiskan hidupku bersama Mak, sementara di sisi lain Aku
belum memperoleh pekerjaan di kampung halaman, ditambah lagi tawaran kerja
justru datang dari pulang Jawa yang jauh. Dilema yang kedua pada diriku ialah
apakah Aku tetap berada di kampung dengan ketiadaan pekerjaan yang sesuai
dengan titel sarjanaku, atau Aku beranjak ke Jawa lagi untuk bekerja.
Kedua pilihan ini bagiku sama-sama pahitnya karena
jika Aku pergi ke Jawa tuk bekerja sepertinya tak mungkin jika Aku harus
membawa Mak, dan sebaliknya, jika Aku tetap di kampung halaman ini maka tak ada
pekerjaan yang menghasilkan yang bisa Aku kerjakan, namun hidup bersama Mak.
Setelah dua bulan Aku menimbang-nimbang, sepertinya
Aku putuskan tuk memilih opsi pertama, yakni pergi ke Jawa lagi untuk bekerja
dan meninggalkan Mak di kampung halaman. Aku pikir, ini merupakan jalanku, jika
tak berani mengambil keputusan ini, maka Aku akan menjadi orang yang sia-sia setelah
memperoleh gelar sarjana yang Aku peroleh dengan perjuangan yang tak mudah.
Titel sarjana memang merupakan gelar yang prestisius,
di mana seorang sarjana selalu berupaya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak
sesuai dengan statusnya sebagai seorang yang terdidik. Itu terjadi pada diriku,
dan Aku sendiri merasakannya. Selain itu, jika berpangku tangan, maka apa kata
orang, dan jika tak memperoleh pekerjaan yang layak sebagai seorang sarjana,
maka, setidaknya di sini, akan menjadi bulan-bulanan dari cemoohan orang-orang
kampung. Oleh karena alasan itulah mengapa Aku memutuskan tuk kembali ke Jawa
lagi demi mendapatkan pekerjaan yang layak, dan Aku ingin membuktikan kepada
segenap orang bahwa Aku adalah orang yang berguna, titel sarjanaku tidak
sia-sia, dan Aku selalu berjuang tuk menjadi orang yang maju sama halnya dengan
orang lain pada umumnya. Kini, pikirku dalam-dalam, Aku akan berjuang lagi,
tapi kali ini berbeda dengan perjuanganku sebelumnya ketika Aku berangkat ke
Jawa dengan tujuan menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal, tapi kali kedua
ini Aku berangkat ke Jawa dengan tujuan bekerja sembari menuntut ilmu, serta
mengumpulkan pengalaman-pengalaman. Dan jika nanti ternyata berhasil, maka Aku
akan mengajak Mak tuk hidup bersamaku, mungkin inilah wujud nyata dari
pengabdianku kepada beliau sebagai orang tua yang paling Aku kasihi serta orang
tua yang satu-satunya kumiliki sekarang ini.
Hari ini, dengan nada sendu dan pilu, Aku menghadap
kepada Mak yang sedang duduk-duduk santai di ruang tamu. Hatiku tersentak
ketika melihat wajah beliau yang tenang, Aku sendiri jadi iba, dan tak tega
jika harus pergi lagi meninggalkan beliau di kampung sunyi nan sepi ini. Karena
perasaan yang tak kuasa Aku menahannya itu, akhirnya Aku mengurungkan niatku
tuk pergi berangkat ke Jawa, Aku akan bertahan beberapa hari lagi sampai Aku
benar-benar siap meninggalkan beliau.
Setelah seminggu Aku mencoba menenangkan diri dan
suasana hati, maka Aku segera menghampiri Mak yang sedang duduk di teras rumah.
Tanpa disangka-sangka, dan belum saja Aku menyampaikan maksudku, beliau sudah
terlebih dahulu berbicara.
“Nak, Mak tau, kau sebenarnya ndak bisa terus-terusan
di sini, karena di sini pun kau tak bisa berbuat apa-apa, jika kau mau
menggunakan ijazahmu tuk mencari kerja, maka itu bukanlah sebuah modal yang
cukup, kau harus punya banyak uang tuk menyogok”, kata Mak dengan
kebijaksanannya.
Aku biarkan Mak terus berbicara.
“Kau udah dewasa, rasa-rasanya amanah dari almarhum
bapakmu udah Mak tunaikan, yaitu membesarkanmu dan menyekolahkanmu. Karenanya,
kini, kau sendiri yang tau tentang masa depanmu, tentang arah dan jalan
hidupmu, sekarang Mak hanya bisa mendukungmu, apapun itu pekerjaanmu, asal
satu, jangan menipu orang lain, dan berbuat baiklah kepada siapapun, sekalipun
itu musuhmu”, lanjut Mak.
Sejenak Aku terdiam tanpa tahu apa kata yang mesti Aku
ucapkan kepada beliau yang seakan telah tau tentang keinginanku serta
rencana-rencanaku. Hanya air mata yang kujadikan sebagai bukti betapa beratnya
Aku pergi meninggalkan beliau lagi.
“...tapi, jangan lupa, sekali-kali pulang ke sini
menjenguk Mak. Mak ini udah tua, ajal siapa yang tahu, janji Tuhan itu pasti”.
Tangisku semakin menjadi-jadi, Aku lemah, tak berdaya
dan tak bisa berkata apa-apa. Di sela-sela pertemuanku dengan Mak di terasa
depan rumah, tiba-tiba saudara-saudaraku datang, berkumpul dan memberikan
dukungan penuh kepadaku.
Dengan nasehat-nasehat serta beberapa petuah dari Mak,
ditambah lagi dukungan serta sokongan dari saudara-saudaraku, tekadku kian
teguh. Besok, Aku akan berangkat lagi ke Jawa, dan Mak Aku serahkan kepada
sudara-saudaraku, dan mereka telah berjanji kepadaku untuk merawat Mak
sebaik-baiknya, dan akan baik-baik saja. Begitu kata-kata dari
saudara-saudaraku yang sangat meyakinkanku, sehingga Aku merasa lega. Lagi
pula, pikirku, sekarang kan teknologi semakin canggih, jika ingin bicara dengan
Mak, tinggal telepon saja.
Kini, Aku semakin mantap pergi. Senyuman Mak adalah
modal dasarku sekaligus spiritku. Besok lusa Aku berangkat ke Jawa, Jogja dari
Pontianak menaiki pesawat lagi, dan lagi-lagi pesawat terbang kala senja.#