Wednesday, 17 July 2013

Bagian V


Di Rumah
Minggu, 29 Desember di tahun milik bangsa Maya.
Pagi harinya Aku sampai di rumah. Di rumah telah menunggu Mak, tepat di ruang tamu, dan tanpa diperintah dengan sendirinya tanganku terulur menyalami tangan Mak kemudian kucium dengan penuh rasa hormat. Mak dan sekeluarga seperti memang sudah berencana menungguku di rumah, dan Aku memeluk mereka semua dalam alunan nada-nada kerinduan setelah sekian lama tak bersua serta berkumpul bersama-sama mereka dalam ikatan sebuah keluarga. Suasana hening sejenak, seakan menandakan kerinduan yang teramat mendalam dan Aku sendiri tak henti-hentinya menumpahkan air mata sebagai ungkapan suka cita karena dapat berkumpul kembali bersama keluarga ini.
            Kemudian, ku buka koper bawaanku dan ku bagi-bagikan oleh-oleh berupa pakaian masing-masing satu potong kepada saudara-saudara dan beberapa keponakan-keponakannya yang sudah mulai beranjak remaja. Tak lupa, Mak pun mendapatkan bagian sesuai dengan pesanan yang beliau pesan untuk Aku membelinya jika pulang ke rumah. Aku senang, dan mereka semua terlihat gembira, bukan hanya gembira karena mendapatkan oleh-oleh, tapi lebih penting karena Aku sampai di rumah dalam keadaan selamat tanpa halangan apapun di dalam perjalanan.
            Pesawat turun di bandara Supadio Pontianak tepat pukul 19.00 WIB dan segera Aku menaiki travel yang memang telah Aku pesan tuk menjemput di bandara sebelum Aku menaiki pesawat di Jogja. Sesampainya di Pontianak, bukan berarti perjalananku telah selesai karena Aku harus melanjutkan perjalanan lagi dan menempuh jarak kurang lebih enam jam baru sampai di rumah. Jarak tempuh sebuah perjalanan yang hanya menghabiskan waktu enam jam tak begitu lama di Kalimantan Barat jika dibandingkan dengan perjalanan di pulau Jawa. Pasalnya hanya faktor kondisi jalan yang tidak sama antara Kalimantan Barat dengan Jawa. Pembangunan jalan raya di Jawa jauh lebih modern dibanding di Kalimantan ini, di Jawa kendaraan-kendaraan tak akan pernah menemukan becek dan lumpur yang menghiasi jalan raya, sementara di sini merupakan hal serta pemandangan yang biasa.
            Melihat kondisi jalan raya yang teramat mengerikan itu, Aku lantas berpikir bahwa kebijakan otonomi daerah yang disahkan oleh pemerintah pusat bukanlah solusi yang tepat jika dikaitkan dengan aspek pembangunan infrastruktur di kawasan daerah Kalimantan Barat ini. Aku berupaya tuk tidak memikirkan hal itu sepanjang perjalanan tetapi tidak bisa, pikiranku terus mengajakku tuk melakukan kritik demi kritik yang Aku gumamkan dalam hati dan pikiran saja tanpa sesiapa yang mendengar. Pikiran-pikiran kritisku bukan semata-mata dengan kenyataan kondisi jalan raya yang hancur lebur itu, tetapi karena Aku sendiri sangat terganggu dengan alur jalannya mobil yang melunjak-lunjak akibat jalan yang bergelombang serta dipoles dengan lumpur tanah liat yang pekat membuat mobil beberapa kali tak mampu bergerak. Selain itu, ditambah lagi dengan kondisi mobil yang sesak karena banyak barang-barang bawaan dan titipan orang-orang, padahal penumpang hanya ada empat orang saja.
            “Emang jalan nggak pernah diperbaiki kah bang?”, tanyaku kepada sopir yang terlihat kesal karena kondisi jalan yang buruk.
            Sopir masih terlihat kesal, dan dengan nada yang membara-bara dia menggerutu sendiri kemudian menjawab pertanyaanku, “Iya ini bang, sudah setahun ini jalan memang rusak total karena pemerintah seperti tak memperdulikannya, padahal tahun lalu baik-baik saja”, kritiknya tajam.
            “Iya, tahun lalu memang baik-baik saja, dan pemerintah sengaja memperhatikannya karena mereka punya kepentingan untuk menghadiri MTQ di Melawi”, sanggah seorang penumpang lainnya di dalam mobil.
