Sunday 16 November 2014

GADIS CHATTING


 Wisuda tahun ini merupakan harga mati bagi Jay. Mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi negeri ini benar-benar ngotot tuk mengakhiri pengembaraan studinya setelah enam tahun menyandang status sebagai mahasiswa. Waktu masih tersisa tiga bulan tuk merampungkan skripsi yang merupakan syarat mutlak kelulusan, menutup buku, sekaligus meraih toga. Ya, hanya itu tujuan dari kuliah.!
Sore ini Jay terlihat terburu-buru.Wajahnya sedikit berbinar.Tidak seperti hari-hari kemarin, tampak murung dan lesu. Satria segera menghampirinya.
“Kau buru-buru sekali Jay, mau ke manakah?”, tanya Satria penasaran.
Sambil menarik tangan Satria, Jay mengucapkan kalimat singkat, “Ayo ikut saya”, tukasnya spontan.


Mengendarai sepeda motor, Jay dan Satria segera meninggalkan kost dan entah mereka akan pergi ke mana.
Hari memang sudah mulai gelap. Mega-mega sudah bertaburan di ufuk barat. Burung-burung malam pun mulai tampak berkeliaran terbang di udara. Burung-burung itulah yang dikenal dengan sebutan kalong, siang tidur, saat malam tiba mereka baru terbangun.
Kalong-kalong itu memang pintar. Mereka seakan tahu jika siang bukanlah sebagai penghidupan, karena kebanyakan makhluk lainnya, termasuk manusia itu sendiri, mencari penghidupan saat matahari terbelalak.Siang, bagi kalong adalah waktu tuk istirahat, sedangkan mencari nafkah, mereka lakukan di malam hari saat manusia serta makhluk lainnya justru sedang beristirahat. Boleh jadi, kalong merupakan hewan yang tidak pernah merasa kekurangan pangan karena tak ada perebutan dalam mendapatkan makanan pada saat malam hari.
Petang itu, di salah satu kedai kopi kebanggaan para penikmat kopi di Jogja, Black Coffee, Jay dan Satria terlihat sedang asyik dengan laptonya masing-masing. Maklum, kedai 24 jam ini memang menyediakan hotspot gratis.
Suasana kedai tampak lengang. Yang terdengar hanya suara musik yang bersumber dari kasir. Jay dan Satria tak berkedip, seperti sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, sesekali mereka tersenyum dan tertawa senang. Secangkir kopi dan rokok seperti sudah menjadi menu panas yang tak pernah luput dari kedua insan seperjuangan itu.
Keduanya terlihat asyik, seakan tak mau kalah dengan dua pasangan yang sedang asyik bermesraan di sudut utara dan selatan.Suasana kedai yang tak ramai tiba-tiba terdengar gaduh oleh gelak tawa Jay dan Satria.
Jay terlihat sedang menanyakan sesuatu kepada Satria. Pertanyaan yang sepertinya sedang mangajak diskusi tentang sesuatu hal. Satria yang dianggap sosok sahabat yang cerdas telah menjadi tempat curhatan Jay.
“Satria, menurutmu, sosok perempuan yang sedang ngobrol dengan aku di chatting ini gimana?”, tanya Jay seraya menyebutkan nama perempuan itu. Nissa.
“Bro, ngapain kamu mengurusi perempuan yang tidak jelas kau lihat itu? Apa kamu tidak malu dengan mereka yang di sudut sana itu”, Satria sambil menunjukkan jarinya kepada dua pasangan yang sedang ngobrol di sudut.
Jay berpikir keras. Wajahnya tampak bingung dengan kata-kata Satria. Gejolak jiwa Jay memang sedang membara seperti api yang disirami bensin, karena perempuan yang belakangan hadir dalam pikirannya itu telah berhasil membuat Jay bertanya-tanya penuh penasaran. Dan rasa penasaran Jay semakin membara sampai-sampai mengikis rasionalitasnya sebagai seorang terdidik. Bagaimana tidak, perempuan itu banyak tahu dengan aktivitas keseharian Jay, padahal mereka tidak saling kenal serta tahu menahu antar satu sama lain.
