Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN


November, Awal Cerita

Novembar, bulan yang begitu akrab dengan hujan. Nyaris saban hari, di bulan November hujan turun membasahi segenap lapisan bumi.
Hujan adalah barokah. Bagaimana tidak, bumi yang kering kerongkang akibat terpaan kemarau di bulan-bulan sebelumnya membuat makhluk di bawah langit tampak putusasa tuk tumbuh dan hidup. Namun, setelah hujan turun, harapan dan asa kehidupan membuncah, hewan-hewan menari girang, tumbuh-tumbuhan mekar merona dan menghijau, tanah-tanah tampak segar, manusia-manusia bahagia, tak ada lagi keputusasaan, tak ada lagi kelesuan, yang ada hanya jiwa-jiwa yang tampak sumringah.
Air telah menjadi sumber kehidupan nyata bagi bumi dan seisinya. Tuhan memang telah memberikan berita, bahwa dijadikan air itu sebagai sumber kehidupan. Semua makhluk bumi membutuhkan air, dan airlah yang kemudian menghidupkan semuanya.
Memang, hujan bukanlah satu-satunya sumber air. Tetapi air hujan terbukti telah memberikan kebahagiaan yang semua makhluk tak dapat menampiknya.
Tak ubahnya manusia lainnya, penulis pun merasakan kebahagian setelah kemarau berganti hujan. Kebahagiaan penulis terpancar dari senyuman dan semangat yang menyala-nyala. Memang, setiap orang berbeda mendefinisikan rasa bahagia, tapi bagi penulis, hujan setidaknya telah menumbuhkan kembali semangat, harapan dan asa untuk melanjutkan sisa hidup yang terasa masih harus melalui perjalanan panjang nan berliku. Dari sekian banyak kebahagiaan, hujan merupakan salah satunya. Tak dapat dipungkiri, begitulah yang penulis rasakan.
November, hujan terus turun menyetubuhi bumi. Aroma bumi yang lahir dari tanah-tanah kering memberikan kehangatan tersendiri bagi manusia yang hidup berpijak pada tanah-tanah. Bunga-bunga bermekaran, tanaman-tanaman menghijau, memperlihatkan keindahan dan kesejukan. Bumi, adalah lahan kesuburan bagi segenap penghuninya taatkala musim hujan telah tiba.
November, hujan masih terus turun.
Kebahagiaan penulis sepertinya akan makin bertambah. Di suatu ketika, hujan deras sekali, hari masih siang. Penulis tak bepergian ke mana-mana, termasuk untuk keperluan bekerja. Kerja? Penulis hanya bekerja sebagai kuli tinta, menulis, menulis, lalu menulis lagi. Tak ada pekerjaan lain sementara ini kecuali menulis dan m-e-n-u-l-i-s.
Menulis merupakan pekerjaan bagi penulis sendiri. Lihat saja, di meja bertumpuk berkas-berkas tak rapi dan berserakan yang harus diuraikan lewat tulisan agar menjadi kalimat yang rapi pula. Itu juga pekerjaan.
Kriiiing! Sebuah telpon genggam berdering pertanda panggilan masuk. Telepon genggam yang berdering itu tak lain dan tak bukan adalah milik penulis sendiri. Penulis segera meraihnya. Di sana tampak nama seseorang sahabat, Avid.
"Halo! Bagaimana vid, ada apa ini tumben nelpon?," tanya penulis.
Avid basa-basi. Terlebih dahulu dia menanyakan kabar, sedang apa, dan lagi di mana? Deretan pertanyaan basa-basi karena memang lama kami tak menjalin kontak. Terhitung sudah hampir enam bulan lamanya semenjak penulis meninggalkan Yogyakarta. Namun, sejak sebulan belakangan penulis kembali lagi ke kota ini karena tak ada kota lain yang penulis tuju selain Yogyakarta yang telah membesarkan sekaligus mendewasakan penulis. Meski bukan orang asli Yogyakarta, namun pengalaman hidup selama 10 tahun menetap di sini membuat Jogja sudah seperti kampung halaman bagi penulis.
Avid tak berlama-lama bicara dalam telpon. Tak lama berselang, Avid mendatangi kos kediaman penulis. Kami bersalaman, seperti sudah berpisah sekian lamanya. Kami pun larut dalam perbincangan serta membagi berbagai pengalaman.
"Bro, ini ada orang mau minta tolong koreksi karya ilmiahnya. Nah, kamu kan yang selama ini lebih mengerti masalah beginian, cobalah tolong dibantu," celetuk Avid setelah perbincangan panjang kami.
