Respon Positif Wulan dan Resolusi
2015
Berhari-hari
penulis masih menyimpan optimisme terhadap diri Wulan. Beribu kata cinta telah
terucap, perasaan hati telah diungkap dan rasa-rasanya tak etis kalau harus
menguraikannya berkali-kali. Namun, perasaan cinta kepada Wulan entah sudah
berapa ribu kali diutarakan hingga diurai dengan berbagai retorika dan
penjelasan.
Suatu
ketika, Wulan pernah bilang jika dirinya merasa bosan mendengarkan ungkapan
hati penulis.
“Kamu
itu, setiap hari ngomongnya begitu terus. Bukti mana bukti? Ngomong doang,
bosen aku dengernya terus,” ujar Wulan suatu ketika.
Mendengar
teguran Wulan, membuat penulis jadi cerewet. Ya, cerewet menjelaskan dan
menguraikan kata-kata dan kalimat-kalimat yang sama secara normatif. Penulis
terpancing karena tak mau kehilangan momentum, sehingga perasaan penulis kepada
Wulan itu terus dan terus diucapkan dengan alasan-alasan rasional. Bukan
pembenaran, apalagi pembelaan. Itu semua murni ungkapan yang keluar langsung
dari hati penulis. Sunggguh!
Wulan
tampak mencari akhir-akhir ini. Sepertinya telah mulai muncul rasa percaya
kepada penulis. Penulis pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan dan peluang
langka itu. Meski begitu, penulis tetap berusaha menjaga irama agar nada-nada
cinta ini tetap mengalun indah dalam senandung.
Benih-benih
cinta tampaknya sudah mulai tumbuh dalam diri Wulan. Penulis merasakan getaran
itu. Bahkan, suatu hari kepada penulis Wulan pernah meminta bukti nyata,
benar-benar nyata agar dirinya benar-benar percaya.
Sekali
lagi, ketidakpekaan penulis membaca kondisi membuat penulis justru larut dalam
uforia lalu melupakan tempo yang harus tetap dijaga. Penulis hanya bisa
merasakan tempo dari nada cinta itu semakin hari semakin kencang. Penulis mulai
terbawa suasana lalu bingung harus berbuat apa. Padahal, bukti nyata adalah perkara
mendesak yang harus dilakukan sebagai penegas perasaan cinta penulis yang mulai
direspon positif oleh Wulan.
Saat
ini, Wulan sedang berada di rumah, Wonosari. Dia memutuskan untuk mengakhiri
tahun 2014 bersama-sama keluarganya di kampung halaman. Kebetulan, kata dia
suatu hari, aktivitas kampus sedang libur. Ya, libur dalam rangka menyambut
tahun baru 2015 yang jatuh pada hari Kamis.
Suasana
malam tahusn baru kali ini di Indonesia, Jogja khususnya tak begitu meriah
semeriah tahun-tahun sebelumnya. Di tahun ini cenderung sepi. Menurut penulis
pribadi penulis sih, mungkin penulis terbawa perasaan, ya hanya perasaan
penulis saja, karena penulis memutuskan tidur lebih awal sembari berharap
bangun-bangun tahun sudah berganti.
Sementara
itu, seperti dikatakan Wulan, dia menghabiskan malam tahun baru bersama
keluarga tercinta. Entah ke mana, penulis tak menanyainya.
Sebelum
tahun berganti, penulis dan Wulan nyaris saban hari telpon-telponan. Ada
sejumput rindu yang mulai terbesit di dalam hati Wulan terhadap penulis
sehingga dirinya ingin selalu bicara dengan penulis lewat telpon genggam.
Tanda-tanda itu nampak sekilas karena dia selalu menyempatkan diri,
mencuri-curi waktu tuk menerima telpon dari penulis meski sedang sibuk dengan
berbagai pekerjaan rumah.
Pernah
suatu hari ketika dirinya sedang memilih antah beras Wulan menyempatkan diri
terima telpon dari penulis. Saat itu, Wulan sedang mengerjakan pekerjaan dari
ibunya, tetapi dia akui tak merasa terganggu ketika penulis telpon. Malah
justru senang karena penulis menemaninya lewat telpon. Jadilah kami
berbincang-bincang rileks diselingin canda tawa yang mampu menumpahkan segenap
kerinduan di jiwa kami. Sore itu, betapa bahagianya kami.
Sejak
sore itu, rasa optimisme penulis bahwa Wulan akan menerima diri penulis sebagai
kekasihnya dipertegas oleh senja yang menjingga dan mega-mega yang membentang
cerah di ufuk barat. Matahari berpulang ke pelukan malam dan burung-burung
terbang juga berpulang ke pangkuan malam. Malam adalah waktu berpulang,
berteduh dan meneduhkan diri dan jiwa. Malam, selalu membawa ketenangan dan
kedamaian, meski gelap tetapi rambulan selalu setia menemani, memberikan
kehangatan pada malam. Begitu pula hanya penulis, suatu hari nanti, hati ini
akan larut dalam rangkuhan dan pelukan Wulan. Seperti hanya rembulan yang
selalu meneduhi serta menyinari suasana malam, begitu pula lah seorang Wulan
yang tersirat dan terpanjat sebait doa dalam butiran namanya, Wulandari. Kelak,
khayal penulis, Wulan adalah tempat jiwa penulis, satu-satunya tempat yang
mampu memberikan segenap ketenangan dan kedamaian. Ya, dalam pelukan dan
rengkuhan bulan purnama yang rupawan bernama Lativah Wulandari.
