Wednesday, 17 July 2013

Bagian VI



Pilihan Dilematis
Suasana rumah masih dirundung duka.
Keluarga benar-benar merasa kehilangan sosok kakak ipar yang teramat disayangi itu. Tak terkecuali Aku. Ya, beliau adalah ipar yang paling baik.!
Beberapa hari kemudian.
Aku masih tak percaya kalau sudah sepuluh hari ini Aku berada di rumah tanpa suatu aktivitas apapun. Menanti hari dan menanti hari serta merenungi segala hal yang pantas untuk direnungi, menyelami ide dan imajinasi yang masih terkubur di dalam benak, meraup segala asa di balik ufuk barat tiap kali senja datang, saat siang berganti dengan malam, saat burung-burung mulai pulang.
Waktu terus berputar.
 Kepulanganku ke kampung halaman seakan tidak membawa misi dan rencana apa-apa kecuali hanya sekadar pulang dan menemui Mak dan segenap keluarga. Mereka juga bingung, tak ada solusi yang diberikan, padahal Aku pulang membawa bekal satu lembar ijazah dan satu lembarnya lagi bukti transkip nilai, disertai dengan photoku yang mengenakan toga sarjana, ditambah lagi dengan sebuah patung mengenakan toga dan disematkan bersamanya nama panjangku, Robi van Ritt, S. Psi, yang berarti Sarjana Psikologi. Alamak, sarjana, gumamku sewot pada sosok patung tak bernyawa itu.
Keesokan harinya.
Tepatnya di pagi hari Aku mendapatkan berita buruk dari Mazra saat dia meneleponku. Sambil memangis dia mengatakan bahwa dirinya ingin pulang ke kampung, di Jawa Timur, karena bertengkar lagi dengan mbaknya. Kali ini sepertinya emosi Mazra sudah sampai ke ubun-ubun dan dia sudah tak kuasa lagi untuk menahannya, sehingga dia memutuskan untuk pulang saja sore harinya.
“Kali ini Aku sudah nggak ada tolerir lagi mas sama mbakku, dia udah kebangetan, hanya karena salah kecil dia marah-marah nggak jelas, dan itu berulang-ulang selama beberapa hari ini”, ujar Mazra dalam telepon sambil menangis.
Aku sebenarnya tak kuasa mendengarkan tangisan Mazra, karena Aku memang tak terbiasa dengan kebiasaannya akhir-akhir ini, yakni menangis, asing bagiku sejak Aku mengenalnya. Bahkan, yang Aku tahu Mazra tak pernah meluapkan kesedihan dan penderitaan dengan sebuah tangisan, dia selalu tegar dalam menghadapi segala sesuatunya, tetapi kali ini sepertinya dia sudah tak kuasa tuk menahan air matanya. Terkadang, tangisan seorang perempuan adalah kekuatan, sebuah pertahanan terakhir yang ditunjukannya ketika sudah tak kuasa lagi menahan sebuah amarah yang membara.
Dengan nada simpatik dan empatik, Aku mencoba menenangkan Mazra meski hanya melalui suara dari kejauhan. “Dek, kamu yang sabar ya, coba kamu pikirkan lagi keputusanmu tuk pulang itu, mungkin saja mbakmu marah karena dia sedang ingin marah dan tak ada tempat lain untuk dia melampiaskan kemarahannya. Bukankah hal serupa juga pernah terjadi?”,  Aku menasehatinya.
“Iya mas, dia memang lagi sensi beberapa hari ini, mungkin dia lagi datang bulan, tapi kemarin Aku pernah berjanji dengannya jika dia marah-marah lagi sama aku maka aku akan pulang kampung, dan aku sendiri tak mau menelan ludahku sendiri”, sayup-sayup suara Mazra terdengar sendu, seperti ingin memberontak.
Pendirian Mazra seperti tak tergoyahkan, teguh dan tetap ngotot ingin segera pulang ka Jawa Timur. Sore harinya Aku dengar Mazra sudah berada di dalam keretaapi untuk pulang, dan Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengucapkan hati-hati di jalan, serta kasih kabar jika sudah sampai di rumah. Iya jawabnya singkat.
Nasib dan jalan hidup Aku dan Mazra nyaris sama.
Aku pulang dalam keadaan bimbang yang diterpa siksaan batin karena meninggalkan Mazra di Jogja, sementara Mazra meninggalkan Jogja dengan siksaan batin karena bertengkar dengan mbaknya. Kesimpulannya, kami berdua sama-sama meninggalkan kota tua itu, sebuah kota di mana kami dipertemukan dan menjalin kisah kasih asmara yang sungguh sangat berkesan meski waktunya tak selama orang-orang pada umumnya.
