Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Wulan, Kau Kah Itu?

Hati dilanda sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyan itu mewarnai dinding-dinding jiwa. Warna dinding jiwa itu tampak gelap. Lalu kegelapan itu nyaris membuat buta jiwa.
Hari ini penulis mulai bimbang. Ragu dengan sikap Wulan yang tak kunjung memperlihatkan kejelasannya dalam mensikapi perasaan cinta yang telah diungkapkan itu.
Mungkin Wulan tak percaya, mungkin juga dia termasuk sosok yang pilih-pilih, selektif, mungkin dia tak mudah jatuh cinta, mungkin dia takut jatuh cinta lagi, mungkin...mungkin dan mungkin...
Meski bimbang, penulis tetap berpikiran positif. Pikiran positif itu membuat penulis tak boleh berputusasa serta bersabar. Penulis yakin, nanti setelah tiba waktunya Wulan akan memberikan sebuah jawaban atau tanggapan. Penulis akui, penulis memang harus bersabar.
Dalam kebimbangan ini, kerinduan penulis kepada Wulan tak berkurang sedikitpun, malah justru semakin bertambah. Ya, bertambah seiring dengan rasa penasaran terhadap diri Wulan, penasaran dengan sosoknya dan penasaran dengan jawabannya atau pernyataannya.
Rasa bimbang, penasaran dan kerinduan berkumpul menjadi satu. Entah bagaimana rasanya, penulis sulit mendeskripsikan dan mengekspresikannya. Yang jelas, suasana hati menjadi tak karuan, sesak dipenuhi pertanyaan-pertanyaan.
Hari ini, entah mengapa dalam bayangan penulis, Wulan berada di mana-mana. Rasa rindu ini terasa sangat dekat dengan diri penulis sampai-sampai bayangan Wulan hadir di setia sudut. Kamar kecil ini jadi saksinya. Pikiran penulis tak mampu beralih ke hal lain selain Wulan, hingga akhirnya penulis tertidur lelap, tak terasa.
Keesokan harinya, penulis bangun pagi sekali. Seusai sholat subuh, penulis menyeduh segelas kopi instan. Di lemari ada roti. Rasanya nikmat sekali pagi-pagi begini sarapan roti ditemani kopi, toh hujan masih turun sejak semalam.
Sejurus kemudian penulis membuka laptop. Penulis ingin menulis tentang sesuatu hal, ada ide yang muncul.
Wulan mendatangi penulis di kos. Dia bilang hanya sekadar mampir karena kebetulan lewat. Dia bermaksud ke Jogja. Pagi-pagi sekali Wulan berangkat dari Wonosari karena ada jadwal kuliah pagi, tapi mampir dulu untuk menemui penulis.
Wulan muncul di depan pintu kamar penulis mengenakan jaket hitam, memakai masker, helm, celana jeans, pakai sandal, berkaos kaki, bersarung tangan dan sebuah tak kecil. Penulis hanya yakin begitu saja bahwa itu sosok Wulan.
Setelah mengucap salam, Wulan penulis persilahkan masuk.
"Assalamu'alaykum," salam Wulan.
"Wa'alaykum salam, masuk nduk," jawab penulis.
Setelah masuk kamar, dia duduk sembari meletakkan tasnya. Sejurus itu dia juga membuka helm dan masker yang dikenakanannya. Seperti keyakinan penulis sebelumnya, wanita ini benar-benar Wulan, persis seperti yang tampak dalam photo. Penulis yakin benar.
Keyakinan itu benar nyatanya. Setelah mencopot helm dan maskernya, Wulan menyapa penulis yang sedang bengong.
"Hey, malah bengong. Kenapa mas? Pagi-pagi udah bengong aja. Ini aku, Wulan!," sergahnya.
Penulis hanya membatin. Ya, benar ini Wulan yang penulis rindukan itu.
"Hehe. Iya nduk, kirain tadi siapa," sahut penulis gugup dan basa basi.
Penulis salah tingkah, dan itu jelas mempertegas kegugupan penulis. Penulis tak tahu harus berbuat apa, kedatangan Wulan tak terduga, tak terbayangkan oleh penulis, tak ada janji.
