Di Rumah
Minggu, 29 Desember di tahun milik bangsa Maya.
Pagi harinya Aku sampai di rumah. Di rumah telah
menunggu Mak, tepat di ruang tamu, dan tanpa diperintah dengan sendirinya
tanganku terulur menyalami tangan Mak kemudian kucium dengan penuh rasa hormat.
Mak dan sekeluarga seperti memang sudah berencana menungguku di rumah, dan Aku
memeluk mereka semua dalam alunan nada-nada kerinduan setelah sekian lama tak
bersua serta berkumpul bersama-sama mereka dalam ikatan sebuah keluarga.
Suasana hening sejenak, seakan menandakan kerinduan yang teramat mendalam dan Aku
sendiri tak henti-hentinya menumpahkan air mata sebagai ungkapan suka cita
karena dapat berkumpul kembali bersama keluarga ini.
Kemudian, ku buka koper bawaanku dan ku bagi-bagikan oleh-oleh berupa pakaian
masing-masing satu potong kepada saudara-saudara dan beberapa
keponakan-keponakannya yang sudah mulai beranjak remaja. Tak lupa, Mak pun
mendapatkan bagian sesuai dengan pesanan yang beliau pesan untuk Aku membelinya
jika pulang ke rumah. Aku senang, dan mereka semua terlihat gembira, bukan
hanya gembira karena mendapatkan oleh-oleh, tapi lebih penting karena Aku
sampai di rumah dalam keadaan selamat tanpa halangan apapun di dalam
perjalanan.
Pesawat turun di bandara Supadio Pontianak tepat pukul 19.00 WIB dan segera Aku
menaiki travel yang memang telah Aku pesan tuk menjemput di bandara sebelum Aku
menaiki pesawat di Jogja. Sesampainya di Pontianak, bukan berarti
perjalananku telah selesai karena Aku harus melanjutkan perjalanan lagi dan
menempuh jarak kurang lebih enam jam baru sampai di rumah. Jarak tempuh sebuah
perjalanan yang hanya menghabiskan waktu enam jam tak begitu lama di Kalimantan
Barat jika dibandingkan dengan
perjalanan di pulau Jawa. Pasalnya hanya faktor kondisi jalan yang tidak sama
antara Kalimantan Barat dengan Jawa. Pembangunan jalan raya di Jawa jauh lebih
modern dibanding di Kalimantan ini, di Jawa kendaraan-kendaraan tak akan pernah
menemukan becek dan lumpur yang menghiasi jalan raya, sementara di sini
merupakan hal serta pemandangan yang biasa.
Melihat kondisi jalan raya yang teramat mengerikan itu, Aku lantas berpikir
bahwa kebijakan otonomi daerah yang disahkan oleh pemerintah pusat bukanlah
solusi yang tepat jika dikaitkan dengan aspek pembangunan infrastruktur di
kawasan daerah Kalimantan Barat ini. Aku berupaya tuk tidak memikirkan hal itu
sepanjang perjalanan tetapi tidak bisa, pikiranku terus mengajakku tuk
melakukan kritik demi kritik yang Aku gumamkan dalam hati dan pikiran saja
tanpa sesiapa yang mendengar. Pikiran-pikiran kritisku bukan semata-mata dengan
kenyataan kondisi jalan raya yang hancur lebur itu, tetapi karena Aku sendiri
sangat terganggu dengan alur jalannya mobil yang melunjak-lunjak akibat jalan
yang bergelombang serta dipoles dengan lumpur tanah liat yang pekat membuat mobil
beberapa kali tak mampu bergerak. Selain itu, ditambah lagi dengan kondisi
mobil yang sesak karena banyak barang-barang bawaan dan titipan orang-orang,
padahal penumpang hanya ada empat orang saja.
“Emang jalan nggak pernah
diperbaiki kah bang?”, tanyaku kepada sopir yang terlihat kesal karena kondisi
jalan yang buruk.
Sopir masih terlihat kesal, dan dengan nada yang membara-bara dia menggerutu
sendiri kemudian menjawab pertanyaanku, “Iya ini bang, sudah setahun ini jalan
memang rusak total karena pemerintah seperti tak memperdulikannya, padahal
tahun lalu baik-baik saja”, kritiknya tajam.
“Iya, tahun lalu memang baik-baik saja, dan pemerintah sengaja memperhatikannya
karena mereka punya kepentingan untuk menghadiri MTQ di Melawi”, sanggah
seorang penumpang lainnya di dalam mobil.
“Terus, sekarang MTQ sudah selesai jalan dibiarkan rusak begitu saja?”, seorang
penumpang lainnya juga bertanya.
