Wulan, Kau Kah Itu?
Hati dilanda
sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyan itu mewarnai dinding-dinding jiwa.
Warna dinding jiwa itu tampak gelap. Lalu kegelapan itu nyaris membuat buta
jiwa.
Hari ini penulis
mulai bimbang. Ragu dengan sikap Wulan yang tak kunjung memperlihatkan
kejelasannya dalam mensikapi perasaan cinta yang telah diungkapkan itu.
Mungkin Wulan tak
percaya, mungkin juga dia termasuk sosok yang pilih-pilih, selektif, mungkin
dia tak mudah jatuh cinta, mungkin dia takut jatuh cinta lagi, mungkin...mungkin
dan mungkin...
Meski bimbang,
penulis tetap berpikiran positif. Pikiran positif itu membuat penulis tak boleh
berputusasa serta bersabar. Penulis yakin, nanti setelah tiba waktunya Wulan
akan memberikan sebuah jawaban atau tanggapan. Penulis akui, penulis memang
harus bersabar.
Dalam kebimbangan
ini, kerinduan penulis kepada Wulan tak berkurang sedikitpun, malah justru
semakin bertambah. Ya, bertambah seiring dengan rasa penasaran terhadap diri
Wulan, penasaran dengan sosoknya dan penasaran dengan jawabannya atau
pernyataannya.
Rasa bimbang,
penasaran dan kerinduan berkumpul menjadi satu. Entah bagaimana rasanya,
penulis sulit mendeskripsikan dan mengekspresikannya. Yang jelas, suasana hati
menjadi tak karuan, sesak dipenuhi pertanyaan-pertanyaan.
Hari ini, entah
mengapa dalam bayangan penulis, Wulan berada di mana-mana. Rasa rindu ini
terasa sangat dekat dengan diri penulis sampai-sampai bayangan Wulan hadir di
setia sudut. Kamar kecil ini jadi saksinya. Pikiran penulis tak mampu beralih
ke hal lain selain Wulan, hingga akhirnya penulis tertidur lelap, tak terasa.
Keesokan harinya,
penulis bangun pagi sekali. Seusai sholat subuh, penulis menyeduh segelas kopi
instan. Di lemari ada roti. Rasanya nikmat sekali pagi-pagi begini sarapan roti
ditemani kopi, toh hujan masih turun sejak semalam.
Sejurus kemudian
penulis membuka laptop. Penulis ingin menulis tentang sesuatu hal, ada ide yang
muncul.
Wulan mendatangi
penulis di kos. Dia bilang hanya sekadar mampir karena kebetulan lewat. Dia
bermaksud ke Jogja. Pagi-pagi sekali Wulan berangkat dari Wonosari karena ada
jadwal kuliah pagi, tapi mampir dulu untuk menemui penulis.
Wulan muncul di
depan pintu kamar penulis mengenakan jaket hitam, memakai masker, helm, celana
jeans, pakai sandal, berkaos kaki, bersarung tangan dan sebuah tak kecil.
Penulis hanya yakin begitu saja bahwa itu sosok Wulan.
Setelah mengucap
salam, Wulan penulis persilahkan masuk.
"Assalamu'alaykum,"
salam Wulan.
"Wa'alaykum
salam, masuk nduk," jawab penulis.
Setelah masuk kamar,
dia duduk sembari meletakkan tasnya. Sejurus itu dia juga membuka helm dan
masker yang dikenakanannya. Seperti keyakinan penulis sebelumnya, wanita ini
benar-benar Wulan, persis seperti yang tampak dalam photo. Penulis yakin benar.
Keyakinan itu benar
nyatanya. Setelah mencopot helm dan maskernya, Wulan menyapa penulis yang
sedang bengong.
"Hey, malah
bengong. Kenapa mas? Pagi-pagi udah bengong aja. Ini aku, Wulan!,"
sergahnya.
Penulis hanya
membatin. Ya, benar ini Wulan yang penulis rindukan itu.
"Hehe. Iya
nduk, kirain tadi siapa," sahut penulis gugup dan basa basi.
Penulis salah
tingkah, dan itu jelas mempertegas kegugupan penulis. Penulis tak tahu harus
berbuat apa, kedatangan Wulan tak terduga, tak terbayangkan oleh penulis, tak
ada janji.
