Cinta Berawal Lalu Berpisah
Seperti halnya Mazra, gadis desa yang kukenal baik kemarin hari, aku pun beranjak meninggalkan Jogja dengan seribu derita dan gumpalan-gumpalan asa yang bercampur baur jadi satu hilang ditelan oleh waktu dan mensejarah. Kota tua itu menjadi saksi bisu kegagalan kedua insan yang berbeda kultur itu dalam menggapai asa dan citanya untuk menjadi satu dalam bingkaian cinta dalam waktu dekat.
Tak berapa lama setelah mengakhiri masa studi, aku dan Mazra menghabiskan waktu dengan saling berbagi kasih sembari menanti hari tuk berpisah dalam waktu yang lama. Maklum saja, aku dan Mazra dilahirkan di tempat yang berbeda, bahkan jauh terpisah di antara dua pulau yang dibelah oleh lautan biru nan luas membentang antara timur dan barat negeri ini. Aku di barat, sementara Mazra di timur.
Pertalian kasih antara aku dan Mazra tidak pernah terikat oleh janji, tetapi hanya menyatu dalam rasa, sehingga kami tak pernah mengucapkan sumpah setia untuk berjumpa lagi di lain waktu jika nanti kami telah kembali ke kampung halaman masing-masing. Kami hanya percaya teguh dengan catatan takdir Tuhan di mana keyakinan dijadikan sebagai sumber kekuatan. Andai jodoh pasti bertemu kembali, dan kalaupun tidak berarti jodoh kami berada di tangan orang lain. Kami tak pernah terbesit rasa keterpaksaan, karena hakikat hidup adalah kebebasan.
“Mengapa kau tak bertahan saja di kota ini Mazra kekasihku?”, tanyaku penuh harap sembari menatap raut wajahnya yang terlihat resah dan gelisah. “Barangkali setelah Aku pulang nanti kau dapat dengan bebas menantiku kembali ke kota ini untuk memelukmu?”, Aku memberikan sebuah harapan, berusaha tuk meyakinkan.
Wajah Mazra tiba-tiba bersinar ceria mendengar kalimat pertanyaanku yang agak gombal itu sembari berkata; “Iya mas, aku masih berusaha tuk bertahan di sudut kota ini menantimu kembali ke sini sebagaimana rencana awalmu tempo hari, bahwa kau pulang hanya untuk sebentar waktu saja”, paparnya datar.
“Tapi, aku pesimis tuk bisa bertahan di sini karena mbakku sejak beberapa hari yang lalu seakan ingin mengusirku dari sini. Sudah beberapa hari belakangan, dia selalu marah-marah nggak jelas karena salahku apa padanya, aku sendiri merasa nggak nyaman dengan omelannya yang mulai kasar padaku”, raut wajah Mazra tiba-tiba berganti duka derita, seakan ada gejolak pemberontakan dari dalam dirinya melihat tingkah dan ocehan mbaknya yang sudah tak ramah lagi padanya.
Beberapa hari belakangan aku sendiri turut menyaksikan kemarahan mbak kandung Mazra itu, bahkan hanya karena persoalan kecil saja. Pikirku, mungkin mbak Mazra itu sedang ada masalah di dalam keluarganya sehingga rasa frustasinya ia tumpahkan kepada adik kandungnya sendiri, Mazra, karena marah dengan suamipun ia sendiri tak berani.
Melihat kenyataan pahit itu, Aku tentu saja tak berani menyusup ke kehidupan rumah tangga mereka, karena Aku sadar bahwa Aku bukanlah siapa-siapa melainkan hanyalah sosok kekasih hati Mazra, adik kadungnya ini, yang berarti juga merupakan orang lain.
Hari demi hari berlalu, kondisi tak banyak berubah, malah justru terlihat semakin parah. Mazra pun mulai tak betah hidup di antara mbaknya, suami mbaknya dan satu anak mereka, Eria yang masih kecil, yang baru saja berusia tiga tahun.
Aku sendiri hanya bisa melihat dan melihat saja, sesekali menguatkan Mazra. Membuat dia bahagia adalah cara terbaikku sebagai bentuk rasa kasih sayang yang Aku miliki untuknya, sesekali dia menangis, di situ pula Aku menunjukan rasa empatiku kepadanya. Dalam deraian tangisnya pula, Mazra berusaha untuk sadar akan posisinya yang terlalu bergantung dengan mbaknya dan juga masnya selama ini. Sekali lagi, Aku berusaha untuk menguatkan Mazra kekasihku itu setelah rasa keputusasaannya seakan sudah berada di ubun-ubunya mencapai titik nadir. Tak kuasa melihat air mata Mazra, kuraih tangannya erat-erat lalu kuajak dia menaiki sepeda motor, berkeliling, berjalan-jalan mengitari kota Jogja yang sedang didera hujan teramat lebat. Tak peduli basah kuyup, kami berdua tak memutuskan untuk berteduh sejenak sampai hujan reda. Biarlah air hujan ini membasahi pakaian dan tubuh kami, setidaknya untuk menghilangkan jejak air mata Mazra yang sejak tadi banjir membasahi pipinya.
Sore hari hujan pun reda.
Aku dan Mazra seakan telah puas hujan-hujan-an di sepanjang jalan Malioboro dengan basah kuyup dan dijangkiti rasa dingin yang sangat menggigit. Kami pun segera pulang menuju kost, lagi pula Mazra telah ijin kepada mbaknya untuk keluar bersamaku tadi.
Sesampainya Aku dan Mazra di kost, segera kami mengeringkan tubuh dengan handuk dan mengganti pakaian, sementara Mazra mengganti pakaiannya di dalam kamar dengan pakaian yang tadi kami beli di mall, Aku sendiri ke kamar mandi juga untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian, hujan turun lagi, sehingga mengurungkan niat Mazra untuk pulang ke rumah mbaknya, tempat di mana ia berteduh di Jogja selama ini, yang kini seakan telah dianggap neraka bagi Mazra sejak mbaknya sering marah-marah belakangan ini.
Sembari menanti hujan reda, kami bercerita banyak hal mengenai masa-masa kecil dulu, dan berlanjut dengan gelak tawa serta canda yang membuat langit-langit kamar kost seakan ikut tertawa pula. Duka dan derita Mazra lenyap begitu saja, berganti dengan tawa yang tak ada habisnya, hingga rasa dingin yang menggigit tubuh kami berganti dengan kehangatan, penuh dengan kegirangan. Serasa dunia ini pun hanya milik kami berdua saja, karena tawa dan canda kami tanpa aturan dan menafikan para penghuni kost lainnya.
“Udah-udah akh ketawanya, sakit perut Aku dari tadi ketawa terus, ceritamu lucu-lucu sayang, tapi dilanjutkan di lain hari lagi ajalah ceritanya”, ujarku sambil bangkit dari dudukku.
“Kok bisa-bisanya lho waktu kecil kamu mandi hujan sambil telanjang, kayak anak laki aja”, tukasku yang ingin menghentikan gelak tawa yang membahana di ruang kamarku sejak tadi, dan kami pun tertawa-tawa kembali.
Sejak itu, hujan pun perlahan mulai reda. Jam pun telah menunjukan pukul sembilan malam, yang artinya Mazra harus segera pulang ke rumah mbak kandungnya itu. Aku hanya berharap, gelak tawa, canda dan suasana kegirangan yang baru saja kami lewati bersama tadi menjadi bekal Mazra untuk pulang menuju rumah mbaknya tanpa kekhawatiran, atau bahkan rasa takut dengan suasana penuh kemarahan di rumah kecil mbaknya itu. Aku memberikan keyakinan kepadanya, bahwa kemarahan mbaknya hanyalah sementara saja, dan dengan bekal itu Mazra mantapkan hati tuk segera beranjak pulang.
Hingga pagi hari tiba, sebuah pesan masuk di handphone-ku, yang tidak lain datangnya dari Mazra, dia mengabarkan bahwa mbaknya sudah tak lagi marah-marah padanya, justru mbak kandunngnya itu meminta maaf atas perilaku buruknya beberapa hari belakangan kepada Mazra. Aku lega.
Persoalan satu selesai pikirku, dengan hati yang lega. Hari ini Aku ada janjian bertemu dengan seorang teman yang mengajak berbincang-bincang mengenai rencana membuat sebuah lembaga penelitian di Blandongan. Blandongan adalah sebuah kedai kopi terkenal di kota Jogja yang selalu dipenuhi oleh para pecinta kopi saban harinya. Sebagai seorang pecinta kopi, Aku pun seakan tak pernah absen mengunjunginya, sesekali ngopi sambil nongkrong, sesekali ngopi sambil diskusi dengan rekan-rekan aktivis mahasiswa, dan sesekali ngopi sambil janjian bertemu dengan orang untuk suatu keperluan.
Di sudut Aku berbincang agak serius dengan seorang teman sembari menikmati hidangan kopi khas Blandongan yang amat Aku gemari. Kopi manis.
“Bagaimana Gus, ada perkembangan apa dengan lembaga yang kita gagas sejak dulu itu, kok sepertinya ada kabar baik yang ingin kau sampaikan kepadaku hari ini?’, tanyaku kepada Gus yang terlihat bersemangat ingin menyampaikan suatu berita kepadaku.
“Begini kawan”, dengan kesungguhan. “Kemarin saya bertemu dengan seorang donatur yang siap mem-back up penuh soal keberadaan lembaga kita. Katanya beliau menginginkan lembaga ini kita hidupkan secara bersama-sama untuk menjadi sebuah lembaga yang professional, dan aktif di dalam berbagai aktivitas penelitian sosial”, tukas Gus dengan penuh semangat berseling gembira.
Lembaga ini memang telah digagas, bahkan sudah dibentuk dua tahun yang lalu, dan penah launching serta mengadakan beberapa kegiatan seminar nasional di Jogja. Karena kesungguh-sungguhannya lembaga ini untuk menjadi sebuah lembaga yang aktif dan partisipatif, maka Gus berkenalan dengan seorang donatur yang datang dari Jakarta ingin mengembangkan lembaga dengan biaya awal darinya. Di sana terjadi tawar menawar antara Gus dan donatur. Begitu ceritanya di awal-awal kami membuka obrolan.
“Oke, itu ide serta kesempatan yang bagus Gus”, Aku memotong omongan Gus yang telah kami tunjuk sebagai direktur utama lembaga ini. “Lagi pula, sampai saat kini kan belum ada kejelasan apakah lembaga ini akan tetap dilanjutkan atau tidak setelah hampir satu tahun vakum karena kesibukan di antara kita bertiga”, imbuhku lanjut.
Sambil menghisap rokoknya dan sesekali meminum kopi di hadapannya, Gus kembali bicara dengan nada kesungguhan namun terlihat santai, “Lah, makanya saya kemarin berusaha tuk meyakini donatur ini, supaya mau mendengarkan presentasi saya tentang profil lembaga kita ini, dan hasilnya ternyata mampu memberikan suatu kepercayaan khusus kepada kita atas gagasan berdirinya lembaga ini”, Gus menjelaskan seperti sedang orasi, berapi-api. Tampaknya semangat membara sedang membakar dirinya sehingga ia begitu terlihat sangat termotivasi dan emosional.
“Nah, sebelum saya meng-iya-kan kerjasama dengan donatur ini, saya berfikir ada baiknya jika rencana ini saya komunikasikan kepada ente, sambil menujukan tangannya ke arahku, dan Andi, tapi sementara saya jelaskan ke ente saja dulu, nanti malam saya baru bisa menemui Andi”, semangat Gus kian menjadi-jadi.
Diskusi kali ini memang sengaja tak terlalu serius, santai sambil menikmati hidangan kopi manis yang khas di Blandongan ini. Sesekali kami menyapa beberapa orang yang kami kenal di kedai kopi ini, sambil mengajak mereka bercanda, karena kedai kopi ini penuh dengan nuansa keakraban antar satu sama lainnya.
“Ritt, nggak usah kau terlalu serius itu ngobrolnya”, sentil seorang teman di ujung sana sambil tertawa, sedang di tangannya ada kartu.
“Haha,,, iya bro, ini santai-santai aja kok, nggak ada yang terlihat serius”, sahutku datar sembari menghisap rokok.
Dari samping kanan, seorang teman nongkrong tiba-tiba bersuara, “Ritt, katanya mau pulang ke Kalimantan, nggak jadi kah?”, dia bertanya kepadaku. Dengan santai pula Aku menjawab, “Nantilah bro, Aku masih ada urusan ini di Jogja, dan sampai urusanku ini selesai barulah Aku pulang, dan itupun rencananya hanya dalam waktu tak lama”.
“Iyalah”, katanya. “Yang penting kamu pulang dulu, soal mau balik apa tidak ke Jogja lagi, itu urusan nanti, gampanglah. Kamu butuh refreshing dulu untuk menyusun planning ke depannya, dan itu hanya bisa kamu lakukan jika kau keluar dulu dari situasi ini”, tampaknya Jay tahu betul raut wajahku yang akhir-akhir ini kurang sumringah karena selalu menunda kepulanganku.
Omongan Jay memang ada benarnya. Aku memang sedang dilanda penyakit kebingungan dan agak stress karena beberapa bulan belakangan Aku memang disibukkan dengan pekerjaan menyelesaikan sekitar 200 artikel yang membuat tubuhku kurus karena hampir tiap malam begadang, dikejar deadline.
“Jadi, Gus, pada prinsipnya Aku setuju-setuju saja dengan kerjasama ini, demi perkembangan lembaga yang telah kita rintis bertiga ini, dan kita akan tunggu keputusan Andi, sebab dalam waktu dekat Aku berencana tuk pulang dulu ke Kalimantan”, Aku memberikan sebuah kesimpulan tentang apa yang telah dipaparkan Gus sejak tadi.
Obrolan Aku dan Gus berakhir, dan dia segera meninggalkan kursi Blandongan ini karena sedang dinanti seseorang di kost-nya.#
Rencana Sebelum Pulang
Pagi ini bulan November awal.
Rencana pulang ke Kalimantan terus diundur, bahkan sampai waktu yang tak terbatas, karena masih banyak urusan yang musti Aku selesaikan di kota tua ini, setidak-tidaknya sebagai persiapan jika kelak Aku kembali lagi ke sini.
Namaku Robin van Ritt.
Sebuah nama yang cukup aneh memang, entah karena alasan apa orang tua menyematkan nama itu di diriku. Aku kira, orang tuaku sudah hidup sejak jaman penjajahan Belanda, karena nama itu berbau ke-belanda-belanda-an, dan Aku sendiri tak tahu apa artinya.Dan benar saja, suatu hari Mak pernah bilang jika almarhum ayah bisa berbicara bahasa Belanda dan bahasa Jepang. Dua negara yang sama-sama menjajah Indonesia.!
Bertahun-tahun tumbuh, Aku seperti dilahirkan tuk menjadi seorang perantau karena sejak kecil Aku sudah tak serumah dengan orang tuaku. Bahkan, sejak kelas 3 SD, aku sudah berjauhan dengan mereka, dan sangat jarang pulang, sehingga Aku merasa dibesarkan malah bukan di kampung halamanku sendiri, tapi tumbuh dan berkembang di negeri orang, hingga saat ini, tak sadar Aku telah hidup di tanah Jawa selama 12 tahun lamanya.
Terlahir dari keluarga yang serba kekurangan semenjak ayahku dipanggil Tuhan saat usiaku baru saja menginjak lima tahun, membuat Aku harus belajar survive di manapun Aku berada, terlebih jauh dari keluarga. Para sudaraku telah berkeluarga, sementara Aku sendiri sebagai anak bungsu harus berlindung di bawah asuhan mereka, meminta bantuan kepada mereka kala Aku dirundung kesulitan karena Mak memang sudah berusia senja. Tapi Aku masih beruntung karena saudara-saudaraku selalu memberikan motivasi kepadaku selama Aku berada di negeri orang ini, buktinya kini Aku telah tumbuh besar dan bahkan telah berhasil meraih gelar sarjana. Rinduku pada mereka semua yang berada di kampung, terutama kepada sosok Mak. Lama Aku tak sujud di kakinya, dan mencium tangannya, juga memeluknya. Aku ingin pulang.!
Hidup di tanah rantauan harus survive. Tak ada sudara, tak ada handai tolan, yang ada hanyalah pergumulan manusia yang tak Aku kenal siapa mereka, tetapi Aku hidup bersama mereka. Mereka Aku anggap saja sebagai saudara sendiri, setidak-tidaknya saudara seperjuangan.
Keputusanku untuk meninggalkan kampung halaman sejak tahun 2001 silam adalah keputusan yang didasari rasa dan sikap nekad. Dengan berbekal secukupnya, Aku pergi ke Jawa di atas restu keluarga, tak terkecuali Makku, dan tekadku hanya satu, yakni menimba ilmu, karena Jawa merupakan pusat kemajuan, maka Aku pikir menimba ilmu di sana jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi pendidikan di kampung halamanku yang sangat jauh dari kemajuan.
Kini, setelah 12 tahun Aku berada di Jawa, Aku rasa sudah cukup untuk sekadar memperoleh berbagai pengalaman hidup. Aku telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat secara mental, optimis menghadapi liku-liku kehidupan karena pengalaman hidup di Jawa telah menggembleng mentalku hingga Aku tak lagi kaget jika dihadapkan dengan kesusahan. Yang ada di dalam diriku hanyalah sikap serta pandangan yang optimis tuk menyambut masa depan, dengan berbekal keyakinan dan keinginan untuk melakukan perubahan, membuktikan kepada keluarga, terutama kepada Mak bahwa Aku pergi jauh-jauh menimba ilmu di negeri orang tak berakhir dengan sia-sia.
Jatuh bangun di tanah yang kuinjak selama belasan tahun ini seperti sudah menjadi sunnatullah. Karena prinsip hidup adalah perjuangan, sementara perubahan telah menanti di hari-hari mendatang, juga merupakan suatu kepastian dari rangkain hukum alam. Singkatnya, perubahan lebih merupakan sebuah takdir abadi dalam kehidupan.
Di tanah suci ini, Aku telah merasakan berbagai tikaman, baik dari sisi depan, belakang, sisi kanan, sisi kiri, bahkan dari atas kepalaku, adalah hal yang biasa, bahkan telah berubah jadi terbiasa. Aku ditikam, kemudian tersungkur, terjatuh, lalu Aku bangkit lagi, jatuh lagi, kemudian bangkit lagi, terus dan terus begitu, Aku anggap bukan perkara yang aneh. Bahkan pernah, pada suatu waktu Aku terpuruk selama hampir satu tahun karena dikhianati orang yang mengaku cinta kepadaku, tetapi Aku kemudian bangkit setelah Aku menyadari bahwa cintanya hanya untuk memanfaatkan diri dan kemampuanku.
Orang mengatakan panah asmara adalah simbol kebahagiaan, tapi tidak bagiku, justru luka panah tersebut menggoreskan luka dalam yang melebar, membekas serta meninggalkan sisa-sisa racun yang beberapa bulan mengalir dalam darahku, membuat Aku terkapar tak berdaya, bahkan hingga Aku terasa koma.
Setelah sadar dari koma yang berkepanjangan Aku lantas bersumpah atas nama Tuhan, agar jangan sampai luka itu membunuh asa dan citaku. Aku harus bangkit dan membuat perhitungan pada mereka, hingga mereka sadar bahwa menjungkalkan langkahku merupakan suatu kebodohan serta keleliruan, Aku ingin melihat mereka meratap hina penuh dengan penyesalan karena telah memanfaatkanku tanpa rasa kemanusiaan itu. Dalam hati Aku bergumam emosional, hey durjana, kau salah orang, Aku ini bukan diciptakan menjadi budakmu.!! Aku ini pejuang, bukan pecundang murahan seperti anggapan hinamu itu.! Bara api memang sudah terlanjur menyala-nyala di jiwaku, Aku seperti sedang mendendam, karena hanya dengan begitu Aku dapat mencoba membuncahkan kemarahanku, terutama pada diriku sendiri yang dengan sangat mudah telah dibodohi anak-anak ingusan itu.
Hari demi hari perlahan-lahan, egoku menghilang, dan sakit tak lagi kurasakan. Realitas hidup adalah fakta matreal yang harus Aku hadapi dengan rasionalitas. Di situlah sikap optimismeku mulai muncul ke permukaan, setelah Aku mulai terbiasa dengan bangun di pagi hari melihat cahaya mentari yang ditakdirkan alam menampakan sinarnya di ujung timur.
Langkah kaki yang kuayunkan penuh keyakinan pagi ini sepertinya menjadi langkah awal untuk membuktikan optimismeku yang perlahan mulai mendikte akal dan pikiranku. Tapak demi setapak langkah kaki kuayunkan menuju rumah pak Andra, seorang donatur yang bersedia menjadi pembina, pembimbing, pengarah, pembuka jaringan, sekaligus donatur lembaga yang kemarin hari disampaikan Gus kepadaku di Blandongan.
Sesampainya Aku di rumah pak Andra, teman-teman sudah duduk berkumpul menanti kedatanganku. Aku memang sangat diharapkan hadir untuk meeting di sana karena teman-teman sedang sibuk menggarap profil, struktur, serta program kerja lembaga, dan Aku sendiri merupakan sekretaris umum sehingga sangat dibutuhkan tanda tanganku untuk proses legalitas lembaga penelitian dan kajian ini.
Aku memang belum kenal, bahkan belum pernah bertemu dengan pak Andra. Gus mengenalkanku kepadanya, seraya menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan administrasi lembaga. Hanya Andi yang tidak turut hadir di sana, karena ia sendiri kemarin malam harus berangkat ke Jakarta untuk menerima hadiah lomba resensi buku yang ia menangkan sekaligus melamar kerja ke sebuah lembaga penyiaran di Ibu Kota. Jakarta.!
