Balada
Kecewa, Mengusik Seisi Jiwa
Hari
sudah malam.
Rabu, 18
Desember 2014.
Penulis
merasakan lelah yang tak terhingga. Satu hari full, mondar mandir keliling
Yogyakarta menemui beberapa kolega, rekan kerja.
Namun,
hujan yang turun membasahi bumi sejak sore hari tadi memberikan kesejukan serta
ketenangan tersendiri bagi fisik penulis yang terkuras.
Hari
ini, hingga menjelang malam penulis belum menghubungi Wulan sama sekali. Dia
pun tak ada kabarnya. Yang terbaca hanya update status yang mengatakan jika
dirinya juga sedang dilanda kelelahan setelah seharian penuh mengurus segala
laporan dan tugas kuliah.
"Istirahat
nduk, jangan diforsir tenaganya," penulis mengirim pesan singkat kepada
Wulan.
Tak lama
berselang, pesan singkat tersebut dibalasnya.
"Mas,
telepon aku yah, aku butuh temen, ini masih ngerjain tugas," pintanya.
Tak
berpikir panjang penulis segera menelepon Wulan. Semua pertanyaan yang penulis
lontarkan sudah dijawabnya, seperti sudah makan, mandi dan lain sebagainya..
Bla..bla..bla.
Mendengar
suara Wulan, lelah hilang seketika. Berbincang dengan dia memang asyik karena
orangnya sangat aktif dan komunikatif. Itu salah satu hal yang paling penulis
rindukan dari sosok Wulan, meski tak pernah berjumpa.
Ditemani
hujan, obrolan kami berlarut-larut hingga tengah malam. Wulan tampak benar-benar
sibuk, tugasnya menumpuk.
"Istirahat
dulu adek, besok lagi ngerjain tugasnya," saran penulis.
"Iya
mas, ini udah aku hentiin kok, capek juga aku," ujarnya.
Dalam
telepon, Wulan bercerita panjang lebar tentang pengalaman dan suatu peristiwa
yang sedang menimpa dirinya. Penulis hanya mendengarkan saja, sesekali
mengkomentari serta memberi saran, kadang dalam bentuk nasehat. Tentu, tuk
menguatkan dirinya.
Entah
karena kehabisan bahan obrolan atau karena faktor kesengajaan, Wulan mulai
menyentuh obrolan soal masa lalu. Dengan gegap gempita dia mengkisahkan alur
peristiwa masa lalu yang telah dilewatinya, dan sesekali dia mengintrik. Namun,
penulis tak bergeming dan cuek dengan intrikan tersebut. Hingga akhirnya Wulan
mengaku dirinya telah gagal memancing penulis tuk bercerita pula tentang masa
lalu penulis. Penulis tahu memang, salah satu hal yang tak disukai Wulan dari
penulis adalah ketika penulis cerita tentang masa lalu penulis sendiri.
Pernah
suatu ketika penulis kehabisan bahan obrolan lantas spontan bercerita tentang
masa lalu penulis. Bukannya malah mendengarkan cerita penulis, Wulan justru
meninggalkan telepon dengan tidur. Bahkan penulis baru sadar jika dirinya telah
tidur saat penulis telah bercerita panjang lebar lalu meminta pendapatnya,
bukan jawaban yang didapatkan penulis tetapi malah justru suara senyap.
Keesokan harinya Wulan mengaku malam itu dia tidur karena malas mendengarkan
cerita penulis.
"Maaf
mas, semalam aku tinggal tidur. Siapa suruh malah cerita tentang masa lalumu,
aku malas dengerinnya," aku Wulan lewat pesan singkatnya.
Penulis
hanya membalasnya dengan tertawa sembari meminta maaf karena telah membuat
Wulan tak berkenan.
Nah,
malam ini hal serupa ingin dites olehnya apakah penulis akan bercerita lagi
atau tidak. Namun, sayang sekali, Wulan gagal memancing penulis.
"Haha.
Ternyata dia nggak terpancing. Bagus. Nanti aku akan memancing dengan cara
lainnya," ungkap Wulan.
Kening
penulis berkerut pertanda tak paham. Namun penulis menggaris-bawahi ucapan
Wulan tersebut sebagai bentuk antisipasi.
Karuan
saja, tak lama berselang Wulan pun memulai aksinya. Namun, penulis sadar Wulan
sedang ingin ngetes penulis.
