Sebait Doaku,
Butiran Namamu
Ketika cinta
menghiasi seluruh jiwa maka di saat bersamaan cinta tak dapat didefinisikan.
Cinta bukanlah sebuah definisi, melainkan semata soal perasaan sang perasa.
Cinta itu dinamis.
Kadang ia tampil secara rasional dan mudah dicerna, tetapi di lain waktu ia
tampil dalam bentuk yang sulit dinalar. Orang bilang cinta itu
buta karena ia sering datang tanpa terkira dan diduga. Cinta yang kadang datang
tak terduga itu dianggap dalil sahih tuk mempertegas bahwa cinta memang buta.
Kata mereka. Stop!
Lativah Wulandari.
Nama itu seketika
menjadi tenar dan populer di dalam hati dan pikiran belakangan ini. Menyebut
dan mengeja nama itu, sama artinya kita sedang melantunkan sebuah doa. Karena
memang nama itu mengandung doa. Hanya saja, doa dianggap lebih
afdol jika dilafadzkan dalam sebuah ritual suci bernama ibadah.
Lativah Wulandari.
Nama itu belakangan
membuat hati merasakan getaran hebat, pikiran berkecamuk. Belum saja sempat
berjumpa, tetapi sosoknya seakan telah menjelma dalam bayang-bayang khayalan,
imajinasi dan impian bagai bidadari yang datang tak pernah diundang. Ya,
bidadari adalah sebuah pemberian Ilahi kepada orang yang mempunyai hati yang
bersih dan suci seumpama sufi.
Lativah Wulandari.
Dara muda ini
mungkin saja titisan bidadari, atau mungkin salah satu dari bidadari-bidadari
itu sendiri yang telah disediakan Tuhan. Ya, bidadari yang diturunkan ke muka
bumi tuk menemai hati dan jiwa suci, murni lagi tulus dalam balutan cinta.
Kalau memang demikian, maka beruntunglah daku, sebab dia pernah hadir dalam
mimpi-mimpiku. Dalam mimpi itu, dia datang bak bidadari yang penuh pesona,
berikan mawar cinta, kehadirannya membawa ketenangan di jiwa, ingin sekali
kuraih dirinya lalu membawanya pergi ke duniaku.
Lativah Wulandari.
Kusebut namamu malam
ini, lalu kujadikan rindu. Di mana bayangan dirimu? Di altar mana engkau
bersemayam aduhai sang bidadari?
Berawal dari
November, kisah cinta ini disaksikan butiran-butiran hujan yang turun membasahi
bumi. Kegersangan seketika sirna. Hewan-hewan berpesta pora, tumbuh-tumbuhan
hidup dan bunga mekar dan merekah kembali, manusia terlelap dalam kedinginan.
November rain.
Tak ubahnya bumi dan
tumbuhan, bunga cinta di hati pun mulai bersemi, tumbuh dan mekar. November
adalah sebuah cerita dan kisah. November adalah sebuah inspirasi. November yang
hujan adalah awal dari tumbuh dan berkembangnya bunga-bunga cinta. Bunga-bunga
cinta yang bersemi itu diuraikan dengan seribu hingga berjuta kata serta
untaian-untaian kalimat. Kata-kata dan kalimat-kalimat itu berubah menjadi
butiran-butiran dan baris-baris doa yang dipanjatkan untuk kemudian diamini
oleh segenap isi alam. Alam kemudian menjadi saksi, setelahnya masa melipat
sebuah cerita dan kisah dalam lembaran-lembaran waktu yang tersimpan rapi di
dalam memori, lalu dibungkus oleh harapan dan asa.
Harapan dan asa yang
terpateri di dalam hati dan jiwa itu seraya berkumandang dalam setiap waktu
yang berlalu. Setelah itu, lahirlah sebuah kerinduan, dan kerinduan itu
menjelma menjadi sebuah doa, dan sebaris doa itu adalah butiran-butiran nama
Lativah Wulandari.
Lativah Wulandari.
Dara jelita.
Tulisan ini
kupersembahkan kepadanya. Khusus untuknya, dan ditujukan padanya, tentang rasa,
kerinduan, cinta, gejolak di jiwa, keyakinan, sehingga kelak aku akan datang
memeluknya dalam dekapan hangat sehangat mentari, lewat jalinan cinta suci nan
murni.
Lativah Wulandari.
Takdir cinta itu
nanti akan menjadi milik kita berdua seutuhnya. Ya, hanya kita berdua, kita
akan menciptakan kebahagiaan yang tak ada orang lain memilikinya selain kita
berdua, dan hanya kita berdua. Lanjut.....