Rapat berlangsung cukup lama, dan setelah kewajibanku Aku selesaikan, Aku pun pamit undur diri untuk pulang ke kost. Seperti biasa, mendung mulai menyelimuti bumi seisinya, dan sepertinya hujan tak sabar ingin turun membasahi tanah Jogja yang sejak tadi pagi disengat terik panas matahari yang tak biasa. Alam memang adil, setelah panas maka di situ pula hujan akan turun membasahi.
Aku lantas buru-buru mengencangkan langkah kaki agar tak kehujanan di jalan. Perlahan Aku berjalan di antara lorong rumah-rumah melewati gang sempit, jalan pintas agar cepat sampai di kost.
Sesampainya Aku di kost, Aku terkejut karena di dalam kamar terdapat sosok seseroang yang sedang tertidur pulas. Seorang perempuan yang tidur dengan kelelahan terpancar jelas di raut wajahnya yang cantik, Mazra. Ya, Aku tahu itu Mazra yang tertidur karena terlalu lama menanti kedatanganku. Tadi pagi memang dia sempat mengirimkan pesan singkat bahwa dia ingin istirahat di kost karena hari ini tak ada pekerjaan. Begitu pesan singkat dari Mazra yang Aku terima tadi pagi, dan kini dia sedang tertidur di sini.
Aku membiarkan Mazra yang sedangn tidur pulas, dan tak ada rencana membangunkannya, sementara Aku sendiri membuka berkas-berkas seraya mempersiapkan ijazah dan keperluan lainnya untuk melengkapi administrasi lembaga.
“Udah pulang mas, kapan? kok nggak ada suaranya?”, Mazra terbangun dari tidurnya, Aku terperanjat kaget karena sedang khusyuk membaca sebuah novel setelah mempersiapkan berkas-berkas untuk kuserahkan ke lembaga.
“Sejam yang lalu Aku sampai di kos dek, dan Aku sengaja tak membangunkanmu karena Aku lihat kau tidur dalam kepulasan”, sahutku datar saja sambil menaruh buku di meja.
Segera Aku menghampirinya yang masih berbaring di kasur. Aku tanyakan kepadanya bagaimana keadaan mbaknya, apakah masih sering marah-marah lagi atau tidak. Segera Mazra beranjak bangun dari kasur lalu duduk bersila, dan bersandar pada tembok sembari menarik nafas lega dia bilang, “Mbak sekarang udah nggak marah-marah lagi kok mas, dia baik banget sama aku, ini buktinya aku dikasih duit 500 ribu rupiah buat beli-beli baju sama sandal”, imbuh Mazra yang seakan-akan ingin menyakinkan kepadaku.
“Ya, sudah, benar kan apa kata mas, mbakmu itu lagi nggak stabil aja emosinya, mungkin dia lagi datang bulan saat itu, jadi bawannya pengen marah-marah melulu”, Aku menguatkan pernyataan Mazra. “Terus, pean mau beli-beli sekarang bareng mas?”, tanyaku pada Mazra yang masih belum ingin beranjak dari duduknya.
“Besok hari sajalah mas, aku sekarang lagi males banget ke mana-mana, pengen di sini aja nemenin mas, lagi pula itu mendung sudah bergelayut di awan”, jawabnya malas.
Aku lalu terheran-heran kok bisa dalam kondisi tak ada masalah wajah Mazra terlihat sedang diterpa keletihan? Dan Aku segera mendapatkan jawabannya bahwa Mazra seharian belum menyentuh air untuk sekedar mandi, pantas saja wajahnya tak cerah secerah biasanya pikirku.
Suasana terdiam sejenak. Aku dan Mazra tak membuka obrolan lagi. Aku beranjak membuka jendela dan menutup pintu kamar kost karena hujan turun sangat deras dan lebat, ditambah petir dan angin kencang menyapu debu-debu kering di halaman kost. Teman-teman di kost pada ribut dan sibuk menutup pintu kamar masing-masing, sepertinya mereka akan melanjutkan tidurnya, karena tidur di saat hujan adalah keputusan tepat untuk berdiam di dalam kamar ketimbang nekad keluar untuk berjalan-jalan sore.
Begitu pula Aku, berdiam pula di dalam kamar bersama-sama Mazra menikmati rintik demi rintik hujan yang berselimut dingin sambil termenung, dan sesekali Aku menatap wajah Mazra, dan begitu pula sebaliknya, diam-diam dia juga menatapku penuh hasrat, dan pada akhirnya kami terbuai dalam alunan kemesraan yang dibumbui oleh lantunan nyanyian cinta kasih sayang yang menggema di seluruh dinding kamar kecil sewaan ini, dan suasana pun hening, yang terdengar hanyalah rintikan hujan yang menyetubuhi bumi, desahan angin yang menyapu rumput-rumput, juga jeritan bumi yang disambar petir.
Aku dan Mazra pun terdiam oleh derasnya rintik air hujan, desiran angin yang melarang untuk ke luar, dentuman petir yang memaksa pintu ditutup, gigitan dingin yang memaksa terciptanya sebuah kehangatan, sehingga, entah setan mana yang bersembunyi di balik hujan ini, Aku dan Mazra semakin larut, saling melepas, saling meraih, saling menjambak, saling mengerang………..!!!#
Salut
Perempuan yang hebat, menurutku, adalah sosok perempuan yang mau diajak berjuang dan mendukung perjuangan pasangannya.
Sosok itu Aku temukan dengan mata kepalaku sendiri pada diri Mazra, sehingga Aku sendiri yakin bahwa takdirku jatuh dalam pelukan Mazra meski Aku belum menjadikannya sebagai muhrim yang halal bagiku.
Mazra adalah sosok perempuan yang tidak begitu paham dengan wacana kegenderan tetapi sikap dan kepribadiannya bagiku telah melebihi wacana gender itu sendiri, sehingga Aku berkesimpulan bahwa perempuan yang mau diajak berjuang bersama-sama itu dialah Mazra yang mencintaiku bukan karena harta benda dan materi-materi berharga lainnya sebab, Aku sendiri pun tak dilahirkan dari keluarga terpandang yang memiliki saham-saham perusahaan di mana-mana. Dia tahu akan kewajibannya serta tugasnya sebagai seorang perempuan, dia tahu arti dari kehidupan, dan dia paham betul mana hak serta mana kewajibannya sebagai makhluk sosial.
Tidak seperti perempuan-perempuan yang selama ini pernah singgah di diriku, Mazra ternyata adalah sosok lain yang mampu mencurahkan segenap perhatiannya kepadaku, terutama di saat-saat Aku sedang menyelesaikan suatu pekerjaan, dia datang membawa beribu-ribu kata motivasi, menemani, membantu, dan sesekali membenarkan pekerjaanku yang keliru dengan kritikannnya.
“Perempuan itu lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal pikirannya, dan itu merupakan watak seorang perempuan. Hal ini bukan bentuk diskriminasi mas, karena perasaan perempuan itu adalah kekuatannya yang bahkan tidak dapat ditandingi oleh akal pikiran. Akal pikiran bersumber dari realitas dan fakta-fakta empiris, sedangkan perasaan bersumber dari keyakinan-keyakinan yang bahkan akan pikiran tidak mampu melogikakannya. Perasaan tidak dapat dilogikakan, dan keyakinan juga merupakan kekuatan utama yang ada pada diri seseorang. Nah, jika ketiga hal itu mampu disatu-padukan, maka kehidupan akan berjalan secara ideal. Mengapa mesti ada wacana gender?”, dia memberikan penjelasan kritis yang diakhiri dengan pertanyaan.
Aku tahu pertanyaan itu adalah manifestasi dari keingin-tahuan Mazra tentang tema gender yang sedang Aku tulis ini untuk kukirimkan kepada sebuah media massa yang memuat rubrik perempuan.
“Bukan begitu sayang, Aku ini sedang menganalisis tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga yang perempuan seringkali berada di pihak korban. Tulisan ini Aku maksudkan untuk membela kaum Hawa, termasuk kamu agar terlindungi dari kejahatan laki-laki yang semena-mena itu.”, Aku mencoba menjelaskan maksud dari tulisanku yang berjudul; “KDRT dan Gerakan Gender”.
Mazra hanya termangu saja dan dari raut wajahnya Aku lihat dia tak ingin berkata apa-apa lagi. Mungkin dia berpikir, Aku lebih tahu tentang apa yang sedang Aku tulis ini, toh dia juga tak membaca tulisan ini sejak awal paragraf.
Hari sudah siang. Itu terlihat dari posisi matahari yang mulai sedikit condong ke arah barat. Segera Aku matikan laptop dan mengemasnya, serta memasukkannya ke dalam tas, menyisakan artikel yang hampir rampung. Dilanjutkan nanti saja pikirku, Aku telah berjanji akan menemani Mazra siang ini untuk beli-beli pakaian dan sandal. Pikirku lagi, barangkali di luar sana Aku bisa memperoleh ide untuk menyempurnakan artikelku yang belum Aku selesaikan karena mentok itu.
Setelah mengganti pakaian, mengenakan jaket dan helm, Aku dan Mazra segera keluar menaiki sepeda motor menuju ke sebuah mall. Bagi sebagian perempuan, belanja-belanja pakaian merupakan suatu kegiatan refreshing, termasuk Mazra yang dari kemarin masih terlihat kesal dengan ulah mbaknya yang memarahinya beberapa hari yang lalu.
Di sela-sela belanja, Aku melihat suasana mall yang begitu ramai oleh pengunjung berbelanja. Simbol pasar modern ini memang menyediakan berbagai kelengkapan yang tersusun rapi di setiap sudut, Aku memang tak pernah merasa heran melihat keramaian serta kemegahan dari kemodernan tempat perbelanjaan ini, namun yang menjadi perhatianku tertuju pada sebuah daster yang mengingatkan Aku pada pesanan Mak beberapa tahun lalu, bahwa jika Aku pulang kampung, beliau minta dibelikan pakaian itu.
Aku segera menuju ke tempat di mana daster diletakkan. Mazra yang sejak tadi terlihat bingung memilah-memilih pakaian segera mengahmpiriku lalu bertanya, “Kok liat daster mas, itu kan pakaian perempuan”, tanyanya heran sambil melihat ke tanganku yang sedang memilih daster.
Aku justru tak menghiraukan pertanyaannya itu, dan malah bertanya balik, “Sudah dapet belum nduk pakaian yang kau inginkan?”, tanyaku singkat pada Mazra yang terlihat terheran-heran dengan tingkahku. Dan dengan segera ia pun menjawab, “Ini mas, udah Aku beli, dan udah Aku bayar sekalian, bagus kan?”, tanyanya sambil menunjukkan pakaian hasil pilihannya dan juga dua pasangan sandal di kantong yang lain.
Aku pun memuji pilihannya, seraya berkata, “Mas pengen beli daster ini dua potong dek buat nanti Aku kasihkan ke Mak di rumah. Beliau sangat menyukai pakaian seperti ini”, sambil menenteng dua potong daster yang telah Aku pilih dan membayarnya.
Daster ini ternyata telah berhasil mengingatkanku pada sosok Mak di kampung sana yang selama empat tahun ini menunggu pakaian ini, yang beliau meminta Aku tuk membelinya sebagai oleh-oleh jika nanti Aku pulang. Aku memang merasa berdosa kepada beliau, empat tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu, mengapa tak ku kirimkan sedari dulu-dulu saja pikirku. Tetapi, Aku memang sengaja tak ingin mengirimkan barang ke kampung karena pernah punya pengalaman buruk tentang kiriman, di mana suatu saat Aku pernah mengirimkan barang ke sana dan ternyata tak satu pun yang sampai ke tangan keluarga, padahal isinya tak sedikit. Aku khawatir jika kejadian serupa terulang kembali, sehingga Aku memutuskan untuk membawanya langsung saat Aku pulang nanti.
Aku sendiri pernah komplain dengan pihak kantor post mengenai kirimanku yang tak sampai itu. Tetapi mereka tidak memprosesnya karena dalam laporan pengiriman, dilaporkan bahwa barang yang Aku kirimkan telah sampai tujuan. Pikirku, jangan-jangan barang itu nyangkut di kantor post di sana? Sejak saat itu, Aku tak lagi percaya, serta dalam hati Aku berjanji tidak akan pernah mengirim barang lagi melalui kantor post.
Setelah selesai berbelanja dan dilanjutkan dengan makan, Aku dan Mazra pun pulang. Mazra ku antarkan ke rumah mbaknya dan Aku pulang ke kost, dan melanjutkan tulisan artikelku yang masih belum rampung tadi. Aku telah memperoleh sebuah ide untuk kelanjutan artikel ini, ya ide yang Aku dapatkan dari sebuah daster yang mengingatkan Aku pada sosok Makku yang tegar menghaarungi samudera kehidupan tanpa seorang suami, dan bertanggung jawab penuh terhadap semua anak-anaknya yang berjumlah enam orang, termasuk Aku sendiri. Sebagai anak buntut, Aku memang sedikit mendapatkan perhatian khusus dari Mak karena Mak mengemban pesan mulia dari ayah, di mana sebelum menghembuskan nafas terakhir beliau berpesan kepada Mak, bahkan ke seluruh saudara-saudaraku agar mendidik Aku menjadi anak yang pandai.
Sosok Makku adalah inspirator dalam artikel ini. Di mana beliau merupakan contoh nyata dari kehebatan seorang perempuan yang memiliki peran tunggal dalam mendidik serta bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Dari sini Aku memperoleh sebuah kesimpulan bahwa perempuan memang harus diposisikan pada posisi yang mulia, bahkan tak berhak menerima kelakuan jahat dari seorang lelaki, karena sejatinya, perempuan pun mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama seperti dilakukan oleh kaum Adam pada umumnya. Kekerasan lelaki pada seorang perempuan, terutama di dalam biduk rumah tangga lebih merupakan sebuah kejahatan yang tak dapat ditolerir, apapun sebabnya, perempuan sebenarnya lebih sedikit kesalahannya ketimbang lelaki, terutama di dalam sebuah keluarga.
Sejalan dengan pandangan itu pula mengapa Aku amat sangat geram ketika mendengar penderitaan Mazra beberapa hari lalu yang menjadi obyek kemarahan mbaknya hanya karena tak ada orang lain yang dijadikan sebagai tempat pelampiasan sebuah kegusaran yang berkecamuk di dalam dirinya.
Dan akhirnya, dua sosok perempuan inilah yang kemudian menginspirasi artikelku sehingga menjadi kalimat-kalimat yang cukup sempurna untuk dibaca orang kebanyakan. Semoga nanti dapat diterbitkan, harapku pada sebuah media massa yang menjadi tujuan pengiriman sebuah artikel inspiratif ini. Amin.#
Pesan Orang Rumah
Kriiiing….kriiing…kriiiiing..!
Handphone-ku pagi-pagi buta ini sudah berbunyi pertanda sebuah panggilan menyapa telepon genggamku. Terperanjat Aku meraih telepon genggamku dan segera Aku mengangkatnya.
Setalah setengah jam lamanya berbicara di telepon genggam, kabar mengejutkan datang menghampiriku yang baru saja terbangun dari tidur. Makku telah sejak dua hari yang lalu menanti kepulanganku. Dalam telepon, Makku langsung yang berbicara dan meminta Aku untuk segera pulang karena sudah terlalu rindu katanya. Sebagai anak terakhir, Mak memang sering mengatakan rindu padaku melalui telepon, karena Aku berada jauh di negeri orang, dan sangat jarang pulang dalam waktu 12 tahun ini. Seingatku, dalam waktu sepanjang itu Aku hanya dua kali pulang, karena terlalu jauh dan menghabiskan ongkos yang tak sedikit, Aku terpaksa menahan keinginanku untuk sering-sering pulang kampung, tidak seperti orang lain pada umumnya yang bahkan bisa pulang satu minggu sekali.
Siangnya salah satu saudaraku menelpon juga meminta nomor rekening untuk mengirimkan ongkos agar Aku segera pulang. Kiriman ini memang sudah kedua-kalinya, kiriman pertama yang juga ongkos untuk pulang ludes karena Aku masih ingin bertahan di Jogja dalam waktu yang lama, dan Aku sendiri menjelaskan itu kepada Mak dan saudara-saudaraku. Syukurnya mereka mengerti Aku, dan tidak memaksa untuks segera pulang saat itu. Tetapi kali ini lain, Mak sendiri yang menyuruh Aku untuk segera pulang, kalimat yang beliau ucapkan teramat lirih, bagaimana jika nanti kau tidak ketemu Aku kalau kau tak pulang-pulang nak, kata beliau. Sontak saja Aku terkejut mendengar kalimat itu sekaligus menyihir otakku untuk segera memesan tiket untuk pulang meski kali ini pun keinginanku untuk segera pulang memang belum ada sama sekali. Aku masih betah di sini, di Jogja tempat terakhir Aku menuntut ilmu secara formal. Sebuah kota yang telah menyatu kulturnya dengan diriku. Sebuah kota bersejarah tempat di mana kali pertamanya bangsa ini memiliki sebuah ibu kota negara. Kota yang teramat kental dengan budaya dan iklim pendidikan serta pelajarnya. Ya, sebuah kota yang menjadi impian hampir seluruh pelajar yang datang dari luar pulau Jawa untuk menimba ilmu, termasuk Aku sendiri yang sejak kecil memang telah mendambakan Jogja sebagai labuhanku dalam mencari ilmu, dan kini tak terasa sudah 12 tahun lamanya Aku hidup dan berjuang di kota ini, segenap pengalaman hidupku telah tertulis utuh di bumi tanah Jogja, yang lambat laun Aku pasti akan angkat kaki jua pada akhirnya.
Setelah menerima telepon kedua dari saudaraku tadi, ia mengatakan bahwa ongkos telah dikirim ke nomor rekening yang Aku berikan, segera Aku beranjak dari kost menuju Anjungan Tunai Mandiri alias ATM, mengambil uang dilanjutkan berangkat ke bandara membeli tiket pesawat. Sengaja Aku memilih transportasi pesawat agar cepat sampai di rumah, meskipun sebenarnya Aku ingin sekali berlayar dan pulang menggunakan jasa kapal laut. Tetapi Aku pikir-pikir, satu-satunya transportasi yang bisa cepat menghantarkan ragaku ke rumah adalah dengan pesawat, jadi Aku pun membelinya dengan harga yang cukup murah jika diukur lamanya perjalanan yang hanya ditempuh satu setengah jam saja. Berbeda dengan kapal laut yang harus menghabiskan waktu pejalanan selama dua hari satu malam, tapi Aku sendiri tak terlalu pusing mempertimbangkan hal itu karena yang pasti Aku harus segera sampai di rumah.
Berat hati meninggalkan Jogja dan Mazra, Aku lantas memesan tiket untuk berangkat empat hari ke depan, dan itu Aku kabarkan ke rumah, awalnya mendapatkan protes tetapi Aku berhasil meyakinkan Mak dan saudara-saudaraku di sana.
Setelah memesan tiket Aku segera menemui Gus di kantor lembaga untuk meminta ijin pulang sementara waktu ke Kalimantan karena atas desakan Mak dan saudara-saudaraku. Gus menyetujuinya dan berpesan agar jangan lama-lama karena lembaga sebentar lagi akan menjalankan program-program kerjanya.
“Iya Rit, monggo kalau ente mau pulang dulu, tapi jangan lama-lama lho karena kita akan bergerak cepat membangun lembaga ini, dan tak lama lagi program akan segera dijalankan. Kalaupun ente belum bisa balik cepat, kasihkan kabar ke saya, biar nanti tandatanganmu saya pasrahkan ke Udin dulu sebagai sekretaris pelaksana lembaga”, himbau Gus kepadaku.
Aku meng-iya-kan himbauan itu seraya berpamitan dengan beberapa anggota lain. Selanjutnya, kabar rencana kepulanganku tak lupa Aku beritahukan kepada Mazra, dan dia tak terdengar kaget karena sebelumnya memang Aku telah terlebih dahulu memberitahukan kepadanya bahwa dalam waktu dekat Aku akan pulang ke kampung, di Kalimantan.
Hari ini Aku habiskan waktu untuk berpamitan dengan kawan-kawan seperjuangan selama bersama-sama di Jogja dalam 12 tahun terakhir. Begitu pun Aku berpamitan dengan Jay, seorang kawan setia yang selama di Jogja sangat sering membantuku ketika Aku sedang kesulitan. Dalam suara telepon Jay terdengar senang setelah mendengar kabar rencana kepulanganku, baginya Aku sangat perlu untuk pulang terlebih dahulu, karena Jay selalu memandang Aku sedang stres beberapa hari belakangan karena tumpukan pekerjaan yang tak kungjung Aku selesaikan.
Selama empat hari sisa keberadaanku di Jogja Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan-pekerjaanku yang Aku tanggung. Salah satu pekerjaan terpenting yang harus segera Aku selesaikan adalah pekerjaan menulis artikel tentang sejarah radikalisme, di mana dalam pekerjaan ini Aku memang akan dibayar secara profesional jika terselesaikan. Secara umum, pekerjaan ini sebenarnya sudah Aku selesaikan dua hari yang lalu, dan sekarang tinggal tahap checking akhir saja barangkali masih terdapat kesalahan-kesalahan dan kurang sempurna.
Setelah semalaman Aku check semua telah beres, dan segera Aku serahkan kepada pihak yang punya proyek ini, pak Muk. Sore harinya baru Aku dapat menemui beliau, karena Aku harus istirahat setelah semalaman begadang sama sekali tak memajamkan mata barang sedetikpun.