Wulan membuka tas miliknya. Dari dalam tas itu Wulan mengeluarkan sebuah berkas berupa dokumen yang ternyata itu karya ilmiahnya yang sempat dikoreksi penulis beberapa kali. Wulan menunjukkan karya ilmiahnya itu kepada penulis sembari mengatakan ada beberapa hal yang perlu direvisi lagi sebelum benar-benar dianggap final, dipresentasikan dan dinilai oleh penguji. Dia mengatakan waktu masih ada tiga hari untuk mempersiapkan tugas akademik itu.
"Ini hasil bimbingannya mas. Kemarin pembimbingku mengkoreksi, katanya ada beberapa hal yang harus diperbaiki," ujar Wulan sembari menunjukkan poin-poin yang harus diperbaiki.
Penulis memegang alih dokumen karya ilmiah itu. Penulis baca beberapa poin yang harus diperbaiki. Tak lama berselang, penulis sudah paham.
"Oke, ini nanti aku perbaiki lagi nduk, setelah itu aku kirim ke kamu," ucap penulis.
Wulan hanya mengangguk. Dia tak banyak bicara, tampak seperti pemalu. Penulis pun tak tahu harus berbuat dan bicara apa lagi. Suasana mendadak terdiam. Keterdiaman kami membuat semua terasa kaku. Kami berdua diam-diam sama-sama menyimpan malu terhadap satu sama lainnya. Wulan hanya tertunduk sembari mengotak-atik HP-nya, padahal tak ada pesan atau panggilan yang masuk. Sementara penulis pura-pura membaca kembali karya ilmiah itu padahal sebelumnya mengaku sudah paham.
Diam-diam penulis curi-curi pandang. Betapapun, jantung penulis berdegub hebat. Wulan masih tetap tertunduk.
Merasa suasana semakin kaku, penulis membuka obrolan dengan pertanyaan tak penting.
"Tadi berangkat dari rumah jam berapa nduk?," tanya penulis.
Wulan mengangkat wajahnya yang sejak tadi merunduk.
"Tadi berangkat jam lima pagi mas, masih gelap sih tapi kudu berangkat karena nanti kuliah jam 07.30 WIB," ujarnya sambil tersenyum manis.
Mendengar jawaban Wulan, penulis lalu melihat jam di dinding. Jam masih menunjukkan pukul 06.00 WIB pagi. Waktu masih cukup lama untuk berbincang dengan Wulan.
"Pagi banget. Nggak dingin apa di jalan?," tanya penulis lagi.
"Ya, dingin sih mas, tapi ini kan aku pakai jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, jadi agak hangat," tuturnya.
Obrolan itu menjadi panjang lebar. Suasana kaku di awal kini telah berubah menjadi cair. Ternyata, tak hanya di dalam telpon, ngobrol langsung berhadapan dengan Wulan memang benar-benar terasa akrab. Tak butuh lama-lama beradaptasi antara penulis dan Wulan. Sebentar saja kami sudah tampak akrab.
Karena waktu masih relatif pagi, penulis mengajak Wulan sarapan di luar. Tujuannya Mandala Krida. Di sana ada menu lontong sayur yang memang amat digemari penulis. Wulan tak menolak. Kami pun segera beranjak dari kos untuk sekadar sarapan berdua.
Tak lama berselang, seusai sarapan, penulis dan Wulan segera kembali. Waktu kami terbatas karena Wulan harus segera kuliah. Sejujur itu, Wulan beranjak setelah mengucapkan pamit kepada penulis.
Begitulah mimpi penulis semalam. Penulis paparkan mimpi berjumpa Wulan itu dalam bentuk tulisan. Sengaja penulis tulis tentang mimpi itu hanya ingin mengungkapkan sebuah kerinduan. Mungkin dianggap sesuatu hal yang tak penting, tetapi bagi penulis hal itu dapat menarik karena mimpi adalah salah satu produk psikis. Penulis memang gemar mengutarakan sesuatu hal lewat sebuah tulisan ketimbang dipendam di dalam hati dan pikiran.
Ya, sebuah tulisan yang mencoba mendeskripsikan sosok Wulan yang sampai detik ini belum diberikan kesempatan untuk berjumpa secara nyata. Mungkin suatu saat nanti!

Wulan, kau kah itu? Lanjut...
Disqus Comments