Ya,
penulis begitu yakin, setidak-tidaknya Wulan telah memberikan jawaban yang
diharapkan penulis di tahun 2015.
Kamis,
1 Januari 2015.
Tak
terasa, tahun telah berganti. Pergantian itu sesuai dengan hitungan angka-angka
yang merangkak naik. Setelah 2014, dipastikan 2015 setahun setelahnya. Begitu
seterusnya, angka-angka tahun itu akan bertambah naik setahun demi setahun,
perlahan tetapi pasti. Ya, begitulah takdir alam alias sunnatullah serta siklus
kehidupan bumi.
Yaeh,
alam memang punya takdir tersendiri. Tak berbeda kiranya dengan takdir
sosiologis manusia penghuni bumi. Takdir sosial kehidupan manusia itu berupa hidup
berpasang-pasangan antara dua jenis manusia yang berbeda, pria dan wanita.
Sebuah takdir yang telah tertulis dan telah menjadi kebutuhan manusia yang tak
dapat disangkal.
Di
hari pertama 2015, penulis menelpon Wulan paginya. Kami berdua memperbincangkan
tentang resolusi, tepatnya target yang ingin dicapai di tahun baru. Atas nama
perubahan, kebaikan adalah satu-satunya asa dan harapan seseorang. Perubahan
yang ingin dicapai adalah perubahan diri agar menjadi manusia yang lebih baik
lagi dari hari-hari, bulan-bulan serta tahun-tahun sebelumnya.
Penulis
menanyakan apa resolusi Wulan di tahun baru ini. Begitu pula sebaliknya Wulan
bertanya kepada penulis.
“Aku
ingin menjadi lebih baik lagi di tahun baru ini. Aku berharap semua cita-citaku
tercapai, menjadi pribadi yang bisa bermanfaat bagi kedua orang tuaku,
membahagiakan mereka dengan cara menunaikan kewajiban yang sedang mereka emban
kepadaku. Lebih rajin sholat malam. Semua masalahku selesai,” begitu Wulan.
“Resolusinya
kurang kongkret,” cetus penulis menanggapi.
“Kurang
kongkret gimana sih mas?,” tanya Wulan balik.
“Ya,
lebih kongret lagi nduk. Misalnya, tahun ini kamu harus lulus,” celetuk
penulis.
“Oh
iya mas, aku pengennya tahun ini udah lulus, terus kalau ada kesempatan aku
studi lagi ke jenjang yang lebih tinggi,” ujarnya.
“Nggak
ada rencana menikah?,” penulis menimpali.
Mendengar
pertanyaan penulis itu, Wulan tertawa. Wulan, dengan nada-nada malu mengatakan
hal itu masih relatif jauh dari pikirannya. Lebih lanjut dia menjawab dengan
diplomatis tentang perihal itu.
“Lulus
aja belum, udah nanya nikah. Ngawur, belum kepikiran ah, lulus dulu, kerja
dulu, mapan dulu setelah itu baru nikah,” celoteh Wulan sembari tertawa.
Seketika
itu Wulan mengalihkan pembicaraan. Wulan gantian bertanya kepada penulis.
“Kalau
kamu apa resolusimu mas?,” tanyanya.
“Kalau
aku sih nggak banyak-banyak. Pertama, di tahun ini aku harus sudah punya
pendamping. Kedua, dapat pekerjaan
tetap. Ketiga, melanjutkan studi, dan keempat menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaanku yang menumpuk ini,” jawab penulis tegas.
Wulan
menanggapi jawaban penulis sambil tertawa. Dia tertawa perihal pertama dari
resolusi penulis. Seketika itu pula
penulis menggombalinya. “Ya, kongkretnya aku bisa menjadi kekasihmu.”
“Waduh!!
Ngawur kamu mas! Hahaaha,” tanggap Wulan kaget.
“Ya,
syukur-syukur kalau kamu mau sama aku nduk, betapa bahagianya hatiku,” penulis
menggombalinya lagi.
“Hahaha.
Ah, ngaco kamu mas. Bisa-bisanya lho ngomong begitu. Edan!,” ujar Wulan sembari
tertawa terbahak-bahak.
Kami
berdua pun tenggelam dalam gelak tawa.
Dari
perbincangan ini, penulis semakin yakin Wulan mau menerima penulis. Betapapun,
begitulah harapan penulis. Sungguh, bahagia hati penulis tak terhingga. Meski
belum ada kata terucap dari Wulan menanggapi hasrat cinta penulis kepadanya,
tetapi setidaknya dia telah menunjukkan respon positif; memberi harapan dan
menanamkan sebuah keyakinan kuat bahwa Wulan-lah tempat hati penulis berlabuh. Lanjut...