Sore harinya Aku antarkan hasil pekerjaanku kepada pak Muk, beliau menerimanya dan katanya sudah sempurna. Beliau pun memberikan kompensasi dari hasil pekerjaanku tersebut sesuai dengan perjanjian di awal saat deal-deal-an. Setelah itu Aku segera pamit dan pulang ke kost, Mazra sudah menungguku di sana.
Sesampainya Aku di kost, Mazra menyambutku dengan senyuman dan dia berdandan sangat cantik sekali. Dalam hati Aku berkata, pasti orang ini sudah mandi tidak seperti dua hari yang lalu, yang terlihat kusut dan lelah. Tapi kali ini ia hadir di hadapanku dengan kecantikannya yang tak dapat ia sendiri sembunyikan.
“Cantik sekali kekasihku kali ini, nggak kayak kemarin hari. Pasti udah mandi ya?”, pujiku kepadanya yang tersipu malu.
Dengan sikap salah tingkah dia tak dapat berkata apa-apa kecuali tersipu malu dan melebarkan senyumnya. Setelah tenang, dia lalu bilang, “Ahhh mas ini, jangan kayak gitu to, tumben banget puji aku, pasti ada maunya?”, tanyanya dengan muka cemberut tapi tampak manja.
“Iya, kan cewekku dari dulu emang udah cantik kok, sekarang tambah cantik tak ada yang membandingi”, pujiku setinggi langit, dia lantas berlari memelukku, dan Aku membalasnya dengan kecupan di keningnya, lalu Aku mengajaknya keluar untuk makan malam.
Setelah makan malam bersama, Mazra pun pulang. Sementara Aku beralih ke Blandongan untuk nongkrong dan ngopi bersama dengan kawan-kawan aktivis mahasiswa, mereka sudah berada di sana sejak tadi. Di sana, salah seorang kawan bertanya kepadaku tentang kesibukanku sekarang setelah wisuda. Aku memang sudah lama tak berjumpa dengan Salim pasca terakhir kami bertemu di acara wisuda.
Acara malam ini hanyalah nongkrong pikirku, sehingga tak ada obrolan serius yang mesti jadi bahan pembicaraan, dan dengan datar Aku menjawab pertanyaannya bahwa Aku tak ada kesibukkan apapun setelah diwisuda. Kataku dengan nada canda, “Sibuk apa aja boleh”. Gelak tawa bersatu dengan keramaian orang-orang yang sedang nongkrong, sehingga tawa kami bisa dibilang hanyalah suara kecil dibanding dengan keramaian orang di kedai kopi favoritku ini.
Setiap hari kedai kopi ini sesak dengan keramaian orang-orangnya. Tak pernah sepi sejak dibuka pada jam 8 pagi hingga tutup. Hal ini jelas sekali menjadi bukti bahwa Blandongan merupakan sebuah kedai kopi yang sangat digemari oleh setiap kalangan, terutama kalangan mahasiswa.
Semua kalangan berinteraksi, dari berbagai suku, etnis, budaya, dari kalangan bawah dan menengah, bersatu dalam nuansa keakraban, dengan kopi yang sama hanya berbeda selera. Di sini, kopi ternyata mampu menyatukan berbagai perbedaan yang ada, yang dibalut Blandongan dengan semboyan, Selamatkan Indonesia dari Kekurangan Kopi.! Malam pun berlalu, hawa dingin pun datang menerpa. Dan Aku pun beranjak pulang.
Hari yang dinantikan itu pun tiba. Pulang.!
Segala persiapan pulang sudah Aku persiapakan sejak Aku membeli tiket kemarin hari. Satu koper gede berisi penuh, dan satunya lagi tas yang kira-kira cukup untuk menampung sepuluh lembar pakaian. Itu saja bekalku pulang nanti sore, tak seperti umumnya orang-orang yang bepergian pulang, membawa barang yang sangat banyak, ditambah lagi dengan kardus-kardus, dan itu tak terjadi padaku. Aku memang tipe orang yang tidak terlalu suka dengan hal-hal yang ribet, membawa barang yang sangat banyak ketika dalam perjalanan jauh adalah sebuah perkara yang ribet.
Kebiasaan burukku memang tak suka membawa barang terlalu banyak saat bepergian jauh, terutama jika pulang ke kampung seperti ini. Membawa barang yang berjumlah banyak saat perjalanan jauh Aku masih agak trauma. Pernah dulu ketika masih duduk di sekolah menengah pertama, SLTP, ketika Aku pulang ke kampung, naik bus umum, dan setelah turun dan sampai di rumah Aku baru sadar kalau salah satu barang milikku tertinggal di dalam bus.
Kejadian inilah yang rasa-rasanya telah menamparku, sehingga sampai saat ini Aku tak akan mau lagi membawa barang banyak-banyak ketika bepergian jauh, dan hanya membawa sekucupknya saja, termasuk dalam kepulanganku kali ini.
Waktu masih menunjukan pukul sebelas siang, masih lama, pikirku. Dalam jangka waktu yang masih berselang kurang lebih selama tujuh jam itu Aku manfaatkan tuk berjumpa Mazra di rumahnya, sekalian berpamitan dengan mbak dan masnya di sana. Tak lupa, Aku juga mengembalikan barang-barang pinjaman dari teman-teman, Aku berpikir bahwa Aku tak mau meninggalkan tanggungan dalam bentuk apapun di Jogja ini, apalagi hal-hal terkait dengan utang piutang. Aku ingin kepulanganku benar-benar fresh, bebas, tanpa sesuatu beban yang akan mengganggu kenyamananku di perjalanan serta di rumah nanti.
“Mazra, ikut mas yuk, keluar barang sebentar sebelum pesawat itu benar-benar akan membawa ragaku ke tempat lain selain tempat ini”, ajakanku kepada Mazra untuk bepergian ke suatu tempat, walau hanya sekadar ngobrol ringan, sebelum Aku meninggalkannya di sini.
Wajah Mazra tampak sumringah, walau sebenarnya Aku tahu dia sedang menyembunyikan kesedihannya yang ia simpan di balik senyumnya yang tampak dibuat-buat.
“Yuk mas”, jawabnya segera. Sepertinya dia senang karena akan Aku ajak jalan-jalan walau hanya sebentar.
Tak lama kemudian Mazra keluar dari rumahnya setelah mengganti pakaian dan berdandan berias, seakan-akan mau pergi ke sebuah acara pernikahan. Tapi Aku berpikir, mungkin kali ini dia ingin memperlihatkan kepadaku akan kecantikannya.
Aku benar-benar kagum dengan Mazra, ternyata dia memang teramat cantik. Sebuah kecantikan yang tak ternilai, terlebih jika disandingkan dengan kecerdasannya, keteguhannya, kesetiannya, keuletannya, serta kesabarannya yang sangat sulit dicari pada diri perempuan di jaman sekarang. Kesabarannya itulah yang telah meluluh-lantakkan egoku selama ini, dan oleh karena itulah mengapa Aku sangat menganguminya, bukan hanya karena kecantikannya itu.
Definisiku mengenai kecantikan Mazra memang terasa lengkap dan sempurna. Aku sendiri tidak memandang kecantikan perempuan hanya karena faktor fisik seperti definisi yang ditampilkan oleh produk-produk kecantikan itu. Di mana perempuan yang dikatakan cantik punya ciri-ciri; tinggi semampai, kulitnya putih nan mulus, berambut lurus, hidung mancung, bermata biru, beralis agak tipis, berpayudara montok, serta berpakaian mewah. Berbagai produk kecantikan memang terlalu subyektif dalam mendefinisikan perempuan yang dikatakan cantik dengan kriteria-kriteria yang sesuai dengan mereka kehendaki agar produk-produk yang dijual tersebut laku di pasaran, dan pada akhirnya berhasil mempengaruhi pola pikir, stigma dan asumsi publik. Padahal, sejatinya hal itu merupakan bentuk nyata dari tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Cobalah untuk mendefisikan kecantikan perempuan dengan pandangan yang berbeda dengan produk-produk kecantikan itu, supaya mampu menempatkan mereka pada sisi lain yang lebih bermartabat dan terhormat.
Aku dan Mazra, dengan waktu yang tersisa sebelum Aku beranjak pulang menghabiskannya di salah satu tempat wisata, pantai Parangtritis. Aku sengaja memilih tempat ini karena sejak kecil Aku memang sangat suka dengan pantai, sebab, setidaknya bagiku, gelombang dan pantai sama-sama setianya, saling memberi dan menerima serta tak pernah sekalipun di antara keduanya berpaling. Pantai memang ditakdirkan untuk gelombang, dan begitupun sebaliknya, gelombang memang telah ditakdirkan untuk pantai.
Harapan itu jugalah yang Aku harap dengan pertalian kasih antara Aku dan Mazra.
“Apa yang kau maknai dari pantai dan gelombang nduk?”, tanyaku kepada Mazra sembari menggenggam tangannya erat.
Sambil tersenyum dengan wajah menghadap ke arah laut, Mazra berkata, “Aku ingin seperti gelombang laut dan pantai ini sebagai modal dasarku tuk mengharungi masa mendatang bersamamu, menggenggam tanganmu erat, berada di sampingmu dalam kondisi apapun itu; suka dan duka. Tapi, yang aku pikirkan bukan tentang kesetiaanku pada, karena itu tak perlu kau pertanyakan, apalagi sampai ragu, yang aku pikirkan hanyalah kapan semua itu akan dapat terwujud nyata, karena hari esok pun tetap akan sama seperti saat kita saling mengenal, dan hingga detik ini”.
Aku terdiam. Kata-kata Mazra sangat dalam, dan berhasil menembus hati sanubariku yang hanya terisi oleh rasa optimis tanpa tahu kapan akan terwujud nyata dari segenap keinginan-keinginan. Setiap orang memang harus selalu optimis memandang ke depan karena masih terbalut misteri yang tak kita ketahui, termasuk aku sendiri, tapi yang menjadi pertanyaan, apakah kita harus hidup dengan rasa optimis itu sepanjang hayat tanpa berani mengambil suatu sebuah langkah nyata untuk mulai sedikit demi sedikit mewujudkannya? Tuhan memang Maha Tahu, tetapi diri kita sendiri sejatinya juga jauh lebih tahu tentang apa yang dikehendaki, dan tinggal keberanian saja yang perlu dipertegas.
“Kamu lagi sedih ya nduk?”, tanyaku basa basi memeluknya sambil menghadap ke laut jauh.
“Aku nggak lagi bersedih kok mas, tapi yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana jadinya jika aku di sini sendiri tanpa melihatmu dari dekat seperti biasanya”, ujar Mazra dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Sayang, Aku pulang cuma sebentar aja kok, kan Aku sudah bilang kemarin kalau Aku pulang hanya mau bertemu Mak saja, dan setelah itu Aku kembali lagi ke sini menemui kamu”. Aku mencoba menghibur hati Mazra dan menenangkannya agar dia tak larut dalam tangisannya, karena Aku tak kuasa melihat sebuah tangisan yang ditujukan kepadaku sementara Aku masih bernafas.
“Di sini, di kota ini kita bertemu, dan di sini pula semua akan kita wujudkan bersama, kau tak perlu terlalu tenggelam dalam kekhawatiran-kekhawatiranmu, apalagi kesedihanmu”, lanjutku.
Aku memang tak biasa melihat Mazra menangis, dan seingatku, Aku tak pernah membuat dia menangis disebabkan perilakuku, karena memang Aku tak inginkan hal itu sampai terjadi. Tapi kali ini Aku tak tahan membendung tangisannya karena air mata itu terjatuh tumpah ruah tanpa sepengetahuanku, dan Mazra bukanlah tipe seorang perempuan yang mudah meneteskan air mata jika hanya karena masalah kecil.
Dalam pada itu, waktu terus berlalu, dan Aku tak henti-hentinya meyakinkan Mazra bahwa Aku akan kembali lagi untuknya dalam beberapa bulan setelah kepulanganku nanti. Sampai benar-benar Mazra telah yakin, Aku pun mengajak dia tuk pulang, karena dua jam lagi Aku harus berangkat pulang. Dan kami pun segera pulang, Mazra Aku antarkan ke rumah, sedangkan Aku sendiri kembali ke kost tuk packing, di sana sudah menanti dua orang sahabat dekatku, Fid dan Jis, yang berencana ingin mengantarkanku ke bandara Adi Sucipto, Jogjakarta.
“Gimana kek, udah siap meninggalkan Jogja belum?”, tanya Fid yang mencoba meledek.
Kepulanganku memang sesuatu yang agak aneh di mata mereka, sebab, Aku sendiri tak pernah terbesit untuk pulang kampung selama ini, dan sejak dulu mereka memang sudah tahu, tiap kali musim libur datang, begitu pula liburan hari raya, Aku tak pernah pulang.
“Hahaha, ya jadilah, kali ini kayaknya Aku memang harus pulang, udah nggak ada jurus lagi buat Aku menangkis tuk pulang kalau udah Mak yang perintah”, jawabku sambil tertawa.
“Iya lah Ritt, kamu harus pulang dulu lah, ke sini lagi kan gampang, tinggal terbang aja sebentar udah sampai, lagian kita-kita ‘kan masih di Jogja juga”, canda Jis sambil memberikan uang sangu kepadaku. Akus sendiri sempat menolak pemberiannya tersebut, tapi dia meyakinkan kepadaku bahwa uang ini memang sudah lama ingin ia berikan kepadaku sebagai ucapan terima kasih. Demi menghargai Jis, Aku terima uang sangu itu dengan senang hati, dan kami langsung beranjak dari kost yang baru saja Aku perpanjang kontraknya kemarin sampai satu bulan ke depan.
Fida dan Jis membawakan koperku. Aku terkejut saat mereka berdua memasukkan koper tersebut ke dalam sebuah mobil. “Lho, kok dimasukan ke situ?”, tanyaku sambil menunjuk ke sebuah mobil yang parkir di depan kost, dan di dalamnya sudah ada seorang teman yang menunggu. Kull.
“Iya Rit”, sahut Fid, “..kita memang sudah mempersiapkan mobil buat nganterin kamu ke bandara. Kami memang sudah berencana sejak lama ingin mengantarkan kamu bareng-bareng ke bandara, karena kami yakin kamu bakalan lama di rumah nanti. Jadi, kami pikir akan lama tak berjumpa dan bergumul nongkrong bareng lagi di warung kopi bersamamu, padahal kamu adalah salah satu sahabat terbaik bagi kami”, lanjutnya.
“Oalah, ya sudah kalau begitu, terima kasih lho”, jawabku simpatik. Sambil mengangkat tas kecilku, Aku bilang kepada mereka tuk singgah dulu di rumah Mazra, sekalian Aku mengantarkan sepeda motor ini di rumahnya.
Sesampainya di rumah Mazra, Aku melihat dia sudah berada di halaman rumah menantikanku. Dan seketika itu juga hujan turun sangat deras sekali, dan segera kami masuk ke dalam mobil dan berangkat dengan perlahan menyusuri jalan ramai menuju bandara Adi Sucipto, meski hujan, jalan sesak dengan kemacetan, sehingga kami agak terlambat tiba di bandara dan menyisakan waktu setengah jam sebelum pesawat lepas landas. Dan bandara jelas terlihat sangat ramai, orang-orang sibuk dengan aktivitas hilir mudik, termasuk Aku sendiri ikut meramaikan pesta hilir mudik di saat liburan natal dan tahun baru ini.
Tanpa menunggu, Aku segera berpamitan dengan Mazra dan ketiga sahabatku. Fid dan Kull memberikan sebuah amplop putih entah berisi apa Aku tak tahu karena langsung mereka masukannya ke dalam sakuku. Seakan tak ingin kalah, Mazra pun juga demikian, memberikan sebuah bingkisan beserta sebuah amplop ke tanganku, untuk bekal di perjalanan katanya.
Setelah bersalaman dengan ketiga sahabatku, Aku pun memeluk Mazra erat dan berpamitan tuk chek in sekaligus bergegas menuju sebuah pesawat yang sepertinya sudah siap diterbangkan.
Hati pilu berkecamuk di relung hati dan serasa tak ingin pulang sesaat langkah demi langkah kakiku berjalan menuju pesawat. Kaki teramat berat tuk dilangkahkan, hatiku masih tertinggal di Jogja dengan segala dinamika kehidupannya, sementara di sisi lain Mak sudah sejak kemarin menanti-nanti kedatanganmu di rumah. Di saat yang bersamaa Aku seperti dilema, ragu dengan kondisi hati yang seakan tidak mantap tuk pulang ke kampung, namun, bayangan dari sosok Mak menghapus segala keraguan itu sehingga dengan cepat semangat serta kemantapan hati itu Aku temukan sekaligus Aku tanamkakn dalam-dalam di relung hati tuk pulang, toh nanti juga, entah kapan, Aku pasti kembali lagi menginjak bumi Jogja ini untuk mengambil separuh hatiku yang masih tertinggal. Bismillah.!!
Senja pun mulai tampak di ufuk barat. Matahari akan segera meninggalkan siang untuk bersembunyi di balik tabir gelap malam, dan sinarnya sebentar lagi akan digantikan oleh rembulan.
Cahaya senja jelas kelihatan, sebab, hujan baru saja berhenti membasahi bumi Jogja. Senja ini pula, pesawat terbang meninggalkan tanah Jogja yang telah Aku injak selama dua belas tahun lamanya. Bye Jogja. My heart will go on.!!#
Di Rumah
Minggu, 29 Desember di tahun milik bangsa Maya.
Pagi harinya Aku sampai di rumah. Di rumah telah menunggu Mak, tepat di ruang tamu, dan tanpa diperintah dengan sendirinya tanganku terulur menyalami tangan Mak kemudian kucium dengan penuh rasa hormat. Mak dan sekeluarga seperti memang sudah berencana menungguku di rumah, dan Aku memeluk mereka semua dalam alunan nada-nada kerinduan setelah sekian lama tak bersua serta berkumpul bersama-sama mereka dalam ikatan sebuah keluarga. Suasana hening sejenak, seakan menandakan kerinduan yang teramat mendalam dan Aku sendiri tak henti-hentinya menumpahkan air mata sebagai ungkapan suka cita karena dapat berkumpul kembali bersama keluarga ini.
Kemudian, ku buka koper bawaanku dan ku bagi-bagikan oleh-oleh berupa pakaian masing-masing satu potong kepada saudara-saudara dan beberapa keponakan-keponakannya yang sudah mulai beranjak remaja. Tak lupa, Mak pun mendapatkan bagian sesuai dengan pesanan yang beliau pesan untuk Aku membelinya jika pulang ke rumah. Aku senang, dan mereka semua terlihat gembira, bukan hanya gembira karena mendapatkan oleh-oleh, tapi lebih penting karena Aku sampai di rumah dalam keadaan selamat tanpa halangan apapun di dalam perjalanan.
Pesawat turun di bandara Supadio Pontianak tepat pukul 19.00 WIB dan segera Aku menaiki travel yang memang telah Aku pesan tuk menjemput di bandara sebelum Aku menaiki pesawat di Jogja. Sesampainya di Pontianak, bukan berarti perjalananku telah selesai karena Aku harus melanjutkan perjalanan lagi dan menempuh jarak kurang lebih enam jam baru sampai di rumah. Jarak tempuh sebuah perjalanan yang hanya menghabiskan waktu enam jam tak begitu lama di Kalimantan Barat jika dibandingkan dengan perjalanan di pulau Jawa. Pasalnya hanya faktor kondisi jalan yang tidak sama antara Kalimantan Barat dengan Jawa. Pembangunan jalan raya di Jawa jauh lebih modern dibanding di Kalimantan ini, di Jawa kendaraan-kendaraan tak akan pernah menemukan becek dan lumpur yang menghiasi jalan raya, sementara di sini merupakan hal serta pemandangan yang biasa.
Melihat kondisi jalan raya yang teramat mengerikan itu, Aku lantas berpikir bahwa kebijakan otonomi daerah yang disahkan oleh pemerintah pusat bukanlah solusi yang tepat jika dikaitkan dengan aspek pembangunan infrastruktur di kawasan daerah Kalimantan Barat ini. Aku berupaya tuk tidak memikirkan hal itu sepanjang perjalanan tetapi tidak bisa, pikiranku terus mengajakku tuk melakukan kritik demi kritik yang Aku gumamkan dalam hati dan pikiran saja tanpa sesiapa yang mendengar. Pikiran-pikiran kritisku bukan semata-mata dengan kenyataan kondisi jalan raya yang hancur lebur itu, tetapi karena Aku sendiri sangat terganggu dengan alur jalannya mobil yang melunjak-lunjak akibat jalan yang bergelombang serta dipoles dengan lumpur tanah liat yang pekat membuat mobil beberapa kali tak mampu bergerak. Selain itu, ditambah lagi dengan kondisi mobil yang sesak karena banyak barang-barang bawaan dan titipan orang-orang, padahal penumpang hanya ada empat orang saja.
“Emang jalan nggak pernah diperbaiki kah bang?”, tanyaku kepada sopir yang terlihat kesal karena kondisi jalan yang buruk.
Sopir masih terlihat kesal, dan dengan nada yang membara-bara dia menggerutu sendiri kemudian menjawab pertanyaanku, “Iya ini bang, sudah setahun ini jalan memang rusak total karena pemerintah seperti tak memperdulikannya, padahal tahun lalu baik-baik saja”, kritiknya tajam.
“Iya, tahun lalu memang baik-baik saja, dan pemerintah sengaja memperhatikannya karena mereka punya kepentingan untuk menghadiri MTQ di Melawi”, sanggah seorang penumpang lainnya di dalam mobil.
“Terus, sekarang MTQ sudah selesai jalan dibiarkan rusak begitu saja?”, seorang penumpang lainnya juga bertanya.