Wulan membuka tas
miliknya. Dari dalam tas itu Wulan mengeluarkan sebuah berkas berupa dokumen
yang ternyata itu karya ilmiahnya yang sempat dikoreksi penulis beberapa kali.
Wulan menunjukkan karya ilmiahnya itu kepada penulis sembari mengatakan ada
beberapa hal yang perlu direvisi lagi sebelum benar-benar dianggap final,
dipresentasikan dan dinilai oleh penguji. Dia mengatakan waktu masih ada tiga
hari untuk mempersiapkan tugas akademik itu.
"Ini hasil
bimbingannya mas. Kemarin pembimbingku mengkoreksi, katanya ada beberapa hal yang
harus diperbaiki," ujar Wulan sembari menunjukkan poin-poin yang harus
diperbaiki.
Penulis memegang
alih dokumen karya ilmiah itu. Penulis baca beberapa poin yang harus
diperbaiki. Tak lama berselang, penulis sudah paham.
"Oke, ini nanti
aku perbaiki lagi nduk, setelah itu aku kirim ke kamu," ucap penulis.
Wulan hanya
mengangguk. Dia tak banyak bicara, tampak seperti pemalu. Penulis pun tak tahu
harus berbuat dan bicara apa lagi. Suasana mendadak terdiam. Keterdiaman kami
membuat semua terasa kaku. Kami berdua diam-diam sama-sama menyimpan malu
terhadap satu sama lainnya. Wulan hanya tertunduk sembari mengotak-atik HP-nya,
padahal tak ada pesan atau panggilan yang masuk. Sementara penulis pura-pura
membaca kembali karya ilmiah itu padahal sebelumnya mengaku sudah paham.
Diam-diam penulis
curi-curi pandang. Betapapun, jantung penulis berdegub hebat. Wulan masih tetap
tertunduk.
Merasa suasana
semakin kaku, penulis membuka obrolan dengan pertanyaan tak penting.
"Tadi berangkat
dari rumah jam berapa nduk?," tanya penulis.
Wulan mengangkat
wajahnya yang sejak tadi merunduk.
"Tadi berangkat
jam lima pagi mas, masih gelap sih tapi kudu berangkat karena nanti kuliah jam
07.30 WIB," ujarnya sambil tersenyum manis.
Mendengar jawaban
Wulan, penulis lalu melihat jam di dinding. Jam masih menunjukkan pukul 06.00
WIB pagi. Waktu masih cukup lama untuk berbincang dengan Wulan.
"Pagi banget.
Nggak dingin apa di jalan?," tanya penulis lagi.
"Ya, dingin sih
mas, tapi ini kan aku pakai jaket tebal, sarung tangan, kaos kaki, jadi agak
hangat," tuturnya.
Obrolan itu menjadi
panjang lebar. Suasana kaku di awal kini telah berubah menjadi cair. Ternyata,
tak hanya di dalam telpon, ngobrol langsung berhadapan dengan Wulan memang
benar-benar terasa akrab. Tak butuh lama-lama beradaptasi antara penulis dan
Wulan. Sebentar saja kami sudah tampak akrab.
Karena waktu masih
relatif pagi, penulis mengajak Wulan sarapan di luar. Tujuannya Mandala Krida.
Di sana ada menu lontong sayur yang memang amat digemari penulis. Wulan tak
menolak. Kami pun segera beranjak dari kos untuk sekadar sarapan berdua.
Tak lama berselang,
seusai sarapan, penulis dan Wulan segera kembali. Waktu kami terbatas karena
Wulan harus segera kuliah. Sejujur itu, Wulan beranjak setelah mengucapkan
pamit kepada penulis.
Begitulah mimpi
penulis semalam. Penulis paparkan mimpi berjumpa Wulan itu dalam bentuk
tulisan. Sengaja penulis tulis tentang mimpi itu hanya ingin mengungkapkan
sebuah kerinduan. Mungkin dianggap sesuatu hal yang tak penting, tetapi bagi
penulis hal itu dapat menarik karena mimpi adalah salah satu produk psikis.
Penulis memang gemar mengutarakan sesuatu hal lewat sebuah tulisan ketimbang
dipendam di dalam hati dan pikiran.
Ya, sebuah tulisan
yang mencoba mendeskripsikan sosok Wulan yang sampai detik ini belum diberikan
kesempatan untuk berjumpa secara nyata. Mungkin suatu saat nanti!
Wulan, kau kah itu?
Lanjut...