“Ya begitulah bang, yang pasti kondisi ini sangat merugikan sopir karena sudah
setahun belakangan, kendaraan-kendaraan umum di sini sepi penumpangnya.
Masyarakat jadi malas tuk hilir mudik karena kondisi jalan yang rusak, capek
katanya di perjalanan”, tukas sopir pasrah.
“Ya semoga aja dalam waktu dekat ini di Sintang ada sebuah agenda pemerintah,
biar jalan raya jadi bagus”, tukasku mengakhiri obrolan kami yang berakhir
dengan gelak tawa, kemudian terdiam oleh heningnya malam sementara mobil
berlari dengan kencang tak peduli jalan-jalan yang dipenuhi dengan lubang serta
lumpur.
Malam semakin dingin, suasana dalam mobil tampak hening, tak ada suara di
antara para penumpang kecuali desiran mesin mobil yang melaju kencang. Sesekali
sopir menyulut sebatang rokok untuk menghilangkan rasa kantuknya, kasihan
sekali pikirku, hanya dia saja yang tidak dapat tidur di dalam kendaraan ini.
Rasa ibaku terhadap sopir membuat Aku mengurungkan waktuku tuk tidur. Kami
berbicara banyak hal sepanjang perjalanan, terutama tentang kondisi jalan raya
yang telah kami perbincangkan tadi karena sepertinya memang tema ini yang
paling menarik dibicarakan sekarang. Sepanjang obrolan, sang sopir terlihat
emosional mengeluarkan aspirasinya, dan sesekali Aku menyelingi obrolan dengan
humor agar sopir tetap fokus dengan pekerjaannya, terlebih di malam gelap nan
sepi ini, jika terjadi sesuatu hal, maka tak ada satupun yang dapat memberikan
pertolongan, kecuali rumput-rumput serta tumbuh-tumbuhan bersorak kegirangan
karena sejak tadi kami mencaci maki lumpur dan becek yang menghambat laju
perjalanan mobil. Bagi rumput-rumput dan tumbuh-tumbuhan, tanah liat yang
dibasahi air merupakan kehidupan untuk mereka.
Setelah menelusuri jalanan panjang yang menembus gelap gulitanya malam, kami
sampai di suatu perkampungan yang di sana ada cahaya penerangan, listrik, dan
sopir memutuskan tuk beristirahat pada sebuah warung makan, jam baru
menunjukkan pukul tiga menjelang subuh, dan sang sopir mentargetkan kami sampai
di tempat tujuan sekitar pukul lima pagi, itu lumrahnya perjalanan malam dari
Pontianak ke Melawi. Sang sopir pun segera membangunkan ketiga penumpang yang
masih terlelap dalam tidurnya untuk mampir di warung makan, beristirahat santai
barangkali ada yang lapar, dan ingin membuang hajat. Begitu pula Aku, buru-buru
keluar dari dalam mobil dan segera menuju ke warung tersebut serta memesan teh
panas tuk membuang rasa dingin yang menggigit kulit.
Di warung, Aku melihat sopir begitu akrab bercengkrama dengan beberapa orang
yang menandakan bahwa dia memang sudah terbiasa berhenti di sini. Sambil
menikmati hanganya teh, Aku sesekali menoleh ke berbagai arah, barangkali ada
seseorang yang Aku kenal, pikirku. Di sisi pojok jauh Aku melihat seseorang
yang sangat mirip dengan seorang teman di Jogja, cara berbicaranya, cara
menatapnya, cara dia meyakinkan gagasannya kepada lawan bicara, hingga cara
berpakaiannya, teramat mirip. Ingin seklai rasanya Aku mendekat ke sana, namun
Aku agak sedikit khawatir jika nanti justru salah orang, lagi pula Aku
berpikir, mana mungkin temanku itu berada di sini sementara dia sibuk dengan
kegiatannya di Jogja mengelola sebuah partai politik. Tetapi, Aku memang pernah
mendengar jika dirinya ada rencana tuk mengunjungi sebuah daerah di Sintang
dalam waktu dekat ini, dan dengan pengingatan itulah Aku semakin yakin bahwa
sosok pria yang berada di tengah-tengah gerombolan orang-orang itu adalah
memang temanku.
Aku tak memutuskan untuk menghampiri sesosok orang yang sangat mirip dengan
temanku itu karena sopir buru-buru ingin melanjutkan perjalanan kami.