Aksi
Wulan ini memang tampak aneh. Dia mencoba pancing pengakuan penulis tentang
hal-hal yang beraroma biologis. Hebatnya, Wulan berusaha mengorek-ngorek
pengakuan penulis dengan cara menggiring obrolan ke hal-hal yang sensitif.
Penulis paham betul dia sedang berusaha tuk memanfaatkan pengakuan tak sadar
penulis. Sisi tak sadar itulah yang berusaha dieksploitasi Wulan dari penulis.
Jujur
saja, penulis nyaris terbawa suasana dan terkecoh. Namun, penulis mangambil
posisi duduk agar kesadaran itu tak lenyap dari otak benak penulis. Sesekali
berdiri, keluar kamar sambil menatap butiran hujan yang turun menyetubuhi bumi.
Selain
itu, sesekali penulis keluar dari kamar menuju kamar pojok yang di sana
berkumpul teman-teman yang sedang ber-domino ria. Sementara Wulan terus
beraksi, bahkan semakin menggila. Penulis ikuti saja alurnya, ingin tahu sampai
di mana kemampuannya, ingin tahu endingnya, ingin tahu maksud dan tujuan yang
berusaha dicapainya.
Jam di
dinding telah menunjukkan pukul setengah empat. Aksi Wulan pun berhenti. Ya,
berhenti setelah penulis mengaku horni dengan aksinya gilanya itu.
Wulan
tertawa terbahak-bahak, puas karena menganggap aksinya berhasil dengan berbagai
pengakuan yang dilontarkan penulis.
Penulis
kecewa. Seketika itu pula penulis terprovokasi. Penulis mikir, dari mana Wulan
dapatkan ide semacam itu hanya untuk ngetes penulis? Apa pentingnya dia
melakukan aksi semacam itu? Apa untungnya dia dari pengakuan penulis? Apa
tujuan dia? Serta sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang beraroma sensitif penulis
lontarkan, tentu dengan nada yang sedikit meninggi. Bahkan, saking kecewanya
penulis, penulis pun agak sedikit meradang, naik pitam. Tak segan-segan, tanpa
penulis sadari, penulis telah menggertak Wulan.
Di saat
yang bersamaan, Wulan pun terbawa emosi. Dia marah sejadi-jadinya karena sikap
penulis yang agak arogan. Wulan berkilah, aksinya hanya untuk memancing
pengakuan penulis.
"Kalau
kamu memang pengen tahu pengakuan-pengakuanku, ayo kita ketemuan, akan aku
ceritakan semua kepada kamu secara terbuka dan jujur, tapi tidak dengan cara
yang seperti ini, ini terlalu naif," sentak penulis dengan nada tinggi.
"Aku
nggak sreg dengan caramu yang kayak begini. Aku kaget, kok bisa-bisanya kamu
punya ide begini, apa kamu sudah gila, dan ini bukan tindakan orang
terdidik," ungkap penulis dengan nada marah.
"Ini
tindakan orang yang nggak terdidik nduk. Ayolah. Kita udah sama-sama gede,
dewasa, cobalah cari cara lain yang sekiranya lebih etis, bukan begini
caranya," sambung penulis menjadi-jadi.
Wulan
terus melakukan pembelaan. Dia berusaha mencover dirinya dengan
rasionalisasi-rasionalisasinya yang terdengar emosional.
Penulis
marah, Wulan pun tak mau kalah. Sehingga terjadilah pertikaian hebat di antara
kami subuh itu. Penulis akui memang, penulislah biang keladi pertikaian
tersebut karena penulis yang memulai perkataan dengan nada tinggi. Suasana jadi
tambah tegang.
Subuh
itu seperti menjadi angkara murka antara penulis dan Wulan. Setelah kemarahan
di antara kami mencair, suasana pun terdiam seketika. Suara adzan menyahut,
berhasil melerai dan mencairkan ego kami yang sama-sama sedang memuncak.
Penulis
akui, penulis lah pihak yang paling getol melontarkan kata demi kata, hingga
Wulan merasa terpojok. Suara iqomah subuh itu menghentikan pertikaian kami,
penulis mengajak Wulan tuk sholat subuh.
"Aku
mau ambil wudhu dulu nduk, jangan dimatikan teleponnya," pinta penulis.
