Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN


Lativah Wulandari, Secantik Namanya

Nama Lativah Wulandari diketahui penulis dari karya ilmiahnya. Maklum, perkenalan penulis dengannya tak seperti kebanyakan orang yang didahului dengan saling mengulur tangan, berjabatan sembari menyebutkan nama. Pekenalan kami lewat telpon genggam, tanpa harus berjumpa dan bertatap muka.
Lativah Wulandari. Nama inilah yang penulis tahu setelah sebelumnya hanya tahu Ieva seperti yang diperkenalkan Avid. Ieva, menurut pengakuannya adalah nama panggilannya di kampus. Sedangkan nama panggilan ketika di rumah adalah Wulan. Penulis sendiri belum memutuskan nama mana yang akan penulis gunakan untuk memanggil dan menyapa dara cantik ini.
Lativah Wulandari. Nama ini begitu cantik, secantik dia yang memiliki nama.
Tak berlebihan kiranya penulis memujinya. Toh, arti kata dari Lativah Wulandari menunjukkan keindahan dan kejelitaan. Lativah berasal dari bahasa arab yang berarti kelembutan dan kehalusan sikap, sementara Wulandari dari bahasa Jawa-ada sebagian mengatakan bahasa sunda- yang berarti bulan purnama. Jadi, dua suku kata itu sama-sama memiliki arti yang indah nan jelita. Sehingga patutlah kiranya penulis bilang Lativah Wulandari adalah sosok yang jelita dan rupawan alias cantik. Ya, sekurang-kurangnya tampak dari arti namanya.
Penulis lebih suka memanggilnya dengan nama Wulan. Hanya suka saja, tak ada alasan lainnya. Panggilan Ieva bagus, tapi Wulan tentu terasa lebih menawan. Maka, mulai saat ini penulis memanggilnya Wulan.
Ya, Wulan!
Penulis mulai merasa tertawan. Keinginan untuk berjumpa sepertinya telah menjelma menjadi sebuah kerinduan. Namun penulis harus sadar, berjumpa dengan Wulan sudah barang tentu tak mungkin karena sejak awal dirinya menolak tuk berjumpa dengan alasan kesibukan sehingga tak punya banyak waktu luang.
Meski perjumpaan kami seperti jadi hal yang mustahil, bukan berarti mengurangi decak kagum penulis terhadap sosoknya. Jangankan sampai berjumpa, berhadapan muka, mendengar suaranya saja penulis sudah merasakan kebahagiaan bukan main.
Perlahan penulis mulai kepo. Kepo adalah istilah orang masa kini yang berarti selalu ingin tahu. Keingin-tahuan itu melahirkan rasa penasaran.
Diam-diam penulis membuka profil Wulan di akun facebooknya. Biasanya, sebagian besar orang gemar menyimpan hasil jepretan photo di akun sosial medianya. Semoga Wulan adalah satu dari sebagian besar orang itu.
Karuan saja, penulis melihat sejumlah photo di akun facebook Wulan. Tanpa meminta ijin terlebih dahulu, beberapa photo tersebut penulis ambil lalu simpan di dalam HP. Penulis beritikad baik tentu saja. Nantinya penulis akan memberitahukan Wulan kalau penulis telah mencuri beberapa photo di akunnya.
"Semoga saja ini bukan tindakan yang dianggap sebagai sebuah kesalahan fatal," gumam penulis dalam hati sembari memilih photo Wulan.
Wulan. Dara ayu asal Wonosari.
Sejujurnya penulis mengakui jika diri ini telah mengangumimu. Kekaguman itu lantas berubah menjadi penasaran karena ingin tahu serta melihat dirimu. Keinginan melihat sosok dirimu kini justru menjelma menjadi sebuah kerinduan. Adakah penulis telah jatuh hati pada Wulan? Benarkah dia telah mampu menghadirkan rasa cinta pada diri penulis?
Hari demi hari, nama Wulan terus mengisi pikiran penulis. Sosok Wulan, meski hanya dalam bentuk photo, ditambah lagi dengan sikapnya seperti air hujan yang turun membasahi bumi, menyemaikan dan menumbuhkan bunga-bunga cinta, menciptakan taman keindahan dan segenap kesejukan di selaksa jiwa.
Kali ini, penulis harus mengakuinya, bahwa diri ini telah ditumbuhi dan bersemi perasaan cinta di mana Wulan tak mungkin mempercayainya. Jangankan Wulan, penulis sendiri pun tak percaya mengapa perasaan cinta ini begitu cepat bersemi. Bukankah belum lama ini kita kenal?
Mungkin seandainya penulis cerita kepada orang lain tentang perasaan ini maka mereka akan berkata 'cinta pada pandangan pertama'. Namun, anehnya penulis sendiri tak pernah mempercayai hal itu terjadi, lebih-lebih penulis sama sekali tak pernah berjumpa, alih-alih berpendangan dengan Wulan. Melihat photo tentu bukanlah sebuah kesimpulan sahih tuk dijadikan alasan tumbuhnya sebuah perasaan.
Bukan itu. Perasaan ini justru lahir dari kehalusan sikap dan tutur sapa. Kecantikan wajah itu hanya hal keempat setelah kelembutan hati, kehalusan sikap dan tutur sapa. Penulis berani mengukur kecantikan itu pertama-tama tampak dari hati yang baik, sikap dan tutur bahasa yang halus. Jika ketiga hal itu telah tampak dan teras baik, maka hal lainnya mengikuti secara otomatis.
Begitulah cara penulis mengartikan dan melihat sebuah kecantikan seorang wanita. Tak berlebihan kiranya apabila penulis mengatakan Wulan telah memiliki itu semua. Dan tentu saja, penilaian ini semua lahir dari pandangan subyektifitas penulis. Boleh jadi penulis telah terbawa suasana hati, tetapi penulis menuturkan semua ini dalam keadaan sadar, bukan sedang bermimpi apalagi mengigau.
Selanjutnya, tinggal menunggu keputusan apakah penulis akan ungkapkan secara verbal segenap perasaan ini atau hanya sekadar dipendam di dalam hati. Penulis masih mempertimbangkan segala kemungkinannya, termasuk menjaga perasaan Wulan agar dia tak tersinggung.

Wulan, penulis menyebut namamu. Hujan adalah saksi satu-satunya. Lanjut.....
Disqus Comments