Wisuda tahun ini merupakan harga mati
bagi Jay. Mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi negeri ini
benar-benar ngotot tuk mengakhiri
pengembaraan studinya setelah enam tahun menyandang status sebagai mahasiswa.
Waktu masih tersisa tiga bulan tuk merampungkan skripsi yang merupakan syarat
mutlak kelulusan, menutup buku, sekaligus meraih toga. Ya, hanya itu tujuan
dari kuliah.!
Sore ini Jay terlihat
terburu-buru.Wajahnya sedikit berbinar.Tidak seperti hari-hari kemarin, tampak
murung dan lesu. Satria segera menghampirinya.
“Kau buru-buru sekali Jay, mau ke
manakah?”, tanya Satria penasaran.
Mengendarai sepeda motor, Jay dan Satria
segera meninggalkan kost dan entah mereka akan pergi ke mana.
Hari memang sudah mulai gelap.
Mega-mega sudah bertaburan di ufuk barat. Burung-burung malam pun mulai tampak
berkeliaran terbang di udara. Burung-burung itulah yang dikenal dengan sebutan
kalong, siang tidur, saat malam tiba mereka baru terbangun.
Kalong-kalong itu memang pintar. Mereka
seakan tahu jika siang bukanlah sebagai penghidupan, karena kebanyakan makhluk
lainnya, termasuk manusia itu sendiri, mencari penghidupan saat matahari
terbelalak.Siang, bagi kalong adalah waktu tuk istirahat, sedangkan mencari
nafkah, mereka lakukan di malam hari saat manusia serta makhluk lainnya justru
sedang beristirahat. Boleh jadi, kalong merupakan hewan yang tidak pernah
merasa kekurangan pangan karena tak ada perebutan dalam mendapatkan makanan
pada saat malam hari.
Petang itu, di salah satu kedai kopi
kebanggaan para penikmat kopi di Jogja, Black Coffee, Jay dan Satria terlihat
sedang asyik dengan laptonya masing-masing. Maklum, kedai 24 jam ini memang
menyediakan hotspot gratis.
Suasana kedai tampak lengang. Yang
terdengar hanya suara musik yang bersumber dari kasir. Jay dan Satria tak
berkedip, seperti sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, sesekali mereka
tersenyum dan tertawa senang. Secangkir kopi dan rokok seperti sudah menjadi
menu panas yang tak pernah luput dari kedua insan seperjuangan itu.
Keduanya terlihat asyik, seakan tak mau
kalah dengan dua pasangan yang sedang asyik bermesraan di sudut utara dan
selatan.Suasana kedai yang tak ramai tiba-tiba terdengar gaduh oleh gelak tawa Jay
dan Satria.
Jay terlihat sedang menanyakan sesuatu
kepada Satria. Pertanyaan yang sepertinya sedang mangajak diskusi tentang
sesuatu hal. Satria yang dianggap sosok sahabat yang cerdas telah menjadi
tempat curhatan Jay.
“Satria, menurutmu, sosok perempuan
yang sedang ngobrol dengan aku di
chatting ini gimana?”, tanya Jay
seraya menyebutkan nama perempuan itu. Nissa.
“Bro, ngapain kamu mengurusi perempuan yang tidak jelas kau lihat itu?
Apa kamu tidak malu dengan mereka yang di sudut sana itu”, Satria sambil
menunjukkan jarinya kepada dua pasangan yang sedang ngobrol di sudut.
Jay berpikir keras. Wajahnya tampak
bingung dengan kata-kata Satria. Gejolak jiwa Jay memang sedang membara seperti
api yang disirami bensin, karena perempuan yang belakangan hadir dalam
pikirannya itu telah berhasil membuat Jay bertanya-tanya penuh penasaran. Dan
rasa penasaran Jay semakin membara sampai-sampai mengikis rasionalitasnya
sebagai seorang terdidik. Bagaimana tidak, perempuan itu banyak tahu dengan
aktivitas keseharian Jay, padahal mereka tidak saling kenal serta tahu menahu
antar satu sama lain.
Memegang kepala dan menarik-narik
rambutnya, Jay berkata; “Satria, jujur aku telah merasakan suatu kerisuan dalam
jiwaku mengenai perempuan misterius ini, dia menganggu pikiranku”.