Penulis terdiam sejenak sembari menggaruk kepala. Avid menanti jawaban dari penulis sembari otak-atik blackberry miliknya. Tampak dia sedang mencari sesuatu di dalam handphone qwerty-nya tersebut.
"Sebenarnya, aku udah nggak mau berurusan dengan perkara begitu bro. Sudah malas. Tapi kalau emang judulnya membantu, okelah, aku bantu," ujar penulis mau.
Segera setelah mendengarkan kesediaan penulis, Avid menunjukkan sosok seseorang yang sedang membutuhkan bantuan itu. Ya, pemilik karya ilmiah yang meminta dikoreksi karyanya karena merasa masih banyak kesalahan di dalamnya.
Dari blackberry Avid, diketahui pemilik karya ilmiah itu seorang wanita. Di situ tertulis nama, Ieva.
Avid mengenalkan kepada penulis sosok mahasiswi tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta itu. Avid menjelaskan duduk perkaranya. Ya, tentang karya ilmiah yang dimintai koreksi tersebut.
"Biar lebih detail apa aja masalahnya, nih kamu tanya sendiri ke orangnya bro," kata Avid sembari memberikan kontak Ieva kepada penulis.
Tanpa pikir panjang, penulis segera menambahkan kontak baru itu ke dalam telpon genggam penulis yang merk-nya sama persis dengan kepunyaan Avid. Tak lama berselang, kontak telah tersambung secara otomatis.
Meski begitu, penulis tetap terlebih dahulu ingin meminta saran-saran dari Avid bagaimana cara penulis membantu. Tak banyak sebenarnya yang diceritakan  Avid kepada penulis, karena pada intinya hanya diminta mengkoreksi semata. Kalau pun ditemukan beberapa kekurangan dan kesalahan maka penulis diminta untuk menyampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. Begitu kata Avid.
Sejurus kemudian, hujan tampak mulai reda. Waktu memang sudah mendekati sore hari. Penulis dan Avid tak mensia-siakan kesempatan untuk nongkrong di warung kopi tempat biasa kami berkumpul dulu saat masih kuliah. Kami pun segera beranjak menuju warung kopi yang tak begitu jauh dari kediaman penulis.
Mengendarai sepeda motor, 10 menit kemudian kami sudah sampai di tujuan. Di sana, suasana tampak ramai. Orang-orang tampak sedang duduk berkumpul dan bergerombol membentuk kelompok-kelompok. Mereka tampak asyik berbincang-bincang, ada pula yang sedang bermain kartu, ada yang bernyanyi, ada yang berdiskusi, ada yang berduaan dengan pasangannya, namun di depan mereka, cangkir-cangkir kopi setia menemani aktifitas santai para pengunjung.
Penulis dan Avid mengambil tempat duduk lesehan. Bergabung dengan gerombolan para penikmat kopi yang sejak dulu masih setia berada di tempat ini. Ngopi, begitulah judulnya.
Kami pun larut dalam suasana nongkrong santai di warung kopi favorit ini hingga waktu malam datang menjelang, satu per satu kawanan beranjak pulang, tak terkecuali penulis dan Avid.
Avid mampir ke kos penulis lagi. Dan tak lama berselang, pria yang sudah berkeluarga itu segera pamit pulang karena sudah ditunggu-tunggu kepulangannya di rumah, di Wates.
Setelah Avid beranjak pulang, penulis pun kembali menghadap laptop. Ide terasa kosong, penulis tak kunjung menulis lagi. Penulis putuskan untuk berdiam diri sejenak, berbaring sembari mengulit-ulit ide.
Penulis memberanikan diri menyapa Ieva.
"PING!!!,".
Tak lama berselang, Ieva membalas persis seperti yang penulis lakukan. Selanjutnya, penulis mengirimkan beberapa pesan yang juga dibalas Ieva dengan nada agak cuek dan jutek.

Begitulah kesan pertama kali penulis terhadap sosok Ieva. Namun, apa pedulinya penulis, mau cuek, mau jutek tak peduli, yang jelas penulis hanya ingat dari apa yang dikatakan Avid, Ieva inilah yang meminta tolong koreksi karya ilmiahnya itu. Dan justru, dari situlah perkenalan penulis dengan Ieva dimulai. Lanjut.....
Disqus Comments