Keesokan
harinya, penulis memberanikan diri untuk menyapa Ieva. Pagi-pagi sekali penulis
sudah bangun. Pertama kali bangun, ingatan penulis cuma satu orang Ieva.
Penulis lantas mengirimkan pesan menyapa.
"Selamat
pagi Ieva. Sudah bangun belum?," sapa penulis yang masih di atas kasur.
Setelah
mengirimkan pesan, penulis segera beranjak shalat subuh. Selepas itu, penulis
lihat HP tak kunjung ada balasan dari Ieva. Khawatir masih tidur, penulis
menelpon nomor HP-nya dan seketika diangkat.
"Katanya
semalam pagi-pagi ini harus sudah berangkat ke kampus, jadi aku
membangunkanmu," ucap penulis agak khawatir Ieva marah.
Ieva tak
kunjung bersuara. Tetapi telpon diangkat. Penulis memberanikan diri bicara
lagi.
"Bangun
gih nduk, sudah mau siang ini," ucap penulis pelan-pelan sembari berharap
Ieva segera menyahut dan bangun.
Tiba-tiba
telpon itu terputus tanpa adanya suara jawaban dari Ieva. Penulis re-call
tetapi tak dingkat.
"Paling
dia tidur lagi," gumam penulis dalam hati.
Penulis
segera membuka laptop, mengirimkan hasil koreksi karya ilmiah Ieva tadi malam
yang penulis anggap telah selesai. Setelah dikirim, segera penulis
mengabarkannya kepada Ieva yang penulis anggap masih lelap dalam mimpinya,
padahal jam sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB.
"Va,
koreksiannya udah aku kirim barusan. Nanti kalau sudah diterima berikan kabar
yah. Bangun dong," pesan penulis sembari menitipkan senyuman.
Tak lama
setelah itu, penulis tertidur pula. Cuaca hujan membuat sekujur badan
kedinginan, lebih-lebih di pagi hari begini. Niat berselimut untuk
menghangatkan tubuh, justru malah tertidur pulas.
Pukul
09.00 WIB, penulis sudah bangun kembali. Di luar masih hujan. Penulis
memutuskan tuk tak beranjak dari kasur dan berselimut. Penulis lihat HP, di
sana sudah ada pesan balasan dari Ieva. Dia meminta maaf karena terlambat
membalas pesan tersebut dan menutup telpon tiba-tiba. Ieva mengaku sangat
mengantuk karena tak terbiasa begadang. Buntutnya, dia harus terlambat ke
kampus karena baru terbangun pukul 07.30 WIB. Merasa terlambat, Ieva memutuskan
tak berangkat ke kampus.
Mendengar
Ieva tak jadi ke kampus, seketika itu pula penulis menelponnya. Terdengar suara
Ieva yang masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengakuinya.
Kami pun
terlibat perbincangan panjang. Berbagai macam bahan obrolan yang kami
perbincangkan, kadang serius, kadang tak serius, dan terkadang pula
bercanda-tawa.
Sejak
saat itu, jalina komunikasi penulis dengan Ieva terasa semakin mesra. Penulis
pun mulai berani menggombalinya. Terkadang, Ieva tampak sebal dan kesal dengan
kata-kata gombal yang acap kali penulis lontarkan kepadanya. Namun, Ieva punya
senjata tuk menyerang balik penulis dengan julukan yang dia sematkan kepada
penulis "Lelaki gagal move on".
Penulis
sebenarnya agak cemberut mendengar intrikan itu.
Ya,
sedikit cemberut karena penulis sendiri sudah tak merasa menjadi lelaki yang
gagal bangkit dari masa lalu yang suram. Bagi penulis, masa itu sudah sirna
sejak lama, tepatnya sejak tiga tahun silam. Namun, penulis menduga ada
sebab-musababnya mengapa Ieva menegur penulis dengan istilah asing itu kepada
penulis.
