Revolusi mental adalah istilah kampanye Joko Widodo (Jokowi).
Istilah tersebut berhasil mengantarkan Jokowi ke puncak kepemimpinan nasional,
menjadi presiden Republik Indonesia ke-7 menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Tanggal 20 Oktober 2014 adalah saksi dilantiknya mantan gubernur DKI
Jakarta itu sebagai seorang presiden. Jusuf Kalla adalah wakilnya.
Penulis tidak ingin
menceritakan sejarah naiknya Jokowi-JK sebagai pemimpin nasional. Sorotan
penulis tertuju pada semboyan kampanye Jokowi-JK, yakni revolusi mental.
Istilah revolusi mental memang jadi perhatian karena dinilai menjanjikan.
Menurut Jokowi dalam kampanyenya, pembangunan sumber daya manusia adalah faktor
paling krusial untuk membangun sebuah negara agar maju. SDM, kata Jokowi, harus
diutamakan sebagai modal dasar dari sebuah pembangunan sehingga hal itu menjadi
fokus perhatian pada masa kepemimpinannya. Pertanyaan reflektifnya, revolusi
mental seperti apakah yang dimaksudkan Jokowi?
Mental dalam asumsi Jokowi
mungkin hal-hal yang berkaitan dengan perilaku. Epistemologinya didasarkan pada
fakta-fakta pelanggaran etika yang acap kali terjadi di dalam kehidupan sosial,
bangsa dan negara. Pelanggaran etika dan perilaku amoral yang kerap kali
terjadi di segala lini kehidupan dipandang Jokowi akibat runtuhnya mentalitas
seseorang. Nah, agar hal tersebut tidak terus menerus terjadi, maka Jokowi pun menggagas
soal revolusi mental tersebut. Kurang lebihnya begitu lah pemahaman dangkal
penulis tentang revolusi mental dari sudut pandang Jokowi.
Revolusi mental ala Jokowi
diakui memang patut diapresiasi. Pasalnya, sejak Indonesia merdeka, utamanya di
era Orde Baru, era reformasi dan pasca reformasi, pembangunan SDM sering kali
dipandang sebelah mata. Pemerintah, kala itu, lebih memprioritaskan pembangunan
infrastruktur ketimbang SDM, padahal, modal utama sebuah pembangunan adalah
sumber daya manusia. Jika SDM baik, niscaya pembangunan turut menyertai
kebaikan itu dan sebaliknya.
Terlepas dari hal itu,
revolusi mental sebaiknya juga harus menyentuh soal karakteristik bangsa yang
berfondasikan tradisi, budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang
majemuk. Sedang kerangkanya adalah garis-garis perbedaan yang dibalut
dengan persatuan dan kesatuan bangsa.
Miris, sepertinya revolusi
mental alpa dari pemahaman tentang karakteristik bangsa yang berbeda-beda.
Harusnya, revolusi mental berangkat dari dinamika perbedaan tradisi, budaya dan
adat istiadat masyarakat Indonesia, sehingga pendidikan tidak melulu bicara
soal persiapan SDM untuk menyambut modernisasi.
Masalahnya kini adalah,
pembangunan mentalitas manusia sepertinya sedang diarahkahkan untuk menjawab
tantangan modernisasi. Sehingga, mentalitas yang ingin dibentuk tampaknya ingin
menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan peradaban dunia. Mentalitas
seorang individu seperti ingin diseragamkan secara global agar searus dengan
dinamika perdaban dunia. Ini bahaya, karena karakteristik tradisional
masyarakat Indonesia perlahan tapi pasti akan terkikis habis, tergerus oleh
peradaban dunia yang modernis. Jika konsepnya demikian, maka ujung dari gagasan
tentang revolusi mental tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang
majemuk.
Penulis sedang menggagas tentang mental survive yang harus tetap tertanam di dalam diri masyarakat
Indonesia. Mental survive adalah akar
dari keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia yang sudah tertanam sejak
dahulu kala.
Definisi mental survive
adalah kemampuan bertahan hidup dengan memanfaatkan kekayaan dan potensi alam
tanpa eksploitasi oleh tangan manusia dengan mendirikan perusahaan-perusahaan
dan pertambangan-pertambangan yang hanya akan merusak alam. Selama puluhan
tahun, masyarakat tidak pernah merusak alam hanya sekadar untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Justru sebaliknya, kekayaan alam tersebut dijadikan sebagai
lahan untuk mencari makan tanpa pengrusakan. Caranya bermacam, termasuk
bercocok tanam.
Tradisi dan kebiasaan tradisonal masyarakat seperti itu
tampaknya akan segera terkikis dan tergerus oleh zaman yang condong kepada
perilaku masyarakat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang
berpendidikan tinggi, pintar mengelola kapital serta cermat memanfaatkan alam
demi keuntungan finansial individu maupun kelompok tertentu. Mental modernitas
kini, disadari atau tidak, telah merasuk ke dalam dunia pendidikan. Pendidikan menjelma
menjadi alat untuk memodernisasi mentalitas masyarakat dunia umumnya dan
masyarakat Indonesia khususnya atas nama perubahan dan kesejahteraan. Padahal,
mentalitas manusia modern hanya berujung pada karakteristik manusia yang ingin
berkuasa dan menguasai atas manusia lainnya, serta kekayaan alam untuk
kepentingan kapital dan finansial belaka.
Jika sudah demikian, maka korban jangka panjangnya adalah
masyarakat-masyarakat pedesaan. Pasalnya, di kota-kota besar, potensi untuk
meraup kapital dan finansial sudah semakin menipis seiring dengan berkurangnya
lahan, kerasnya persaingan hidup serta tumbuh dan berkembangnya angka kehidupan
manusia.
Masyarakat-masyarakat di daerah-dearah jauh dan tertinggal kini
tampak memang mudah mengakses pendidikan. Hampir setiap tahun, kemajuan pendidikan
di kota-kota besar seperti magnet dan daya tawar tersendiri untuk menyedot rasa
ketertarikan masyarakat jauh untuk mengakses pendidikan formal.
Setelah selesai studi dan kembali ke pedesaan, mereka yang telah
mengeyam pendidikan di kota-kota besar tersebut berubah menjadi manusia modern
yang berpandangan baru. Gagasan baru pun dikembangkan, dan ujung dari gagasan
baru tersebut tak lain tak bukan adalah soal kepentingan finansial dan kapital
atas nama perubahan dan kesejahteraan. Begitu kah revolusi mental yang
dimaksud?