Hari-hari menjalankan hidup di rumah masing-masing.
Aku dan Mazra sangat sering menjalin komunikasi lewat telepon genggam. Hampir setiap malam kami telepon-teleponan, seakan tak ada habis obrolan kami, sampai-sampai kami menjadwalkan waktu untuk berbicara lewat telepon genggam tersebut.
Suatu ketika, kami berencana tuk kembali lagi ke Jogja beberapa bulan ke depan dengan kepentingan masing-masing, namun pada esensinya sebenarnya kami ingin bersama-sama lagi seperti sediakala. Mazra ingin melanjutkan studi ke jenjang S2 di salah satu perguruan tinggi ternama di Jogja, sedangkan Aku berencana tuk bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku, di kota ini juga. Hasrat untuk berkumpul bersama lagi sepertinya benar-benar akan terwujud nyata, karena Aku sendiri telah memperoleh restu dari Mak dan keluarga tuk menentukan masa depanku sendiri tanpa harus hidup di kampung halaman yang teramat susah mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasku yang menyandang titel sarjana sosial.
Beberapa bulan Aku berada di rumah sekan tiada artinya bagi statusku sebagai seorang sarjana.
Di sini, teramat sulit menggunakan titel tersebut untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak sesuai dengan gelar sarjanaku. Hanya saja, ada satu hal yang membuat Aku merasa berat meninggalkan kampung halaman lagi jika benar-benar jadi kembali ke Jogja, yaitu meninggalkan Makku. Sebagai anak buntut, bungsu, Mak memang sering merindukanku, bahkan terkadang, kata saudara-saudaraku, Mak tidak mau makan dan jarang tidur malam karena memikirkanku. Begitu pula Aku, bagiku satu-satunya orang yang paling Aku sayangi di bumi Tuhan ini hanyalah Mak sejak bapakku meninggalkan kami sekeluarga 20 tahun silam. Hanya Mak sosok manusia yang Aku miliki selain keluarga dan handai tolan, dan apa jadinya jika Aku sering meninggalkan beliau. Aku sendiri memang sangat ingin menghabiskan sisa-sisa hidupku tuk bersama-sama Mak, terserah mau di mana, yang terpenting Mak selalu ada di sampingku. Tapi rasa-rasanya sangat sulit tuk mewujudkannya karena Aku adalah anak satu-satunya yang belum berkelurga dan bekerja, sehingga Aku harus berjuang untuk memperoleh pekerjaan, dan keinginanku hanya satu, merawat Mak bersamaku.
Dalam kondisi ini, Aku benar-benar dilema. Di satu sisi Aku ingin menghabiskan hidupku bersama Mak, sementara di sisi lain Aku belum memperoleh pekerjaan di kampung halaman, ditambah lagi tawaran kerja justru datang dari pulang Jawa yang jauh. Dilema yang kedua pada diriku ialah apakah Aku tetap berada di kampung dengan ketiadaan pekerjaan yang sesuai dengan titel sarjanaku, atau Aku beranjak ke Jawa lagi untuk bekerja.
Kedua pilihan ini bagiku sama-sama pahitnya karena jika Aku pergi ke Jawa tuk bekerja sepertinya tak mungkin jika Aku harus membawa Mak, dan sebaliknya, jika Aku tetap di kampung halaman ini maka tak ada pekerjaan yang menghasilkan yang bisa Aku kerjakan, namun hidup bersama Mak.
Setelah dua bulan Aku menimbang-nimbang, sepertinya Aku putuskan tuk memilih opsi pertama, yakni pergi ke Jawa lagi untuk bekerja dan meninggalkan Mak di kampung halaman. Aku pikir, ini merupakan jalanku, jika tak berani mengambil keputusan ini, maka Aku akan menjadi orang yang sia-sia setelah memperoleh gelar sarjana yang Aku peroleh dengan perjuangan yang tak mudah.
