Monday 24 November 2014

Orang Pedalaman, Orang di Persimpangan

Kecamatan Nanga Sokan. Tidak ada yang tahu atau kenal dengan daerah ini, bahkan mungkin pembaca sekalipun. Ya, benar, orang lebih kenal dengan kota-kota besar ketimbang daerah-daerah terpencil.
 
Sejak dahulu, kita hanya mengaku sebagai warga negara Indonesia saja, tetapi tidak pernah ingin tahu sampai di sudut mana teritori wilayah kekuasaan negara ini. Banyak orang bilang, itu tugas pemerintah, sedang tugas kita hanyalah menjadi warga negara yang baik. Itu sudah lebih daripada cukup, kata mereka.

Sebelah Barat menghadap Kuching, Malaysia, di sudut Utara tepat berbatasan dengan Kalimantan Tengah, sedang di sebelah Timur segaris dengan Kalimantan Timur. Sudut-sudut arah itu adalah gambaran simpel untuk menunjukkan letak Nanga Sokan.

Menyusuri sungai Batang Pinoh ke hilir, masih banyak daerah lainnya seperti Madong, Kota Baru, Nanga Sayan, Nanga Ela, hingga berujung di Kabupaten Melawi, sebuah Kabupaten baru hasil dari pemekaran daerah, sehingga jadilah Nanga Sokan menjadi bagian dari kawasan Kabupaten Melawi yang sebelumnya masuk dalam kawasan Kabupaten Sintang.
 
Nanga Sokan ke hulu tak lagi terdapat kecamatan. Nanga Sokan adalah kecamatan terakhir yang terdiri dari berbagai desa macam Nanga Potai, Melana, Nanga Betangai, Meligai, Gelata, Tangkit, Nanga Libas dan Penyengkuang. Jauh ke hulu lagi, sudah berjumpa dengan Kalimantan Tengah yang jika ditelusuri akan menghabiskan waktu satu hari satu malam.

Kecamatan Nanga Sokan dihuni mayoritas suku Melayu dan Dayak. Sementara di Sokan sendiri sebagian terdapat warga Tionghoa. Kehidupan sosial di Sokan dapat dikatakan rukun, meski bercampur dengan beragam suku. 

Selain itu, meski termasuk kawasan terpencil, tetapi konon pada masa penjajahan Belanda, para serdadu Belanda pernah datang ke Sokan. Bahkan, di daerah Madong di sana terdapat makam pahlawan yang berarti perlawanan masyarakat Indonesia terhadap penjajah juga terdapat di daerah-daerah terpencil. 

Dari segi pendapatan, karet adalah primadona satu-satunya. Namun belakangan, muncul kabar berita bahwa perusahaan-perusahaan mulai masuk untuk memanfaatkan kondisi alam yang masih natural dan belum tersentuh. Mirisnya, menurut kabar tersebut, perusahaan-perusahaan yang masuk milik investor Malaysia. Ya, perusahaan kelapa sawit. Entah apa yang telah dilakukan pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, yang jelas perusahaan-perusahaan tersebut masuk dengan janji surga membuka lapangan pekerjaan demi kesejahteraan masyarakat, dalih mereka.

Ekspansi perusahaan asing di kawasan Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Melawi sungguh disayangkan memang. Pemerintahan negara Indonesia ternyata lebih memilih investor asing untuk membuka lapangan pekerjaan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat atas nama kesejahteraan. Padahal, kalau dipikir-pikir, masyarakat akan dapat apa dari perusahaan tersebut kecuali hanya akan menjadi buruh dan kuli. Ya, hanya sekadar jadi buruh dan kuli belaka. 

Sementara para pemegang kebijakan memperoleh imbalan besar dari deal to deal dengan perusahaan yang masuk dan siap mengancam kelestarian alam Kalimantan, khususnya di kawasan Kabupaten Melawi. Pun andai kata masyarakat telah menjadi buruh dan kuli, paling-paling jasa dan tenaga mereka hanya akan dibayar dengan murah, sementara para pemegang kebijakan meraup keuntungan puluhan hingga jutaan rupiah. Ya, begitulah cara para pemimpin negeri ini dalam mensejahterakan masyarakatnya. Miris!

Demikian prolog singkat Erit Aswadi dalam sebuah artikelnya. Di zaman konvergensi, kata dia menuliskan suatu fakta dan realitas sosial di dunia maya memang teramat perlu sebagai media yang paling mudah diakses.

