Wulan, Dara Muda
Yang Kedewasaannya Mendahului Usianya
Wulan,
seorang dara yang masih belia. Usianya belum sampai seperempat abad. Dia masih
muda, bahkan jauh di bawah usia penulis.
Di balik
usianya yang relatif masih muda, tetapi pribadinya bisa dikatakan telah
mendahului usianya. Ya, kedewasaan Wulan memang telah melebihi usianya. Di usia
kurang dari 25 tahun sebetulnya belum dapat dikatakan dewasa karena seorang
individu yang masih menginjak usia segitu belum punya kematangan diri secara
psikologis. Catatan, dewasa yang penulis maksud adalah dewasa dalam perihal
psikis dan psikomotoris. Pasalnya, jika ditinjau dari aspek biologis tentu usia
Wulan sudah masuk dalam kategori dewasa. Hehehe.!
Kedewasaan
seseorang, menurut penulis dapat dilihat dari caranya mensikapi sesuatu hal
dalam kehidupan. Kedewasaan itu tampak ketika seseorang mampu dengan baik
mensikapi sebuah permasalahan. Dengan kata lain, ketika seseorang mensikapi
sebuah permasalahan dalam hidup menggunakan akal sehatnya ketimbang fisik dan
egonya, maka itulah yang penulis sebuat sebagai sikap yang dewasa atau pribadi
dewasa.
Ada
sebagian orang mengatakan kedewasaan itu bukanlah dilihat dari faktor usianya,
melainkan melalui sikap. Tetapi ada pula orang yang memandang sebaliknya,
kedewasaan dilihat dari seberapa banyak usia orang tersebut.
Bagi
penulis, kedua-duanya sama benarnya. Tinggal dari sudut mana kita menilai,
melihat dan memandangnya saja. Jadi, penilaian itu sah-saha saja, tergangun
perspektif masing-masing.
Dalam
konteks Wulan, penulis memandang kedewasaanya tampak dari cara dia mensikapi
suatu persoalan. Dari beberapa cerita dan penuturannya, penulis melihat Wulan
termasuk pribadi yang introvert. Pribadi introvert adalah dia-seorang
individu-yang cenderung lebih mengutamakan perkembagan karakter diri dan
kemampuan dirinya sendiri ketimbang memikirkan sesuatu hal yang menganggu
dirinya yang itu datangnya dari luar atau faktor eksternal. Sederhananya, Wulan
adalah pribadia yang mampu membentengi diri dari berbagai masalah yang datang
dari luar dirinya sehingga dia tampak tak ingi dipengaruhi oleh masalah
tersebut.
Ada
banyak orang yang justru merasa hancur akibat masalah yang menerpa diri orang
itu. Ambil contoh misanya seseorang yang nekad mengakhiri hidupnya hanya karena
putus cinta. Contoh lain, akibat broken home kadangkala seseorang merusak
hidupnya dengan berbagai dalih dan pembenaran dari sikapnya itu. Nah, artinya,
faktor eksternal yang kerap kali menimpa diri seseorang terkadang mampu
mempengaruhi dan merubah sikap serta perilaku diri orang tersebut. Seseorang
tersebut lantas terobsesi untuk menjadi orang lain dalam turur, sikap dan
perilakunya. Dia lupa diri. Lupa tentang potensi-potensi dan kemampuan diri.
Orang seperti ini masuk dalam kategori ekstrovert.
Contoh
di atas hanyalah sebuah permisalan belaka lho!! Kalau ada kesamaan, berarti itu
hanyalah kebetulan semata. Hehehe!!!
Ini
catatan penting, penulis khawatir ada semacam ketersinggungan.
Okefine!
Kedewasaan
Wulan, bagi penulis tercermin dari tutur sapa dan sikapnya. Dia termasuk
pribadi yang terbuka dan mudah bergaul. Sekurang-kurangnya antara penulis dan
Wulan sungguh cepat terciptanya suatu keakraban meski belum lama berkenalan.
Selain itu, Wulan beberapa kali pernah bercerita sekilas tentang asmaranya yang
kurang beruntung. (Maaf Wulan!). Hebatnya, dia tampak tak bergeming terhadap
persoalan itu. Bagi Wulan, yang sudah ya sudah dan tak perlu diungkit-ungkit,
apalagi sampai diratapi.