“Ya begitulah bang, yang pasti kondisi ini sangat merugikan sopir karena sudah setahun belakangan, kendaraan-kendaraan umum di sini sepi penumpangnya. Masyarakat jadi malas tuk hilir mudik karena kondisi jalan yang rusak, capek katanya di perjalanan”, tukas sopir pasrah.
“Ya semoga aja dalam waktu dekat ini di Sintang ada sebuah agenda pemerintah, biar jalan raya jadi bagus”, tukasku mengakhiri obrolan kami yang berakhir dengan gelak tawa, kemudian terdiam oleh heningnya malam sementara mobil berlari dengan kencang tak peduli jalan-jalan yang dipenuhi dengan lubang serta lumpur.
Malam semakin dingin, suasana dalam mobil tampak hening, tak ada suara di antara para penumpang kecuali desiran mesin mobil yang melaju kencang. Sesekali sopir menyulut sebatang rokok untuk menghilangkan rasa kantuknya, kasihan sekali pikirku, hanya dia saja yang tidak dapat tidur di dalam kendaraan ini.
Rasa ibaku terhadap sopir membuat Aku mengurungkan waktuku tuk tidur. Kami berbicara banyak hal sepanjang perjalanan, terutama tentang kondisi jalan raya yang telah kami perbincangkan tadi karena sepertinya memang tema ini yang paling menarik dibicarakan sekarang. Sepanjang obrolan, sang sopir terlihat emosional mengeluarkan aspirasinya, dan sesekali Aku menyelingi obrolan dengan humor agar sopir tetap fokus dengan pekerjaannya, terlebih di malam gelap nan sepi ini, jika terjadi sesuatu hal, maka tak ada satupun yang dapat memberikan pertolongan, kecuali rumput-rumput serta tumbuh-tumbuhan bersorak kegirangan karena sejak tadi kami mencaci maki lumpur dan becek yang menghambat laju perjalanan mobil. Bagi rumput-rumput dan tumbuh-tumbuhan, tanah liat yang dibasahi air merupakan kehidupan untuk mereka.
Setelah menelusuri jalanan panjang yang menembus gelap gulitanya malam, kami sampai di suatu perkampungan yang di sana ada cahaya penerangan, listrik, dan sopir memutuskan tuk beristirahat pada sebuah warung makan, jam baru menunjukkan pukul tiga menjelang subuh, dan sang sopir mentargetkan kami sampai di tempat tujuan sekitar pukul lima pagi, itu lumrahnya perjalanan malam dari Pontianak ke Melawi. Sang sopir pun segera membangunkan ketiga penumpang yang masih terlelap dalam tidurnya untuk mampir di warung makan, beristirahat santai barangkali ada yang lapar, dan ingin membuang hajat. Begitu pula Aku, buru-buru keluar dari dalam mobil dan segera menuju ke warung tersebut serta memesan teh panas tuk membuang rasa dingin yang menggigit kulit.
Di warung, Aku melihat sopir begitu akrab bercengkrama dengan beberapa orang yang menandakan bahwa dia memang sudah terbiasa berhenti di sini. Sambil menikmati hanganya teh, Aku sesekali menoleh ke berbagai arah, barangkali ada seseorang yang Aku kenal, pikirku. Di sisi pojok jauh Aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan seorang teman di Jogja, cara berbicaranya, cara menatapnya, cara dia meyakinkan gagasannya kepada lawan bicara, hingga cara berpakaiannya, teramat mirip. Ingin seklai rasanya Aku mendekat ke sana, namun Aku agak sedikit khawatir jika nanti justru salah orang, lagi pula Aku berpikir, mana mungkin temanku itu berada di sini sementara dia sibuk dengan kegiatannya di Jogja mengelola sebuah partai politik. Tetapi, Aku memang pernah mendengar jika dirinya ada rencana tuk mengunjungi sebuah daerah di Sintang dalam waktu dekat ini, dan dengan pengingatan itulah Aku semakin yakin bahwa sosok pria yang berada di tengah-tengah gerombolan orang-orang itu adalah memang temanku.
Aku tak memutuskan untuk menghampiri sesosok orang yang sangat mirip dengan temanku itu karena sopir buru-buru ingin melanjutkan perjalanan kami.
“Pir, kira-kira kita sampai tujuan jam berapa nih, pegel-pegel sudah ini badanku, dan Aku lihat kau juga begitu?”, tanyaku kepada sopir sebelum masuk ke dalam mobil tumpangan kami.
Sambil membuka pintu mobil, dengan nada semangat dia berkata, “Emmm, paling-paling nanti jam setengah enam bang, soalnya kita jalan santai ajalah, yang penting sampai ke tujuan”, katanya. “Ndak buru-buru kan bang?”, tanyanya balik.
“Ndak, ndak buru-buru kok, santai aja kita nikmati aja perjalanan jauh ini”, jawabku sambil tertawa dan seisi mobil pun turut tertawa, dan mobil melanjutkan perjalanannya. Tarikk bang.!!!!
Tak terasa kami telah sampai di tempat tujuan, Aku terbangun dari tidurku sejak berhenti di warung makan semalam. Seingatku, ini memang sudah masuk daerah kampung halamanku, sopir masih berputar-putar mengantarkan penumpang lainnya ke tempat mereka masing-masing sementara Aku mendapatkan giliran terakhir.
Setelah satu jam lamanya mengantarkan para penumpang, Aku pun disinggahkan tepat di depan sebuah rumah yang Aku berikan alamatnya kepada sopir tadi. Aku turun dari mobil dan rumah tampak ramai, sontak saja ketika Aku masuk kaget dan heran melihat keluarga sedang berkumpul di ruang tamu, menanti kedatanganku. Dari sekian banyak deretan saudara-saudara,ipar-iparku serta keponakan-keponakanku, Aku sendiri melihat satu yang kurang, ya istri abangku yang pertama.
Buru-buru Aku menghampiri dan menanyakan kepada Abang, “Bang, kakak mana?”, tanyaku heran.
Suasana sedih seketika mengisi ruang tamu yang ramai itu, semua terdiam, temangu dan tak satu pun yang memutuskan tuk mengeluarkan sepatah kata, Aku pun menjadi terheran-heran, dan dalam hati berkata, jangan-jangan…….
Tiba-tiba Abang menjelaskan kepadaku, bahwa kakak telah meninggal dunia dua minggu yang lalu, karena stroke setelah menderita penyakit talasemia selama dua setengah tahun lamanya.
Innalillahi wa innailaihi rojiun. Ternyata pikiranku benar, pantas saja sejak sebulan yang lalu Aku merasa gelisah ketika di Jogja, seperti ada yang memanggil-manggil untuk Aku segera pulang.
Sebenarnya, sejak dulu Aku sendiri memang sudah tahu mengenai penyakit yang diderita kakak, tetapi tak pernah berpikir akan berdampak sampai separah ini, karena proses pengobatan dan perawatan selama masa itu berjalan lancar.
Aku tak kuasa meneteskan air mata. Aku menyesal karena tak segera pulang sejak sebulan yang lalu, dan keluarga pun tak memberikan kabar kepadaku karena mereka khawatir kabar itu mengganggu aktivitasku di Jogja katanya.
Abang kemudian melanjutkan tentang proses pengobatan, penyembuhan dan perawatan kakak. Dan dia juga menceritakan tentang kronologi meninggalnya kakak dalam keadaan yang tak disangka-sangka karena sebelumnya terlihat sehat, dan baru saja pulang dari rumah sakit untuk transfusi darah.
Kakak memang sosok ipar yang Aku kenal sangat baik, seakan tiada perbedaannya dengan saudara kandung sendiri. Dia juga yang dulu memotivasi Aku untuk berangkat ke tanah Jawa tuk menuntut ilmu karena dia merupakan sosok orang yang sangat peduli dengan dunia pendidikan. Hal ini terlihat dari dua orang anaknya yang terlahir keduanya cerdas-cerdas, itu merupakan buah dari didikannya sejak kecil yang membiasakan kepada anaknya tuk membaca dan menulis walau hanya sebentar, yang penting kedua aktivitas itu jangan sampai terlewatkan dalam keseharian anak-anaknya. Itu pula yang diterapkan kepadaku sejak Aku hidup bersama mereka selama masa pendidikan sekolah dasar hingga SMP dahulu.
Dan kini, Aku dan juga sekeluarga merasa kehilangan sosok kakak yang teramat ramah dengan keluarga. Dia adalah sosok ipar yang sangat disayangi dan dikasihi oleh keluargaku, sehingga kepergiannya menjadi suatu kehilangan yang teramat memilukan. Selamat jalan kakak, surga yang menjadi tempat yang paling pantas untukmu.!#
Pilihan Dilematis
Suasana rumah masih dirundung duka
.
Keluarga benar-benar merasa kehilangan sosok kakak ipar yang teramat disayangi itu. Tak terkecuali Aku. Ya, beliau adalah ipar yang paling baik.!
Beberapa hari kemudian.
Aku masih tak percaya kalau sudah sepuluh hari ini Aku berada di rumah tanpa suatu aktivitas apapun. Menanti hari dan menanti hari serta merenungi segala hal yang pantas untuk direnungi, menyelami ide dan imajinasi yang masih terkubur di dalam benak, meraup segala asa di balik ufuk barat tiap kali senja datang, saat siang berganti dengan malam, saat burung-burung mulai pulang.
Waktu terus berputar.
Kepulanganku ke kampung halaman seakan tidak membawa misi dan rencana apa-apa kecuali hanya sekadar pulang dan menemui Mak dan segenap keluarga. Mereka juga bingung, tak ada solusi yang diberikan, padahal Aku pulang membawa bekal satu lembar ijazah dan satu lembarnya lagi bukti transkip nilai, disertai dengan photoku yang mengenakan toga sarjana, ditambah lagi dengan sebuah patung mengenakan toga dan disematkan bersamanya nama panjangku, Robi van Ritt, S. Psi, yang berarti Sarjana Psikologi. Alamak, sarjana, gumamku sewot pada sosok patung tak bernyawa itu.
Keesokan harinya.
Tepatnya di pagi hari Aku mendapatkan berita buruk dari Mazra saat dia meneleponku. Sambil memangis dia mengatakan bahwa dirinya ingin pulang ke kampung, di Jawa Timur, karena bertengkar lagi dengan mbaknya. Kali ini sepertinya emosi Mazra sudah sampai ke ubun-ubun dan dia sudah tak kuasa lagi untuk menahannya, sehingga dia memutuskan untuk pulang saja sore harinya.
“Kali ini Aku sudah nggak ada tolerir lagi mas sama mbakku, dia udah kebangetan, hanya karena salah kecil dia marah-marah nggak jelas, dan itu berulang-ulang selama beberapa hari ini”, ujar Mazra dalam telepon sambil menangis.
Aku sebenarnya tak kuasa mendengarkan tangisan Mazra, karena Aku memang tak terbiasa dengan kebiasaannya akhir-akhir ini, yakni menangis, asing bagiku sejak Aku mengenalnya. Bahkan, yang Aku tahu Mazra tak pernah meluapkan kesedihan dan penderitaan dengan sebuah tangisan, dia selalu tegar dalam menghadapi segala sesuatunya, tetapi kali ini sepertinya dia sudah tak kuasa tuk menahan air matanya. Terkadang, tangisan seorang perempuan adalah kekuatan, sebuah pertahanan terakhir yang ditunjukannya ketika sudah tak kuasa lagi menahan sebuah amarah yang membara.
Dengan nada simpatik dan empatik, Aku mencoba menenangkan Mazra meski hanya melalui suara dari kejauhan. “Dek, kamu yang sabar ya, coba kamu pikirkan lagi keputusanmu tuk pulang itu, mungkin saja mbakmu marah karena dia sedang ingin marah dan tak ada tempat lain untuk dia melampiaskan kemarahannya. Bukankah hal serupa juga pernah terjadi?”, Aku menasehatinya.
“Iya mas, dia memang lagi sensi beberapa hari ini, mungkin dia lagi datang bulan, tapi kemarin Aku pernah berjanji dengannya jika dia marah-marah lagi sama aku maka aku akan pulang kampung, dan aku sendiri tak mau menelan ludahku sendiri”, sayup-sayup suara Mazra terdengar sendu, seperti ingin memberontak.
Pendirian Mazra seperti tak tergoyahkan, teguh dan tetap ngotot ingin segera pulang ka Jawa Timur. Sore harinya Aku dengar Mazra sudah berada di dalam keretaapi untuk pulang, dan Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengucapkan hati-hati di jalan, serta kasih kabar jika sudah sampai di rumah. Iya jawabnya singkat.
Nasib dan jalan hidup Aku dan Mazra nyaris sama.
Aku pulang dalam keadaan bimbang yang diterpa siksaan batin karena meninggalkan Mazra di Jogja, sementara Mazra meninggalkan Jogja dengan siksaan batin karena bertengkar dengan mbaknya. Kesimpulannya, kami berdua sama-sama meninggalkan kota tua itu, sebuah kota di mana kami dipertemukan dan menjalin kisah kasih asmara yang sungguh sangat berkesan meski waktunya tak selama orang-orang pada umumnya.
Hari-hari menjalankan hidup di rumah masing-masing.
Aku dan Mazra sangat sering menjalin komunikasi lewat telepon genggam. Hampir setiap malam kami telepon-teleponan, seakan tak ada habis obrolan kami, sampai-sampai kami menjadwalkan waktu untuk berbicara lewat telepon genggam tersebut.
Suatu ketika, kami berencana tuk kembali lagi ke Jogja beberapa bulan ke depan dengan kepentingan masing-masing, namun pada esensinya sebenarnya kami ingin bersama-sama lagi seperti sediakala. Mazra ingin melanjutkan studi ke jenjang S2 di salah satu perguruan tinggi ternama di Jogja, sedangkan Aku berencana tuk bekerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku, di kota ini juga. Hasrat untuk berkumpul bersama lagi sepertinya benar-benar akan terwujud nyata, karena Aku sendiri telah memperoleh restu dari Mak dan keluarga tuk menentukan masa depanku sendiri tanpa harus hidup di kampung halaman yang teramat susah mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasku yang menyandang titel sarjana sosial.
Beberapa bulan Aku berada di rumah sekan tiada artinya bagi statusku sebagai seorang sarjana.
Di sini, teramat sulit menggunakan titel tersebut untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak sesuai dengan gelar sarjanaku. Hanya saja, ada satu hal yang membuat Aku merasa berat meninggalkan kampung halaman lagi jika benar-benar jadi kembali ke Jogja, yaitu meninggalkan Makku. Sebagai anak buntut, bungsu, Mak memang sering merindukanku, bahkan terkadang, kata saudara-saudaraku, Mak tidak mau makan dan jarang tidur malam karena memikirkanku. Begitu pula Aku, bagiku satu-satunya orang yang paling Aku sayangi di bumi Tuhan ini hanyalah Mak sejak bapakku meninggalkan kami sekeluarga 20 tahun silam. Hanya Mak sosok manusia yang Aku miliki selain keluarga dan handai tolan, dan apa jadinya jika Aku sering meninggalkan beliau. Aku sendiri memang sangat ingin menghabiskan sisa-sisa hidupku tuk bersama-sama Mak, terserah mau di mana, yang terpenting Mak selalu ada di sampingku. Tapi rasa-rasanya sangat sulit tuk mewujudkannya karena Aku adalah anak satu-satunya yang belum berkelurga dan bekerja, sehingga Aku harus berjuang untuk memperoleh pekerjaan, dan keinginanku hanya satu, merawat Mak bersamaku.
Dalam kondisi ini, Aku benar-benar dilema. Di satu sisi Aku ingin menghabiskan hidupku bersama Mak, sementara di sisi lain Aku belum memperoleh pekerjaan di kampung halaman, ditambah lagi tawaran kerja justru datang dari pulang Jawa yang jauh. Dilema yang kedua pada diriku ialah apakah Aku tetap berada di kampung dengan ketiadaan pekerjaan yang sesuai dengan titel sarjanaku, atau Aku beranjak ke Jawa lagi untuk bekerja.
Kedua pilihan ini bagiku sama-sama pahitnya karena jika Aku pergi ke Jawa tuk bekerja sepertinya tak mungkin jika Aku harus membawa Mak, dan sebaliknya, jika Aku tetap di kampung halaman ini maka tak ada pekerjaan yang menghasilkan yang bisa Aku kerjakan, namun hidup bersama Mak.
Setelah dua bulan Aku menimbang-nimbang, sepertinya Aku putuskan tuk memilih opsi pertama, yakni pergi ke Jawa lagi untuk bekerja dan meninggalkan Mak di kampung halaman. Aku pikir, ini merupakan jalanku, jika tak berani mengambil keputusan ini, maka Aku akan menjadi orang yang sia-sia setelah memperoleh gelar sarjana yang Aku peroleh dengan perjuangan yang tak mudah.
Titel sarjana memang merupakan gelar yang prestisius, di mana seorang sarjana selalu berupaya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan statusnya sebagai seorang yang terdidik. Itu terjadi pada diriku, dan Aku sendiri merasakannya.
Selain itu, jika berpangku tangan, maka apa kata orang, dan jika tak memperoleh pekerjaan yang layak sebagai seorang sarjana, maka, setidaknya di sini, akan menjadi bulan-bulanan dari cemoohan orang-orang kampung. Oleh karena alasan itulah mengapa Aku memutuskan tuk kembali ke Jawa lagi demi mendapatkan pekerjaan yang layak, dan Aku ingin membuktikan kepada segenap orang bahwa Aku adalah orang yang berguna, titel sarjanaku tidak sia-sia, dan Aku selalu berjuang tuk menjadi orang yang maju sama halnya dengan orang lain pada umumnya. Kini, pikirku dalam-dalam, Aku akan berjuang lagi, tapi kali ini berbeda dengan perjuanganku sebelumnya ketika Aku berangkat ke Jawa dengan tujuan menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal, tapi kali kedua ini Aku berangkat ke Jawa dengan tujuan bekerja sembari menuntut ilmu, serta mengumpulkan pengalaman-pengalaman. Dan jika nanti ternyata berhasil, maka Aku akan mengajak Mak tuk hidup bersamaku, mungkin inilah wujud nyata dari pengabdianku kepada beliau sebagai orang tua yang paling Aku kasihi serta orang tua yang satu-satunya kumiliki sekarang ini.
Hari ini, dengan nada sendu dan pilu, Aku menghadap kepada Mak yang sedang duduk-duduk santai di ruang tamu. Hatiku tersentak ketika melihat wajah beliau yang tenang, Aku sendiri jadi iba, dan tak tega jika harus pergi lagi meninggalkan beliau di kampung sunyi nan sepi ini. Karena perasaan yang tak kuasa Aku menahannya itu, akhirnya Aku mengurungkan niatku tuk pergi berangkat ke Jawa, Aku akan bertahan beberapa hari lagi sampai Aku benar-benar siap meninggalkan beliau.
Setelah seminggu Aku mencoba menenangkan diri dan suasana hati, maka Aku segera menghampiri Mak yang sedang duduk di teras rumah. Tanpa disangka-sangka, dan belum saja Aku menyampaikan maksudku, beliau sudah terlebih dahulu berbicara.
“Nak, Mak tau, kau sebenarnya ndak bisa terus-terusan di sini, karena di sini pun kau tak bisa berbuat apa-apa, jika kau mau menggunakan ijazahmu tuk mencari kerja, maka itu bukanlah sebuah modal yang cukup, kau harus punya banyak uang tuk menyogok”, kata Mak dengan kebijaksanannya.
Aku biarkan Mak terus berbicara.
“Kau udah dewasa, rasa-rasanya amanah dari almarhum bapakmu udah Mak tunaikan, yaitu membesarkanmu dan menyekolahkanmu. Karenanya, kini, kau sendiri yang tau tentang masa depanmu, tentang arah dan jalan hidupmu, sekarang Mak hanya bisa mendukungmu, apapun itu pekerjaanmu, asal satu, jangan menipu orang lain, dan berbuat baiklah kepada siapapun, sekalipun itu musuhmu”, lanjut Mak.
Sejenak Aku terdiam tanpa tahu apa kata yang mesti Aku ucapkan kepada beliau yang seakan telah tau tentang keinginanku serta rencana-rencanaku. Hanya air mata yang kujadikan sebagai bukti betapa beratnya Aku pergi meninggalkan beliau lagi.
“...tapi, jangan lupa, sekali-kali pulang ke sini menjenguk Mak. Mak ini udah tua, ajal siapa yang tahu, janji Tuhan itu pasti”.
Tangisku semakin menjadi-jadi, Aku lemah, tak berdaya dan tak bisa berkata apa-apa. Di sela-sela pertemuanku dengan Mak di terasa depan rumah, tiba-tiba saudara-saudaraku datang, berkumpul dan memberikan dukungan penuh kepadaku.
Dengan nasehat-nasehat serta beberapa petuah dari Mak, ditambah lagi dukungan serta sokongan dari saudara-saudaraku, tekadku kian teguh. Besok, Aku akan berangkat lagi ke Jawa, dan Mak Aku serahkan kepada sudara-saudaraku, dan mereka telah berjanji kepadaku untuk merawat Mak sebaik-baiknya, dan akan baik-baik saja. Begitu kata-kata dari saudara-saudaraku yang sangat meyakinkanku, sehingga Aku merasa lega. Lagi pula, pikirku, sekarang kan teknologi semakin canggih, jika ingin bicara dengan Mak, tinggal telepon saja.
