Nama
Lativah Wulandari diketahui penulis dari karya ilmiahnya. Maklum, perkenalan
penulis dengannya tak seperti kebanyakan orang yang didahului dengan saling
mengulur tangan, berjabatan sembari menyebutkan nama. Pekenalan kami lewat
telpon genggam, tanpa harus berjumpa dan bertatap muka.
Lativah
Wulandari. Nama inilah yang penulis tahu setelah sebelumnya hanya tahu Ieva
seperti yang diperkenalkan Avid. Ieva, menurut pengakuannya adalah nama
panggilannya di kampus. Sedangkan nama panggilan ketika di rumah adalah Wulan.
Penulis sendiri belum memutuskan nama mana yang akan penulis gunakan untuk
memanggil dan menyapa dara cantik ini.
Lativah
Wulandari. Nama ini begitu cantik, secantik dia yang memiliki nama.
Tak
berlebihan kiranya penulis memujinya. Toh, arti kata dari Lativah Wulandari
menunjukkan keindahan dan kejelitaan. Lativah berasal dari bahasa arab yang
berarti kelembutan dan kehalusan sikap, sementara Wulandari dari bahasa
Jawa-ada sebagian mengatakan bahasa sunda- yang berarti bulan purnama. Jadi,
dua suku kata itu sama-sama memiliki arti yang indah nan jelita. Sehingga
patutlah kiranya penulis bilang Lativah Wulandari adalah sosok yang jelita dan
rupawan alias cantik. Ya, sekurang-kurangnya tampak dari arti namanya.
Penulis
lebih suka memanggilnya dengan nama Wulan. Hanya suka saja, tak ada alasan
lainnya. Panggilan Ieva bagus, tapi Wulan tentu terasa lebih menawan. Maka,
mulai saat ini penulis memanggilnya Wulan.
Ya,
Wulan!
Penulis
mulai merasa tertawan. Keinginan untuk berjumpa sepertinya telah menjelma
menjadi sebuah kerinduan. Namun penulis harus sadar, berjumpa dengan Wulan
sudah barang tentu tak mungkin karena sejak awal dirinya menolak tuk berjumpa
dengan alasan kesibukan sehingga tak punya banyak waktu luang.
Meski
perjumpaan kami seperti jadi hal yang mustahil, bukan berarti mengurangi decak
kagum penulis terhadap sosoknya. Jangankan sampai berjumpa, berhadapan muka,
mendengar suaranya saja penulis sudah merasakan kebahagiaan bukan main.
Perlahan
penulis mulai kepo. Kepo adalah istilah orang masa kini yang berarti selalu
ingin tahu. Keingin-tahuan itu melahirkan rasa penasaran.
Diam-diam
penulis membuka profil Wulan di akun facebooknya. Biasanya, sebagian besar
orang gemar menyimpan hasil jepretan photo di akun sosial medianya. Semoga
Wulan adalah satu dari sebagian besar orang itu.
Karuan
saja, penulis melihat sejumlah photo di akun facebook Wulan. Tanpa meminta ijin
terlebih dahulu, beberapa photo tersebut penulis ambil lalu simpan di dalam HP.
Penulis beritikad baik tentu saja. Nantinya penulis akan memberitahukan Wulan
kalau penulis telah mencuri beberapa photo di akunnya.
"Semoga
saja ini bukan tindakan yang dianggap sebagai sebuah kesalahan fatal,"
gumam penulis dalam hati sembari memilih photo Wulan.
Wulan.
Dara ayu asal Wonosari.
Sejujurnya
penulis mengakui jika diri ini telah mengangumimu. Kekaguman itu lantas berubah
menjadi penasaran karena ingin tahu serta melihat dirimu. Keinginan melihat
sosok dirimu kini justru menjelma menjadi sebuah kerinduan. Adakah penulis
telah jatuh hati pada Wulan? Benarkah dia telah mampu menghadirkan rasa cinta
pada diri penulis?
Hari
demi hari, nama Wulan terus mengisi pikiran penulis. Sosok Wulan, meski hanya
dalam bentuk photo, ditambah lagi dengan sikapnya seperti air hujan yang turun
membasahi bumi, menyemaikan dan menumbuhkan bunga-bunga cinta, menciptakan
taman keindahan dan segenap kesejukan di selaksa jiwa.
Kali
ini, penulis harus mengakuinya, bahwa diri ini telah ditumbuhi dan bersemi
perasaan cinta di mana Wulan tak mungkin mempercayainya. Jangankan Wulan,
penulis sendiri pun tak percaya mengapa perasaan cinta ini begitu cepat bersemi.
Bukankah belum lama ini kita kenal?
Mungkin
seandainya penulis cerita kepada orang lain tentang perasaan ini maka mereka
akan berkata 'cinta pada pandangan pertama'. Namun, anehnya penulis sendiri tak
pernah mempercayai hal itu terjadi, lebih-lebih penulis sama sekali tak pernah
berjumpa, alih-alih berpendangan dengan Wulan. Melihat photo tentu bukanlah
sebuah kesimpulan sahih tuk dijadikan alasan tumbuhnya sebuah perasaan.
Bukan
itu. Perasaan ini justru lahir dari kehalusan sikap dan tutur sapa. Kecantikan
wajah itu hanya hal keempat setelah kelembutan hati, kehalusan sikap dan tutur
sapa. Penulis berani mengukur kecantikan itu pertama-tama tampak dari hati yang
baik, sikap dan tutur bahasa yang halus. Jika ketiga hal itu telah tampak dan
teras baik, maka hal lainnya mengikuti secara otomatis.
Begitulah
cara penulis mengartikan dan melihat sebuah kecantikan seorang wanita. Tak
berlebihan kiranya apabila penulis mengatakan Wulan telah memiliki itu semua.
Dan tentu saja, penilaian ini semua lahir dari pandangan subyektifitas penulis.
Boleh jadi penulis telah terbawa suasana hati, tetapi penulis menuturkan semua
ini dalam keadaan sadar, bukan sedang bermimpi apalagi mengigau.
Selanjutnya,
tinggal menunggu keputusan apakah penulis akan ungkapkan secara verbal segenap
perasaan ini atau hanya sekadar dipendam di dalam hati. Penulis masih
mempertimbangkan segala kemungkinannya, termasuk menjaga perasaan Wulan agar
dia tak tersinggung.
Wulan,
penulis menyebut namamu. Hujan adalah saksi satu-satunya. Lanjut.....