Friday 21 November 2014

Revolusi Mental dalam Sebuah Pertanyaan

Revolusi mental adalah istilah kampanye Joko Widodo (Jokowi). Istilah tersebut berhasil mengantarkan Jokowi ke puncak kepemimpinan nasional, menjadi presiden Republik Indonesia ke-7 menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tanggal 20 Oktober 2014 adalah saksi dilantiknya mantan gubernur DKI Jakarta itu sebagai seorang presiden. Jusuf Kalla adalah wakilnya.

Penulis tidak ingin menceritakan sejarah naiknya Jokowi-JK sebagai pemimpin nasional. Sorotan penulis tertuju pada semboyan kampanye Jokowi-JK, yakni revolusi mental. Istilah revolusi mental memang jadi perhatian karena dinilai menjanjikan. Menurut Jokowi dalam kampanyenya, pembangunan sumber daya manusia adalah faktor paling krusial untuk membangun sebuah negara agar maju. SDM, kata Jokowi, harus diutamakan sebagai modal dasar dari sebuah pembangunan sehingga hal itu menjadi fokus perhatian pada masa kepemimpinannya. Pertanyaan reflektifnya, revolusi mental seperti apakah yang dimaksudkan Jokowi?


Mental dalam asumsi Jokowi mungkin hal-hal yang berkaitan dengan perilaku. Epistemologinya didasarkan pada fakta-fakta pelanggaran etika yang acap kali terjadi di dalam kehidupan sosial, bangsa dan negara. Pelanggaran etika dan perilaku amoral yang kerap kali terjadi di segala lini kehidupan dipandang Jokowi akibat runtuhnya mentalitas seseorang. Nah, agar hal tersebut tidak terus menerus terjadi, maka Jokowi pun menggagas soal revolusi mental tersebut. Kurang lebihnya begitu lah pemahaman dangkal penulis tentang revolusi mental dari sudut pandang Jokowi.

Revolusi mental ala Jokowi diakui memang patut diapresiasi. Pasalnya, sejak Indonesia merdeka, utamanya di era Orde Baru, era reformasi dan pasca reformasi, pembangunan SDM sering kali dipandang sebelah mata. Pemerintah, kala itu, lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur ketimbang SDM, padahal, modal utama sebuah pembangunan adalah sumber daya manusia. Jika SDM baik, niscaya pembangunan turut menyertai kebaikan itu dan sebaliknya. 

Terlepas dari hal itu, revolusi mental sebaiknya juga harus menyentuh soal karakteristik bangsa yang berfondasikan tradisi, budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang majemuk. Sedang kerangkanya adalah  garis-garis perbedaan yang dibalut dengan persatuan dan kesatuan bangsa.

Miris, sepertinya revolusi mental alpa dari pemahaman tentang karakteristik bangsa yang berbeda-beda. Harusnya, revolusi mental berangkat dari dinamika perbedaan tradisi, budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia, sehingga pendidikan tidak melulu bicara soal persiapan SDM untuk menyambut modernisasi.

Masalahnya kini adalah, pembangunan mentalitas manusia sepertinya sedang diarahkahkan untuk menjawab tantangan modernisasi. Sehingga, mentalitas yang ingin dibentuk tampaknya ingin menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan peradaban dunia. Mentalitas seorang individu seperti ingin diseragamkan secara global agar searus dengan dinamika perdaban dunia. Ini bahaya, karena karakteristik tradisional masyarakat Indonesia perlahan tapi pasti akan terkikis habis, tergerus oleh peradaban dunia yang modernis. Jika konsepnya demikian, maka ujung dari gagasan tentang revolusi mental tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang majemuk.

Penulis sedang menggagas tentang mental survive yang harus tetap tertanam di dalam diri masyarakat Indonesia. Mental survive adalah akar dari keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia yang sudah tertanam sejak dahulu kala.

Definisi mental survive adalah kemampuan bertahan hidup dengan memanfaatkan kekayaan dan potensi alam tanpa eksploitasi oleh tangan manusia dengan mendirikan perusahaan-perusahaan dan pertambangan-pertambangan yang hanya akan merusak alam. Selama puluhan tahun, masyarakat tidak pernah merusak alam hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Justru sebaliknya, kekayaan alam tersebut dijadikan sebagai lahan untuk mencari makan tanpa pengrusakan. Caranya bermacam, termasuk bercocok tanam.

Tradisi dan kebiasaan tradisonal masyarakat seperti itu tampaknya akan segera terkikis dan tergerus oleh zaman yang condong kepada perilaku masyarakat modern. Masyarakat modern adalah masyarakat yang berpendidikan tinggi, pintar mengelola kapital serta cermat memanfaatkan alam demi keuntungan finansial individu maupun kelompok tertentu. Mental modernitas kini, disadari atau tidak, telah merasuk ke dalam dunia pendidikan. Pendidikan menjelma menjadi alat untuk memodernisasi mentalitas masyarakat dunia umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya atas nama perubahan dan kesejahteraan. Padahal, mentalitas manusia modern hanya berujung pada karakteristik manusia yang ingin berkuasa dan menguasai atas manusia lainnya, serta kekayaan alam untuk kepentingan kapital dan finansial belaka.

Jika sudah demikian, maka korban jangka panjangnya adalah masyarakat-masyarakat pedesaan. Pasalnya, di kota-kota besar, potensi untuk meraup kapital dan finansial sudah semakin menipis seiring dengan berkurangnya lahan, kerasnya persaingan hidup serta tumbuh dan berkembangnya angka kehidupan manusia.

Masyarakat-masyarakat di daerah-dearah jauh dan tertinggal kini tampak memang mudah mengakses pendidikan. Hampir setiap tahun, kemajuan pendidikan di kota-kota besar seperti magnet dan daya tawar tersendiri untuk menyedot rasa ketertarikan masyarakat jauh untuk mengakses pendidikan formal.

Setelah selesai studi dan kembali ke pedesaan, mereka yang telah mengeyam pendidikan di kota-kota besar tersebut berubah menjadi manusia modern yang berpandangan baru. Gagasan baru pun dikembangkan, dan ujung dari gagasan baru tersebut tak lain tak bukan adalah soal kepentingan finansial dan kapital atas nama perubahan dan kesejahteraan. Begitu kah revolusi mental yang dimaksud?
Disqus Comments