Kini, Aku semakin mantap pergi. Senyuman Mak adalah modal dasarku sekaligus spiritku. Besok lusa Aku berangkat ke Jawa, Jogja dari Pontianak menaiki pesawat lagi, dan lagi-lagi pesawat terbang kala senja.#
Kembali Ke Jogja Lagi
Aku sampai di Jogja hari sudah petang.
Di tengah-tengah keramaian bandara, aku melihat tiga orang sahabatku sudah menunggu dengan maksud menjemput. Mazra tak terlihat di antara mereka, padahal sebelumnya aku sudah bilang jika aku akan sampai di Jogja petang ini. Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, pikirku, dan aku pun tak berpikiran tuk menanyakan Mazra kepada ketiga sahabatku.
Mobil melaju pelan. Kami berempat asyik bercanda ria, rasa rindu dengan sahabat memang tak dapat kami sembunyikan saat ini. Ingin sekali rasanya aku membayar kebahagiaan ini bersama mereka dengan sesuatu hal yang sekiranya bisa kami nikmati secara bersama-sama.
“Kira-kira ke mana kita ini?”, tanyaku di sela-sela tawa.
Dengan cepat Fid menimpal. “Ini pertanyaan atau tawaran?”, dia tertawa.
Aku memang belum berencana langsung menuju kost, selain karena ingin membayar kebahagiaan, tetapi juga ingin menyantap makanan karena lapar yang kiat menggigit.
“Gimana kalau kita makan-makan dulu, kebetulan aku laper banget nih?”, usulku.
“Tawaran yang tepat”, sahut Ucil.
Tanpa pikir-pikir panjang, Fid lalu mengencangkan gas mobil, dan tak lama kami sudah sampai di sebuah warung makan tak jauh dari jalan.
Tiba-tiba Jis nyeletuk, “Mazra nggak kamu hubungi bro?”.
“Sudah. Dari tadi aku udah coba menghubungi dia, bahkan sebelum aku naik ke pesawat. Aku juga udah bilang kalau aku akan tiba di Jogja petang ini”, sahutku dengan wajah bingung.
“Lah, kok dia nggak ikut jemput kamu?”, Jis bertanya heran.
“Entahlah bro, mungkin dia sedang sibuk. Lagi pula sejak tadi aku turun dari pesawat, HP-nya nggak aktif”.
Aku lihat Jis juga ikut berpikir, atau bahkan bertanya-tanya tentang Mazra yang tak bisa dihubungi. Agak ragu kami berdua melangkah menuju warung makan, sementara Fid dan Ucil sudah terlebih dahulu masuk.
Rasa lapar sudah tak dapat dikompromi. Aku ajak Jis melupakan keraguan, atau bahkan keheranan kami tentang Mazra yang tak ada kabar beritanya itu.
“Sudah, biarkan saja Jis, semoga dia baik-baik saja, yang penting kita makan dulu. Bukankah logika kita lumpuh jika perut dalam keadaan kosong dari makanan?”, tanyaku sambil tertawa. Jis pun ikut tertawa.
Di sela-sela menyantap makan, handphone-ku berdering. Aku sangat berharap itu datangnya panggilan dari Mazra. Buru-buru aku menghampiri bunyi deringan itu dengan harapan yang membuncah.
Aku tidak terlalu kecewa meskipun ku dapati deringan bunyi HP-ku itu bukan merupakan panggilan dari Mazra, tapi seorang sahabat yang dahulu kami pernah satu sekolah ketika SMA. Hatima. Tanpa keraguan aku pun menjawab panggilan itu. Dalam telepon, Hatima bilang kalau dia sedang berada di Jogja, dan sangat ingin bertemu denganku. Kami memang sudah sekian lama tidak berjumpa pasca kelulusan SMA. Tentu aku tak ingin menolak niat baiknya tuk bertemu, karena bagiku teman lama merupakan bagian dari sejarah kehidupan rantauanku selama bertahun-tahun. Lagi pula, pikirku, Hatima merupakan salah satu sahabat terbaikku. Seketika rasa kekecewaanku lenyap tanpa kata. Dan aku pun menyuruh Hatima menyambangi warung tempat kami berempat makan, tak lama dia pun sudah berada di hadapan kami sambil tersenyum manis. Aku tersipu. Banyak perubahan yang aku lihat nyata pada diri Hatima. Dia semakin cantik.
Kami bersalaman, kemudian aku mengajaknya makan bersama-sama kami sembari aku mengenalkan Hatima kepada ketiga sahabatku yang sedang asyik menyantap makanan. Tentu, Hatima pun aku suruh ikut serta makan.
Sambil menunggu, aku ngobrol banyak hal dengan Hatima. Sejujurnya aku pun merindukan sosoknya sebagai seorang sahabat karib. Satu hal yang membuat aku kagum dengan sosok Hatima adalah tuturnya yang lembut dan sangat berhati-hati dalam berbicara. Jika boleh menilai, aku ingin berkata bahwa Hatima termasuk perempuan yang sangat menarik, sangat sempurna untuk ukuran seorang wanita cerdas.
“Siapa pacarmu sekarang tim?”, tanyaku menggoda.
Dengan gerakan terkejut sembari mengerutkan keningnya Hatima menjawab dengan spontan, “Pertanyaan nggak penting deh”.!
Aku tertawa. Sementara ketiga sahabatku terlihat sedang menyimak perbincanganku dengan Hatima. Aku tak tahu apa yang tersimpan di dalam pikiran mereka yang tampak seperti bengong. Atau jangan-jangan mereka juga ikut-ikutan terkesima dengan sosok Hatima.
“Heh.!! Jangan pada bengong begitu lah ngeliatnya, ntar jadi nggak enak ini makanan”, sentakku memecah kebisuan mereka.
“Udah pada kenyang belum sih?”, aku bertanya kepada mereka.
Anehnya, mereka serempak menjawab, “Sudaaaaah.!!”, aku terheran dan geleng-geleng kepala.
Seusai makan, kami pun beranjak, dan Hatima berpamitan pulang, sedangkan kami berempat juga menuju kost.
Sesampainya kami di kost, aku membagikan beberapa stel kaos yang sengaja aku beli di kalimantan untuk oleh-oleh. Setelah dibagi satu persatu, masih satu stel sengaja aku menyimpannya untuk Mazra. Aku memutuskan untuk beristirahat malam ini, sementara Ucil pamit ingin menemui seseorang sekaligus pulang ke kost-nya di Krapyak.
Keputusanku beristirahat adalah untuk melupakan Mazra yang sampai detik ini tidak ada kabarnya, dengan harapan besok hari dia dapat dihubungi dan tentunya kami bertemu. Aku sungguh merindukannya.!#
Mencari Mazra, Bertemu Hatima
Malam menjemput siang, siang pun kemudian menjemput malam.
Begitu seterusnya kedua siklus alam itu saling jemput menjemput, tinggal meninggalkan dan dipertemukan kembali oleh senja.
Tanpa teras pagi sudah datang menyapa. Membangunkan tubuhku yang sejak malam teras lelah. Bergegas Aku menghampiri kran di samping kamar mandi untuk mengambil air wudhu, menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, sholat subuh, yang waktunya telah berlalu di sepersekian menit.
Aku tak melihat sosok Jis dan Fid. Mungkin mereka berdua telah terlebih dahulu bangun pikirku.
Setelah menunaikan sholat subuh, Aku lanjutkan membaca mushaf Qur’an yang rasa-rasanya telah lama Aku tak melantunkan ayat-ayat suci itu.
Sehabis itu, Aku menghampiri handphone yang ku letakkan di atas meja, berharap Mazra memberikan kabar meski hanya mengucapkan kata singkat lewat sms.Lagi-lagi harapan itu berakhir kecewa karena Aku tak mendapatkan kabar berita dari Mazra. Yang Aku dapatkan malah justru pesan singkat dari Hatima yang mengajak Aku tuk berjalan-jalan keliling Jogja hari ini.
Aku sendiri belum ingin membalas pesan singkat dari Hatima tersebut, dan memutuskan tuk berolahraga.selain itu, Aku juga ada rencana mendatangi rumah mbaknya Mazra nanti berharap dia ada di sana.
Setelah berolahraga, segera Aku mandi kemudian berpakaian santai, mengenakan celana jean dan kaos oblong bertopi hitam.
Rencana nekadku mendatangi Mazra di rumah mbaknya adalah akumulasi dari rasa penasaran yang sejak Aku menginjakkan kaki di Jogja mengerubungi otakku dengan seribu pertanyaan yang menerawang tentang Mazra yang tidak ada kabarnya itu.
Wajar saja Aku merasa penasaran dengan Mazra karena Aku sendiri memutuskan kembali ke Jogja salah satu tujuannya ialah memperjuangkan perasaan cintaku pada dirinya. Aku merasa benar-benar telah jatuh hati pada sosok Mazra, bahkan sudah tak ada niat lagi tuk merangkai bunga cinta pada sosok wanita lainnya.
Bagiku, persoalan cinta bukan dilihat dari banyak atau sedikitnya perempuan di dunia ini, tetapi lebih pada soal bagaimana rasa kecocokan itu didapatkan. Banyak perempuan selama ini menawarkan cintanya kepadaku, namun Aku sama sekali tak berniat menghiraukannya.bagiku, Mazra sudah terlalu cukup di mana Aku harus melabuhkan kapal asmara, dan hari ini Aku sedang memperjuangkannya.
Sesampainya Aku di rumah mbaknya Mazra, tempat di mana selama ini ia berteduh, Aku justru tidak menemukan sesiapa di rumah sebesar itu. Kosong seperti tak berpenghuni.
Aku mencoba bertanya dengan tetangga sekitar rumah.
Beberapa tetangga justru tidak tahu, namun Aku dapatkan jawaban dari pak Lis, beliau mengatakan bahwa penghuni rumah itu sedang pulang kampung, ke Jawa Timur karena ada urusan pernikahan.
Hatiku seketika berdetak kecang menggetarkan seluruh dinding jiwa. Pikiranku pun mulai terasa seakan tak waras, bibirku kelu, dan tak berniat lagi tuk bertanya-tanya kepada pak Lis, Aku pun segera memohon diri tuk pamit pulang.
“Oke. Terima kasih pak Lis”, Aku memohon diri sembari bersalaman.
“Iya. Hati-hati di jalan nak”, sahut pak Lis santun.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku benar-benar kacau balau. Pertanyaan demi pertanyaan mengenai Mazra semakin bertambah sekian ribu mengerubungi isi kepalaku.
Sesampainya Aku di kost, segera Aku merebahkan badan lemas, dan masih diselimuti berbagai pertanyaan yang sampai detik ini tidak Aku dapatkan jawabannya. Ya tentang Mazra.!
Selama seberapa jam, Aku memutuskan untuk tidak mengerjakan aktivitas apapun. Masih merenung sambil berpikir keras apa yang sebenarnya terjadi pada Mazra.
Tak lama berselang, handphone-ku berdering yang menandakan ada sebuah panggilan. Nama Hatima muncul di layar HP, dan segera Aku menjawabnya. Melalui telepon, Hatima bermaksud mengajak Aku berjalan-jalan ke pantai Depok, dan Aku pun meng-iya-kan ajakannya tersebut. Setelah Aku pikir-pikir ada baiknya juga Aku menenagkan hati dan pikiranku yang sejak tadi malam kalut dengan keberadaan Mazra, ditambah lagi datangnya kabar dari pak Lis tadi.Aku berusaha keras untuk ber-positif thinking sembari memikirkan jalan untuk bertemu Mazra
.
Tak lama kemudian Hatima sudah datang menjemput.
Kami pergi mengendarai sepeda motor menuju ke pantai yang dimaksud, meski sebenarnya Aku sendiri merasa tidak enak berboncengan dengan dia karena Aku sendiri tidak terbiasa berboncengan dengan seorang wanita yang tidak ada hubungan apa-apa denganku. Tapi untuk kali ini Aku tak bisa menolaknya karena bagaimanapun Hatima adalah sahabat karibku.
Satu jam kemudian kami berdua sampai di Depok. Tidak dapat dipungkiri, suasana pantai dan menyaksikan gelombang laut membuat hati terasa tenang, tapi sayangnya ketenangan kali ini harus Aku lewati bukan dengan orang terkasih rasanya kurang sempurna.
Setelah melihat-lihat gelombang laut yang saling menerjang, Aku dan Hatima menepi ke sebuah warung makan untuk makan menu makanan laut. Seperti biasanya, tumis kepiting jadi menu favoritku, dan tak pernah Aku melewatkan menu ini tiap kali Aku berkunjung ke pantai Depok.
Makan di pantai menjadi suatu momentum yang sangat spesial sambil menyaksikan ombak yang saling menerjang yang menghasilkan gemuruh gelombang membuat suasana jadi semakin ramai, ditambah lagi decak kagum menyaksikan kehebatan para nelayan bersama perahu kecilnya mengarungi keganasan terjangan ombak dan gelombang yang datang silih berganti.
Menyaksikan para nelayan membuat Aku teringat pada kisah yang sering almarhum ayah dongengkan kepadaku di masa kecilku tentang nenek moyang yang mengharungi luasnya lautan. Nenek moyang memang hebat, pikirku, dan Aku bangga menjadi orang Indonesia yang memiliki sejarah tentang kekuatan di laut.
“Kok termenung Ritt?’, tanya Hatima tiba-tiba.
Aku terperanjat dari lamunanku.
“Itu lho aku kagum melihat para nelayan yang begitu gigih mengharungi ombak yang ganas”, jawabku sambil tersenyum.
“Iya. Mereka hebat”, tukas Hatima singkat.
“Kamu senang dengan pantai?”, tanyanya lagi.
“Meski gemuruh ombak sangat riuh dan terjangannya teramat mengerikan, tapi di sana Aku melihat ketenangan Tim”, sahutku dengan nada sendu.
“Kamu?”, tanyaku balik.
“Aku ini orang pesisir Ritt, jadi pantai, laut, ombak, dan gelombang telah menjadi jiwa dan serta kulturku”, Hatima menimpali.
“Oh iya. Aku lupa”, Aku tertawa malu.
Hari sudah mulai sore. Matahari seperti sudah tidak sabar ingin segera berpulang ke pangkuan malam. Mega-mega pun sudah mulai menaburi senja. Pertanda petang tak lama lagi akan segera datang. Aku dan Hatima belum terbesit keinginan untuk pulang, toh besok juga hari libur karena malam nanti adalah sabtu malam yang diartikan kebanyakan orang malam minggu.
Aku dan Hatima berjalan-jalan menyisir pantai sambil bermain air. Di pantai, Aku dan Hatima saling bertukar cerita tentang perjalanan hidup masing-masing setelah tamat SMA. Banyak hal menarik yang sama-sama kami dapatkan dari cerita yang telah kami urai secara bergantian di sepanjang penyisiran kami di pantai.
Entah sudah berapa panjang pantai kami ini sisir, yang pasti kami berdua tak sempat mengukurnya. Mumpung hari benar-benar petang dan gelap turun selimuti bumi, Aku dan Hatima segera berbalik arah untuk mencari sumber suara adzan maghrib yang sayup-sayup terdengar di telinga.
Setelah sembahyang maghrib, Aku dan Hatima kembali ke pantai dan duduk di atas tikar yang telah disediakan oleh penjual jagung bakar. Di atas tikar sambil menghadap ke laut yang hanya terdengar gemuruh gelombangnya itu, kami berdua menikmati jagung bakar sambil melanjutkan cerita kami yang tadi sempat terputus.
Hatima mengawali cerita bahwa setelah lulus SMA, dirinya melanjutkan studi di Solo selama lima tahun, dan kini telah lulus. Ketika Aku tanya kenapa dia sekarang malah justru berada di Jogja, dia menjawab bahwa dirinya sedang melanjutkan studi S2 di sebuah perguruan tinggi swasta.
“Lah, kamu kenapa malah balik ke Jogja lagi Ritt? Bukannya kamu sudah lulus kuliah ‘kan?”, Hatima bertanya.
Aku agak ragu menjawab pertanyaan ini. Aku lebih memilih diam saja, sampai-sampai Hatima memaksaku untuk menjawab pertanyannya.
“Aku sebenarnya ada urusan kerja di Jogja ini Tim’, jawabku singkat.
Hatima malah justru tampak bingung dengan jawabanku yang seakan tidak menyakinkan itu. Dan Aku sendiri sebenarnya sadar bahwa Aku sedang berbohong. Karuan saja, jawabanku itu mengudang berbagai pertanyaan lainnya yang dicecar Hatima kepadaku sampai akhirnya Aku terdesak untuk berkata jujur.
“Jujur saja Hatima, Aku nekad kembali ke Jogja ini untuk menemui seseorang. Dia pacarku dulu ketika Aku kuliah”, akuku.
“Oalah begitu. Kenapa tadi bilang karena urusan kerja?”, Hatima bertanya lagi sambil melihat ke arahku.
Pertanyaan ini seakan terasa menikam jantungku. Pasalnya, saat Aku berpamitan kepada mak dan keluarga di kalimantan tuk kembali ke Jogja karena urusan pekerjaan. Aku telah berbohong kepada mereka.
Dengan nada ragu Aku menjawab; “Aku sudah terlanjur berbohong kepada keluarga di rumah alasanku kembali ke Jogja untuk bekerja, padahal pekerjaan itu hanya sebuah alasan belaka.!”, Aku tertunduk malu.
Hatima justru bijaksana menanggapi pengakuanku itu.
“Sebenarnya kamu tidak berbohong Ritt. Hanya saja masalahnya kamu tidak menceritakan tentang pacarmu itu kepada orang tuamu atau keluargamu. Kalau soal kerja enggak kerja, ya kamu suatu saat pasti akan kerja karena kamu membutuhkannya”, Hatima menasehati.
Lagi-lagi Aku terdiam dan tertunduk malu.
“Ya, masalahnya sekarang jadi runyam Tim.!”, Aku menyaut tiba-tiba.
“Runyam bagaimana maksudmu?”, Hatima meminta penjelasan.
“Orang yang Aku cari, ternyata sudah tidak ada di Jogja dan sepertinya sudah menikah dengan orang lain, mungkin.!”, tukasku kesal.
Hatima terdiam saja mendengar penjelasanku. Dia sepertinya mengerti kondisi jiwaku yang sedang berkecamuk. Bukan menanggapi, Hatima justru menyodorkan kepadaku jagung bakar lagi yang ia pesan tanpa Aku sepengetahuanku.
“Sudah...sudah..jangan dilihat aja itu jagung. Dingin nanti nggak enak.”, bujuk Hatima.
Aku memakan jagung bakar yang agak pedas itu sekaligus merasa terhina karena curhatanku tadi seakan tak mendapatkan tanggapan dari Hatima. Hatiku geram terhadap sikapnya yang tak peduli dan tak memberikan dukungan kepadaku.
Selain itu, dia juga seakan menghadapi jiwaku yang berapi-api seperti menghadapi anak kecil yang sedang marah. Memberikan jajan agar marahnya padam di saat itu juga.
Setahuku, Hatima tak seperti ini sikap waktu SMA saat Aku curhat kepadanya, dia pasti segera menanggapinya dengan nasehat-nasehatnya.
Setelah Aku menghabiskan jagung bakar, tiba-tiba Hatima duduk di sampingku sambil menguak-usak rambutku sembari tersennyum dia berbicara.
“Hidup itu memang tidak pasti sobat. Prasangka dan praduga selalu bersemayam abadi di dalam hati kita selama hayat masih di kandung badan”, imbuhnya.
Aku jadi semakin tidak mengerti dengan sikap dan omongan Hatima.
“Maksud kamu?”, Aku menimpali.
“Coba tegakkan posisi dudukmu dan jangan menunduk pesimis begitu”, perintahnya.
Aku pun segera menegakkan posisi dudukku yang sedari tadi menunduk menghadap pasir dan kini menatap ke arah laut yang gelap.
Seraya menepuk pundakku, Hatima berkata; “Janganlah kamu meras gusar terhadap sesuatu hal yang belum ada kejelasannya. Rasa gelisah, putus asa, dan prasangka telah menguasai dirimu daripada otakmu”, tuturnya.
“Terus, apa yang mesti Aku lakukan sekarang Tim?”, Aku meminta solusi.
“Ya gampang aja lah. Kamu cari kepastian di mana sekarang pacarmu itu berada, temui dia secepatnya supaya kamu tahu apa sebenarnya yang telah terjadi padanya”.
Aku mengangguk. Dalam hati Aku membenarkan apa yang dikatakan Hatima.
“Aku bersedia menemanimu untuk mencari keberadaan pacarmu itu jika kamu menghendaki”, tawar Hatima.
Aku mengangguk lagi. Ada benarnya juga saran dari Hatima agar Aku tak terus-terusan tenggelam dalam rasa penasaranku mengenai Mazra yang tak tahu di mana rimbanya.
Aku tersenyum sebagai pertanda Aku menyetujui saran dari Hatima. Dia membalas senyumanku dan berusaha meyakinkanku serta menguatkanku yang memang tampak mulai rapuh karena keputusasaanku sejak beberapa hari belakangan.
Setelah itu, Aku dan Hatima sepakat untuk pulang karena sudah malam.#
Ke Surabaya
Aku benar-benar berterima kasih banyak pada Hatima karena telah menguatkanku agar Aku segera mencari-tahu di mana kini Mazra berada.
Hari ini Aku memutuskan untuk berangkat ke Jawa Timur mencari Mazra di kampung halamannya karena Aku sangat yakin pasti dia berada di sana.
Sengaja Aku tidak mengajak Hatima karena Aku tak ingin merepotkannya. Biarlah Aku sendiri yang menyelesaikan permasalahan pribadiku ini tanpa melibatkan orang lain, sekalipun Hatima sahabat karibku itu.