“Orang bisa saja menyerang psikis kita
gel tanpa harus berhadapan dengan kita. Dibuatnya kamu penasaran, itu berarti
psikismu sudah kena, apalagi kalau kamu sudah sampai bertanya-tanya dan membuat
kamu seakan tak sadarkan diri”, Satria menasehati.
“Sudah...sudah, rokok dulu bro biar
mencair tuh pikiranmu”.
Jay merebahkan tubuhnya sejenak sambil
berpikir keras, dan tak lama dia bangun menanti perempuan itu online lagi setelah percakapan mereka
di-pending.
“Ayolah,jangan kau buat suasana ini
jadi tak rasional”, tukas Satria.
Jay tertawa terbahak-bahak.Satria
mengkerutkan dahinya, seperti orang yang bingung melihat tingkah laku aneh
sahabat karibnya itu. Dalam hati Satria bergumam, semoga saja dengan tawanya
itu Jay jadi waras dan sadar. Amin.!
Malam sudah mulai larut. Jam di tangan
telah menunjukan pukul 01.30 WIB, yang berarti pula siklus masa telah berpindah
ke hari bJayutnya. Siklus pergantian masa memang tiada siapapun di dunia dapat
membendungnya karena hal itu merupakan udah jadi hukum alam. Di situlah terjadi
suatu perubahan, begitu pula manusia dikejar oleh perubahan tersebut untuk
terus menerus memperbaiki kualitas diri menuju ke arah yang lebih baik. Hari
kemarin telah berhasil dilewati dengan hadirnya hari ini, dan begitu pun hari
ini juga akan terlewati dengan hadirnya hari esok, lusa, dan seterusnya begitu.
Itu ketentuan di luar kuasa manusia.
Perubahan siklus masa seakan memaksa
manusia untuk meninggalkan jauh-jauh hari-hari kemarin. Biar sejarah saja yang menngabadikannya
dalam catatan harian alam, toh suatu
hari nanti juga lembaran-lembaran catatan sejarah itu pasti akan dihamparkan ke
hadapan kita. Artinya, setiap diri manusia saban harinya telah membuat
sejarahnya sendiri-sendiri, dan bukankah hidup hanyalah sebuah proses?
Satria berusaha membangunkan Jay dari
lamunannya.
“Sudah, nggak usah dipikir-pikir banget
lah bro”, Satria tiba-tiba membuka obrolan setelah terdiam karena sibuk dengan
urusan masing-mamsing di dunia maya.
“Ya, aku nggak habis pikir aja Sat, kok bisa dia itu mengobok-obok pikiran
dan hatiku”, tukas Jay dengan raut wajah kebingungan.
Sambil merebut laptop yang ada di
hadapan Jay, Satria membuka file-file dengan maksud mengarahkan perhatian Jay
pada skripsi yang tinggal sedikit lagi selesai.
“Ini...ini pikirkan dulu.!!”, Satria
menunjukan jari telunjukkanya ke file skripsi Jay.
Sejak sebulan belakangan, Satria memang
dipilih Jay tuk membantunya mengerjakan skripsinya yang sudah diujung tanduk.
Sudah berkali-kali Jay meminta bantuan kepada teman-teman lainnya tapi tidak
satu pun yang berhasil, dan atas usulan teman-temannya, Jay akhirnya memutuskan
tuk menghubungi sekaligus meminta bantuan kepada Satria.
Bantuan ini tanpa pamrih. Satria
sendiri yang menghendakinya. Satria memang terkenal sosok yang rendah hati,
sudah berkali-kali dia diminta teman-temannya untuk membantu mengerjakan
skripsi, namun ia selalu menolak untuk dibayar, karena baginya membantu adalah nilai
dari sebuah persahabatan. Uang berapapun, bagi Satria tak akan mampu menebus
harga sebuah persahabatan sejati. Bagi Satria juga, semua orang adalah sahabat,
terlebih Jay yang saban harinya merupakan kawan nongkrong di warung kopi.