Lebih lanjut, dalam artikelnya tersebut Aswadi memprediksikan Kabupaten Melawi, khususnya di Nanga Sokan akan semakin maju karena arus teknologi dan simbol-simbol modernisasi yang sedikit demi sedikit sudah mulai masuk. Secara kritis, Aswadi memprediksikan kondisi alam di Nanga Sokan tak lama lagi akan tercemar, tradisi, adat istiadat dan budaya masyarakat setempat akan terkikis habis. Biang keladinya tak lain tak bukan, kata dia adalah modernisasi. Ke depan, Aswadi melanjutkan, akan bermunculan orang-orang pintar, pintar dalam arti berpendidikan karena generasi Nanga Sokan kini sudah banyak menempuh studi di kota-kota besar di Indonesia. 

Generasi-generasi tersebut akan membawa tradisi, budaya dan pemikiran baru yang nantinya akan mendikte kebudayaan masyarakat setempat. Padahal, tradisi dan budaya masyarakat tersebut telah hidup dalam jangka waktu yang sangat lama dan turun-temurun.
Aswadi menilai, generasi-generasi yang berpendidikan tersebut nantinya tak lagi hirau dengan adat istiadat, tradisi dan budaya masyarakat, melainkan akan mengikisnya perlahan-lahan. Tak ada lagi tradisi berkelenang, tak ada lagi tradisi saling kunjung mengunjung antar desa untuk menggelar perlombaan, tak ada lagi tradisi prosesi pernikahan sampai tiga hari lamanya, tak ada lagi tradisi bepangel, tak ada lagi tradisi nugal ramai-ramai di musim berladang, semua akan sibuk dengan budaya-budaya modern. 

Di kawasan perbatasan yang terpencil, tak banyak hal yang dapat diharapkan dari para pemimpin negeri. Harapan sebenarnya hanya bertumpu pada tradisi, budaya dan adat istiadat masyarakat setempat yang sudah berlaku turun-temurun. Kata Aswadi, semakin mudah generasi muda di daerah terpencil dan perbatasan mengakses pendidikan di kota-kota besar, maka pada saat itu pula doktrin modernisasi merasuki pemikiran dan perilaku mereka.

“Berani amat t kau mulah artikel uba tuk, nadak golak ditangkap pemerintah pai? (Benari benar kamu bikin artikel kayak gini, tidak kah kau takut pemerintah akan menangkapmu),” tanya Maddin kepada Aswadi.

“Kita nadak perlu golak dengan urang lain Mad. Kita harus golak dengan dirik kita kedirik, golak ati kita berubah, golak pikir kita berubah, lalu kita nyan dengan brona baru (Kita tidak perlu takut dengan orang lain Mad. Yang perlu kita takuti adalah diri kita sendiri, takut kalau hati dan pemikiran kita berubah lantas kita tenggelam dengan sesuatu yang baru), “ jawab Aswadi serius.

“Brona pai uba yang kau maksud? (Sesuatu yang baru seperti apa yang kau maksud?), tanya Madd ingin tahu.

Sambil mengeluarkan handphone dari dalam saku Aswadi berkata; “Brona uba tuk bah  contoh a Madd (Sesuatu yang berupa ini lho contohnya Mad),” kata Aswadi sembari menampakkan HP-nya.

Madd paham, HP adalah simbol kemajuan zaman dan teknologi, dan itu juga merupakan simbol modernisasi. Lebih-lebih, pikir Madd, kecanggihan teknologi di zaman modern telah berhasil membuat orang sibuk lantas mudah terpengaruh oleh budaya asing.

Modernisasi, seperti dijelaskan Aswadi memberikan dua persimpangan jalan. Lurus mengikuti jalan lurus keasyikan zaman modern, atau belok kembali ke pangkuan tanah leluhur untuk menjaga dan melestarikan tradisi, adat istiadat dan budaya lama. Pilih mana?

Lebih lanjut Aswadi mengatakan jika kecenderungan orang terhadap teknologi dan modernisasi memang tak dapat dibendung. Pasalnya, kata dia teknologi telah berhasil memberikan kenyamanan dan kemudahan.

“Yak semua semu, setogal am ugai kita kelupak dengan adat istiadat, budaya dan tradisi kita Madd (Itu semua semu, hanya sementara saja supaya kita lupa dengan adat istiadat, budaya dan tradisi kita Madd), “ ujar Aswadi.