"Ya,
yang udah ya udah. Jadiin pelajaran aja, ambil baiknya buang buruknya. Nggak
perlu diratapi. Aku nggak kayak kamu yah," ujar Wulan suatu ketika kepada
penulis dalam obrolan di telpon sembari meledek.
Hal lain
selain itu, Wulan juga memperlihatkan kedewasaannya dalam mensikapi persoalan
serius yang terjadi antara dia dan seorang teman yang begitu membencinya. Tak
hanya benci, Wulan pernah berujar temannya tersebut malah justru seringkali
melakukan tindakan yang hendak mencelakakan diri Wulan. Meski begitu, Wulan
mengaku dirinya tak pernah merasa dendam terhadap temannya itu, malah justru
Wulan mendoakannya agar segera sadar dari tindakan jahatnya tersebut. Tapi
tetap tak kunjung sadar, malah semakin menjadi-jadi!
"Wah,
kalau begitu caranya ya perlu dibuat semacam perhitungan itu," gumam
penulis dalam hati mengkomentari cerita Wulan suatu hari di telpon.
Itu
komentar penulis. Tetapi tidak halnya dengan komentar Wulan. Dara ayu ini malah
cenderung memilih sikap sabar. Sebuah sikap yang mungkin di luar nalar penulis
sekalipun. Andai penulis berada di posisi Wulan dalam persoalan ini, tentu saja
akan lain jadinya. Tentu penulis tak akan membiarkan tindakan teman tersebut
tanpa respon-respon tegas karena menyangkut soal keamanan dan keselamatan.
Bla..
Bla.. Bla.. Bla. Penulis bicara sudah seperti polisi lalu lintas saja! Huh!
Ya,
begitulah kedewasaan dari sikap seorang Wulan, dara ayu berusia 22 tahun ini.
Kedewasaan Wulan adalah pancaran dari cahaya hati nurani yang baik lagi bersih.
Ketika kebanyakan orang sibuk ingin membersihkan hatinya, Wulan justru telah
menunjukkan kebersihan hatinya.
Hal
inilah yang membuat penulis menjadi terkesima terhadap sosok seorang Wulan. Ya,
Lativah Wulandari. Sehingga tak berlebihan kiranya apabila penulis jatuh hati
kepadanya. Pertanyaannya, seberapa pantaskah diri penulis ini jika harus
bersanding dengan Wulan? Sementara penulis, jujur diakui belum mampu bersikap
dewasa seperti halnya Wulan, terutama dalam mensikapi permasalahan pertama ataupun
yang kedua seperti yang penulis telah contohkan di atas.
Ah,
pertanyaan sekaligus pernyataan yang demikian itu membuat nyali penulis mulai
ciut. Hanyalah ketulusan dan keikhlasan rasa yang penulis tawarkan kepada
Wulan, karena memang sungguh, penulis telah merasakan jatuh hati padanya.
Wulan,
Lativah Wulandari. Penulis menyebut namamu, untuk kesekian kali!
Terakhir,
karena ini adalah kisah nyata yang berupa pengakuan, maka sudi kiranya penulis
diberikan kata maaf apabila pada sub-tulisan kali ini terdapat kata dan kalimat
yang kurang berkenan di hati dan pikiran Wulan. Penulis hanya mencoba membuat
perumpamaan-perumpamaan untuk menggambarkan kekaguman beserta segenap pujian
tentang sebuah realitas yang bukan hanya sekadar bersifat imajinatif, bukan
pula imajiner. Tetapi inilah sebuah kejujuran yang coba penulis ungkapkan,
meski harus membuat suatu perncotohan yang mungkin dirasa kurang berkenan atau
dianggap telah mencampuri urusan pribadi Wulan.
#Kedua tangan berjabat,
sebelah kiri terbuka, sebelah kanan menutupinya lalu saling menggenggam,
diletakkan di depan sejajar dengan dada, lalu kepala tertunduk sedikit dengan
kedua mata menatap ke bumi, mohon maaf Wulan! Lanjut.....