Memegang kepala dan menarik-narik rambutnya, Jay berkata; “Satria, jujur aku telah merasakan suatu kerisuan dalam jiwaku mengenai perempuan misterius ini, dia menganggu pikiranku”.
“Orang bisa saja menyerang psikis kita gel tanpa harus berhadapan dengan kita. Dibuatnya kamu penasaran, itu berarti psikismu sudah kena, apalagi kalau kamu sudah sampai bertanya-tanya dan membuat kamu seakan tak sadarkan diri”, Satria menasehati.
“Sudah...sudah, rokok dulu bro biar mencair tuh pikiranmu”.
Jay merebahkan tubuhnya sejenak sambil berpikir keras, dan tak lama dia bangun menanti perempuan itu online lagi setelah percakapan mereka di-pending.
“Ayolah,jangan kau buat suasana ini jadi tak rasional”, tukas Satria.
Jay tertawa terbahak-bahak.Satria mengkerutkan dahinya, seperti orang yang bingung melihat tingkah laku aneh sahabat karibnya itu. Dalam hati Satria bergumam, semoga saja dengan tawanya itu Jay jadi waras dan sadar. Amin.!
Malam sudah mulai larut. Jam di tangan telah menunjukan pukul 01.30 WIB, yang berarti pula siklus masa telah berpindah ke hari bJayutnya. Siklus pergantian masa memang tiada siapapun di dunia dapat membendungnya karena hal itu merupakan udah jadi hukum alam. Di situlah terjadi suatu perubahan, begitu pula manusia dikejar oleh perubahan tersebut untuk terus menerus memperbaiki kualitas diri menuju ke arah yang lebih baik. Hari kemarin telah berhasil dilewati dengan hadirnya hari ini, dan begitu pun hari ini juga akan terlewati dengan hadirnya hari esok, lusa, dan seterusnya begitu. Itu ketentuan di luar kuasa manusia.
Perubahan siklus masa seakan memaksa manusia untuk meninggalkan jauh-jauh hari-hari kemarin. Biar sejarah saja yang menngabadikannya dalam catatan harian alam, toh suatu hari nanti juga lembaran-lembaran catatan sejarah itu pasti akan dihamparkan ke hadapan kita. Artinya, setiap diri manusia saban harinya telah membuat sejarahnya sendiri-sendiri, dan bukankah hidup hanyalah sebuah proses?
Satria berusaha membangunkan Jay dari lamunannya.
“Sudah, nggak usah dipikir-pikir banget lah bro”, Satria tiba-tiba membuka obrolan setelah terdiam karena sibuk dengan urusan masing-mamsing di dunia maya.
“Ya, aku nggak habis pikir aja Sat, kok bisa dia itu mengobok-obok pikiran dan hatiku”, tukas Jay dengan raut wajah kebingungan.
Sambil merebut laptop yang ada di hadapan Jay, Satria membuka file-file dengan maksud mengarahkan perhatian Jay pada skripsi yang tinggal sedikit lagi selesai.
“Ini...ini pikirkan dulu.!!”, Satria menunjukan jari telunjukkanya ke file skripsi Jay.
Sejak sebulan belakangan, Satria memang dipilih Jay tuk membantunya mengerjakan skripsinya yang sudah diujung tanduk. Sudah berkali-kali Jay meminta bantuan kepada teman-teman lainnya tapi tidak satu pun yang berhasil, dan atas usulan teman-temannya, Jay akhirnya memutuskan tuk menghubungi sekaligus meminta bantuan kepada Satria.
Bantuan ini tanpa pamrih. Satria sendiri yang menghendakinya. Satria memang terkenal sosok yang rendah hati, sudah berkali-kali dia diminta teman-temannya untuk membantu mengerjakan skripsi, namun ia selalu menolak untuk dibayar, karena baginya membantu adalah nilai dari sebuah persahabatan. Uang berapapun, bagi Satria tak akan mampu menebus harga sebuah persahabatan sejati. Bagi Satria juga, semua orang adalah sahabat, terlebih Jay yang saban harinya merupakan kawan nongkrong di warung kopi.
