Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Balada Kecewa, Mengusik Seisi Jiwa

Hari sudah malam.
Rabu, 18 Desember 2014.
Penulis merasakan lelah yang tak terhingga. Satu hari full, mondar mandir keliling Yogyakarta menemui beberapa kolega, rekan kerja.
Namun, hujan yang turun membasahi bumi sejak sore hari tadi memberikan kesejukan serta ketenangan tersendiri bagi fisik penulis yang terkuras.
Hari ini, hingga menjelang malam penulis belum menghubungi Wulan sama sekali. Dia pun tak ada kabarnya. Yang terbaca hanya update status yang mengatakan jika dirinya juga sedang dilanda kelelahan setelah seharian penuh mengurus segala laporan dan tugas kuliah.
"Istirahat nduk, jangan diforsir tenaganya," penulis mengirim pesan singkat kepada Wulan.
Tak lama berselang, pesan singkat tersebut dibalasnya.
"Mas, telepon aku yah, aku butuh temen, ini masih ngerjain tugas," pintanya.
Tak berpikir panjang penulis segera menelepon Wulan. Semua pertanyaan yang penulis lontarkan sudah dijawabnya, seperti sudah makan, mandi dan lain sebagainya.. Bla..bla..bla.
Mendengar suara Wulan, lelah hilang seketika. Berbincang dengan dia memang asyik karena orangnya sangat aktif dan komunikatif. Itu salah satu hal yang paling penulis rindukan dari sosok Wulan, meski tak pernah berjumpa.
Ditemani hujan, obrolan kami berlarut-larut hingga tengah malam. Wulan tampak benar-benar sibuk, tugasnya menumpuk.
"Istirahat dulu adek, besok lagi ngerjain tugasnya," saran penulis.
"Iya mas, ini udah aku hentiin kok, capek juga aku," ujarnya.
Dalam telepon, Wulan bercerita panjang lebar tentang pengalaman dan suatu peristiwa yang sedang menimpa dirinya. Penulis hanya mendengarkan saja, sesekali mengkomentari serta memberi saran, kadang dalam bentuk nasehat. Tentu, tuk menguatkan dirinya.
Entah karena kehabisan bahan obrolan atau karena faktor kesengajaan, Wulan mulai menyentuh obrolan soal masa lalu. Dengan gegap gempita dia mengkisahkan alur peristiwa masa lalu yang telah dilewatinya, dan sesekali dia mengintrik. Namun, penulis tak bergeming dan cuek dengan intrikan tersebut. Hingga akhirnya Wulan mengaku dirinya telah gagal memancing penulis tuk bercerita pula tentang masa lalu penulis. Penulis tahu memang, salah satu hal yang tak disukai Wulan dari penulis adalah ketika penulis cerita tentang masa lalu penulis sendiri.
Pernah suatu ketika penulis kehabisan bahan obrolan lantas spontan bercerita tentang masa lalu penulis. Bukannya malah mendengarkan cerita penulis, Wulan justru meninggalkan telepon dengan tidur. Bahkan penulis baru sadar jika dirinya telah tidur saat penulis telah bercerita panjang lebar lalu meminta pendapatnya, bukan jawaban yang didapatkan penulis tetapi malah justru suara senyap. Keesokan harinya Wulan mengaku malam itu dia tidur karena malas mendengarkan cerita penulis.
"Maaf mas, semalam aku tinggal tidur. Siapa suruh malah cerita tentang masa lalumu, aku malas dengerinnya," aku Wulan lewat pesan singkatnya.
Penulis hanya membalasnya dengan tertawa sembari meminta maaf karena telah membuat Wulan tak berkenan.
Nah, malam ini hal serupa ingin dites olehnya apakah penulis akan bercerita lagi atau tidak. Namun, sayang sekali, Wulan gagal memancing penulis.
"Haha. Ternyata dia nggak terpancing. Bagus. Nanti aku akan memancing dengan cara lainnya," ungkap Wulan.
Kening penulis berkerut pertanda tak paham. Namun penulis menggaris-bawahi ucapan Wulan tersebut sebagai bentuk antisipasi.
Karuan saja, tak lama berselang Wulan pun memulai aksinya. Namun, penulis sadar Wulan sedang ingin ngetes penulis.
