Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Wulan, Dara Muda
Yang Kedewasaannya Mendahului Usianya

Wulan, seorang dara yang masih belia. Usianya belum sampai seperempat abad. Dia masih muda, bahkan jauh di bawah usia penulis.
Di balik usianya yang relatif masih muda, tetapi pribadinya bisa dikatakan telah mendahului usianya. Ya, kedewasaan Wulan memang telah melebihi usianya. Di usia kurang dari 25 tahun sebetulnya belum dapat dikatakan dewasa karena seorang individu yang masih menginjak usia segitu belum punya kematangan diri secara psikologis. Catatan, dewasa yang penulis maksud adalah dewasa dalam perihal psikis dan psikomotoris. Pasalnya, jika ditinjau dari aspek biologis tentu usia Wulan sudah masuk dalam kategori dewasa. Hehehe.!
Kedewasaan seseorang, menurut penulis dapat dilihat dari caranya mensikapi sesuatu hal dalam kehidupan. Kedewasaan itu tampak ketika seseorang mampu dengan baik mensikapi sebuah permasalahan. Dengan kata lain, ketika seseorang mensikapi sebuah permasalahan dalam hidup menggunakan akal sehatnya ketimbang fisik dan egonya, maka itulah yang penulis sebuat sebagai sikap yang dewasa atau pribadi dewasa.
Ada sebagian orang mengatakan kedewasaan itu bukanlah dilihat dari faktor usianya, melainkan melalui sikap. Tetapi ada pula orang yang memandang sebaliknya, kedewasaan dilihat dari seberapa banyak usia orang tersebut.
Bagi penulis, kedua-duanya sama benarnya. Tinggal dari sudut mana kita menilai, melihat dan memandangnya saja. Jadi, penilaian itu sah-saha saja, tergangun perspektif masing-masing.
Dalam konteks Wulan, penulis memandang kedewasaanya tampak dari cara dia mensikapi suatu persoalan. Dari beberapa cerita dan penuturannya, penulis melihat Wulan termasuk pribadi yang introvert. Pribadi introvert adalah dia-seorang individu-yang cenderung lebih mengutamakan perkembagan karakter diri dan kemampuan dirinya sendiri ketimbang memikirkan sesuatu hal yang menganggu dirinya yang itu datangnya dari luar atau faktor eksternal. Sederhananya, Wulan adalah pribadia yang mampu membentengi diri dari berbagai masalah yang datang dari luar dirinya sehingga dia tampak tak ingi dipengaruhi oleh masalah tersebut.
Ada banyak orang yang justru merasa hancur akibat masalah yang menerpa diri orang itu. Ambil contoh misanya seseorang yang nekad mengakhiri hidupnya hanya karena putus cinta. Contoh lain, akibat broken home kadangkala seseorang merusak hidupnya dengan berbagai dalih dan pembenaran dari sikapnya itu. Nah, artinya, faktor eksternal yang kerap kali menimpa diri seseorang terkadang mampu mempengaruhi dan merubah sikap serta perilaku diri orang tersebut. Seseorang tersebut lantas terobsesi untuk menjadi orang lain dalam turur, sikap dan perilakunya. Dia lupa diri. Lupa tentang potensi-potensi dan kemampuan diri. Orang seperti ini masuk dalam kategori ekstrovert.
Contoh di atas hanyalah sebuah permisalan belaka lho!! Kalau ada kesamaan, berarti itu hanyalah kebetulan semata. Hehehe!!!
Ini catatan penting, penulis khawatir ada semacam ketersinggungan.
Okefine!
Kedewasaan Wulan, bagi penulis tercermin dari tutur sapa dan sikapnya. Dia termasuk pribadi yang terbuka dan mudah bergaul. Sekurang-kurangnya antara penulis dan Wulan sungguh cepat terciptanya suatu keakraban meski belum lama berkenalan. Selain itu, Wulan beberapa kali pernah bercerita sekilas tentang asmaranya yang kurang beruntung. (Maaf Wulan!). Hebatnya, dia tampak tak bergeming terhadap persoalan itu. Bagi Wulan, yang sudah ya sudah dan tak perlu diungkit-ungkit, apalagi sampai diratapi.