Menurut kisahnya, Satria selama ini memang kerap kali dibohongi dan dikhianati orang. Pernah suatu ketika dia diminta meng-edit sebuah naskah buku dan dijanjikan uang dua setengah juta rupiah, celakanya, setelah naskah tersebut diterbitkan dalam bentuk buku empunya malah justru kabur tak ada kabarnya. Kejadian seperti ini berulang kali menimpa Satria, sehingga dia memutuskan jika suatu saat diminta membantu, maka dia menolak dengan tegas apabila disuguhi janji akan diberi fee.
Awalnya Jay memang pernah menjanjikan akan membJayan fee sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa yang akan dibJayan Satria, namun Satria menolaknya mentah-mentah. Bagi Satria, sesama mahasiswa nggak usah menjanjikan “surga” karena “surga” teramat jauh dari jangkauan mahasiswa, terlebih mahasiswa rantauan.
Keputusan Jay meminta bantuan Satria untuk menyelesaikan skripsinya terbilang kepada orang yang tepat. Satria selama ini memang terkenal sebagai seorang penulis kenamaan, terutama di kalangan mahasiswa. Selama ia menjadi mahasiswa, berbagai arikelnya terbentang luas di berbagai media massa, utamanya koran-koran konvensional. Selain itu juga, Satria kerap kali memenangi berbagai ajang karya ilmiah berupa tulisan, sehingga bagi Satria, membantu mengerjakan skripsi Jay bukanlah perkara asing. Dia tahu bagaimana teknik mengerjakan sebuah karya ilmiah dengan cerdas tanpa harus berpusing-pusing ria seperti mahasiswa pada umumnya. Satria bilang, ngerjain  karya ilmiah itu nggak usah kerja keras, tapi kerja cerdas. Kerja cerdas seperti apakah yang dimaksud Satria? Entahlah, hanya dia yang tahu.!#
Arus teknologi sudah tidak dapat dihindari, hanya kesadaran kitalah yang dapat menahan lajunya. Salah satu bentuk nyata dari kemajuan teknologi ialah media internet yang menawarkan berjuta-juta harapan karena setiap orang yang hidup seperti sedang dipermudah dalam menggapai segala hal. Dunia maya adalah fatamograna yang sesungguhnya. Tetapi di zaman yang serba edan ini, dunia maya sangat mendominasi dan digandrungi oleh manusia. Sedikit sekali orang yang mengkampanyekan bahayanya dunia maya, karena mereka juga telah ikut-ikutan nimbrung serta terbawa arusnya.
Aktivitas dunia maya itu tidak pernah berhenti, walaupun hanya sedetik. Anehnya, setiap detiknya tak pernah terlewatkan oleh manusia dengan berbagai keperluan, bahkan diakses untuk sesuatu yang tidak perlu sekalipun.Dunia maya kini sudah sejalan dengan kehidupan manusia,bahkan juga telah mendahului manusia. Dapat disimpulkan bahwa teknologi tidak mengikuti kebudayaan manusia, tapi manusia itu sendirilah yang telah menguntit kebudayaan teknologi. Ini sebenarnya persoalan dominasi dan mendominasi. Jika sesuatu telah berhasil mendominasi, maka yang terdominasi akan mengikuti saja arahnya ke mana. Budaya asal manusia itu bisa didominasi atau dirubah oleh kebudayaan tertentu tergantung sejeli apa kita mengetahui kebutuhan dan keinginan manusia. Karena manusia itu adalah makhluk yang cenderung mendahului keinginan serta hawa nafsu ketimbang kesadarannya. Orang biasanya memuaskan keinginan dan hawa nafsunya terlebih dahulu, setelah itu baru mengorek-ngorek kesadarannya. Terlambat.! Lalu, pertanyaannya begini, manusia mana yang lebih dahulu sadar sebelum memenuhi keinginan, kehendak dan hawa nafsunya? Jawabannya, nyaris tidak ada.!