Aksi Wulan ini memang tampak aneh. Dia mencoba pancing pengakuan penulis tentang hal-hal yang beraroma biologis. Hebatnya, Wulan berusaha mengorek-ngorek pengakuan penulis dengan cara menggiring obrolan ke hal-hal yang sensitif. Penulis paham betul dia sedang berusaha tuk memanfaatkan pengakuan tak sadar penulis. Sisi tak sadar itulah yang berusaha dieksploitasi Wulan dari penulis.
Jujur saja, penulis nyaris terbawa suasana dan terkecoh. Namun, penulis mangambil posisi duduk agar kesadaran itu tak lenyap dari otak benak penulis. Sesekali berdiri, keluar kamar sambil menatap butiran hujan yang turun menyetubuhi bumi.
Selain itu, sesekali penulis keluar dari kamar menuju kamar pojok yang di sana berkumpul teman-teman yang sedang ber-domino ria. Sementara Wulan terus beraksi, bahkan semakin menggila. Penulis ikuti saja alurnya, ingin tahu sampai di mana kemampuannya, ingin tahu endingnya, ingin tahu maksud dan tujuan yang berusaha dicapainya.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah empat. Aksi Wulan pun berhenti. Ya, berhenti setelah penulis mengaku horni dengan aksinya gilanya itu.
Wulan tertawa terbahak-bahak, puas karena menganggap aksinya berhasil dengan berbagai pengakuan yang dilontarkan penulis.
Penulis kecewa. Seketika itu pula penulis terprovokasi. Penulis mikir, dari mana Wulan dapatkan ide semacam itu hanya untuk ngetes penulis? Apa pentingnya dia melakukan aksi semacam itu? Apa untungnya dia dari pengakuan penulis? Apa tujuan dia? Serta sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang beraroma sensitif penulis lontarkan, tentu dengan nada yang sedikit meninggi. Bahkan, saking kecewanya penulis, penulis pun agak sedikit meradang, naik pitam. Tak segan-segan, tanpa penulis sadari, penulis telah menggertak Wulan.
Di saat yang bersamaan, Wulan pun terbawa emosi. Dia marah sejadi-jadinya karena sikap penulis yang agak arogan. Wulan berkilah, aksinya hanya untuk memancing pengakuan penulis.
"Kalau kamu memang pengen tahu pengakuan-pengakuanku, ayo kita ketemuan, akan aku ceritakan semua kepada kamu secara terbuka dan jujur, tapi tidak dengan cara yang seperti ini, ini terlalu naif," sentak penulis dengan nada tinggi.
"Aku nggak sreg dengan caramu yang kayak begini. Aku kaget, kok bisa-bisanya kamu punya ide begini, apa kamu sudah gila, dan ini bukan tindakan orang terdidik," ungkap penulis dengan nada marah.
"Ini tindakan orang yang nggak terdidik nduk. Ayolah. Kita udah sama-sama gede, dewasa, cobalah cari cara lain yang sekiranya lebih etis, bukan begini caranya," sambung penulis menjadi-jadi.
Wulan terus melakukan pembelaan. Dia berusaha mencover dirinya dengan rasionalisasi-rasionalisasinya yang terdengar emosional.
Penulis marah, Wulan pun tak mau kalah. Sehingga terjadilah pertikaian hebat di antara kami subuh itu. Penulis akui memang, penulislah biang keladi pertikaian tersebut karena penulis yang memulai perkataan dengan nada tinggi. Suasana jadi tambah tegang.
Subuh itu seperti menjadi angkara murka antara penulis dan Wulan. Setelah kemarahan di antara kami mencair, suasana pun terdiam seketika. Suara adzan menyahut, berhasil melerai dan mencairkan ego kami yang sama-sama sedang memuncak.
Penulis akui, penulis lah pihak yang paling getol melontarkan kata demi kata, hingga Wulan merasa terpojok. Suara iqomah subuh itu menghentikan pertikaian kami, penulis mengajak Wulan tuk sholat subuh.
"Aku mau ambil wudhu dulu nduk, jangan dimatikan teleponnya," pinta penulis.
Wulan diam saja. Setelah mengambil air wudhu, penulis meraih HP, tampak telepon itu sudah terputus. Seusai sholat, penulis banyak-banyak mengucapkan istighfar, sadar dan menyesal telah memarahi Wulan. Ingin sekali rasanya penulis menelepon Wulan lagi tuk meminta maaf, namun suasana terasa tak memungkinkan. Kalau pun mengucapkan kata maaf maka akan percuma dan sia-sia belaka, Wulan sedang kecewa. Penulis yakin itu.