            “Terus, sekarang MTQ sudah selesai jalan dibiarkan rusak begitu saja?”, seorang penumpang lainnya juga bertanya.
            “Ya begitulah bang, yang pasti kondisi ini sangat merugikan sopir karena sudah setahun belakangan, kendaraan-kendaraan umum di sini sepi penumpangnya. Masyarakat jadi malas tuk hilir mudik karena kondisi jalan yang rusak, capek katanya di perjalanan”, tukas sopir pasrah.
            “Ya semoga aja dalam waktu dekat ini di Sintang ada sebuah agenda pemerintah, biar jalan raya jadi bagus”, tukasku mengakhiri obrolan kami yang berakhir dengan gelak tawa, kemudian terdiam oleh heningnya malam sementara mobil berlari dengan kencang tak peduli jalan-jalan yang dipenuhi dengan lubang serta lumpur.
            Malam semakin dingin, suasana dalam mobil tampak hening, tak ada suara di antara para penumpang kecuali desiran mesin mobil yang melaju kencang. Sesekali sopir menyulut sebatang rokok untuk menghilangkan rasa kantuknya, kasihan sekali pikirku, hanya dia saja yang tidak dapat tidur di dalam kendaraan ini.
            Rasa ibaku terhadap sopir membuat Aku mengurungkan waktuku tuk tidur. Kami berbicara banyak hal sepanjang perjalanan, terutama tentang kondisi jalan raya yang telah kami perbincangkan tadi karena sepertinya memang tema ini yang paling menarik dibicarakan sekarang. Sepanjang obrolan, sang sopir terlihat emosional mengeluarkan aspirasinya, dan sesekali Aku menyelingi obrolan dengan humor agar sopir tetap fokus dengan pekerjaannya, terlebih di malam gelap nan sepi ini, jika terjadi sesuatu hal, maka tak ada satupun yang dapat memberikan pertolongan, kecuali rumput-rumput serta tumbuh-tumbuhan bersorak kegirangan karena sejak tadi kami mencaci maki lumpur dan becek yang menghambat laju perjalanan mobil. Bagi rumput-rumput dan tumbuh-tumbuhan, tanah liat yang dibasahi air merupakan kehidupan untuk mereka.
            Setelah menelusuri jalanan panjang yang menembus gelap gulitanya malam, kami sampai di suatu perkampungan yang di sana ada cahaya penerangan, listrik, dan sopir memutuskan tuk beristirahat pada sebuah warung makan, jam baru menunjukkan pukul tiga menjelang subuh, dan sang sopir mentargetkan kami sampai di tempat tujuan sekitar pukul lima pagi, itu lumrahnya perjalanan malam dari Pontianak ke Melawi. Sang sopir pun segera membangunkan ketiga penumpang yang masih terlelap dalam tidurnya untuk mampir di warung makan, beristirahat santai barangkali ada yang lapar, dan ingin membuang hajat. Begitu pula Aku, buru-buru keluar dari dalam mobil dan segera menuju ke warung tersebut serta memesan teh panas tuk membuang rasa dingin yang menggigit kulit.
            Di warung, Aku melihat sopir begitu akrab bercengkrama dengan beberapa orang yang menandakan bahwa dia memang sudah terbiasa berhenti di sini. Sambil menikmati hanganya teh, Aku sesekali menoleh ke berbagai arah, barangkali ada seseorang yang Aku kenal, pikirku. Di sisi pojok jauh Aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan seorang teman di Jogja, cara berbicaranya, cara menatapnya, cara dia meyakinkan gagasannya kepada lawan bicara, hingga cara berpakaiannya, teramat mirip. Ingin seklai rasanya Aku mendekat ke sana, namun Aku agak sedikit khawatir jika nanti justru salah orang, lagi pula Aku berpikir, mana mungkin temanku itu berada di sini sementara dia sibuk dengan kegiatannya di Jogja mengelola sebuah partai politik. Tetapi, Aku memang pernah mendengar jika dirinya ada rencana tuk mengunjungi sebuah daerah di Sintang dalam waktu dekat ini, dan dengan pengingatan itulah Aku semakin yakin bahwa sosok pria yang berada di tengah-tengah gerombolan orang-orang itu adalah memang temanku.
            Aku tak memutuskan untuk menghampiri sesosok orang yang sangat mirip dengan temanku itu karena sopir buru-buru ingin melanjutkan perjalanan kami.
            “Pir, kira-kira kita sampai tujuan jam berapa nih, pegel-pegel sudah ini badanku, dan Aku lihat kau juga begitu?”, tanyaku kepada sopir sebelum masuk ke dalam mobil tumpangan kami.