Tidak elok juga selalu mengeluh tentang kenyataan hidup, pikirku spontan.Sebab, kenyataan ini memang tak dapat disangkal, apalagi disesali, yang ada hanya membuat penyesalan baru. Akhirnya aku putuskan untuk mengikuti arus hidup dan memegang erat-erat prinsip serta keyakinan saja daripada mengumbar sumpah serapah yang tak jelas, pun nggak akan merubah kenyataan. Yang terpenting bagiku ialah menggiring diri pribadi ke arah yang lebih baik, terus dan terus begitu saban harinya. Bagaimana pun, teknologi telah terlanjur menjadi bagian dari kehidupan. Apa kuasaku merubahnya!#
Jay merupakan sosok pribadi yang keras. Sejak kecil sudah tertanam sikap ingin mandiri di dalam dirinya sehingga ia memutuskan untuk menuntut ilmu jauh dari keluarga. Padahal, ia merupakan anak bungsu dari enam sudaranya. Imej bahwa anak bungsu itu cenderung manja tidak tampak di wajah dan sikapnya. Selain itu, selama berkutat dalam studinya, ia tidak meminta orang tuanya tuk mengirim uang saku terkecuali untuk bayar SPP dan heregistrasi.
Jay sepertinya ingin menghapus mitos imej bahwa anak bungsu adalah anak yang manja serta yang paling banyak memperoleh jatah harta dari orang tua. Selain itu, Jay juga tidak ingin saudara-saudaranya iri nan dengki hanya karena dirinyalah yang terhitung mengeyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Selama kurang lebih lima tahun Jay mampu berhasil hidup di tanah perantauan tanpa mengandalkan biaya dari orang tuanya, melainkan dengan hasil usahanya sendiri tuk mengisi uang saku.
Tapi, akhir-akhir ini, di semester akhir dari studinya, Jay terlihat lebih banyak merepotkan orang tuanya dalam hal keuangan. Ia mulai bersandar sepenuhnya dari kiriman orang tuanya. Jay sudah tidak lagi berbisnis, ataupun mengisi uang sakunya dari hasil kerjanya sendiri. Bisnisnya empat bulan lalu mendadak berhenti di tengah-tengah jalan karena sesuatu hal yang ia sendiri tidak ceritakan kepada sesiapapun. Tampaknya juga bukan karena kalah saing, bukan pula karena kehabisan modal. Yang pasti, Jay sejak beberapa bulan belakangan sering tampak murung dan sama sekali tidak bergairah, sekalipun untuk bangun dari tempat tidur. Dan hal ini pulalah, menurut penuturannya yang membuat skripsinya terbengkalai, padahal harusnya sudah kelar lima bulan yang lalu.
Untung saja di kampusnya masih berlaku kebijakan dalam setahun digelar tiga kali wisuda. Jadi, Jay berusaha mengejar wisuda bulan desember yang merupakan kesempatan terakhir di tahun ini setelah dua kali agenda wisuda terlewatkan olehnya.
Nyaris hampir semua teman-temannya terheran-heran dengan Jay yang telah berubah dari yang biasanya selalu terlihat ceria menjadi murung seakan tak berdaya. Hidupnya pun sudah tidak teratur. Hampir tiap malam, sejak lima bulan lalu, Jay menegak minuman keras, jarang tidur malam, dan akhirnya jadi kebiasaan sampai-sampai nyaris tidak ada yang mampu merubah kebiasaan asing seorang Jay itu. Terakhir, Jay kerap terlihat sering main judi kartu, dan selalu kalah, stress, hingga mobilnya pun ia jual demi memenuhi nafsu judinya yang sudah terbilang kebablasan itu. Sungguh, judi merupakan perilaku tak sadar yang berhasil mengoyak-oyak rasa penasaran seseorang untuk menang. Namun, kemenangan itu juga akan berakhir oleh rasa penasaran itu sendiri.
Tidak ada satupun teman Jay yang berhasil membendung kegilaannya selama kurang lebih empat bulan belakangan. Jay pun telah berubah menjadi pribadi yang tertutup dan lebih banyak diam, sehingga tak satupun yang tahu apa akar masalah yang membuat Jay begitu terlihat frustasi bin stres. Jay, lebih banyak menghindar dari teman-temannya, dan kerap kali mengunci diri di dalam kamar saat di kost.
Satria memang sosok yang cerdas. Tahu dengan kondisi psikis Jay yang sedang drop, tanpa pikir panjang ia pun menerima sodoran Jay tuk membantunya mengerjakan skripsi.