Ya,
penulis menganggapnya sebagai sebuah teguran. Pasalnya, suatu ketika penulis
pernah curhat kepada Ieva tentang masa lalu penulis sekadar ingin meminta
pendapat saja.
Namun,
dengan nada emosional Ieva mencecari penulis dengan berbagai pendapatnya yang
panjang lebar. Tampak sekali, kala itu Ieva amat geram dengan cerita penulis
karena baginya masa lalu seperti itu memang tak pantas diingat-ingat, selain
tak ada manfaatnya tetapi juga hanya akan menghancurkan motivasi diri serta
membuang-buang waktu belaka. Mengingat-ingat masa lalu yang suram, kata Ieva
merupakan tindakan sia-sia, menyakiti diri, dan sama sekali tak berguna. Dia
mencontohkan dirinya yang dianggapnya cukup cerdas mensikapi masa lalu yang
suram dengan cara melupakan segalanya, apapun perkara yang mengingatkan ke sana
niscaya akan dimusnahkannya.
"Memang
nggak mudah mas, tetapi asal ada kemauan niscaya semuanya pasti akan baik-baik
saja. Kamu nggak usah mendramatisir keadaan dan cerita, mengeluh, menyalahkan
diri, meratapi nasib dan lain-lain. Cobalah bersikap dewasa dan realistis. Aku
tanya, apa manfaatnya buat kamu mengingat-ingat masa lalumu, nggak ada
kan?!," tukas Ieva tak suka kepada penulis suatu ketika.
Nah,
bermula dari peristiwa itulah Ieva menyematkan titel "lelaki gagal move
on" kepada penulis yang selanjutnya dia jadikan sebagai senjata untuk
meledek penulis. Bahkan, Ieva mengaku begitu tak suka apabila penulis mencoba
ungkit-ungkit masa lalu, dan sejak itu pula penulis tak pernah lagi
mengulanginya. Cukup!
Merasa
hari makin siang, penulis dan Ieva menyudahi perbincangan kami di telpon. Ieva
mengatakan siang ini dirinya dan teman-temannya akan pergi keluar untuk
berbelanja. Sudah lama tak belanja, kata dia. Sedangkan penulis harus
menyelesaikan artikel-artikel yang masih belum sempat ditulis.
Sebelum
mengakhiri bicara, penulis mengingatkan Ieva untuk cek kembali karya ilmiahnya
yang telah penulis koreksi tadi malam. Penulis meminta apabila nanti masih ada
hal yang sekiranya dianggap belum memenuhi harapan disampaikan kepada penulis
supaya dibenarkan lagi sebelum karya ilmiah itu benar-benar dibawa maju dalam
sidang. Ieva mengiyakan permintaan penulis, bahkan dia menggaransi nanti malam
sudah selesai dicek.
Telpon
kami berakhir. Baru kali ini, penulis merasakan kebahagiaan yang begitu
hebatnya. Meski tak pernah berjumpa, perkenalan penulis dengan Ieva telah
menyisakan kesan yang mendalam. Mungkinkah penulis telah jatuh hati? Atau hanya
sekadar kagum? Ah, penulis terlalu cepat menyimpulkannya. Penulis memang
terkesima kepada sosok Ieva meski tak pernah bersua, namun suaranya telah mampu
menggetarkan dinding-dinding jiwa. Getaran yang tak dapat diukur oleh alat
secanggih apapun, sekalipun itu seismograf.
Iya. Dia
Ieva, gadis Wonosari bernama lengkap Lativah Wulandari. Seorang mahasiswi
tingkat akhir yang tak lama lagi akan menyelesaikan studinya.
Iya,
dialah Lativah Wulandari. Namanya cantik, secantik raut wajahnya. Namanya
berarti kelelmbutan dan kehalusan tutur sapa dan sikap, seperti suara dan
sikapnya yang telah mampu menggetarkan jiwa penulis dan seiisinya. Lanjut......