Menurut kisahnya, Satria selama ini
memang kerap kali dibohongi dan dikhianati orang. Pernah suatu ketika dia
diminta meng-edit sebuah naskah buku dan dijanjikan uang dua setengah juta
rupiah, celakanya, setelah naskah tersebut diterbitkan dalam bentuk buku
empunya malah justru kabur tak ada kabarnya. Kejadian seperti ini berulang kali
menimpa Satria, sehingga dia memutuskan jika suatu saat diminta membantu, maka
dia menolak dengan tegas apabila disuguhi janji akan diberi fee.
Awalnya Jay memang pernah menjanjikan
akan membJayan fee sebagai bentuk
penghargaan terhadap jasa yang akan dibJayan Satria, namun Satria menolaknya
mentah-mentah. Bagi Satria, sesama mahasiswa nggak usah menjanjikan “surga” karena “surga” teramat jauh dari
jangkauan mahasiswa, terlebih mahasiswa rantauan.
Keputusan Jay meminta bantuan Satria
untuk menyelesaikan skripsinya terbilang kepada orang yang tepat. Satria selama
ini memang terkenal sebagai seorang penulis kenamaan, terutama di kalangan
mahasiswa. Selama ia menjadi mahasiswa, berbagai arikelnya terbentang luas di
berbagai media massa, utamanya koran-koran konvensional. Selain itu juga, Satria
kerap kali memenangi berbagai ajang karya ilmiah berupa tulisan, sehingga bagi Satria,
membantu mengerjakan skripsi Jay bukanlah perkara asing. Dia tahu bagaimana
teknik mengerjakan sebuah karya ilmiah dengan cerdas tanpa harus berpusing-pusing
ria seperti mahasiswa pada umumnya. Satria bilang, ngerjain karya ilmiah itu nggak usah kerja keras, tapi kerja
cerdas. Kerja cerdas seperti apakah yang dimaksud Satria? Entahlah, hanya dia
yang tahu.!#
Arus teknologi sudah tidak dapat
dihindari, hanya kesadaran kitalah yang dapat menahan lajunya. Salah satu
bentuk nyata dari kemajuan teknologi ialah media internet yang menawarkan
berjuta-juta harapan karena setiap orang yang hidup seperti sedang dipermudah
dalam menggapai segala hal. Dunia maya adalah fatamograna yang sesungguhnya. Tetapi
di zaman yang serba edan ini, dunia
maya sangat mendominasi dan digandrungi oleh manusia. Sedikit sekali orang yang
mengkampanyekan bahayanya dunia maya, karena mereka juga telah ikut-ikutan nimbrung serta terbawa arusnya.
Aktivitas dunia maya itu tidak pernah
berhenti, walaupun hanya sedetik. Anehnya, setiap detiknya tak pernah
terlewatkan oleh manusia dengan berbagai keperluan, bahkan diakses untuk
sesuatu yang tidak perlu sekalipun.Dunia maya kini sudah sejalan dengan
kehidupan manusia,bahkan juga telah mendahului manusia. Dapat disimpulkan bahwa
teknologi tidak mengikuti kebudayaan manusia, tapi manusia itu sendirilah yang
telah menguntit kebudayaan teknologi. Ini sebenarnya persoalan dominasi dan
mendominasi. Jika sesuatu telah berhasil mendominasi, maka yang terdominasi
akan mengikuti saja arahnya ke mana. Budaya asal manusia itu bisa didominasi atau
dirubah oleh kebudayaan tertentu tergantung sejeli apa kita mengetahui
kebutuhan dan keinginan manusia. Karena manusia itu adalah makhluk yang
cenderung mendahului keinginan serta hawa nafsu ketimbang kesadarannya. Orang
biasanya memuaskan keinginan dan hawa nafsunya terlebih dahulu, setelah itu
baru mengorek-ngorek kesadarannya. Terlambat.! Lalu, pertanyaannya begini, manusia
mana yang lebih dahulu sadar sebelum memenuhi keinginan, kehendak dan hawa
nafsunya? Jawabannya, nyaris tidak ada.!
Tidak elok juga selalu mengeluh tentang
kenyataan hidup, pikirku spontan.Sebab, kenyataan ini memang tak dapat
disangkal, apalagi disesali, yang ada hanya membuat penyesalan baru. Akhirnya
aku putuskan untuk mengikuti arus hidup dan memegang erat-erat prinsip serta
keyakinan saja daripada mengumbar sumpah serapah yang tak jelas, pun nggak akan merubah kenyataan. Yang
terpenting bagiku ialah menggiring diri pribadi ke arah yang lebih baik, terus
dan terus begitu saban harinya. Bagaimana pun, teknologi telah terlanjur
menjadi bagian dari kehidupan. Apa kuasaku merubahnya!#
Jay merupakan sosok pribadi yang keras.