Sebelum Aku berangkat, Aku memberitahu Hatima bahwa hari ini Aku akan mengikuti sarannya semalam. Dia menanyaiku apakah Aku butuh ditemani atau tidak, dan Aku menjawab bahwa Aku akan berangkat seorang diri saja. Hatima menyetujuinya seraya berpesan agar Aku lebih mendahului pikiranku daripada egoku. Baiklah, pikirku.
Aku putuskan hanya membawa tas kecil dalam perjalananku ini karena Aku memang tidak akan berlama-lama dalam kepergianku ini. Aku naik bus berangkat ke sana. Bismillah.
Delapan jam perjalanan menuju Surabaya Aku sampai di sana hari sudah malam. Tidak mungkin Aku langsung menuju rumah Mazra malam-malam begini pikirku. Akhirnya Aku memutuskan untuk bermalam di sebuah penginapan yang tak jauh dari terminal.
Keesokan harinya, Aku mencoba menghubungi nomer handphone Mazra sebelum Aku menuju rumahnya. Nomernya aktif, dan jelas sekali yang menjawab adalah suara Mazra, Aku masih hafal betul suaranya itu.
Setelah menanyakan kabarnya, aku segera mengatakan kepadanya bahwa Aku sekarang sedang berada di Surabaya dan berencana pagi ini akan datang ke rumahnya. Mazra terdengar sedikit kaget dengan keberadaanku di Surabaya ini, dan dengan lirih dia pun mempersilahkanku untuk datang ke rumahnya.
Tanpa panjang lebar Aku berbicara, dan dengan semangat yang menggebu-gebu, Aku pun bergegas ke terminal untuk menumpang bus yang menuju arah rumah Mazra.
Kini, Aku seakan terasa hidup kembali dan bernafas lega mendengar Mazra yang ternyata berada di rumahnya, di kampung halamannya. Dan tak lupa Aku mengabarkan kepada Hatima bahwa Mazra memang sedang berada di kampung halamannya. Hatima pun ikut menyemangatiku.
Kurang-lebih satu jam perjalanan, Aku sudah sampai di rumah Mazra. Dengan langkah kaki mantap, Aku berjalan menuju rumah Mazra dan ketika sampai di depan pintu, Aku mengetuknya seraya memberikan salam.
Tok..tok..tok..Assalamu’alaikum.!!
Terdengar suara perempuan dari dalam menjawab salamku. Wa’alaikum salam.!!
Dengan segera pintu rumah terbuka. Dan Mazra sendiri yang membukakan pintunya. Aku segera menawarkan senyuman melihat sosok Mazra yang mengenakan daster warna merah dan berkerudung.
“Mari masuk mas”, dia mempersilahkanku masuk dan duduk di sofa.
Aku pun duduk dengan hati yang gembira sementara Mazra masuk ke dalam dan kembali ke ruang tamu membawakan minuman.
Sambil menuangkan minuman ke dalam gelas, Aku menatap penuh rindu dengan wajah Mazra yang tampak semakin cantik. Setelah itu Mazra duduk di Sofa berseberangan dengan posisi dudukku sambil tersennyum manis.
“Apa kabarnya mas, lama nggak bertemu.”, tanyanya santun sambil mempersilahkan minum.
Aku segera menjawab pertanyaannya mengabaikan kerongkonganku yang sejak tadi terasa kering karena cuaca Surabaya yang panas.
“Alhamdulillah sehat wal’afiat nduk”, Aku menjawab.
“Diminum dulu mas tehnya”, tawar Mazra sambil menyodorkan gelas kepadaku.
Tanpa sungkan Aku pun meminumnya karena rasa dahaga yang luar biasa.
“Sama siapa mas datang ke sini?”, tanyanya Mazra.
“Aku sendirian aja. Dan memang tujuannya untuk menemui kamu nduk”, ujarku.
“Oh gitu. Maaf lho mas aku nggak kasih tau kalau aku pulang kampung. Aku pulang aja mendadak karena suatu hal”, imbuh Mazra.
Mazra tidak memberitahu sesuatu hal yang dikatakannya mendadak tersebut. Aku kemudian bertanya-tanya dalam hati mengapa dia tak memberitahukan kepadaku. Di wajah Mazra jelas terlihat sedang menyimpan sesuatu yang dirahasiakannya dariku.
Namun Aku tak mau penasaran, karena yang terpenting bagiku saat ini bahwa tujuanku menemui Mazra telah berhasil, dan hal itu jauh lebih dari cukup.
Kemudian, Aku menceritakan kepada Mazra bahwa selama ini Aku mencari-cari dirinya di Jogja dan sempat mendatangi rumah mbaknya namun tak berjumpa dengan siapapun di rumah itu, dan Aku menanyakan kepada pak Lis, tetangga sekitar tentang penghuni rumah yang tampak kosong.
Pak Lis lah yang justru mengabarkan kepadaku bahwa penghuni rumah, termasuk Mazra sedang pulang ke kampung halaman dua bulan yang lalu.
Setelah mendengarkan cerita dariku, Mazra kemudian pamit mau ke belakang. Agak lama Mazra kembali.
Aku kaget melihat Mazra kembali justru tidak sendirian. Ia mengajak bapak-ibunya, adik kandungnya, mbaknya dan suaminya, beserta seorang lelaki paruh baya yang Aku sendiri tak mengenalnya. Aku bersalaman dengan mereka dengan penuh takzim.
Sekeluarga itu tampak ragu dan canggung duduk di sofa menghadapku. Mataku menolot penuh dengan keheranan dan bertanya-tanya, bahkan memang benar-benar tidak paham dengan sikap Mazra sekeluarga yang menurutku tampak sangsi.
Aku merasa tak nyaman dengan kondisi yang serba sangsi ini. Mau memulai bicara lidahku kelu, begitu pula Mazra sekeluarga tampak bingung serta tak ada wajah ceria yang terlihat. Mungkin mereka akan memberikan kabar buruk buatku, pikirku spontan. Entah skenario apa, tidak terlintas dalam pikiranku. Yang Aku tahu sekarang bahwa posisiku seperti sedang menjadi terdakwa di hadapan para juru hakim.
Aku mencoba memecah suasana sangsi itu dengan menanyakan kabar bapak-ibunya Mazra beserta mbaknya dan suami mbaknya. Selain itu, Aku juga mencoba ajak bercanda Eria yang lucu, yang dulu memang terbilang akrab denganku.
Suasana kemudian berubah mencair, tapi tetap saja menyisakan kesangsian di ruang tamu.
Belum ada tanda-tanda bahwa Aku akan dihakimi. Tiba-tiba di depan terdengar suara salam dari seorang lelaki. Mazra menghampiri suara itu dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah seseorang yang ternyata adalah salah sahabat terbaikku dulu di Jogja. Ya, Satria.
Aku kaget seakan tak percaya bisa berjumpa Satria di rumah Mazra. Telisik demi telisik ternyata Mazra sejak awal kedatanganku tadi langsung menghubungi Satria untuk datang ke rumah, dan kebetulan rumah Satria hanya berjarak tiga jam dari rumahnya Mazra. Aku kembali tidak paham mengapa Satria dilibatkan dalam pertemuan ini, padahal sejatinya pertemuan ini hanyalah sebuah kebetulan semata.
Satria duduk di sampingku. Suasana menjadi cair setelah Satria membuka obrolan di antara kami di ruang tamu ini. Satria memang merupakan sosok yang humoris dan bisa dibilang cerewet sehingga suasana yang tadinya sangsi dan canggung seketika berubah menjadi gelak tawa pasca kedatangan Satria.
“Jadi Ritt ini pak,bu sahabat saya sewaktu kuliah di Jogja dulu, cuma kita sudah lama tidak bertemu karena saya lebih dulu lulus”, papar Satria.
Bapak dan ibu Mazra hanya mengangguk mendengar penjelasan Satria. Sepertinya mereka tidak begitu apresiatif mendengarkan cerita dari Satria, dan mereka lebih memilih diam saja. Suasana jadi tampak tidak nyaman, mungkin mereka agak tidak setuju dengan kedatanganku ke rumah.
Dengan berani Aku menyodorkan pertanyaan bernada bimbang.
“Sebenarnya ini ada apa geh pak, bu, mas, Mazra? Kok sepertinya ada sesuatu yang ingin panjenengan sampaikan ke saya?”, tanyaku penasaran.
Mas Rinto, suami mbaknya Mazra mengambil posisi seakan ingin angkat bicara. Aku sendiri menoleh kepadanya.
“Jadi begini mas, kami memang sudah tahu mengenai hubunganmu dengan Mazra selama ini. Kami tahu kalian saling mencintai dan saling mengasihi. Kami awalnya sangat senang karena menurut kami mas Ritt orangnya baik dan bertanggungjawab”, papar Mar Rinto datar.
Tidak ada yang mencoba berbicara, menunggu kelanjutan dari penjelasan mas Rinto. Begitu pula Aku hanya mengangguk-angguk saja.
“Satu bulan yang lalu, saat mas Ritt masih berada di kalimantan, kami memutuskan untuk menikahkan adik kami Mazra dengan mas Arif ini (sambil menunjuk pada lelaki yang berada di samping Mazra) atas permintaan kedua orang tua kami”, papar mas Rinto mantap.
Aku terdiam dan mulutku kelu. Taka da sesuatu pun yang Aku rasakan saat mendengar penjelasan mas Rinto kecuali kepedihan yang sangat mendalam di lubuk hati sana. Detak jantungku berdetak cepat, emosiku terbakar tapi Aku mencoba untuk menahan sekuat-kuatnya segala rasa kepedihan yang menghujam sanubari.
Sementara Satria berusaha menenangkanku dengan sikapnya. Sepertinya dia memang telah tahu sejak lama tentang pernikahan Mazra dengan Arif, dan diundangnya dia ke rumah ini adalah untuk menenangkanku. Mazra yang menyuruhnya.
Di sudut lain. Aku melihat mbak Anis, istri mas Rinto tampak merasa tidak enak hati kepadaku, karena sejatinya dia adalah sosok dari keluarga Mazra yang teramat menyetujui hubunganku dengan adiknya Mazra. Tetapi dia sendiri tak dapat berbuat apa-apa, karena pernikahan Mazra dengan Arif murni karena keinginan orang tuanya.
“Kami sengaja menyembunyikan kabar ini dari kamu mas Ritt, dengan harapan kamu tidak terlalu merasa sakit hati dengan keputusan keluarga ini”, tambah mas Rinto.
Aku gugup, mencoba untuk menahan ego dan lebih mendahulukan logikaku, sesuai pesan dari Hatima tempo hari. Aku mencoba berpikir realistis, dan itu sangat membantuku dalam mensikapi persoalan ini.
“Menurut kamu bagaimana mas Ritt?”, tanya mas Rinto santun.
Mendengar pertanyaan itu Aku lantas bangkit, duduk tegak mencoba menjawabnya dengan perasaan yang tertatih-tatih tapi memperlihatkan ketegaran palsu.
“Iya. Iya mas, saya mengerti dengan kabar mengejutkan ini. Apapun yang membawa kebahagiaan buat Mazra dan sekelurga saya bisa menerimanya dengan lapang dada”, ujarku.
“Jika memang ternyata Mazra sudah menikah dengan orang lain selain saya, berarti memang jodoh dia berada di tangan mas Arif ini”, imbuhku bijak.
“Yang terpenting bagi saya adalah kepastian tentang Mazra. Hari ini saya sudah mendapatkan kepastian itu dan bagi saya ini sudah cukup sebagai jawaban atas segala kegundahan saya selama beberapa hari belakangan”, lanjutku.
Aku tak melihat aba-aba Mazra ingin menyampaikan sesuatu atau hanya sekedar mengucapkan kata maaf. Ia sendiri sepertinya telah menyerahkan semuanya kepada mas Rinto berharap Aku mengerti dengan penjelasan dari mas iparnya tersebut. Meski sebenarnya Aku sendiri sangat mengharapakan Mazra berkata sesuatu sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap langkah yang diambilnya menerima lamaran Arif yang sekarang telah resmi menjadi suaminya.
Aku turut berbahagia melihat Mazra telah diperistri oleh orang lain, meski sebenarnya Aku memendam rasa kesakitan yang cukup mendalam. Aku selalu menampilkan sikap realistis dalam sikap dan cara berpikir untuk menghadapi kenyataan ini.
Lagi pula, kalau dipikir-pikir, Aku sendiri memang merasa tak pantas buat Mazra, dia terlahir dari lingkungan keluarga yang telah lebih baik kondisi perekonomiannya dibadingkan Aku yang hanya seorang pengangguran tanpa kepastian. Sementara suami Mazra merupakan orang yang berlatar-belakang seorang yang mapan dan sejahtera, ganteng, semampai, dan punya masa depan yang pasti cerah.
Tanpa bermaksud membandingkan dengan diriku, secara materi Arif lebih pantas jika disandingkan dengan Mazra, dan Aku mengakuinya penuh dengan kejujuran. Ini hanyalah sebuah pengakuan, bukan berusaha membanding-bandingkan.!
Menurut pengakuan bapak Mazra, Arif dan Mazra memang sejak dahulu, sebelum Mazra kenal denganku, sudah menjalin hubungan namun sempat terputus karena keterputusan komunikasi dan jarak. Mazra pergi studi ke Jogja sedangkan Arif menetap di Tuban sebelum akhirnya mereka dipertemukan oleh takdir jodoh.
Setelah mendengar penjelasan mengenai alasan mengapa Mazra dan Arif menikah, Aku semakin merasakan lapang dada dan telah kuputuskan tuk mengikhlaskannya. Bahkan, Aku sendiri beranggapan bahwa Arif dan Mazra adalah dua pasangan yang bertanggungjawab terhadap perasaan cinta yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Memang manusia seharusnya bersikap seperti itu, jika suatu tindakan telah dilakukan, baik itu tindakan dalam bentuk perilaku jasmani maupun rohani, maka harus dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam hal cinta dan mencintai, sayang dan menyayangi, serta kasih dan mengasihi, karena ada penilaian tuhan terhadap segala tingkah polah kita, termasuk perilaku hati.
Aku kini telah mendapatkan kejelasan. Pertemuanku dengan Mazra ini, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Bagiku, pertemuan ini sungguh mengharukan, di sana bercampur dua perasaan yaitu rasa sedih dan syukur karena bagiku Tuhan memberikan sebuah jawaban. Dan menurut hematku, hasil itu tidak memandang baik-buruk karena hasil lebih merupakan sebuah nilai. Ya, nilai hasil dari terjemahan terhadap sebuah proses dan daya upaya yang telah dilakukan.
Hari sudah sore.
Aku merasa bahwa kunjunganku ke rumah Mazra sudah cukup dan keperluanku sudah terpenuhi. Aku memutuskan untuk berpamitan dengan Mazra dan sekeluarga untuk kembali ke Jogjakarta. Satria mengantarku ke terminal dan Aku menumpang bus jurusan Jogja.
“Baik. Bapak, Ibu, Mas Rinto, Mbak Anis, Maz Arif dan Mazra, saya pamit untuk kembali ke Jogja”, Aku berdiri mengulurkan tangan bersalaman dengan anggota keluarga Mazra.
“Assalamu’alaikum”, Aku mengundur diri.
Setelah meninggalkan halaman rumah Mazra, Aku tak berniat tuk menoleh ke belakang menatapi rumah tersebut mengemis harapan sekiranya Mazra memanggilku tuk kembali.
Aku dan Satria menaiki sepeda motor menuju terminal.
Satria mengendarai sepeda motor malaju kencang dan tidak berselang lama kami sudah sampai di terminal.
Sesampainya kami di terminal Surabaya, Aku bergegas menaiki bus dan setelah sebelumnya berpamitan dengan Satria.
“Oke Ritt, kamu yang sabar dan tabah ya, ambil hikmahnya”, pesan Satria kepadaku di pintu bus.
“Siip Sat, Aku pasti akan melakukan itu”, sambil mengacungkan jempol dan senyuman Aku meyakini Satria.
Senja telah jatuh di ufuk barat, tak lama kemudian, bus berangkat membawa meninggalkan kota Surabaya, Mazra, dan sahabatku Satria.
Perasaanku bercampur-aduk, hingga Aku tak mampu menyembunyikan kesedihan dan kepiluan hati. Untuk menahan airmata agar tak jatuh, Aku memutuskan untuk tidur.Goodbye Mazra, goodbye mantan kekasihku.!#
Pulang Ke Jogja
Tidurku sangat pulas.
Dan tak terasa bus jurusan Surabaya-Jogja sudah sampai di kawasan Jogja setelah melewati Klaten, Jawa Tengah. Aku lantas memberitahukan kepada kondektur bahwa Aku akan turun di Janti. Tak butuh waktu lama, bus sudah berhenti di Janti dan Aku segera turun, menghampiri becak untuk mengantarkan Aku ke kost yang letaknya tidak terlalu jauh. Sampai di kost, Aku memutuskan untuk melanjutkan tidur kembali.
Waktu berlalu begitu cepat.
Aku sibuk berkutat dengan kesibukanku menulis artikel dan novel untuk mengisi hari-hariku yang kosong. Hingga hari ini Aku belum mendapatkan pekerjaan tetap sebagai sandaranku dan memanfaatkan titel sarjana yang telah Aku sandang.
Untuk mengisi aktivitasku yang kosong, Aku menulis artikel, menulis novel dan mengedit naskah buku. Aku sengaja menyibukkan diri agar hari-hariku terisi dengan sebuah pekerjaan yang sekiranya dapat memberikan manfaat, setidaknya manfaat buat diriku sendiri.
Tanpa Aku sadari, Aku telah kehilangan sosok Mazra selama dua minggu setelah terakhir Aku menemuinya di Surabaya tempo hari. Setelah itu, dan sampai detik ini Aku belum punya keinginan untuk menceritakan peristiwa itu kepada Hatima, lagi pula dia sedang sibuk dengan urusan akademiknya. Aku tak mau menganggunya, setidaknya sampai akhir bulan ini.
Hari-hari Aku ditemani oleh Fida dan Jis. Mereka sering mengajak nongkrong di warung kopi, terutama di malam harinya. Selama sebulan belakangan Aku tak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap karena sangat sulit. Lowongan kerja memang sangat banyak, tetapi persyaratan yang dibuat oleh beberapa perusahaan juga sangat sulit Aku tembus. Sampai akhirnya Aku memutuskan untuk menjadi editor freelance yang dibayar dengan bayaran editor pada umumnya. Bagiku, bayaran untuk seorang editor naskah buku di Jogja sangat minim, bahkan dapat dikatakan tidak sesuai dengan tenaga dan pikiran yang harus dikeluarkan. Pikirku, dunia kerja adalah bukti nyata praktek eksploitasi jasa manusia yang feedback-nya tidak seimbang dengan jasa atau tenaga yang dikeluarkan. Dunia kerja memang kejam.!
Di suatu pagi, Hatima mendatangi tempat persemayamanku, kost. Dia membawakan makan lengkap dengan air minumnya serta beberapa makanan ringan di dalam kantong plastik besar.
Hatima menghampiriku yang sedang berhadapan dengan laptop. Aku sedang mengedit sebuah naskah pesanan seorang dosen yang rencananya akan naik terbit menjadi sebuah buku. Naskah ini merupakan hasil penelitian dosen tersebut yang mengangkat wacana tentang kelautan Indonesia.
Melihat Hatima, Aku menghentikan aktivitasku dan mempersilahkannya duduk.
“Makan yuk”, ajaknya.
Tanpa berpikir dan sungkan, Aku memenuhi mengiyakannya karena memang perutku terasa sangat lapar. Kami pun makan.
Setelah makan, Aku dan Hatima berbincang-bicang ringan tentang aktivitas masing-masing. Dan di sela-sela obrolan kami, Hatima meminta bantuanku menuliskan sebuah makalah, tugas perkuliahan. Tugas tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kami selesaikan. Dia berterima kasih atas bantuanku.
“Eh, ngomong-ngomong bagaimana dengan masalahmu, sudah kelar?”, tanya Hatima santai.
Aku mencoba mengalihkan pertanyaannya dengan mengajaknya untuk kembali memeriksa makalahnya yang telah kami selesaikan siapa tahu ada yang salah. Pikiran Hatima pun teralihkan. Padahal, sebenarnya tidak ada kesalahan apa-apa di makalahnya tersebut. Hanya saja, Aku memang tak ingin Hatima mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi antara Aku dan Mazra di Surabaya tempo hari.
“Haha, kamu mencoba mengalihkan pertanyaanku ya”, cetusnya sambil tertawa.
Hatima sadar pertanyaanya berhasil Aku alihkan. Aku pun ikut tertawa. Hatima mencubit tanganku geram karena merasa pertanyaannya tidak Aku hiraukan dan malah justru mengalihakannya.
Hatima kemudian memintaku untuk menceritakan hasil dari petualanganku ke Surabaya menemui Mazra. Karena Hatima mendesak, maka Aku pun tidak dapat menolak permintaannya.
Kemudian Aku ceritakan kepadanya tentang perjalananku ke Surabaya sampai Aku datang ke rumah Mazra. Aku juga menceritakan kepada Hatima mengenai keadaan yang terjadi di rumah Mazra, di mana Aku merasa menjadi orang terdakwa dalam sebuah sidang.
Hatima mendengarkan ceritaku dengan seksama. Sesekali dia menatapku iba, karena Aku hampir saja meneteskan airmata, tapi untung airmata itu tidak sampai jatuh karena Aku berusaha sekuat tenaga menahannya agar tidak tumpah. Aku tentu malu jika Aku sampai menangis meratapi kisah lara yang menimpa jiwaku ini.
