Novembar,
bulan yang begitu akrab dengan hujan. Nyaris saban hari, di bulan November
hujan turun membasahi segenap lapisan bumi.
Hujan
adalah barokah. Bagaimana tidak, bumi yang kering kerongkang akibat terpaan
kemarau di bulan-bulan sebelumnya membuat makhluk di bawah langit tampak putusasa
tuk tumbuh dan hidup. Namun, setelah hujan turun, harapan dan asa kehidupan
membuncah, hewan-hewan menari girang, tumbuh-tumbuhan mekar merona dan
menghijau, tanah-tanah tampak segar, manusia-manusia bahagia, tak ada lagi
keputusasaan, tak ada lagi kelesuan, yang ada hanya jiwa-jiwa yang tampak
sumringah.
Air
telah menjadi sumber kehidupan nyata bagi bumi dan seisinya. Tuhan memang telah
memberikan berita, bahwa dijadikan air itu sebagai sumber kehidupan. Semua
makhluk bumi membutuhkan air, dan airlah yang kemudian menghidupkan semuanya.
Memang,
hujan bukanlah satu-satunya sumber air. Tetapi air hujan terbukti telah
memberikan kebahagiaan yang semua makhluk tak dapat menampiknya.
Tak
ubahnya manusia lainnya, penulis pun merasakan kebahagian setelah kemarau
berganti hujan. Kebahagiaan penulis terpancar dari senyuman dan semangat yang
menyala-nyala. Memang, setiap orang berbeda mendefinisikan rasa bahagia, tapi
bagi penulis, hujan setidaknya telah menumbuhkan kembali semangat, harapan dan
asa untuk melanjutkan sisa hidup yang terasa masih harus melalui perjalanan
panjang nan berliku. Dari sekian banyak kebahagiaan, hujan merupakan salah
satunya. Tak dapat dipungkiri, begitulah yang penulis rasakan.
November,
hujan terus turun menyetubuhi bumi. Aroma bumi yang lahir dari tanah-tanah
kering memberikan kehangatan tersendiri bagi manusia yang hidup berpijak pada
tanah-tanah. Bunga-bunga bermekaran, tanaman-tanaman menghijau, memperlihatkan
keindahan dan kesejukan. Bumi, adalah lahan kesuburan bagi segenap penghuninya
taatkala musim hujan telah tiba.
November,
hujan masih terus turun.
Kebahagiaan
penulis sepertinya akan makin bertambah. Di suatu ketika, hujan deras sekali,
hari masih siang. Penulis tak bepergian ke mana-mana, termasuk untuk keperluan
bekerja. Kerja? Penulis hanya bekerja sebagai kuli tinta, menulis, menulis,
lalu menulis lagi. Tak ada pekerjaan lain sementara ini kecuali menulis dan
m-e-n-u-l-i-s.
Menulis
merupakan pekerjaan bagi penulis sendiri. Lihat saja, di meja bertumpuk
berkas-berkas tak rapi dan berserakan yang harus diuraikan lewat tulisan agar
menjadi kalimat yang rapi pula. Itu juga pekerjaan.
Kriiiing!
Sebuah telpon genggam berdering pertanda panggilan masuk. Telepon genggam yang
berdering itu tak lain dan tak bukan adalah milik penulis sendiri. Penulis
segera meraihnya. Di sana tampak nama seseorang sahabat, Avid.
"Halo!
Bagaimana vid, ada apa ini tumben nelpon?," tanya penulis.
Avid
basa-basi. Terlebih dahulu dia menanyakan kabar, sedang apa, dan lagi di mana?
Deretan pertanyaan basa-basi karena memang lama kami tak menjalin kontak.
Terhitung sudah hampir enam bulan lamanya semenjak penulis meninggalkan
Yogyakarta. Namun, sejak sebulan belakangan penulis kembali lagi ke kota ini
karena tak ada kota lain yang penulis tuju selain Yogyakarta yang telah
membesarkan sekaligus mendewasakan penulis. Meski bukan orang asli Yogyakarta,
namun pengalaman hidup selama 10 tahun menetap di sini membuat Jogja sudah
seperti kampung halaman bagi penulis.
Avid tak
berlama-lama bicara dalam telpon. Tak lama berselang, Avid mendatangi kos
kediaman penulis. Kami bersalaman, seperti sudah berpisah sekian lamanya. Kami
pun larut dalam perbincangan serta membagi berbagai pengalaman.
"Bro,
ini ada orang mau minta tolong koreksi karya ilmiahnya. Nah, kamu kan yang selama
ini lebih mengerti masalah beginian, cobalah tolong dibantu," celetuk Avid
setelah perbincangan panjang kami.