“Kamu sibuk nggak Sat?”, tanya Jay singkat saat mereka sedang ngopi di Blando Coffe.
“Aku sekarang nggak ada kesibukan apa-apa Jay”, sahut Satria santai. “Gimana, ada yang perlu dibantu?”, tawar Sartia.
“Begini”, Jay tampak serius. “Aku kan dikasih waktu tiga bulan oleh pihak fakultas untuk menyelesaikan akademik sekaligus skripsiku. Nah, kemarin aku sudah meminta bantuan dari beberapa teman, tapi semuanya mental, dan skripsiku malah terbengkalai sekrang”, lanjutnya.
“Sebentar.. sebentar”, Satria memotong omongan Jay. “Kamu minta bantuan aku urusan akademik yang mana nih, skripsi maksudmu?”, Satria bertanya balik.
Dengan segera Jay menjawab, “Iya, skripsi maksudku. Untuk urusan akademik lainnya biar aku selesaikan sendiri aja”, ia menjelaskan.
“Jadi gini, aku sudah ngajuin  judul skripsi sekaligus proposalnya, dan udah aku presentasikan, tapi judul dan proposalku ditolak mentah-mentah”, Jay tampak agak geram.
Sepertinya Jay memang sedang geram dengan ditolaknya judul dan proposal skripsinya.
“Pihak penguji sekaligus pembimbingku bilang kalau objek penelitianku itu tidak pantas untuk diteliti, karena organisasinya tidak kompetitif”, lanjut Jay sambil memperlihatkan proposalnya yang dicoret dengan tinta merah.
Satria diam mendengarkan secara saksama penjelasan dari Jay tentang nasib naas judul dan proposal skripainya yang ditolak. Dari penjelasan panjang lebar Jay, Satria coba menyimpulkan bahwa Jay butuh judul yang baru, dan dia meminta pendapat dari Satria.
Setelah Jay selesai berbicara, Satria berbicara memberikan pendapat namun terkesan agak meremehkan.
“Judul dan objek penelitian yang menarik untuk diteliti itu banyak Jay. Itu persoalan gampang”, tukas Satria remeh.
Jay menyimpan geram di wajahnya mendengar omongan Satria yang terkesan meremehkan itu.
“Gampang gimana maksud kamu?”, tanya Jay ngotot  tanpa mengedutkan matanya.
Satria mencoba untuk tidak terprovokasi dengan pandangan mata Jay yang menyalakan api kemarahan. Satria menanggapinya dengan santai sembari menghisap rokoknya. Setelah meminum kopinya, Satria justru balik melotot ke arah Jay yang memandangnya penuh kegeraman. Jiwa Jay merasa terhina karena sikap dan omongan Satria yang jelas-jelas meremehkan Jay.
“Kenapa nggak kau teliti saja organisasi ekstra-kampus mahasiswa?”, tanya Satria menyerang.
“Bukankah organisasi-organisasi itu cukup kompetitif selama ini dalam mengawali gerakan mahasiswa, bahkan setiap hari mereka melakukan demostrasi, berorasi menyuarakan idelisme mereka”, lanjut Satria.
Jay tertunduk malu. Ia merasa ada benarnya juga ide dan gagasan Satria.
“Dari pada kamu meleliti jauh-jauh ke Jawa Timur tapi hasilnya nol.!”, tukas Satria serius.
“Padahal intinya kamu hanya perlu lebih cermat dan teliti aja kok melihat fenomena di sekelilingmu”.
Sambil termenung, Jay mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Iya. Benar itu Sat. Aku setuju banget dengan idemu”, jawab jay pasrah.
“Ya sudah. Besok kita mulai kerjakan yah, soalnya aku harus cepat ini selesainya”, pinta Jay.
“Siap.! Apa sih yang nggak buat kamu”, jawab Satria singkat.
Jay tertawa yang mengundang perhatian orang-orang di sekitar, Satria pun segera mengubah posisi duduknya.