“Pir, kira-kira kita sampai tujuan jam berapa nih, pegel-pegel sudah ini badanku, dan Aku lihat kau juga
begitu?”, tanyaku kepada sopir sebelum masuk ke dalam mobil tumpangan kami.
Sambil membuka pintu mobil, dengan nada semangat dia berkata, “Emmm,
paling-paling nanti jam setengah enam bang, soalnya kita jalan santai ajalah,
yang penting sampai ke tujuan”, katanya. “Ndak buru-buru kan bang?”, tanyanya balik.
“Ndak, ndak buru-buru kok, santai aja kita nikmati aja perjalanan jauh
ini”, jawabku sambil tertawa dan seisi mobil pun turut tertawa, dan mobil
melanjutkan perjalanannya. Tarikk bang.!!!!
Tak terasa kami telah sampai di tempat tujuan, Aku terbangun dari tidurku sejak
berhenti di warung makan semalam. Seingatku, ini memang sudah masuk daerah
kampung halamanku, sopir masih berputar-putar mengantarkan penumpang lainnya ke
tempat mereka masing-masing sementara Aku mendapatkan giliran terakhir.
Setelah satu jam lamanya mengantarkan para penumpang, Aku pun disinggahkan
tepat di depan sebuah rumah yang Aku berikan alamatnya kepada sopir tadi. Aku
turun dari mobil dan rumah tampak ramai, sontak saja ketika Aku masuk kaget dan
heran melihat keluarga sedang berkumpul di ruang tamu, menanti kedatanganku.
Dari sekian banyak deretan saudara-saudara,ipar-iparku serta
keponakan-keponakanku, Aku sendiri melihat satu yang kurang, ya istri abangku
yang pertama.
Buru-buru Aku menghampiri dan menanyakan kepada Abang, “Bang, kakak mana?”,
tanyaku heran.
Suasana sedih seketika mengisi ruang tamu yang ramai itu, semua terdiam,
temangu dan tak satu pun yang memutuskan tuk mengeluarkan sepatah kata, Aku pun
menjadi terheran-heran, dan dalam hati berkata, jangan-jangan…….
Tiba-tiba Abang menjelaskan kepadaku, bahwa kakak telah meninggal dunia dua
minggu yang lalu, karena stroke setelah menderita penyakit talasemia selama dua
setengah tahun lamanya.
Innalillahi wa innailaihi rojiun.
Ternyata pikiranku benar, pantas saja sejak sebulan yang lalu Aku merasa
gelisah ketika di Jogja, seperti ada yang memanggil-manggil untuk Aku segera
pulang.
Sebenarnya, sejak dulu
Aku sendiri memang sudah tahu mengenai penyakit yang diderita kakak, tetapi tak
pernah berpikir akan berdampak sampai separah ini, karena proses pengobatan dan
perawatan selama masa itu berjalan lancar.
Aku tak kuasa meneteskan air mata. Aku menyesal karena tak segera pulang sejak
sebulan yang lalu, dan keluarga pun tak memberikan kabar kepadaku karena mereka
khawatir kabar itu mengganggu aktivitasku di Jogja katanya.
Abang kemudian melanjutkan tentang proses pengobatan, penyembuhan dan perawatan
kakak. Dan dia juga menceritakan tentang kronologi meninggalnya kakak dalam
keadaan yang tak disangka-sangka karena sebelumnya terlihat sehat, dan baru
saja pulang dari rumah sakit untuk transfusi darah.
Kakak memang sosok ipar yang Aku kenal sangat baik, seakan tiada perbedaannya
dengan saudara kandung sendiri. Dia juga yang dulu memotivasi Aku untuk
berangkat ke tanah Jawa tuk menuntut ilmu karena dia merupakan sosok orang yang
sangat peduli dengan dunia pendidikan. Hal ini terlihat dari dua orang anaknya
yang terlahir keduanya cerdas-cerdas, itu merupakan buah dari didikannya sejak
kecil yang membiasakan kepada anaknya tuk membaca dan menulis walau hanya
sebentar, yang penting kedua aktivitas itu jangan sampai terlewatkan dalam
keseharian anak-anaknya. Itu pula yang diterapkan kepadaku sejak Aku hidup
bersama mereka selama masa pendidikan sekolah dasar hingga SMP dahulu.
Dan kini, Aku dan juga
sekeluarga merasa kehilangan sosok kakak yang teramat ramah dengan keluarga.
Dia adalah sosok ipar yang sangat disayangi dan dikasihi oleh keluargaku,
sehingga kepergiannya menjadi suatu kehilangan yang teramat memilukan. Selamat
jalan kakak, surga yang menjadi tempat yang paling pantas untukmu.!#