Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN


Namanya, Lativah Wulandari

Keesokan harinya, penulis memberanikan diri untuk menyapa Ieva. Pagi-pagi sekali penulis sudah bangun. Pertama kali bangun, ingatan penulis cuma satu orang Ieva. Penulis lantas mengirimkan pesan menyapa.
"Selamat pagi Ieva. Sudah bangun belum?," sapa penulis yang masih di atas kasur.
Setelah mengirimkan pesan, penulis segera beranjak shalat subuh. Selepas itu, penulis lihat HP tak kunjung ada balasan dari Ieva. Khawatir masih tidur, penulis menelpon nomor HP-nya dan seketika diangkat.
"Katanya semalam pagi-pagi ini harus sudah berangkat ke kampus, jadi aku membangunkanmu," ucap penulis agak khawatir Ieva marah.
Ieva tak kunjung bersuara. Tetapi telpon diangkat. Penulis memberanikan diri bicara lagi.
"Bangun gih nduk, sudah mau siang ini," ucap penulis pelan-pelan sembari berharap Ieva segera menyahut dan bangun.
Tiba-tiba telpon itu terputus tanpa adanya suara jawaban dari Ieva. Penulis re-call tetapi tak dingkat.
"Paling dia tidur lagi," gumam penulis dalam hati.
Penulis segera membuka laptop, mengirimkan hasil koreksi karya ilmiah Ieva tadi malam yang penulis anggap telah selesai. Setelah dikirim, segera penulis mengabarkannya kepada Ieva yang penulis anggap masih lelap dalam mimpinya, padahal jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB.
"Va, koreksiannya udah aku kirim barusan. Nanti kalau sudah diterima berikan kabar yah. Bangun dong," pesan penulis sembari menitipkan senyuman.
Tak lama setelah itu, penulis tertidur pula. Cuaca hujan membuat sekujur badan kedinginan, lebih-lebih di pagi hari begini. Niat berselimut untuk menghangatkan tubuh, justru malah tertidur pulas.
Pukul 09.00 WIB, penulis sudah bangun kembali. Di luar masih hujan. Penulis memutuskan tuk tak beranjak dari kasur dan berselimut. Penulis lihat HP, di sana sudah ada pesan balasan dari Ieva. Dia meminta maaf karena terlambat membalas pesan tersebut dan menutup telpon tiba-tiba. Ieva mengaku sangat mengantuk karena tak terbiasa begadang. Buntutnya, dia harus terlambat ke kampus karena baru terbangun pukul 07.30 WIB. Merasa terlambat, Ieva memutuskan tak berangkat ke kampus.
Mendengar Ieva tak jadi ke kampus, seketika itu pula penulis menelponnya. Terdengar suara Ieva yang masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengakuinya.
Kami pun terlibat perbincangan panjang. Berbagai macam bahan obrolan yang kami perbincangkan, kadang serius, kadang tak serius, dan terkadang pula bercanda-tawa.
Sejak saat itu, jalina komunikasi penulis dengan Ieva terasa semakin mesra. Penulis pun mulai berani menggombalinya. Terkadang, Ieva tampak sebal dan kesal dengan kata-kata gombal yang acap kali penulis lontarkan kepadanya. Namun, Ieva punya senjata tuk menyerang balik penulis dengan julukan yang dia sematkan kepada penulis "Lelaki gagal move on".
Penulis sebenarnya agak cemberut mendengar intrikan itu.
Ya, sedikit cemberut karena penulis sendiri sudah tak merasa menjadi lelaki yang gagal bangkit dari masa lalu yang suram. Bagi penulis, masa itu sudah sirna sejak lama, tepatnya sejak tiga tahun silam. Namun, penulis menduga ada sebab-musababnya mengapa Ieva menegur penulis dengan istilah asing itu kepada penulis.
Ya, penulis menganggapnya sebagai sebuah teguran. Pasalnya, suatu ketika penulis pernah curhat kepada Ieva tentang masa lalu penulis sekadar ingin meminta pendapat saja.
Namun, dengan nada emosional Ieva mencecari penulis dengan berbagai pendapatnya yang panjang lebar. Tampak sekali, kala itu Ieva amat geram dengan cerita penulis karena baginya masa lalu seperti itu memang tak pantas diingat-ingat, selain tak ada manfaatnya tetapi juga hanya akan menghancurkan motivasi diri serta membuang-buang waktu belaka. Mengingat-ingat masa lalu yang suram, kata Ieva merupakan tindakan sia-sia, menyakiti diri, dan sama sekali tak berguna. Dia mencontohkan dirinya yang dianggapnya cukup cerdas mensikapi masa lalu yang suram dengan cara melupakan segalanya, apapun perkara yang mengingatkan ke sana niscaya akan dimusnahkannya.
"Memang nggak mudah mas, tetapi asal ada kemauan niscaya semuanya pasti akan baik-baik saja. Kamu nggak usah mendramatisir keadaan dan cerita, mengeluh, menyalahkan diri, meratapi nasib dan lain-lain. Cobalah bersikap dewasa dan realistis. Aku tanya, apa manfaatnya buat kamu mengingat-ingat masa lalumu, nggak ada kan?!," tukas Ieva tak suka kepada penulis suatu ketika.
Nah, bermula dari peristiwa itulah Ieva menyematkan titel "lelaki gagal move on" kepada penulis yang selanjutnya dia jadikan sebagai senjata untuk meledek penulis. Bahkan, Ieva mengaku begitu tak suka apabila penulis mencoba ungkit-ungkit masa lalu, dan sejak itu pula penulis tak pernah lagi mengulanginya. Cukup!
Merasa hari makin siang, penulis dan Ieva menyudahi perbincangan kami di telpon. Ieva mengatakan siang ini dirinya dan teman-temannya akan pergi keluar untuk berbelanja. Sudah lama tak belanja, kata dia. Sedangkan penulis harus menyelesaikan artikel-artikel yang masih belum sempat ditulis.
Sebelum mengakhiri bicara, penulis mengingatkan Ieva untuk cek kembali karya ilmiahnya yang telah penulis koreksi tadi malam. Penulis meminta apabila nanti masih ada hal yang sekiranya dianggap belum memenuhi harapan disampaikan kepada penulis supaya dibenarkan lagi sebelum karya ilmiah itu benar-benar dibawa maju dalam sidang. Ieva mengiyakan permintaan penulis, bahkan dia menggaransi nanti malam sudah selesai dicek.
Telpon kami berakhir. Baru kali ini, penulis merasakan kebahagiaan yang begitu hebatnya. Meski tak pernah berjumpa, perkenalan penulis dengan Ieva telah menyisakan kesan yang mendalam. Mungkinkah penulis telah jatuh hati? Atau hanya sekadar kagum? Ah, penulis terlalu cepat menyimpulkannya. Penulis memang terkesima kepada sosok Ieva meski tak pernah bersua, namun suaranya telah mampu menggetarkan dinding-dinding jiwa. Getaran yang tak dapat diukur oleh alat secanggih apapun, sekalipun itu seismograf.
Iya. Dia Ieva, gadis Wonosari bernama lengkap Lativah Wulandari. Seorang mahasiswi tingkat akhir yang tak lama lagi akan menyelesaikan studinya.
Iya, dialah Lativah Wulandari. Namanya cantik, secantik raut wajahnya. Namanya berarti kelelmbutan dan kehalusan tutur sapa dan sikap, seperti suara dan sikapnya yang telah mampu menggetarkan jiwa penulis dan seiisinya. Lanjut......
Disqus Comments