Hari itu Blando Cafe tampak ramai. Kedai kopi tertua di Jogja ini saban harinya memang tidak pernah sepi. Bagi kebanyakan mahasiswa Jogja, Blando Cafe memang menjadi tujuan favorit bagi para penikmat kopi selain Black Cafe yang terletak berjauhan dari Blando Cafe. Blando Cafe, selain kopinya memang terasa nikmat, nuansa kebersamaannya pun lebih kental dan mempersatukan berbagai kultur serta budaya yang berbeda.#
Jadwal mengerjakan skripsi Jay fokuskan pada malam hari. Tak seperti kebanyakan orang, Jay mengerjakannya justru di warung kopi yang menyediakan wifi-nya, dan baginya, warung kopi malah justru dianggap lebih kondusif ketimbang mengerjakan di kost.
Selepas maghrib, Jay dan Satria sudah terlihat duduk manis di Black Cafe, berjejer dengan bekal dua buah laptop. Secangkir kopi dan sebungkus rokok adalah dua sahabat lain yang melengkapi aktivitas kedua sahabat seperjuangan itu.
Seakan tak memperdulikan keadaan cafe yang disesaki manusia malam ini, Jay dan Satria malah asyik mengumbar tawa sembari menghadap laptop masing-masing. Wajah-wajah ceria tampak jelas di raut muka kedua sahabat itu. Jay dan Satria sedang asyik berselancar di dunia maya, seakan tak menghiraukan tujuan utama mereka ke cafe itu, yakni mengerjakan skripsi.
Rupa-rupanya, kedua sahabat karib itu sedang asyik chatting. Mereka memiliki gebetan masing-masing di dunia chatting yang sedang mereka gandrungi beberapa hari belakangan.Sesekali Jay menoleh ke laptop Satria, dan begitu pula Satria. Sepertinya mereka sudah saling memberitahu tentang gadis yang mereka kenal lewat akun yahoo itu. Gadis yang ngobrol dengan Jay mengaku berada di Jakarta, sementara seorang gadis yang ngobrol dengan Satria mengaku berada di Jogja.
“Siapa nama perempuan itu Jay?”, tanya Satria.
“Emm, dia sih ngakunya Anis”, jawab Jay datar tanpa berniat menanyakan perempuan yang sedang chatting dengan Satria.
Obrolan mereka singkat dan berlalu begitu saja. Hingga larut malam, kedua sahabat itu masih saja berselancar di dunia maya, sampai Satria mengingatkan Jay tentang skripsinya yang harus segera dikerjakan. Jay terlebih dahulu memastikan Anis, gadis yang ia chat sudah tertidur barulah ia menghentikan aktivitas chatting-nya.
Setelah dipastikan Anis tidur, Jay pun mengalihkan perhatiannya ke draff skripsinya dengan wajah ceria. Keceriaan Jay tampak jelas dari matanya yang berbinar-binar diiringi senyuman di sudut bibirnya, disertai semangatnya yang seakan membara-bara.
Satria terheran-heran melihat tingkah Jay. Tapi di sisi lain Satria bersyukur karena sahabat karibnya itu sudah mulai gemar mengumbar senyuman, tak lagi murung seperti biasanya.
“Oke. Kita mulai dari mana ini?”, tanya Jay.
Sambil membuka draff skripsi yang telah ditolak sebelumnya, dengan cepat Satria menunjukkan tangannya kepada judul skripsi yang harus dirubah terlebih dahulu. Tak banyak yang dirubah, hanya obyek dari penelitiannya saja.
Malam berlalu dengan sepi. Cafe yang tadinya ramai riuh kini hanya menyisakan beberapa orang saja karena memang sudah larut malam. Waktunya orang-orang beristirahat, tidur malam, tapi tidak buat Jay dan Satria, mereka justru bekerja.
“Hidup itu harus saling menjaga. Orang-orang tidur kita melek biar kalau terjadi apa-apa kan kita bisa membangunkan mereka”, celoteh Jay.
“Terus siangnya kita tidur di saat orang-orang pada melek biar mereka juga bisa bangunkan kita kalau terjadi apa-apa gitu maksudmu?”, sahut Satria.
“Haha. Iya”, jawab Jay sambil tertawa.