“Kedingaku, kampung kita tuk nak dipinah ke seborang badai nak ada perusahaan pertambangan batu basi nak masuk kituk. Bonar am pai? (Aku dengar kampung kita ini akan segera dipindahkan ke daerah lain, seberang sana, karena akan ada perusahaan pertambangan batu besi mau masuk ke sini. Benarkah berita itu?),” tanya Aswadi serius kepada Madd.

“Wek, aja bonar am. Pantau am bah dilik en peralatan-peralatan dah mulai nak diangkut sidak am men (Ya benar begitu. Coba lihat tuh di sana peralatan-peralatan perusahaan sudah mulai diangkut satu per satu),” imbuh Madd.

“Oh, berarti losi semua sejarah, tradisi, adat istiadat kampung tuk nan dih? (Oh, berarti akan hilang semua sejarah, tradisi, adat istiadat kampung kita ini ya?.

“Yaah, biak am sku (Ya, mungkin akan kayak gitu),” jawab Madd lesu.

Dari kisah Madd, Aswadi tahu lebih banyak kisah soal rencana-rencana beberapa perusahaan pertambangan dan perkebunan yang akan mengekspansi kawasan Kabupaten Melawi, khususnya Kecamatan Nangan Sokan. Bahkan kabarnya, perusahaan-perusahaan tersebut masih menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk memulai penggarapan, masih menunggu jalan diperbaiki agar mudah dilewati dan menunggu generasi tua di kampung sudah meninggal dunia. 

Untuk alasan kedua, karena generasi tualah yang diketahui masih sangat menjunjung tinggi adat istiadat, tradisi dan budaya masyarakat. Para generasi tua diketahui menantang keras perusahaan-perusahaan itu mendirikan proyeknya di kampung mereka. Lebih-lebih lahan yang akan digarap adalah tanah mereka yang telah ditanami kebun karet berbidang-bidang dan berhektare-hektare.

Menurut cerita Madd, pernah suatu ketika para petugas dari perusahaan men-survey lahan tetapi lari tunggang-langgang karena dikejar para orang tua dengan membawa senjata tajam. Mungkin, kata dia andai saja mereka bersikeras tetap melakukan survey semua pulang tinggal nama.

“Kalau pemuda di tuk koti m sikap a? (Kalau generasi muda di di sini bagaimana sikap mereka memandang hal ini?,” tanya Aswadi.

“Eemm, kalau kami aja nunak urang tuha am (Kalau kami sih mengikut apa kata orang tua aja),” cetus Madd.

Aswadi dan Madd lalu beranjak. Mereka mengunjungi sebuah rumah tua, simbol sejarah kampung. Setelah mencatat beberapa hal, keduanya bergegas menuju lahan yang rencananya akan berdiri perusahaan batu besi. 

Lahan berhektare-hektare itu tak seberapa jauh dari rumah mereka, hanya saja lahan itu terdiri dari bukit-bukit dan di sana hamparan padi menguning, tampak beberapa petak. Di tengah-tengah bukit terdapat bebatuan besar, beberapa petani sedang tampak sedang nganyi padi dengan ani-ani. 

Di atas bukit, Aswadi dan Madd beteriak memanggil dan menyapa para petani. “Huuuuuuu...,” suara mereka berdua.

Dari tengah-tengah ladang/huma para petani yang sedang asyik nganyi itu pun membalas; “Huuuu...... nolau kitu bah ikin dua en daripada bediri diak (Huu.... mending menolong kita ini ketimbang Cuma berdiri di situ),” suara seseorang dari tengah ladang/huma.

Aswadi dan Madd pun segera beranjak ke sana. Mereka berdua turut serta nganyi padi dengan ani-ani. Setelah takin (wadah) mereka penuh dan matahari tepat berada di atas kepala, para petani, Aswadi dan Madd pun istirahat di sebuah gubuk kecil. Gubuk itu tak terlalu besar tetapi cukup untuk menampung 14 orang. Gubuk diberi atap, tiang pancang sebanyak sembilan sebagai fondasi gubuk. 