Titel sarjana memang merupakan gelar yang prestisius, di mana seorang sarjana selalu berupaya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan statusnya sebagai seorang yang terdidik. Itu terjadi pada diriku, dan Aku sendiri merasakannya. Selain itu, jika berpangku tangan, maka apa kata orang, dan jika tak memperoleh pekerjaan yang layak sebagai seorang sarjana, maka, setidaknya di sini, akan menjadi bulan-bulanan dari cemoohan orang-orang kampung. Oleh karena alasan itulah mengapa Aku memutuskan tuk kembali ke Jawa lagi demi mendapatkan pekerjaan yang layak, dan Aku ingin membuktikan kepada segenap orang bahwa Aku adalah orang yang berguna, titel sarjanaku tidak sia-sia, dan Aku selalu berjuang tuk menjadi orang yang maju sama halnya dengan orang lain pada umumnya. Kini, pikirku dalam-dalam, Aku akan berjuang lagi, tapi kali ini berbeda dengan perjuanganku sebelumnya ketika Aku berangkat ke Jawa dengan tujuan menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal, tapi kali kedua ini Aku berangkat ke Jawa dengan tujuan bekerja sembari menuntut ilmu, serta mengumpulkan pengalaman-pengalaman. Dan jika nanti ternyata berhasil, maka Aku akan mengajak Mak tuk hidup bersamaku, mungkin inilah wujud nyata dari pengabdianku kepada beliau sebagai orang tua yang paling Aku kasihi serta orang tua yang satu-satunya kumiliki sekarang ini.
Hari ini, dengan nada sendu dan pilu, Aku menghadap kepada Mak yang sedang duduk-duduk santai di ruang tamu. Hatiku tersentak ketika melihat wajah beliau yang tenang, Aku sendiri jadi iba, dan tak tega jika harus pergi lagi meninggalkan beliau di kampung sunyi nan sepi ini. Karena perasaan yang tak kuasa Aku menahannya itu, akhirnya Aku mengurungkan niatku tuk pergi berangkat ke Jawa, Aku akan bertahan beberapa hari lagi sampai Aku benar-benar siap meninggalkan beliau.
Setelah seminggu Aku mencoba menenangkan diri dan suasana hati, maka Aku segera menghampiri Mak yang sedang duduk di teras rumah. Tanpa disangka-sangka, dan belum saja Aku menyampaikan maksudku, beliau sudah terlebih dahulu berbicara.
“Nak, Mak tau, kau sebenarnya ndak bisa terus-terusan di sini, karena di sini pun kau tak bisa berbuat apa-apa, jika kau mau menggunakan ijazahmu tuk mencari kerja, maka itu bukanlah sebuah modal yang cukup, kau harus punya banyak uang tuk menyogok”, kata Mak dengan kebijaksanannya.
Aku biarkan Mak terus berbicara.
“Kau udah dewasa, rasa-rasanya amanah dari almarhum bapakmu udah Mak tunaikan, yaitu membesarkanmu dan menyekolahkanmu. Karenanya, kini, kau sendiri yang tau tentang masa depanmu, tentang arah dan jalan hidupmu, sekarang Mak hanya bisa mendukungmu, apapun itu pekerjaanmu, asal satu, jangan menipu orang lain, dan berbuat baiklah kepada siapapun, sekalipun itu musuhmu”, lanjut Mak.
Sejenak Aku terdiam tanpa tahu apa kata yang mesti Aku ucapkan kepada beliau yang seakan telah tau tentang keinginanku serta rencana-rencanaku. Hanya air mata yang kujadikan sebagai bukti betapa beratnya Aku pergi meninggalkan beliau lagi.
“...tapi, jangan lupa, sekali-kali pulang ke sini menjenguk Mak. Mak ini udah tua, ajal siapa yang tahu, janji Tuhan itu pasti”.
Tangisku semakin menjadi-jadi, Aku lemah, tak berdaya dan tak bisa berkata apa-apa. Di sela-sela pertemuanku dengan Mak di terasa depan rumah, tiba-tiba saudara-saudaraku datang, berkumpul dan memberikan dukungan penuh kepadaku.
Dengan nasehat-nasehat serta beberapa petuah dari Mak, ditambah lagi dukungan serta sokongan dari saudara-saudaraku, tekadku kian teguh. Besok, Aku akan berangkat lagi ke Jawa, dan Mak Aku serahkan kepada sudara-saudaraku,  dan mereka telah berjanji kepadaku untuk merawat Mak sebaik-baiknya, dan akan baik-baik saja. Begitu kata-kata dari saudara-saudaraku yang sangat meyakinkanku, sehingga Aku merasa lega. Lagi pula, pikirku, sekarang kan teknologi semakin canggih, jika ingin bicara dengan Mak, tinggal telepon saja.
Kini, Aku semakin mantap pergi. Senyuman Mak adalah modal dasarku sekaligus spiritku. Besok lusa Aku berangkat ke Jawa, Jogja dari Pontianak menaiki pesawat lagi, dan lagi-lagi pesawat terbang kala senja.#
Disqus Comments