Akhirnya,
setelah melalui proses yang cukup panjang dan memakan waktu selama
bertahun-tahun, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh telah menyepakati
kebijakan baru terkait dengan penggunaan hasil Ujian Nasional Sekolah Menengah
Atas (SLTA) untuk menjadi dasar pertimbangan penerimaan siswa di universitas
atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Indonesia pada Juma 16 Mesi 2014
lalu. Seperti diketahui, wacana ini pernah menyeruak ke permukaan beberapa
tahun lalu namun belum sempat terealisasikan oleh Kemendikbud karena masih
mengalami perdebatan di kalangan penyelenggara perndidikan di perguruan tinggi,
khususnya negeri.
Seperti
diakui M. Nuh di Jakarta jumat lalu, kebijakan tersebut sebetulnya sudah
disepakati oleh beberapa rektor dari perguruan tinggi negeri, akan tetapi masih
harus melalui prosedur-prosedur tertentu sampai kemudian disepakati secara
bersama bahwa hasil Ujian Nasional ke depannya nanti dapat dijadikan tolak ukur
untuk menggunakan hasil UN sebagai salah satu syarat seleksi atau syarat
penerimaannya.
Menurut
M. Nuh, siswa akan dapat diterima di perguruan tinggi negeri dengan menggunakan
nilai rapor semester 3, 4 dan 5, serta prestasi yang pernah diperoleh siswa
sebagai bahan acuan atau bahan pertimbangan dapat diterimanya siswa di
perguruan tinggi negeri yang menjadi pilihan siswa. Meski begitu, kebijakan ini
hanya ditegaskan atau diperuntukkan bagi para siswa yang berprestasi dari segi
nilai rapor dan beberapa penghargaan yang pernah diraih siswa di bidang
pelajaran maupun ekstrakurikuler.
Tentu
ini kabar gembira bagi para siswa, khsususnya mereka yang mendambakan masuk ke
perguruan tinggi negeri pilihannya. Sebab, kendala utama bagi para ssiwa selama
ini adalah mengikuti tes atau ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN) yang telah menjadi beban yang tak ringan bagi para siswa dan
harus berjuang keras mengikuti prosesi ujian agar dapat lulus. Bahkan tak
jarang, UN dan SNMPTN selama ini telah berhasil membuat para siswa frustasi,
hingga ada yang sampai memutuskan untuk mengakhiri nyawanya hanta karena tak
lulus ujian. Sebab, kedua ujian tersebut menjadi mutlak untuk ditaklukkan agar
para siswa berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri idamannya.
Faktanya,
selama ini tak sedikit siswa yang gagal, baik di UN maupun di SNMPTN sendiri. Atau,
lulus UN tetapi gagal di ujian SNMPTN. Akibat yang harus dipikul siswa, selain rugi
waktu, kerugian materi pun tak dapat terelakkan akibat ujian SNMPTN yang
terkadang tak luput dari faktor keberuntungan belaka.
Oleh
karena itu, kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini
patut diapresiasi. Para siswa nantinya diharapkan dapat mengoptimalkan kualitas
dan kemampuannya agar dapat memperoleh prestasi sehingga setelah UN, maka
mereka tak perlu lagi repot-repot berjerihpayah mengikuti ujian SNMPTN yang
mengancam. Seperti dikatakan M. Nuh, bagi siswa SLTA yang memperoleh prestasi
pada UN, maka bagi mereka yang ingin masuk ke perguruan tinggi negeri boleh
langsung masuk tanpa harus mengikuti prosesi ujian SNMPTN. Lantas, bagaimana
nasi para siswa yang tidak berprestasi di UN?
Tampaknya,
kebijakan ini sedang tidak berpihak bagi para siswa yang dinyatakan tak
berprestasi di UN. Mereka akan terus berjibaku dengan UN dan ujian SNMPT yang
tak jarang berhasil memupuskan harapan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri
idaman mereka. Kebiajkan ini sepertinya hanyalah sebuah upaya untuk memberikan
motivasi bagi para siswa agar berprestasi, menciptakan kompetensi serta
mempertegas fungsi dan kualitas UN yang kera kali diterjang berbagai persoalan,
terutama selama proses pelaksanaannya yang kadang ditemui kecurangan. Dan persoalan
kedua ini, patut diperhatikan secara saksama oleh Kemendikbud serta ada solusi
yang adil bagi para siswa.