Sejak kecil sudah tertanam sikap ingin mandiri di dalam dirinya sehingga ia
memutuskan untuk menuntut ilmu jauh dari keluarga. Padahal, ia merupakan anak
bungsu dari enam sudaranya. Imej bahwa anak bungsu itu cenderung manja tidak
tampak di wajah dan sikapnya. Selain itu, selama berkutat dalam studinya, ia tidak
meminta orang tuanya tuk mengirim uang saku terkecuali untuk bayar SPP dan
heregistrasi.
Jay sepertinya ingin menghapus mitos
imej bahwa anak bungsu adalah anak yang manja serta yang paling banyak
memperoleh jatah harta dari orang tua. Selain itu, Jay juga tidak ingin
saudara-saudaranya iri nan dengki hanya karena dirinyalah yang terhitung
mengeyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Selama kurang lebih lima tahun Jay
mampu berhasil hidup di tanah perantauan tanpa mengandalkan biaya dari orang
tuanya, melainkan dengan hasil usahanya sendiri tuk mengisi uang saku.
Tapi, akhir-akhir ini, di semester
akhir dari studinya, Jay terlihat lebih banyak merepotkan orang tuanya dalam
hal keuangan. Ia mulai bersandar sepenuhnya dari kiriman orang tuanya. Jay
sudah tidak lagi berbisnis, ataupun mengisi uang sakunya dari hasil kerjanya
sendiri. Bisnisnya empat bulan lalu mendadak berhenti di tengah-tengah jalan
karena sesuatu hal yang ia sendiri tidak ceritakan kepada sesiapapun. Tampaknya
juga bukan karena kalah saing, bukan pula karena kehabisan modal. Yang pasti,
Jay sejak beberapa bulan belakangan sering tampak murung dan sama sekali tidak
bergairah, sekalipun untuk bangun dari tempat tidur. Dan hal ini pulalah,
menurut penuturannya yang membuat skripsinya terbengkalai, padahal harusnya
sudah kelar lima bulan yang lalu.
Untung saja di kampusnya masih berlaku
kebijakan dalam setahun digelar tiga kali wisuda. Jadi, Jay berusaha mengejar
wisuda bulan desember yang merupakan kesempatan terakhir di tahun ini setelah
dua kali agenda wisuda terlewatkan olehnya.
Nyaris hampir semua teman-temannya terheran-heran
dengan Jay yang telah berubah dari yang biasanya selalu terlihat ceria menjadi
murung seakan tak berdaya. Hidupnya pun sudah tidak teratur. Hampir tiap malam,
sejak lima bulan lalu, Jay menegak minuman keras, jarang tidur malam, dan
akhirnya jadi kebiasaan sampai-sampai nyaris tidak ada yang mampu merubah
kebiasaan asing seorang Jay itu. Terakhir, Jay kerap terlihat sering main judi
kartu, dan selalu kalah, stress, hingga mobilnya pun ia jual demi memenuhi
nafsu judinya yang sudah terbilang kebablasan itu. Sungguh, judi merupakan
perilaku tak sadar yang berhasil mengoyak-oyak rasa penasaran seseorang untuk
menang. Namun, kemenangan itu juga akan berakhir oleh rasa penasaran itu
sendiri.
Tidak ada satupun teman Jay yang
berhasil membendung kegilaannya selama kurang lebih empat bulan belakangan. Jay
pun telah berubah menjadi pribadi yang tertutup dan lebih banyak diam, sehingga
tak satupun yang tahu apa akar masalah yang membuat Jay begitu terlihat frustasi
bin stres. Jay, lebih banyak menghindar dari teman-temannya, dan kerap kali
mengunci diri di dalam kamar saat di kost.
Satria memang sosok yang cerdas. Tahu
dengan kondisi psikis Jay yang sedang drop, tanpa pikir panjang ia pun menerima
sodoran Jay tuk membantunya mengerjakan skripsi.