Benar saja. Keesokan harinya, Wulan tampak memendam kekecewaan yang mendalam. Awan hitam sore ini seakan mempertegas resam yang bergelayut di hati dan pikiran Wulan. Seharian itu, sikap Wulan sudah berubah drastis, sikap respeknya tampak sirna, jangan kan memberikan maaf, membalas pesan singkat dari penulis pun dia ogah-ogahan. Wulan tampak masih berang.!
Sementara, penulis kelimpungan. Tak terpikirkan harus berbuat apa lagi. Bagi penulis, dunia serasa mau kiamat, gelap gulita. Penulis menyesal sejadi-jadinya. Mau berbuat apa serba salah, tak ada benarnya. Mau mengirimkan pesan ke Wulan saja penulis sungkan dan malu, alih-alih menelepon.
Mentok. Penulis pun diam saja sembari menanti waktu yang tepat tuk menghubungi Wulan lagi.
Keesokan harinya, penulis memberanikan diri menelepon Wulan. Dia bersedia mengangkat telepon tersebut.
Penulis kikuk. Bibir terasa kelu. Mau memulai obrolan dari mana, penulis bingung. Ditambah lagi Wulan tampak masih terpukul akibat kemarahan penulis. Lebih parah lagi, Wulan tampak kecewa, dan tentu saja rasa kecewa sulit sekali tuk diobati.
Wulan tak mau banyak bicara. Dia menanti penulis yang lebih dulu melontarkan kata-kata. Suasana makin kikuk. Tiap perkataan penulis hanya ditanggapi dan disahut singkat-singkat oleh Wulan. Dia seperti sedang ingin menunjukkan rasa kecewanya. Penulis pun kehabisan kata-kata.
"Jujur aja, aku nggak terbiasa dengan perlakuan kasar. Seumur-umur, nggak pernah ada lelaki yang ngomong kasar ke aku. Aku syok dengan omonganmu malam itu," tiba-tiba Wulan memulai obrolan.
Penulis mendengar saja, menyimak kekesalan Wulan.
"Aku nggak suka lelaki kasar," ucap Wulan ketus.
Penulis memilih diam. Menunggu sampai Wulan menumpahkan kekesalannya.
"Lain kali jangan begitu kalau ngomong dengan aku. Aku nggak biasa, jadi wajar kalau aku kaget dan kecewa," pintanya.
Setelah Wulan selesai mengungkapkan kekesalannya, penulis mengambil kesempatan tuk memberikan penjelasan. Siapa tahu, pikir penulis, Wulan mau mengerti.
"Aku nggak ada niat menyakiti dan membuat kamu kecewa nduk. Semua terjadi secara spontan. Aku orangnya reaktif dan tempramental," aku penulis.
"Aku mengaku salah. Memang aku salah. Kamu benar, aku memang kasar malam itu, tapi aku nggak bermaksud membuatmu marah, lebih-lebih sampai kecewa," lanjut penulis.
"Untuk itu, terimalah permintaan maaf dariku. Aku sungguh menyesal. Semoga kamu mengerti aku dan penjelasan singkatku ini," penulis memelas.
"Aku mencintaimu. Tapi kata cinta itu saja tak cukup jika sudut pandangmu menilai aku orang yang kasar, tentu percuma kata cinta itu. Tapi ketahuilah nduk, aku sungguh mencintaimu. Kamu tahu cinta? Ya aku tak mungkin menyakiti dan membuat kecewa orang yang aku cintai," penulis memelas kasih.
Begitu saja penjelasan penulis. Penulis tak mau memperpanjang kata, sedikit saja cukup yang penting poinnya telah tersampaikan. Sedikit-banyak, penulis merasa lega.
Wulan tak banyak menanggapi penjelasan dan klarifikasi penulis. Dengan bijak dia meminta tuk dilupakan saja dan tak usah dibahas lagi, anggap saja sebagai sebuah pengalaman dan pelajaran. Penulis mengiyakan saja apa permintaan Wulan sembari berjanji dalam hati tak akan mengulanginya lagi di lain hari.

Obrolan penulis dan Wulan berakhir. Siang itu, hujan pun turun beriringan dengan kumandang adzan dzuhur. Allahu Akbar... Allahu Akbar!! Lanjut...
Disqus Comments