Tinggi fondasi gubuk kurang lebih 1, 5 meter, lantainya terbuat dari anyaman bambu dan ditutupi tikar, sementara dindingnya juga dari anyaman bambu dan kulit kayu untuk menutup angin dan dingin. Kemudian, di bagian atas atapnya terbuat dari daun kayu yang dianyam berjumlah 20 anyaman sehingga mampu menutup bagian dalam rumah dari hujan.
Di bagian belakang gubuk terdapat tempat memasak. Beberapa ibu-ibu sedang memasak di sana, sebagian lain mandi dan sholat secara bergiliran, sementara Aswadi dan Madd duduk di ramak (teras).

Tak lama berselang, Aswadi dan Madd dipanggil untuk masuk ke dalam gubuk. Di sana telah berbaris 14 orang duduk berhadapan, di tengah-tengah mereka telah tersedia santapan makan siang.

“Haaa, duduk dituk ikin dua (Nah, duduk di sebelah sini kalian berdua),” pinta seorang ibu yang tak lain adalah ibunya Aswadi sendiri.

Makan siang pun dimulai. Aduhai, betapa nikmatnya. Semua makan dengan lahap tak terkecuali Aswadi dan Madd. Lahap bukan karena kelaparan, tetapi makan beramai-ramai di sebuah gubuk di tengah-tengah ladang/huma memang selalu terasa nikmat meski menu sederhana tak seperti di pesta-pesta. Belalak.!

Tak lama lagi, pikir Aswadi, tradisi ini akan ditelan oleh zaman. Di sini, di tempat ini sebentar lagi akan berdiri sebuah perusahaan raksasa yang menggusur kebiasaan dan tradisi warga. Di sini nanti, takkan ada lagi gubuk, tak lagi jadi tempat bersantap ria bersama-sama karena akan berdiri mesin-mesin berisik yang memproduksi kapital serta menciptakan limbah-limbah, mencemari sungai-sungai kecil tempat di mana para petani mandi di sela-sela istirahat nganyi.

Setelah makan, nganyi pun dimulai kembali sampai mega-mega senja bermunculan di ufuk barat. Tak ada kata lelah, tak ada yang dapat menghentikan aktivitas para petani kecuali malam dan kegelapan.

Pukul 2.30 WIB, Aswadi dan Madd pamit karena ada suatu pekerjaan mendesak di seberang. Mereka berdua pun segera beranjak, meninggalkan para petani yang sedang asyik me-nganyi.
Pukul 0.3.00 WIB, Aswadi dan Madd telah sampai di tempat tujuan, di sebuah lahan yang rencananya akan dibeli oleh perusahaan kepala sawit. Lahan itu terbentang luas, sejauh mata memandang. Entah berapa hektare, yang jelas lahan itu terdiri dari dataran rendah tak berbukit. Di sana terbentang kebun karet yang sangat luas. Tak lama lagi, karet-karet itu akan ditebang dan ditanami benih sawit perusahaan, batin Aswadi.

Lahan seluas itu tak lain tak bukan adalah milik bibi dan pamannya Aswadi sendiri. Sebagian lainnya milik orang tua Madd. Lahan seluas itu rumornya ditawar perusahaan dengan harga yang murah sesuai dengan luas lahan hasil ukuran perusahaan. Bahkan kabarnya, perusahaan kerap berlaku curang ketika mengukur luas lahan. Di bagian tanahnya yang agak tebing, ukuran itu tak mengikuti tanah yang tebing tersebut melainkan diukur bagian atasnya saja. Ambil contoh misalnya, di lahan itu sebagian tanahnya terdapat lubang besar yang membentuk seperti jurang, nah pengukuran tersebut tidak mengikuti postur dan posisi tanah melainkan alat pengukur langsung dibentangkan dari bagian atas saja. Itulah yang disebut curang oleh sebagian warga.

Lahan yang rencananya akan ditanami kelapa sawit ini memang strategis. Terletak di pinggir jalan raya dan amat mudah diakses. Namun, sebentar lagi, batin Aswadi, tembok angkuh berdiri. Karet hilang, mata pencaharian warga hilang, diganti dengan uang yang tak seberapa, dan semoga para orang tua tak mau begitu saja melepaskan lahannya tersebut hanya untuk kepentingan sesaat asing yang merugikan serta menjanjikan keuntungan sesaat itu.

Perusahaan dan pertambangan hanya akan merusak alam. Sementara pengolahan lahan yang dilakukan masyarakat selama ini jelas sama sekali tak merusak, malah justru selalu melestarikannya. Meski hasil tak seberapa,  tetapi toh masyarakat selama-lama ini masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. #SaveHutanKalimantan
Disqus Comments