“Kamu sibuk nggak Sat?”, tanya Jay singkat saat mereka sedang ngopi di Blando Coffe.
“Aku sekarang nggak ada kesibukan apa-apa Jay”, sahut Satria santai. “Gimana, ada yang perlu dibantu?”, tawar
Sartia.
“Begini”, Jay tampak serius. “Aku kan dikasih waktu tiga bulan oleh pihak
fakultas untuk menyelesaikan akademik sekaligus skripsiku. Nah, kemarin aku sudah meminta bantuan dari beberapa teman, tapi
semuanya mental, dan skripsiku malah terbengkalai sekrang”, lanjutnya.
“Sebentar.. sebentar”, Satria memotong
omongan Jay. “Kamu minta bantuan aku urusan akademik yang mana nih, skripsi maksudmu?”, Satria bertanya
balik.
Dengan segera Jay menjawab, “Iya,
skripsi maksudku. Untuk urusan akademik lainnya biar aku selesaikan sendiri
aja”, ia menjelaskan.
“Jadi gini, aku sudah ngajuin judul skripsi sekaligus proposalnya, dan udah
aku presentasikan, tapi judul dan proposalku ditolak mentah-mentah”, Jay tampak
agak geram.
Sepertinya Jay memang sedang geram
dengan ditolaknya judul dan proposal skripsinya.
“Pihak penguji sekaligus pembimbingku
bilang kalau objek penelitianku itu tidak pantas untuk diteliti, karena
organisasinya tidak kompetitif”, lanjut Jay sambil memperlihatkan proposalnya yang
dicoret dengan tinta merah.
Satria diam mendengarkan secara saksama
penjelasan dari Jay tentang nasib naas judul dan proposal skripainya yang
ditolak. Dari penjelasan panjang lebar Jay, Satria coba menyimpulkan bahwa Jay
butuh judul yang baru, dan dia meminta pendapat dari Satria.
Setelah Jay selesai berbicara, Satria
berbicara memberikan pendapat namun terkesan agak meremehkan.
“Judul dan objek penelitian yang
menarik untuk diteliti itu banyak Jay. Itu persoalan gampang”, tukas Satria
remeh.
Jay menyimpan geram di wajahnya
mendengar omongan Satria yang terkesan meremehkan itu.
“Gampang gimana maksud kamu?”, tanya Jay ngotot
tanpa mengedutkan matanya.
Satria mencoba untuk tidak terprovokasi
dengan pandangan mata Jay yang menyalakan api kemarahan. Satria menanggapinya
dengan santai sembari menghisap rokoknya. Setelah meminum kopinya, Satria justru
balik melotot ke arah Jay yang memandangnya penuh kegeraman. Jiwa Jay merasa
terhina karena sikap dan omongan Satria yang jelas-jelas meremehkan Jay.
“Kenapa nggak kau teliti saja organisasi ekstra-kampus mahasiswa?”, tanya
Satria menyerang.
“Bukankah organisasi-organisasi itu
cukup kompetitif selama ini dalam mengawali gerakan mahasiswa, bahkan setiap
hari mereka melakukan demostrasi, berorasi menyuarakan idelisme mereka”, lanjut
Satria.
Jay tertunduk malu. Ia merasa ada
benarnya juga ide dan gagasan Satria.
“Dari pada kamu meleliti jauh-jauh ke
Jawa Timur tapi hasilnya nol.!”, tukas Satria serius.
“Padahal intinya kamu hanya perlu lebih
cermat dan teliti aja kok melihat fenomena di sekelilingmu”.
Sambil termenung, Jay mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Iya. Benar itu Sat. Aku setuju banget dengan idemu”, jawab jay pasrah.
“Ya sudah. Besok kita mulai kerjakan yah, soalnya aku harus cepat ini
selesainya”, pinta Jay.
“Siap.! Apa sih yang nggak buat
kamu”, jawab Satria singkat.
Jay tertawa yang mengundang perhatian
orang-orang di sekitar, Satria pun segera mengubah posisi duduknya.
Hari itu Blando Cafe tampak ramai. Kedai
kopi tertua di Jogja ini saban harinya memang tidak pernah sepi. Bagi
kebanyakan mahasiswa Jogja, Blando Cafe memang menjadi tujuan favorit bagi para
penikmat kopi selain Black Cafe yang terletak berjauhan dari Blando Cafe.