            Sambil membuka pintu mobil, dengan nada semangat dia berkata, “Emmm, paling-paling nanti jam setengah enam bang, soalnya kita jalan santai ajalah, yang penting sampai ke tujuan”, katanya. “Ndak buru-buru kan bang?”, tanyanya balik.
            “Ndak, ndak buru-buru kok, santai aja kita nikmati aja perjalanan jauh ini”, jawabku sambil tertawa dan seisi mobil pun turut tertawa, dan mobil melanjutkan perjalanannya. Tarikk bang.!!!!
            Tak terasa kami telah sampai di tempat tujuan, Aku terbangun dari tidurku sejak berhenti di warung makan semalam. Seingatku, ini memang sudah masuk daerah kampung halamanku, sopir masih berputar-putar mengantarkan penumpang lainnya ke tempat mereka masing-masing sementara Aku mendapatkan giliran terakhir.
            Setelah satu jam lamanya mengantarkan para penumpang, Aku pun disinggahkan tepat di depan sebuah rumah yang Aku berikan alamatnya kepada sopir tadi. Aku turun dari mobil dan rumah tampak ramai, sontak saja ketika Aku masuk kaget dan heran melihat keluarga sedang berkumpul di ruang tamu, menanti kedatanganku. Dari sekian banyak deretan saudara-saudara,ipar-iparku serta keponakan-keponakanku, Aku sendiri melihat satu yang kurang, ya istri abangku yang pertama.
            Buru-buru Aku menghampiri dan menanyakan kepada Abang, “Bang, kakak mana?”, tanyaku heran.
            Suasana sedih seketika mengisi ruang tamu yang ramai itu, semua terdiam, temangu dan tak satu pun yang memutuskan tuk mengeluarkan sepatah kata, Aku pun menjadi terheran-heran, dan dalam hati berkata, jangan-jangan…….
            Tiba-tiba Abang menjelaskan kepadaku, bahwa kakak telah meninggal dunia dua minggu yang lalu, karena stroke setelah menderita penyakit talasemia selama dua setengah tahun lamanya.
            Innalillahi wa innailaihi rojiun. Ternyata pikiranku benar, pantas saja sejak sebulan yang lalu Aku merasa gelisah ketika di Jogja, seperti ada yang memanggil-manggil untuk Aku segera pulang.
Sebenarnya, sejak dulu Aku sendiri memang sudah tahu mengenai penyakit yang diderita kakak, tetapi tak pernah berpikir akan berdampak sampai separah ini, karena proses pengobatan dan perawatan selama masa itu berjalan lancar.
            Aku tak kuasa meneteskan air mata. Aku menyesal karena tak segera pulang sejak sebulan yang lalu, dan keluarga pun tak memberikan kabar kepadaku karena mereka khawatir kabar itu mengganggu aktivitasku di Jogja katanya.
            Abang kemudian melanjutkan tentang proses pengobatan, penyembuhan dan perawatan kakak. Dan dia juga menceritakan tentang kronologi meninggalnya kakak dalam keadaan yang tak disangka-sangka karena sebelumnya terlihat sehat, dan baru saja pulang dari rumah sakit untuk transfusi darah.
            Kakak memang sosok ipar yang Aku kenal sangat baik, seakan tiada perbedaannya dengan saudara kandung sendiri. Dia juga yang dulu memotivasi Aku untuk berangkat ke tanah Jawa tuk menuntut ilmu karena dia merupakan sosok orang yang sangat peduli dengan dunia pendidikan. Hal ini terlihat dari dua orang anaknya yang terlahir keduanya cerdas-cerdas, itu merupakan buah dari didikannya sejak kecil yang membiasakan kepada anaknya tuk membaca dan menulis walau hanya sebentar, yang penting kedua aktivitas itu jangan sampai terlewatkan dalam keseharian anak-anaknya. Itu pula yang diterapkan kepadaku sejak Aku hidup bersama mereka selama masa pendidikan sekolah dasar hingga SMP dahulu.
Dan kini, Aku dan juga sekeluarga merasa kehilangan sosok kakak yang teramat ramah dengan keluarga. Dia adalah sosok ipar yang sangat disayangi dan dikasihi  oleh keluargaku, sehingga kepergiannya menjadi suatu kehilangan yang teramat memilukan. Selamat jalan kakak, surga yang menjadi tempat yang paling pantas untukmu.!#
Disqus Comments