Dengan sikap empatik, Hatima mengungkapkan bahwa dirinya turut bersedih mendengar ceritaku. Dia berusaha menguatkanku dengan berbagai nasehat, motivasi serta masukan yang ia berikan kepadaku.
Hatima terlihat sebagai sosok pendengar yang baik. Dia tidak mencecariku dengan berbagai pertanyaan yang seharusnya banyak yang perlun dipertanyakan, tapi ia menahannya.
Namun Hatima bertanya apakah Aku melakukan apa yang menjadi sarannya saat sebelum Aku pamit berangkat ke Surabaya.
“Di dalam situasi yang serba kalut, Aku teringat dengan pesanmu Tim, bahwa Aku harus mendahulukan pikiran ketimbang ego”, tuturku.
Hatima tersenyum manis mendengar pengakuanku.
“Aku sendiri merasa sangat tertolong oleh saranmu tempo hari, sehingga pada akhirnya Aku bisa berbesar hati dan mengikhlaskanya”, lanjutku.
Hatima mengangguk bangga.
“Ya sudah. Aku mengerti apa yang kamu rasakan sobat”, dia menguatkanku.
“Aku tau kamu orang yang kuat menghadapi berbagai masalah, termasuk masalah ini. Jadi, tak ada pilihan lain bahwa pelajaran dan hikmahnya saja yang dibutuhkan agar kamu dapat tetap berpikir sehat”, ujarnya menasehati.
Aku tersenyum mendengar nasehat Hatima.
“Ya sudahlah Tim mau diapakan lagi ‘kan?”, aku menimpali.
Dengan nada tegas Aku berkata bahwa Aku sudah mengikhlaskan segalanya, toh jodoh juga Tuhan yang menentukan, kita hanya bisa berusaha semampunya. Kita mencoba menciptakan sebuah takdir, tapi takdir pulalah yang akan menjawabnya.
Selain itu, aku berusaha memperlihatkan kepada Hatima bahwa hal ini sudah tidak lagi menjadi bahan pikiranku, atau bahkan mungkin aku telah melupakannya.
Di sela-sela obrolan kami, Hatima justru mengajak bercanda lalu spontan berkata;“Patah hati itu obatnya ya jatuh cinta lagi.!”, dia tertawa lebar.
Setelah mengucapkan kalimat itu, Hatima pamit pulang karena mendung sudah bergelayut. Hatima pun bergegas pulang dan aku kembali melanjutkan editanku yang tadi sempat terhenti.
Tak lama kemudian hujan benar-benar turun sangat deras menyetubuhi bumi yang sejak tadi terasa panas. Aku menghentikan pekerjaanku dan memilih berdiam diri sambil membaringkan badan di atas kasur hingga Aku tertidur.
Saat Aku terbangun, hujan sudah berhenti. Bumi basah kuyup dan air bergelimangan di halaman kost. Kemudian Aku beranjak mandi karena Jis sebentar lagi akan datang menjemput untuk ajak aku ngopi.
Setelah Jis datang, kami berdua pun berangkat ke warung kopi Mato. Kopi sore ini memang benar-benar terasa nikmat, terlebih cuaca dingin setelah hujan turun seakan menjadi pelengkap kenikmatan kopi manis yang menjadi favoritku di kedai langganan ini.
Kami nongkrong hingga malam. Dan suasana Mato semakin hangat membuat diri seakan tak ingin beranjak. Canda tawa bertaburan di setiap sudut kedai kopi Mato yang semakin malam justru tampak semakin ramai.#
Kepahitan Jiwa
Kehilangan Mazra berubah menjadi hal yang paling sulit dalam hidupku.
Dua bulan belakangan Aku sangat merasakan kesepian, kehilangan Mazra seakan menjadi pukulan telak terhadap jiwaku. Aku mulai merasakan kehilangan arah, kehilangan orientasi serta dilanda rasa keputusasaan yang tiada berujung.
Hidupku kini menjadi tak menentu.
Aku sendiri sebenarnya sangat risau dengan kehidupanku yang sudah jauh terjatuh ke jurang-jurang dosa. Saban malam aku jarang tidur, mabuk-mabukan, yang membuat Aku semakin berantakan. Aku sebenarnya sadar dengan kemunduran yang menimpaku ini, namun kesadaran itu tak cukup kuat untuk dijadikan sebagai benteng yang dapat membendung kegilaanku yang justru sedang aku nikmati. Anehnya lagi, aku justru membiarkan kegilaanku itu setiap hari semakin menjadi-jadi.
Banyak teman-teman serta para sahabat yang mulai mengabaikanku, terutama mereka yang selama ini memandang diriku sebagai seorang yang bisa dibilang cukup cerdas dan aktif dalam berbagai forum ilmiah. Menulis pun Aku seperti sudah enggan, apalagi jika disuruh berdiskusi ilmiah, mungkin aku sudah melupakannya.
Bayang-bayang Mazra yang kini sudah berada dalam pelukan orang membuat aku semakin gila. Aku tertekan, dan jika saja Jis tidak menahanku mungkin tempo hari Aku sudah tidak lagi bernafas sewaktu aku nekad mengakhiri hidupku di rel kereta api.
Sikap nekad ini lahir setelah beberapa hari yang lalu Mazra menelpon dan memberitahukanku bahwa dirinya sedang hamil muda. Kabar itu terasa semakin runyam ketika Mazra meminta doa agar nanti anaknya bisa menjadi orang seperti aku yang dahulu ia kenal sangat gemar menulis artikel dan menulis novel. Dan aku berusaha mendoakannya meski sebenarnya ini perkara yang sulit aku melakukannya.
Aku merenung terdiam di kamar kos saat mendung bergelayut yang separtinya sebentar lagi akan turun hujan deras.
Dalam renunganku, dalam hati Aku mendoa;Oh Tuhan.! Jika cinta terkadang dapat berubah menjadi sebuah derita, maka biarkan derita itu menggenggam hatiku untuk sementara waktu.
Oh Tuhan.! Jika memang cinta Kau ciptakan untuk membahagiakan manusia, termasuk Aku, maka Aku ingin cinta itu sendiri yang menyadarkanku.
Tuhan.! Saat ini dunia sedang gelap dalam pandangan buta mata dan hatiku.
Aku meminta agar cinta saja yang menerangkannya.
Mazra berhak mendapatkan rasa cintaku yang terang.
Jika memang raganya telah dimiliki orang, maka biarkan Aku hanya memiliki cintanya, sebab Aku tahu dia masih menyimpan setitik cinta kepadaku.
Jika memang Mazra sudah tak berhak menerima cintaku, maka berikanlah rasa suci itu kelak pada anaknya.
Mazra memang sudah memilik jalannya sendiri, sementara Aku masih saja berada di persimpangan jalan. Pikiranku buntu, jiwaku telah rusak, sehingga bingung harus memilih jalan mana yang mesti Aku titi.
Mazra yang dahulu menguatkan langkahku, tapi kini dia juga yang menghancurkan sendi-sendi kekuatan yang lama bersemayam di jiwaku. Sementara ini Aku pasrah.!#
Mulai Frustasi
Kabar tentang kegilaanku lambat laun ternyata sampai di telingan Mazra.
Entah siapa yang bercerita kepadanya aku tak tahu.
Mungkin dia tahu dari Satria, pikirku keras.
Sejujurnya aku teramat sangat malu mengetahui Mazra tahu dengan kondisiku saat ini. Hingga suatu hari Mazra berhasil memergokiku sedang dalam keadaan tak sadarkan diri setelah aku menegak dua botol bir.
Dia menyambangi kos-ku pagi hari bersama-sama suaminya, Arif. Mazra menampar wajahku sambil menangis seperti dia sedang menyesali sekaligus geram melihat kondisiku yang terlihat berantakan.
Tak lama berselang Mazra pun pergi dari kos-ku bersama suaminya entah ke mana mereka aku tahu tahu, bahkan tak memperdulikannya. Mungkin mereka akan ke rumah mbaknya, atau mungkin pula mereka pulang ke Surabaya.
Aku kemudian tidur pulas.
Sore harinya setelah Aku terbangun dan sadarkan diri, Hatima menelpon bahwa ia ingin main-main ke kos. Aku tidak melarangnya, dan mempersilahkannya sembari berkata Aku memang sedang berada di kost.
Aku dan Hatima memang sudah lama tak bertemu sejak beberapa bulan belakangan.
Dia sibuk dengan urusan studinya karena sedang merancang tesis. Sore ini dia datang dengan dandanan yang tampak sangat cantik, dan tak dapat ku sangkal bahwa Hatima memang sosok perempuan yang cantik dan menarik.
“Cantik sekali kau hari Hatima?”, Aku memuji gombal.
“Hehe..terima kasih van Ritt”, sambil tersenyum.
Hatima berdiri saja di depan pintu dan sepertinya tak berniat masuk.
“Ayo, saya mau ajak kamu ke luar”, ajaknya serius.
Sambil berdiri Aku bertanya;“Emang mau ke mana sih cah ayu?”.
“Iiiih..ngegombal aja deh. Ayo kita nongkrong biar nggak keliatan kusut terus itu wajahmu”, sambil menunjuk wajahku yang memang tampak kusut, aku merasakannya.
Setelah ganti baju dan mengenakan jaket, aku menghampiri Hatima yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Kemudian ku raih tangannya lalu berkata;“Ayo. Begong aja.!!”, sergahku mencandainya.
Aku dan Hatima menuju ke sebuah cafe ternama di sudut kota Jogja.
Sore hari ini tampak sangat indah.
Ternyata hujan baru saja membasahi bumi tadi siang saat aku masih tertidur lelap, dan aku tak tahu.
Cafe yang berada di bukit Bintang, sebutan kebanyakan orang untuk tempat ini, memperlihatkan jelas kecerahan yang menyelimuti kota Jogja dan sekitarnya. Mega-mega bertaburan di ujung senja mengantar matahari yang ingin pulang ke pangkuan malam.
Kemilau senja sore ini merupakan lukisan alam yang didesain oleh Yang Maha Kuasa melalui siklus pergantian siang dan malam. Siang, petang, malam dan pagi sama-sama memperlihatkan wujud yang berbeda-beda serta bersaing memperlihatkan sisi keindahan masing-masing. Mereka seakan ingin manusia memuji keindahan yang mereka persembahkan kepada manusia beserta makhluk-makhluk lainnya.
“Coba liat di sana Tim, senjanya bagus yah dan tampak cerah sore menjelang petang ini”, aku mengajak Hatima melihat senja.
Dia lalu menoleh segera ke arah barat kemudian mengucapkan kalimat syukur;“Subhanallah indah sekali ciptaan Tuhan”, ucapnya kagum.
Perlahan senja itu pun menghilang, malam juga ingin tampil. Adzan maghrib berkumandang, aku dan Hatima segera menghampiri musholla dan sembahyang berjamaah.
Selepas sembahyang maghrib, kami berdua kembali duduk di tempat yang tadi telah kami pesan.
Aku seperti sudah tak ingat lagi kejadian tadi siang di kos, di mana Mazra dan suaminya datang menghampiriku. Aku perlahan mencoba melupakan Mazra meski jauh di lubuk hati Aku masih sangat mendambakan serta mengharapkannya. Namun begitu, Aku kembali sadar ada tembok penghalang yang berdiri kokoh di hadapan Mazra, yaitu suaminya. Gila saja jika Aku sampai berpikiran ingin merebut Mazra dari tangan Arif.!
Di sini, sambil menikmati keindahan Jogja di malam hari, di tempat agak tinggi ini lampu kelap kelip di cakrawala lagit-langit kota Jogja. Karena pemandangan inilah mengapa tempat ini dinamai banyak orang dengan sebutan bukit bintang. Tempat ini terdapat cafe yang berjejer di pinggir bukit, para pemilik berusaha menyuguhkan pemandangan langit-langit Joga sembari menyediakan berbagai macam aneka jualannya. Tak ayal, tempat ini jadi favorit kebanyakan orang, terutama kaum pendatang yang sedang menimba ilmu di kota gudeg.
Suasana malam hari di bukti bintang kali ini tampak lengang dan tidak terlalu ramai. Mungkin malam masih terlalu muda pikirku. Aku dan Hatima berbicang-bincang santai tentang banyak hal. Selalu ada nuansa kebahagiaan berbicang dengannya karena Hatima memang sosok perempuan yang ramah dan supel serta amat gemar bercanda.
Wajahku yang sejak tadi tampak kusut berubah drastis menjadi ceria oleh candaan Hatima yang kocak. Dia pandai betul kapan harus bercanda dan kapan pula dia harus serius saat berbincang.
“Kamu jangan tampak stres dan frustasi begitu banget Ritt, saya itu juga pernah mengalami hal yang sama seperti yang kamu alami sekarang ini”, candanya.
Aku mengkerutkan kening pertanda bingung dengan omongannya. Aku tidak paham apa yang ia maksud dari kalimatnya tersebut.
“Maksudnya?”, tanyaku bingung.
“Satu tahun yang lalu, saya juga ditinggal pacar saya menikah, dan tanpa sepengetahuanku”, ujarnya singkat.
Aku coba menyimak pengakuannya tentang itu. Hatima bercerita panjang lebar mengenai kisah asmaranya dengan pacarnya yang juga bernama Arif, yang berujung pada pengkhianatan.
Hatima tampak sedih saat bercerita. Hal itu jelas sekali terlihat dari matanya yang mulai meneteskan butiran-butiran air yang mengalir ke pipi Hatima namun tidak deras.
Airmata memang mengandung dua pesan, yakni airmata kesedihan dan airmata kebahagiaan. Namun begitu, bagaimanapun airmata tetaplah airmata, ia akan menjadi pertanda ekspresi emosional seseorang yang tak mampu mengungkapkan sebuah kenyataan dengan kata-kata. Utamanya kenyataan-kenyataan yang merenyuhkan selaksa jiwa. aku tahu, airmata Hatima jelas ungkapan kesedihan yang teramat mendalam.
Di sela-sela Hatima menyeka airmatanya dengan sapu tangan, Aku mendekatinya lalu berkata;“Ternyata, kamu bisa menangis juga yah?”, sambil menatap Hatima.
Merasa malu, Hatima mencoba membuang jauh-jauh kesedihannya dan menghapus airmatanya sampai tak lagi berlinangan di matanya dan mendarat bebas di pipinya. Dan Aku sendiri sama sekali tak berani untuk menyapu airmatanya yang sepertinya ingin menetes lagi itu, karena Aku berpikir tak mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Maksudnya, memanfaatkan kesedihan Hatima ini dengan maksud menguatkan hatinya. Aku biarkan saja dirinya sendirilah yang menenangkan hatinya sendiri, Aku hanya berusaha untuk memberikan empati semata.
Rasa cinta menurutku, terkadang hadir di saat seseorang mampu memanfaatkan hati yang sedang patah hanya dengan menghapus airmata yang tertumpah. Perasaan cinta yang datang pada saat tak tepat itu biasanya hanayalah sebuah kepalsuan belaka. Hal ini sangat sering terjadi yang akibatnya juga tidak berujung pada kebahagiaan. Rasa cinta tidak patut bersandingkan dengan kepura-puraan, dan jika ingin cinta itu bersemi maka tunggulah saat yang tepat serta pas untuk kita mengutarakannya kepada seseorang. Jangan di saat seseorang sedang menumpahkan air matanya, terlebih jika perkenalan kita usianya masih teramat singkat.
Hatima tampak agak lama mengembalikan kesedihannya menjadi sebuah kebahagiaan seperti biasanya. Aku membiarkannya saja. Bukan maksud tak mau peduli, tetapi Aku ingin melihat dia cerita terlebih dahulu karena Aku punya sebuah rencana untuknya.
Rencana tersebut sudah Aku pikirkan matang-matang jauh-jauh hari. Aku pikir, saat ini adalah waktu yang tepat untuk ku sampaikan kepada Hatima, namun dia masih belum tampak ceria. Aku pun menundanya, hingga kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam.
“Ayo kita pulang Tim, hari sudah semakin malam ini”, ajakku.
Dia pun segera beranjak berdiri lalu berkata;“Kamu nggak jadi pengen ngomong sama saya?”, tanyanya singkat.
Aku kaget. Segera aku menoleh ke arahnya.
“Kok kamu tahu?”, tanyaku heran.
Sampil menepuk pundakku dia bilang;“Sudahlah Ritt, saya tahu kalau kamu ingin mengatakan sesuatu kepadaku dan itu tampak dari sikapmu sejak tadi yang telihat sebel melihat saya menangis”, menimpali.
Aku diam saja dan memutuskan untuk tidak berkata apa-apa.
“Sorry, saya tadinya tak tahu kalau kamu mau mengajakku membicarakan sesuatu yang serius. Saya tahu kau nggak jadi karena melihat saya menangis dan sedih, itu bagus”, lanjutnya.
Sambil memegang tangannya, Aku kemudian bialng;“Tim, Aku turut sedih”, ujarku singkat.
Sambil berusaha tersenyum, Hatima berkata;“Terima kasih, saya juga turut bersedih dengan kisah asmaramu”, dia mencoba mencandai.
Kami tertawa. Setelah itu kami pun pulang.
Sesampainya kami di kost, Hatima buru-buru pulang karena sudah malam dan kantuk. Sementara aku sendiri masih berdiam diri di kos, merebahkan tubuh ke kasur sembari merenung hingga akhirnya tertidur pulas.
Keesokan harinya Aku berangkat ke Jakarta karena ada sesuatu urusan. Ke Ibu Kota aku berangkat sendirian menumpang kereta api. Di sana aku menemui abang dan pamanku yang sedang menghadiri acara wisuda anak-anaknya. Tiga hari kemudian aku balik lagi ke Jogja.
Sesampainya aku di Jogja pagi, tersiar kabar bahwa Fid masuk rumah sakit akibat kecelakaan yang menimpanya semalam. Segera aku ke sana membesuk Fid yang masih terbaring lemah dengan wajah lebam seperti habis dipukul orang.
Setelah menjenguk Fid, aku pamit pulang ingin istirahat karena baru saja sampai Jogja. Menurut dokter, Fid besok sudah diperbolehkan pulang karena luka yang dialaminya tidak begitu parah.
Sampai di kos aku merasakan lelah yang mengantarkanku tuk tidur lagi. Perjalanan dari Jakarta menuju Jogja sangat panjang dan melelahkan.#
Keputusan Terakhir
Juni 2014 aku masih di Jogja.
Dan masih bergulat dengan waktu yang seakan tiada kepastian. Titel Sarjana yang telah Aku genggam membuat Aku justru semakin kebingungan mencari arah hidup.
Cinta, cita-cita dan asa selalu menyertai langkah hidup manusia.
Namun, soal cinta aku justru semakin awam dan tak paham. Setahun sudah Aku mencoba menepis perasaan cintaku pada Mazra yang kini sudah berada dalam pelukan orang lain, sementara Hatima pun masih bersikap biasa-biasa saja dan tak ada tanda-tanda dia suka kepadaku.
Dalam sejarah hidupku, mungkin rasa cinta yang sejati sepertinya baru aku rasakan pada sosok Mazra. Tetapi, rasa cinta itu justru bertepuk sebelah tangan karena Mazra sama sekali tidak pernah mengungkit-ungkit asmara yang pernah kami bina dahulu. Sepertinya dia sudah melupakan aku, pikirku.
Andai Mazra tahu, perasaan cintaku kepadanya yang hingga kini masih bersemi inilah yang telah berhasil menguburkan dalam-dalam gairah hidupku sejak satu tahun belakangan. Semakin Aku menepis perasaanku ini, banyangan Mazra justru semakin mendekat, dan aku semakin terpuruk.
Mungkin ada benarnya perkataan Hatima bahwa obat patah hati adalah jatuh cinta lagi. Aku kemudian mencoba menterjemahkan kalimat itu dengan perasaan dan logika akal sehatku.
Tak berapa lama terjemahan dari kalimat Hatima itu telah aku temukan jawabannya. Kalimat itu, jika dipikir-pikir memang benar, tetapi belum sempat aku menterjemahkannya melalui perasaan, tersiar kabar bahwa Mazra telah memiliki seorang putra yang diberi nama Ahmad Inaffi Al-Tubbani karena lahir di Tuban, asal kampung halaman suaminya. Sebuah nama yang bagus pikirku.!
Atas kelahiran putra Mazra Aku mengucapakan selamat sekaligus mendoakannya semoga menjadi anak yang sholeh.
Kehadiran putranya Mazra ini kian mempertegas bahwa aku memang harus segera melupakannya, setidaknya untuk membuka hati dan pikiranku.
Aku pun perlahan-lahan mulai membuka hati dan mengikhlaskannya dan hal itu telah aku sampaikan kepada diri Mazra, karena aku sadar bahwa selama ini aku memang telah berusaha untuk menganggu rumah tangganya.
Dalam pesan di HP Aku berkata;“Nok, maafkan Aku selama ini yah, telah mengganggu kamu. Aku sadar bahwa hal itu adalah sebuah kebodohan yang Aku perbuat terhadap kamu. Aku memang sudah keterlaluan mencintai kamu. Cinta yang berlebihan memang ternyata membuat diri kita bisa gila, dan kegilaanku itu terasa saat aku kehilangan sosokmu dalam hidupku. Tapi kini, Aku sudah mulai sadar bahwa aku sudah mencoba membuka hati untuk orang lain dan mengikhlaskan segalanya”.
Lanjutku;“Hal ini mungkin adalah sesuatu yang tersulit dalam hidupku. Tapi apalah, semuanya sudah menjadi kehendak Ilahi. Kau lebih pantas mendapatkan yang terbaik dan yang lebih baik daripada aku. Mungkin, Tuhan memisahkan kita karena Tuhan ingin memberikan yang lebih baik untuk kamu.