Blando Cafe, selain kopinya memang terasa nikmat, nuansa kebersamaannya pun
lebih kental dan mempersatukan berbagai kultur serta budaya yang berbeda.#
Jadwal mengerjakan skripsi Jay fokuskan
pada malam hari. Tak seperti kebanyakan orang, Jay mengerjakannya justru di
warung kopi yang menyediakan wifi-nya, dan baginya, warung kopi malah justru
dianggap lebih kondusif ketimbang mengerjakan di kost.
Selepas maghrib, Jay dan Satria sudah
terlihat duduk manis di Black Cafe, berjejer dengan bekal dua buah laptop. Secangkir
kopi dan sebungkus rokok adalah dua sahabat lain yang melengkapi aktivitas kedua
sahabat seperjuangan itu.
Seakan tak memperdulikan keadaan cafe
yang disesaki manusia malam ini, Jay dan Satria malah asyik mengumbar tawa
sembari menghadap laptop masing-masing. Wajah-wajah ceria tampak jelas di raut
muka kedua sahabat itu. Jay dan Satria sedang asyik berselancar di dunia maya,
seakan tak menghiraukan tujuan utama mereka ke cafe itu, yakni mengerjakan
skripsi.
Rupa-rupanya, kedua sahabat karib itu sedang
asyik chatting. Mereka memiliki gebetan masing-masing di dunia chatting
yang sedang mereka gandrungi beberapa hari belakangan.Sesekali Jay menoleh ke
laptop Satria, dan begitu pula Satria. Sepertinya mereka sudah saling
memberitahu tentang gadis yang mereka kenal lewat akun yahoo itu. Gadis yang ngobrol dengan Jay mengaku berada di
Jakarta, sementara seorang gadis yang ngobrol
dengan Satria mengaku berada di Jogja.
“Siapa nama perempuan itu Jay?”, tanya
Satria.
“Emm, dia sih ngakunya Anis”, jawab Jay datar tanpa berniat menanyakan perempuan
yang sedang chatting dengan Satria.
Obrolan mereka singkat dan berlalu
begitu saja. Hingga larut malam, kedua sahabat itu masih saja berselancar di
dunia maya, sampai Satria mengingatkan Jay tentang skripsinya yang harus segera
dikerjakan. Jay terlebih dahulu memastikan Anis, gadis yang ia chat sudah
tertidur barulah ia menghentikan aktivitas chatting-nya.
Setelah dipastikan Anis tidur, Jay pun
mengalihkan perhatiannya ke draff skripsinya dengan wajah ceria. Keceriaan Jay
tampak jelas dari matanya yang berbinar-binar diiringi senyuman di sudut
bibirnya, disertai semangatnya yang seakan membara-bara.
Satria terheran-heran melihat tingkah
Jay. Tapi di sisi lain Satria bersyukur karena sahabat karibnya itu sudah mulai
gemar mengumbar senyuman, tak lagi murung seperti biasanya.
“Oke. Kita mulai dari mana ini?”, tanya
Jay.
Sambil membuka draff skripsi yang telah
ditolak sebelumnya, dengan cepat Satria menunjukkan tangannya kepada judul
skripsi yang harus dirubah terlebih dahulu. Tak banyak yang dirubah, hanya
obyek dari penelitiannya saja.
Malam berlalu dengan sepi. Cafe yang
tadinya ramai riuh kini hanya menyisakan beberapa orang saja karena memang
sudah larut malam. Waktunya orang-orang beristirahat, tidur malam, tapi tidak
buat Jay dan Satria, mereka justru bekerja.
“Hidup itu harus saling menjaga.
Orang-orang tidur kita melek biar
kalau terjadi apa-apa kan kita bisa
membangunkan mereka”, celoteh Jay.
“Terus siangnya kita tidur di saat
orang-orang pada melek biar mereka
juga bisa bangunkan kita kalau terjadi apa-apa gitu maksudmu?”, sahut Satria.
“Haha. Iya”, jawab Jay sambil tertawa.