Hingga menjelang subuh, kedua sahabat itu masih tampak serius dengan pekerjaannya. Jay yang membaca, sementara Satria yang menulis. Sesekali mereka beristirahat sejenak, sambil meluruskan kaki, menggelengkan kepala. Di wajah mereka tampak jelas rasa kantuk yang sejak tadi ditahan serta kelelahan yang seperti tak dihiraukan.
Pagi telah tampak. Mentari telah menyingsing di ufuk timur. Tepat pukul 06.00 WIB, Jay dan Satria pun pulang meninggalkan Black Cafe menyisakan pekerjaan yang belum kelar.#
Satu bulan kemudian.........#
Skripsi Jay selesai dikerjakan tepat satu bulan lamanya. Dalam sebulan, nyaris tak semalampun dilewatkan Jay dan Satria untuk menyelesaikan tugas akademik itu, hingga akhirnya kelar.
Dua minggu lamanya Jay memproses karya ilmiahnya itu di kampusnya. Mulai dari mengajukan skripsi hingga proses sidang dan pendadaran yang nyaris tanpa rintangan yang berarti. Dengan kata lain, Jay berhasil menyelesaikan tugas akhirnya dan selanjutnya tinggal menunggu waktu wisuda.
“Hallo”
“Di mana posisi bro?”, tanya Jay dalam HP.
“Aku tunggu di Blando sore nanti ya”, sambung Jay.
Sore pun segera tiba. Rupa-rupanya Jay tadi menelepon Satria, mengajak ngopi. Kedua sahabat karib itu pun tampak sedang ngobrol sembari mengucapkan rasa terimakasihnya kepada Satria yang telah sudi membantunya mengerjakan tugas akhirnya.
“Aku dapat nilai A bro”, ujar Jay sambil tersenyum lebar.
“Waaah, hebat dong Jay, selamat deh”, sahut Satria bahagia.
Satria tampak tak begitu kaget dengan nilai yang diperoleh Jay, karena sebelumnya ia memang sudah mengira jika karya ilmiah itu akan diganjar dengan nilai bagus. Memang, batin Satria, skripsi Jay sepatutnya diberi nilai A. Lebih-lebih, seperti diceritakan Jay, pertanyaan-pertanyaan dari para penguji dijawab tuntas olehnya saat sidang sebagai bentuk pertanggungjawaban dari hasil penelitian yang disuguhkan dalam skripsi setebal 130 halaman itu.
Jay pun tampak tersenyum puas. Bahkan, menurut penuturannya, ia sendiri tak pernah menyangka jika tugas akhirnya itu selesai dalam waktu cepat karena sudah sejak setahun lalu Jay mengajukan judul skripsi namun selalu kandas, tergadai begitu saja. Akan tetapi kali ini, berkat dibantu Satria serta tekad bulat dari Jay sendiri agar segera selesai sungguh seperti menjadi motivasi tersendiri bagi Jay. Tekad itu terwujud nyata.
Jay tak henti-hantinya mengucapkan terimakasih kepada Satria yang telah bersedia membantunya tanpa pamrih, hanya bermodalkan rasa persahabatan.
“Eh Jay, besok pas wisuda mau dibawakan bunga yang dijual orang-orang di sekitar wisuda itu atau bunga beserta potnya ini,” canda Satria sembari mengangkat sebuah pot bunga.
Jay terbahak-bahak. “Ide yang bagus. Hahaha,” tawanya.
Sore hari itu pun berlalu begitu cepatnya. Kegembiraan dan canda-tawa Jay dan Satria larut bersama siluet senja. Adzan magrib pun berkumandang lantang membelah mega-mega, cerah seperti kegembiraan Jay yang segera mengenakan jubah kebesaran kaum akademisi. Toga.! Ya, esok hari..... #Wisuda. Happy Graduation Jay.#Jangan lupa ucapkan terimakasih (juga) kepada gadis chatting yang sebulan belakangan setia menemani malam-malam kita di Black Cafe. Meski tak nyata, tetapi tetap saja gadis itu pernah hadir di antara kita dan tumpukan data-data skripsimu. Ya, gadis chatting itu, yang di antaranya sempat menganggu pikiran dan psikismu.#TheEnd
Disqus Comments