Jadi, pesan ini mungkin untuk terakhir kalinya aku menghubungi kamu nok. Mulai detik ini, berjanjilah untuk hidup bahagia, meski aku tahu kebahagiaanmu itu ternyata bukan bersamaku tapi itu cukup mewakili kebahagiaanku di sini”. Wassalam. Van Ritt.
Mazra membalas;
“Ampuni aku mas. Setiap kejadian selalu ada penyebabnya, tak terkecuali keputusanku tuk menyerahkan ragaku di pelukan orang lain tanpa sepengetahuanmu. Aku tahu ini adalah suatu dosaku kepadamu. Dosa yang tak tahu bagaimana aku akan menebusnya. Tetapi, aku sadar bahwa kita tak akan pernah kuasa melawan takdir, sebab hidup pada dasarnya adalah sebuah proses menuju pada takdir kita sendiri-sendiri. Berbahagialah, dan jangan kau terus-terusan dalam keterpurukanmu karena jika kau melakukan itu berarti sama halnya kau telah menyakitiku. Bukankah kau ingin melihat aku bahagia?”.
Aku tak berniat membalas balasan pesan dari Mazra. Meski aku sadar bahwa pesan dari Mazra cukup membuat aku yakin bahwa kami memang harus dipisahkan, bukan karena orang lain, waktu, tempat, rasa tetapi karena takdir. Ya takdir, pikirku singkat.
Lagi-lagi soal takdir.Sesuatu yang tak dapat ditentang oleh sesiapapun.
Sebab, jika ada yang menentangnya maka ia akan berhadapan dengan Tuhan. Dan aku sama sekali tak punya niat menentangnya.
Aku berpikir keras antara membalas atau tidak membalas pesan dari Mazra itu. Setidak-tidaknya aku ingin mengucapkan kata “selamat” kepadanya yang telah memperoleh seorang anak.
Keputusan tak kunjung aku dapatkan.
Rasa sesak di dada sangat sulit aku kendalikan.
Saat egoku sudah mulai dapat aku kendalikan, Aku pun membalas pesannya.
“Baiklah Mazra. Akan ku hentikan kegilaanku ini. Akan ku amini takdir yang telah jatuh ke tanganku ini, meski sebanrnya sulit tuk aku terima. Tapi sepertinya akalku sudah mulai sehat. Selamat atas kelahiran anak pertamamu. Berbahagialah”.
Itu pesan terakhirku kepada Mazra.
Sejak saat itu, aku sendiri tak pernah lagi menghubungi dia. Tak akan lagi. Cukuplah sudah.!
Kini, aku telah memutuskan untuk membuka hati buat perempuan lain yang dapat mengisi hatiku sekaligus menutup luka hatiku.
Tiba-tiba aku teringat kepada Hatima. Ya Hatima. Sahabat karibku yang telah menguatkanku setahun belakangan, meski kami jarang berjumpa, tapi kami selalu berkomunikasi.
Sial.! Dalam diam-diam ternyata aku baru menyadari bahwa aku memiliki hati terhadap Hatima. Tetapi perasaan itu tak pernah aku gubris karena aku sibuk dengan perasaanku terhadap Mazra kala itu. Ya, perasaan cinta yang aku maksud ingin aku perjuangkan, namun, kini telah kandas. Dan aku anggap telah kandas. Sudah berakhir.!!#
Pengakuan yang Terlambat
Keesokan harinya. Masih di bulan Juli.
Aku menghubungi Hatima, mengajaknya bertemu. Dia mengiyakan ajakanku, dan segera dia menghampirku di kost.
Hatima. Cantik sekali dia hari ini. Dengan mengenakan pakaian yang serba merah. Datang memberikan salam disertai dengan senyuman yang mengembang manis. Aku tak mau menutup-nutupi bahwa dirinya memang teramat cantik.
“Ayo”, ajak Hatima.
Aku segera beranjak dari kamar dengan pakaian yang rapi. Mencoba tuk memperlihatkan sekaligus menciptakan aura positif hari ini bersama Hatima.
“Baiklah”, kataku siap.
Kami bepergian ke suatu tempat yang memang telah Aku rencanakan. Pantai Depok. Sebuah tempat favoritku di Jogja.Sesampainya kami di sana, gemuruh gelombang berserta desiran angin menyambut kedatangan kami. Siang ini memang tak terasa terlalu panas, padahal jam menunjukkan pukul satu.
Kami lalu memilih sebuah warung dan memesan makan siang. Hatima memang selalu tampak bahagia jika aku mengajaknya ke tempat ini. Hari ini dia tampak sumringah.
Setelah menikmati makan siang, kami lalu ngobrol-ngobrol santai. Tidak ada yang aku pikirkan hari ini kecuali Hatima dan Hatima. Ya, Hatima.
Saat hari sudah mulai beranjak sore, kami beranjak dari warung menuju ke musholla. Sembahyang ashar. Dalam hati aku berdoa, semoga Hatima mau menerima cintaku yang nanti akan aku utarakan kepadanya di pantai saat senja telah tampak.
“Amin.!!”. kata Hatima tiba-tiba di belakangku.
Aku kaget. Terperanjat hebat. Dia seperti tahu dengan apa yang sedang aku tadahkan dalam doa selepas sembahyang Ashar itu. Aah, paling cuma kebetulan saja dia bilang begitu, pikirku.
Selepas sembahyang Ashar, kami berjalan pelan menuju pantai.
Di pantai orang-orang terlihat ramai. Para nelayan sibuk mengulurkan perahunya ke laut karena setiap sore adalah waktunya nelayan-nelayan melaut.
Aku dan Hatima duduk di bibir pantai. Di atas pasir tanpa alas. Menanti senja. Waktu yang aku nanti-nantikan tuk mengucapkan perasaan di hati. Semakin sore, pantai semakin sepi. Orang-orang yang berlibur ke pantai ini satu persatu sudah pulang. Para nelayan pun sudah terlihat berlayar di sebalik gelombang dan mengharungi ombak dengan gagah perkasa.
Aku dan Hatima masih duduk berdua di sini. Belum ada niat untuk pulang.
“Apa yang sedang kau pikirkan Ritt?”, tanya Hatima.
Sambil menatap ke arah laut yang bergelombang, aku menjawab; “Tidak sedang memikirkan sesuatu apapun Tim”.
Dia mengangguk. Sesekali aku menoleh kepadanya, dia tersipu malu.
Sambil tertawa, Hatima kemudian mencubitku sembari berkata; “Kamu itu kenapa curi-curi pandang begitu?”, tanyanya manja.
Aku memilih terdiam.
Hatima terlihat kesal karena aku terdiam dan mengabaikan pertanyannya. Dengan wajah yang sedikit cemberut dia melanjuti; “Sebel aah sama kamu. Ditanya malah diam aja. Kalau gitu lebih baik kita pulang saja, lagian udah mulai petang ini”, ujar Hatima merajuk.
Aku masih diam saja. Sengaja membuatnya merajuk, sampai pada akhirnya dia tampak marah. Hatima pun diam pertanda marah sambil memendam rasa sebel.
Hal itu terlihat dari sikapnya serta ulahnya yang meraup-raup pasir lalu melemparnya ke bibir laut. Melihat sikapnya Aku justru tersenyum. Seketika itu pula aku mencium pipinya.
Hatima kaget. Lalu menatap ke wajahku penuh keheranan serta gumpalan-gumpalan pertanyaan. Wajahnya terlihat memerah. Aku sendiri sempat khawatir Hatima semakin marah.
Sambil menatap ke wajahku, dia bertanya; “Ini apa maksudnya?”, tanyanya.
Aku lalu meraih tangan Hatima mengajaknya berdiri. Kami bertatapan, lalu aku mengatakan; “Aku mencintaimu Tim”.
Hatima lau berpaling menatap ke arah laut dan gelombang.
“Kamu tahu, sejak tadi aku sengaja menanti senja menampakan wajahnya. Dan di saat itu aku ingin mengucapkan perasaanku kepadamu”.
Hatima terdiam.
“Sejak kapan?”, tanyanya.
“Sejak kapan apanya?”, Aku menimpali.
“Sejak kapan kamu punya perasaan cinta sama aku”, Hatima meminta pengakuanku.
Sambil memegang tangannya aku berkata; “Sebenarnya sudah sejak lama Tim, namun aku berusaha menghindarinya. Dan takut kamu menolak. Kamu kan tau kalau selama ini kita bersahabat”.
“Bodoh.!”, jawabnya singkat. “Bukankah kamu selama ini tak tahu Ritt, bahwa aku sudah sejak lama menanti-nanti kau mengungkapkan pernyataan seperti ini, tapi kau tak kunjung menyatakannya”.
“Lalu?”, tanyaku menimpali.
Hatima terdiam. Dia menghela nafas panjang. Hanya gemuruh gelombang laut yang terdengar. Aku melihat keragu-raguan pada diri Hatima menyikapi pernyataan cintaku tadi.
Aku sendiri bingung dan tak mampu menebak apa yang sedang Hatima pikirkan serta pertimbangkan. Yang jelas, pada diri Hatima tampak kebimbangan. Aku tak tahu kebimbangan apa yang sedang bergejolak dalam diri Hatima. Hanya dia dan Tuhannya lah yang tahu, Aku sendiri tidak menuntut pengakuan. Hanya saja Aku membutuhkan jawaban dari perasaan yang baru saja Aku ungkapkan kepadanya.
Hatima masih memandang ke laut.
“Kamu terlambat Ritt.!”, ujarnya ragu.
Aku kaget dan malah ingin tahu apa yang telah terjadi padanya sehingga dengan secara tidak langsung dia menolak cintaku.
“Terlambat gimana? Apa kamu sudah punya pacar Tim?”, tanyaku ingin tahu.
“Kemarin Aku baru saja menerima cintanya seseorang yang juga merupakan temanku di kampus”, jawabnya,
“Dia memang sudah sejak lama menunggu jawabanku, tapi aku tak kunjung menjawabnya karena aku menanti kamu”, aku Hatima tulus.
“Entah mengapa, setelah aku pikir panjang kemarin aku menerima cintanya karena aku pikir kamu tak mencintaiku. Dan hari ini kamu justru mengucapkannya”.
Aku terdiam dan tak berusaha tuk menjelaskan kondisi yang menyebabkanku menunda-nuda mengutarakan perasaan cintaku pada Hatima. Karena aku yakin penjelasanku pun akan terasa percuma saja, dan tak akan merubah apapun.
“Ya, mungkin itu kesalahanku Tim”, akuku.
Kami terdiam sebelum akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Selama dalam perjalanan tak ada kata-kata atau kalimat yang kami ucapkan. Kami berdua terdiam, seperti sama-sama tak menyangka jika kejadiannya malah jadi seperti ini.
Sesampainya di kos, Hatima langsung pamit pulang dan mengucapkan kata maaf kepadaku karena tak bisa menerima cintanya. Bukan karena dia tidak mau, tetapi dia sudah terlanjur menerima cintanya orang lain.
Sambil tersenyum aku berkata; “Ya sudahlah Tim. Mungkin dia lebih beruntung ketimbang aku”, ucapku.
Hatima pun berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata.
Aku sendiri di kamar segera merebahkan tubuhku di kasur. Berpikir keras, dan tak menyangka jika akhirnya harapanku kepada Hatima malah berujung kegagalan. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan Hatima, dan lebih menyibukkan diriku pada Mazra yang jelas-jelas sudah jadi milik orang lain. Dan ini akibatnya, orang yang aku cintai, Hatima, akhirnya juga telah jatuh tangan orang lain pula.
Sudah terjatuh, tertimba tangga pula. Itu lah mungkin kalimat pepatah yang dapat menjelaskan kondisiku saat ini, namun, Aku mencoba untuk tidak patah arang, menanti Hatima putus dengan pacarnya yang baru kemarin hari resmi berpacaran.
Sikap nekadku ini tumbuh sejak aku mulai merasakan betapa sebenarnya aku memang telah mencintai Hatima dengan tulus.
Bulan demi bulan aku masih setia menanti. Dan tidak terasa sudah enam bulan bergelut dalam penantianku. Namun tak kunjung ada jawaban, Hatima bahkan mengakui bahwa hubungannya dengan Hanif semakin menjurus ke arah keseriusan.
Aku semakin pesimis. Asaku kian menipis. Merenggut kebahagiaan orang lain, sekalipun orang yang kita cintai bukanlah perkara yang baik. Pikiran ini mulai tertanamkan dalam pikiranku sejak aku kehilangan Mazra, dan kini Hatima.
Satu bulan kemudian, tepatnya sehari sebelum puasa ramadhan bergulir, tersiar kabar bahwa Hatima telah bertukar-cicin dengan Hanif. Mereka berdua resmi bertunangan, dan jika tak ada aral, bulan Desember akan dilangsungkan pernikahan.
Sikap pesimisku semakin menjad-jadi. Padahal, sejatinya aku masih menyimpan asa terhadap Hatima karena dia sering menghubungiku dan meminta bantuan kepadaku. Awalnya Aku menganggap bahwa ini adalah bentuk rasa cinta yang masih bersemayam di hati Hatima terhadapku, sehingga aku seakan serasa diberi harapan olehnya. Namun, menurut pengakuannya, bahwa kedekatannya terhadapku itu hanyalah sebuah upaya Hatima untuk membesar-besarkan hatiku semata supaya aku tak terlalu kecewa.
Mendengar itu aku tertunduk lesu. Pasrah. Dan tak tahu harus berbuat apa. Ya Aku pasrah pada takdirku sendiri, terutama soal cinta. Aku menyadari bahwa aku bukanlah sosok lelaki yang pantas mendampingi Hatima. Orangtuanya termasuk dalam kategori orang yang berada, jadi wajar kiranya jika dia mendapatkan orang yang juga berada. Itu soal status sosial. Yang terkadang memang harus setara agar terciptanya sebuah keseimbangan. Begitulah dunia mengajarkan kepada kita.
Dengan kesadaran itu aku memutuskan untuk meninggalkan Hatima sekaligus melupakannya. Namun, caraku melupakan Hatima kali ini lain, bukan seperti yang pernah ia katakan tempo hari bahwa patah hati obatnya adalah jatuh cinta lagi.
Aku seperti sudah trauma jika harus jatuh cinta lagi. Jiwaku sudah letih jika harus berhadapan dengan dua tragedi asmara yang telah menimpaku itu. Jujur, aku takut jika harus terulangi kembali. Dan ini sudah cukup bagiku. Ya, ini untuk yang terakhir kalinya.!
Mazra dan Hatima telah menjadi dua sosok wanita yang sangat aku cintai. Namun, cintaku kepada kedua wanita berbeda kultur itu sama-sama berakhir dengan tragis. Aku tak mendapatkan dua-duanya. Sekali lagi, jodoh mereka berada di tangan orang lain. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.#
Pulang Kampung
Pertengahan Juli. Bulan Ramadhan.
Aku memutuskan untuk berpuasa di Jogja barang setengah bulan sebelum aku pulang. Ramadhan ini mungkin akan menjadi bulan puasa terakhir aku berada di Jogja, karena setelah ini aku memutuskan tuk pulang ke kampung halamanku di Kalimantan.
Pulang ke kampung mungkin adalah solusi terakhir. Hatima menahan aku supaya tidak pulang, dan kalaupun pulang selepas lebaran kembali lagi ke Jogja. Itu pinta Hatima. Aku hanya bisa menjawab insyallah. Bagiku itu adalah jawaban yang tepat.
Awalnya Hatima tak bisa terima jawabanku itu. Namun, aku berkali-kali menjelaskan kepadanya agar dia memfokuskan diri pada Hanif, tunangannya itu. Toh, tak lama lagi mereka akan menikah. Bulan Desember nanti. Ya, tahun ini.
Aku seperti tak percaya.
Aku mencoba realistis. Hadapi kenyataan.
Melupakan seseorang mungkin telah menjadi hal yang tersulit dalam hidupku. Termasuk melupakan Hatima yang tak lama lagi akan dinikahi oleh orang lain. Hanif. Seorang yang telah resmi menjadi tunangan Hatima. Seorang akademisi tulen. Dosen tetap di sebuah perguruan tinggi.
Hahhhhhh.!
Aku menghela nafas panjang.
Segera aku alihkan pikiranku.
Aku mulai menyusun rencana untuk nanti setelah aku berada di Kalimantan. Ya, di kampung halamanku. Sepertinya di sana akan menjadi proyek yang bagus buat masa depan serta langkahku selanjutnya dalam melanjuti kehidupan ini.
Hidup harus terus berlanjut. Meski tanpa Mazra dan Hatima. Toh, mereka sudah terlebih dahulu maju daripada aku. Sudah lebih dahulu melangkah ketimbang aku yang hanya bisanya merenung meratapi nasib diri. Aku tak boleh patah arang. Tak boleh putusasa. Karena perubahan adalah hakikat kehidupan, pikirku.
Aku segera memalingkan perhatian dan pikiranku pada naskah novel yang sedang aku edit. Oleh seorang rekan Aku dimintanya untuk mengedit naskah novelnya karena akan diterbitkan. Dari pekerjaan ini nantinya aku akan diberi uang. Lumayanlah buat menambah uangku yang aku tabung untuk persiapan, bekal pulang pertengahan puasa.
Editan naskah novel selesai sesuai jadwal yang ditargetkan. Segera naskah itu aku serahkan kepada pak Muk, dan beliau pun memberiku uang atas pekerjaan itu. Alhamdulillah, puji syukurku.
Esok harinya.
Aku segera membeli tiket pesawat.
Segera ku dapatkan tiket itu dan akan berangkat dua hari lagi. Ya, lusa. Aku akan segera pulang ke kampung halaman dan meninggalkan Jogja untuk kali kedua. Mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Tekadku sudah bulat. Aku tak akan kembali lagi ke kota ini, tidak ada keperluan apa-apa. Gus, tak tahu lagi kabarnya. Selain itu, tersiar kabar, uang milik lembaga yang diperjuangkan Gus telah dibawa kabur oleh pak Andra. Lembaga itu dengan sendirinya bubar. Para anggotanya tak tahu entah ke mana. Yang pasti Gus, sebagai ketua telah menyatakan bahwa lembaga ini telah resmi dibubarkan. Begitu pesan singkat yang aku terima dari Gus tempo hari.
Sadar dengan tidak adanya aktivitas menghasilkan yang dapat aku kerjakan, membuat aku yakin bahwa pulang merupakan keputusan paling solutif. Ya, dua hari lagi. Berarti lusa aku sudah beranjak.
Seperti sudah tidak ada beban, aku segera mempersiapkan barang-barang yang akan aku bawa pulang. Berharap tidak banyak barang yang menjadi beban perjalananku nanti, barang yang aku anggap kurang perlu ku tinggalkan. Lagi pula, di sini masih ada sahabat-sahabatku. Barang ini ku tinggalkan saja untuk mereka, barangkali bermanfaat.
Tiga kardus dan satu koper terisi penuh. Agak banyak barang yang akan aku bawa pulang kali ini. Titipan orang rumah sangat banyak. Ponakanku bertaburan di mana-mana, tak mungkin rasanya jika aku pulang dengan tangan hampa tanpa membawa oleh-oleh buat mereka.
Beberapa stel pakaian aku sudah persiapkan buat mereka. Tak lupa daster yang menjadi pakaian kesenangan mak. Semua sudah tersimpan rapi di dalam koper. Sedangkan tiga kardus lainnya berisi buku. Sebagian untuk pamanku.
Aku putuskan untuk beristirahat lebih cepat malam ini agar bisa bangun pagi. Selain itu, Aku juga mencoba menenagkan pikiran sebelum tiba di rumah. Aku sendiri tak mau orang di rumah justru melihatku dalam keadaan cemberut, kusut, lebih-lebih tampak sedih.
Lagi pula nanti subuh harus bangun untuk sahur. Bismikallahumma ahya wa amuut.
Keesokan harinya, tepat sehari sebelum kepulanganku, aku manfaatkan untuk berpamitan kepada sahabat-sahabat. Kebanyakan dari mereka menahan, tapi aku menjelaskan segala hal kepada mereka sehingga mereka pasrah. Ya, mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Namun, mereka berharap suatu saat nanti bisa kembali lagi ke Jogja. Itu pasti kataku. Entah kapan, belum tahu. Tapi yang pasti aku akan kembali lagi ke Jogja, setidak-tidaknya untuk sekadar berlibur.
Dari belakang Jis menawarkan jasa; ‘Dianter nggak Ritt?”, tanyanya.
“Gak usah Jis. Makasih. Soalnya aku bawa barang banyak banget. Jadi, aku putuskan naik taksi aja”, jawabku singkat.
Ajis mengangguk.
Fid juga bertanya; “Jam berapa berangkat?”.
“Hhhmm, sore Fid”, jawabku singkat.
“Okelah kalau begitu. Jaga diri baik-baik di rumah. Semoga cepet dapet jodoh”, ujar Fid bercanda.
Kami pun tertawa. Kemudian bubar satu persatu.
Saat hari telah sore, aku pulang ke kos. Ingin tidur cepat.
Aku memang tak berniat berpamitan atau memberitahukan rencana kepulanganku esok hari kepada Hatima, apalagi Mazra. Aku sengaja merahasiakan kepulanganku. Ini pilihanku. Ini keputusanku.
Esok harinya, tepat pada pertengahan ramadhan.
Aku bersiap-siap menuju bandara. Saat dipersilahkan menaiki pesawat, sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Senja telah tampak di ufuk barat.
Pesawat terbang di kala senja. Aku meninggalkan tanah Jogja. Ya, terbang pulang menuju kalimantan. Aku pulang tanpa beban, tapi meninggalkan seribu kenangan.#
TAMAT