Penulis
terdiam sejenak sembari menggaruk kepala. Avid menanti jawaban dari penulis
sembari otak-atik blackberry miliknya. Tampak dia sedang mencari sesuatu di
dalam handphone qwerty-nya tersebut.
"Sebenarnya,
aku udah nggak mau berurusan dengan perkara begitu bro. Sudah malas. Tapi kalau
emang judulnya membantu, okelah, aku bantu," ujar penulis mau.
Segera
setelah mendengarkan kesediaan penulis, Avid menunjukkan sosok seseorang yang
sedang membutuhkan bantuan itu. Ya, pemilik karya ilmiah yang meminta dikoreksi
karyanya karena merasa masih banyak kesalahan di dalamnya.
Dari
blackberry Avid, diketahui pemilik karya ilmiah itu seorang wanita. Di situ
tertulis nama, Ieva.
Avid
mengenalkan kepada penulis sosok mahasiswi tingkat akhir di sebuah perguruan
tinggi di Yogyakarta itu. Avid menjelaskan duduk perkaranya. Ya, tentang karya
ilmiah yang dimintai koreksi tersebut.
"Biar
lebih detail apa aja masalahnya, nih kamu tanya sendiri ke orangnya bro,"
kata Avid sembari memberikan kontak Ieva kepada penulis.
Tanpa
pikir panjang, penulis segera menambahkan kontak baru itu ke dalam telpon
genggam penulis yang merk-nya sama persis dengan kepunyaan Avid. Tak lama
berselang, kontak telah tersambung secara otomatis.
Meski
begitu, penulis tetap terlebih dahulu ingin meminta saran-saran dari Avid
bagaimana cara penulis membantu. Tak banyak sebenarnya yang diceritakan Avid kepada penulis, karena pada intinya hanya
diminta mengkoreksi semata. Kalau pun ditemukan beberapa kekurangan dan
kesalahan maka penulis diminta untuk menyampaikan sendiri kepada yang
bersangkutan. Begitu kata Avid.
Sejurus
kemudian, hujan tampak mulai reda. Waktu memang sudah mendekati sore hari.
Penulis dan Avid tak mensia-siakan kesempatan untuk nongkrong di warung kopi
tempat biasa kami berkumpul dulu saat masih kuliah. Kami pun segera beranjak
menuju warung kopi yang tak begitu jauh dari kediaman penulis.
Mengendarai
sepeda motor, 10 menit kemudian kami sudah sampai di tujuan. Di sana, suasana
tampak ramai. Orang-orang tampak sedang duduk berkumpul dan bergerombol
membentuk kelompok-kelompok. Mereka tampak asyik berbincang-bincang, ada pula
yang sedang bermain kartu, ada yang bernyanyi, ada yang berdiskusi, ada yang
berduaan dengan pasangannya, namun di depan mereka, cangkir-cangkir kopi setia
menemani aktifitas santai para pengunjung.
Penulis
dan Avid mengambil tempat duduk lesehan. Bergabung dengan gerombolan para
penikmat kopi yang sejak dulu masih setia berada di tempat ini. Ngopi,
begitulah judulnya.
Kami pun
larut dalam suasana nongkrong santai di warung kopi favorit ini hingga waktu
malam datang menjelang, satu per satu kawanan beranjak pulang, tak terkecuali
penulis dan Avid.
Avid
mampir ke kos penulis lagi. Dan tak lama berselang, pria yang sudah berkeluarga
itu segera pamit pulang karena sudah ditunggu-tunggu kepulangannya di rumah, di
Wates.
Setelah
Avid beranjak pulang, penulis pun kembali menghadap laptop. Ide terasa kosong,
penulis tak kunjung menulis lagi. Penulis putuskan untuk berdiam diri sejenak,
berbaring sembari mengulit-ulit ide.
Penulis
memberanikan diri menyapa Ieva.
"PING!!!,".
Tak lama
berselang, Ieva membalas persis seperti yang penulis lakukan. Selanjutnya,
penulis mengirimkan beberapa pesan yang juga dibalas Ieva dengan nada agak cuek
dan jutek.
Begitulah
kesan pertama kali penulis terhadap sosok Ieva. Namun, apa pedulinya penulis,
mau cuek, mau jutek tak peduli, yang jelas penulis hanya ingat dari apa yang
dikatakan Avid, Ieva inilah yang meminta tolong koreksi karya ilmiahnya itu.
Dan justru, dari situlah perkenalan penulis dengan Ieva dimulai. Lanjut.....