"Ya, yang udah ya udah. Jadiin pelajaran aja, ambil baiknya buang buruknya. Nggak perlu diratapi. Aku nggak kayak kamu yah," ujar Wulan suatu ketika kepada penulis dalam obrolan di telpon sembari meledek.
Hal lain selain itu, Wulan juga memperlihatkan kedewasaannya dalam mensikapi persoalan serius yang terjadi antara dia dan seorang teman yang begitu membencinya. Tak hanya benci, Wulan pernah berujar temannya tersebut malah justru seringkali melakukan tindakan yang hendak mencelakakan diri Wulan. Meski begitu, Wulan mengaku dirinya tak pernah merasa dendam terhadap temannya itu, malah justru Wulan mendoakannya agar segera sadar dari tindakan jahatnya tersebut. Tapi tetap tak kunjung sadar, malah semakin menjadi-jadi!
"Wah, kalau begitu caranya ya perlu dibuat semacam perhitungan itu," gumam penulis dalam hati mengkomentari cerita Wulan suatu hari di telpon.
Itu komentar penulis. Tetapi tidak halnya dengan komentar Wulan. Dara ayu ini malah cenderung memilih sikap sabar. Sebuah sikap yang mungkin di luar nalar penulis sekalipun. Andai penulis berada di posisi Wulan dalam persoalan ini, tentu saja akan lain jadinya. Tentu penulis tak akan membiarkan tindakan teman tersebut tanpa respon-respon tegas karena menyangkut soal keamanan dan keselamatan.
Bla.. Bla.. Bla.. Bla. Penulis bicara sudah seperti polisi lalu lintas saja! Huh!
Ya, begitulah kedewasaan dari sikap seorang Wulan, dara ayu berusia 22 tahun ini. Kedewasaan Wulan adalah pancaran dari cahaya hati nurani yang baik lagi bersih. Ketika kebanyakan orang sibuk ingin membersihkan hatinya, Wulan justru telah menunjukkan kebersihan hatinya.
Hal inilah yang membuat penulis menjadi terkesima terhadap sosok seorang Wulan. Ya, Lativah Wulandari. Sehingga tak berlebihan kiranya apabila penulis jatuh hati kepadanya. Pertanyaannya, seberapa pantaskah diri penulis ini jika harus bersanding dengan Wulan? Sementara penulis, jujur diakui belum mampu bersikap dewasa seperti halnya Wulan, terutama dalam mensikapi permasalahan pertama ataupun yang kedua seperti yang penulis telah contohkan di atas.
Ah, pertanyaan sekaligus pernyataan yang demikian itu membuat nyali penulis mulai ciut. Hanyalah ketulusan dan keikhlasan rasa yang penulis tawarkan kepada Wulan, karena memang sungguh, penulis telah merasakan jatuh hati padanya.
Wulan, Lativah Wulandari. Penulis menyebut namamu, untuk kesekian kali!
Terakhir, karena ini adalah kisah nyata yang berupa pengakuan, maka sudi kiranya penulis diberikan kata maaf apabila pada sub-tulisan kali ini terdapat kata dan kalimat yang kurang berkenan di hati dan pikiran Wulan. Penulis hanya mencoba membuat perumpamaan-perumpamaan untuk menggambarkan kekaguman beserta segenap pujian tentang sebuah realitas yang bukan hanya sekadar bersifat imajinatif, bukan pula imajiner. Tetapi inilah sebuah kejujuran yang coba penulis ungkapkan, meski harus membuat suatu perncotohan yang mungkin dirasa kurang berkenan atau dianggap telah mencampuri urusan pribadi Wulan.
#Kedua tangan berjabat, sebelah kiri terbuka, sebelah kanan menutupinya lalu saling menggenggam, diletakkan di depan sejajar dengan dada, lalu kepala tertunduk sedikit dengan kedua mata menatap ke bumi, mohon maaf Wulan! Lanjut.....
Disqus Comments