Hingga menjelang subuh, kedua sahabat
itu masih tampak serius dengan pekerjaannya. Jay yang membaca, sementara Satria
yang menulis. Sesekali mereka beristirahat sejenak, sambil meluruskan kaki,
menggelengkan kepala. Di wajah mereka tampak jelas rasa kantuk yang sejak tadi
ditahan serta kelelahan yang seperti tak dihiraukan.
Pagi telah tampak. Mentari telah
menyingsing di ufuk timur. Tepat pukul 06.00 WIB, Jay dan Satria pun pulang
meninggalkan Black Cafe menyisakan pekerjaan yang belum kelar.#
Satu bulan
kemudian.........#
Skripsi Jay
selesai dikerjakan tepat satu bulan lamanya. Dalam sebulan, nyaris tak
semalampun dilewatkan Jay dan Satria untuk menyelesaikan tugas akademik itu,
hingga akhirnya kelar.
Dua minggu
lamanya Jay memproses karya ilmiahnya itu di kampusnya. Mulai dari mengajukan
skripsi hingga proses sidang dan pendadaran yang nyaris tanpa rintangan yang
berarti. Dengan kata lain, Jay berhasil menyelesaikan tugas akhirnya dan
selanjutnya tinggal menunggu waktu wisuda.
“Hallo”
“Di mana
posisi bro?”, tanya Jay dalam HP.
“Aku tunggu
di Blando sore nanti ya”, sambung Jay.
Sore pun
segera tiba. Rupa-rupanya Jay tadi menelepon Satria, mengajak ngopi. Kedua
sahabat karib itu pun tampak sedang ngobrol sembari mengucapkan rasa
terimakasihnya kepada Satria yang telah sudi membantunya mengerjakan tugas
akhirnya.
“Aku dapat
nilai A bro”, ujar Jay sambil tersenyum lebar.
“Waaah, hebat
dong Jay, selamat deh”, sahut Satria bahagia.
Satria tampak
tak begitu kaget dengan nilai yang diperoleh Jay, karena sebelumnya ia memang
sudah mengira jika karya ilmiah itu akan diganjar dengan nilai bagus. Memang,
batin Satria, skripsi Jay sepatutnya diberi nilai A. Lebih-lebih, seperti
diceritakan Jay, pertanyaan-pertanyaan dari para penguji dijawab tuntas olehnya
saat sidang sebagai bentuk pertanggungjawaban dari hasil penelitian yang
disuguhkan dalam skripsi setebal 130 halaman itu.
Jay pun
tampak tersenyum puas. Bahkan, menurut penuturannya, ia sendiri tak pernah
menyangka jika tugas akhirnya itu selesai dalam waktu cepat karena sudah sejak
setahun lalu Jay mengajukan judul skripsi namun selalu kandas, tergadai begitu
saja. Akan tetapi kali ini, berkat dibantu Satria serta tekad bulat dari Jay
sendiri agar segera selesai sungguh seperti menjadi motivasi tersendiri bagi
Jay. Tekad itu terwujud nyata.
Jay tak
henti-hantinya mengucapkan terimakasih kepada Satria yang telah bersedia
membantunya tanpa pamrih, hanya bermodalkan rasa persahabatan.
“Eh Jay,
besok pas wisuda mau dibawakan bunga yang dijual orang-orang di sekitar wisuda
itu atau bunga beserta potnya ini,” canda Satria sembari mengangkat sebuah pot
bunga.
Jay
terbahak-bahak. “Ide yang bagus. Hahaha,” tawanya.
Sore hari itu
pun berlalu begitu cepatnya. Kegembiraan dan canda-tawa Jay dan Satria larut
bersama siluet senja. Adzan magrib pun berkumandang lantang membelah mega-mega,
cerah seperti kegembiraan Jay yang segera mengenakan jubah kebesaran kaum
akademisi. Toga.! Ya, esok hari..... #Wisuda. Happy Graduation Jay.#Jangan lupa
ucapkan terimakasih (juga) kepada gadis chatting yang sebulan belakangan setia
menemani malam-malam kita di Black Cafe. Meski tak nyata, tetapi tetap saja
gadis itu pernah hadir di antara kita dan tumpukan data-data skripsimu. Ya,
gadis chatting itu, yang di antaranya sempat menganggu pikiran dan psikismu.#TheEnd