Wulan
diam saja. Setelah mengambil air wudhu, penulis meraih HP, tampak telepon itu
sudah terputus. Seusai sholat, penulis banyak-banyak mengucapkan istighfar,
sadar dan menyesal telah memarahi Wulan. Ingin sekali rasanya penulis menelepon
Wulan lagi tuk meminta maaf, namun suasana terasa tak memungkinkan. Kalau pun
mengucapkan kata maaf maka akan percuma dan sia-sia belaka, Wulan sedang
kecewa. Penulis yakin itu.
Benar
saja. Keesokan harinya, Wulan tampak memendam kekecewaan yang mendalam. Awan
hitam sore ini seakan mempertegas resam yang bergelayut di hati dan pikiran
Wulan. Seharian itu, sikap Wulan sudah berubah drastis, sikap respeknya tampak
sirna, jangan kan memberikan maaf, membalas pesan singkat dari penulis pun dia
ogah-ogahan. Wulan tampak masih berang.!
Sementara,
penulis kelimpungan. Tak terpikirkan harus berbuat apa lagi. Bagi penulis,
dunia serasa mau kiamat, gelap gulita. Penulis menyesal sejadi-jadinya. Mau
berbuat apa serba salah, tak ada benarnya. Mau mengirimkan pesan ke Wulan saja
penulis sungkan dan malu, alih-alih menelepon.
Mentok.
Penulis pun diam saja sembari menanti waktu yang tepat tuk menghubungi Wulan
lagi.
Keesokan
harinya, penulis memberanikan diri menelepon Wulan. Dia bersedia mengangkat
telepon tersebut.
Penulis
kikuk. Bibir terasa kelu. Mau memulai obrolan dari mana, penulis bingung.
Ditambah lagi Wulan tampak masih terpukul akibat kemarahan penulis. Lebih parah
lagi, Wulan tampak kecewa, dan tentu saja rasa kecewa sulit sekali tuk diobati.
Wulan
tak mau banyak bicara. Dia menanti penulis yang lebih dulu melontarkan
kata-kata. Suasana makin kikuk. Tiap perkataan penulis hanya ditanggapi dan
disahut singkat-singkat oleh Wulan. Dia seperti sedang ingin menunjukkan rasa
kecewanya. Penulis pun kehabisan kata-kata.
"Jujur
aja, aku nggak terbiasa dengan perlakuan kasar. Seumur-umur, nggak pernah ada
lelaki yang ngomong kasar ke aku. Aku syok dengan omonganmu malam itu,"
tiba-tiba Wulan memulai obrolan.
Penulis
mendengar saja, menyimak kekesalan Wulan.
"Aku
nggak suka lelaki kasar," ucap Wulan ketus.
Penulis
memilih diam. Menunggu sampai Wulan menumpahkan kekesalannya.
"Lain
kali jangan begitu kalau ngomong dengan aku. Aku nggak biasa, jadi wajar kalau
aku kaget dan kecewa," pintanya.
Setelah
Wulan selesai mengungkapkan kekesalannya, penulis mengambil kesempatan tuk
memberikan penjelasan. Siapa tahu, pikir penulis, Wulan mau mengerti.
"Aku
nggak ada niat menyakiti dan membuat kamu kecewa nduk. Semua terjadi secara
spontan. Aku orangnya reaktif dan tempramental," aku penulis.
"Aku
mengaku salah. Memang aku salah. Kamu benar, aku memang kasar malam itu, tapi
aku nggak bermaksud membuatmu marah, lebih-lebih sampai kecewa," lanjut
penulis.
"Untuk
itu, terimalah permintaan maaf dariku. Aku sungguh menyesal. Semoga kamu
mengerti aku dan penjelasan singkatku ini," penulis memelas.
"Aku
mencintaimu. Tapi kata cinta itu saja tak cukup jika sudut pandangmu menilai
aku orang yang kasar, tentu percuma kata cinta itu. Tapi ketahuilah nduk, aku
sungguh mencintaimu. Kamu tahu cinta? Ya aku tak mungkin menyakiti dan membuat
kecewa orang yang aku cintai," penulis memelas kasih.
Begitu
saja penjelasan penulis. Penulis tak mau memperpanjang kata, sedikit saja cukup
yang penting poinnya telah tersampaikan. Sedikit-banyak, penulis merasa lega.
Wulan
tak banyak menanggapi penjelasan dan klarifikasi penulis. Dengan bijak dia
meminta tuk dilupakan saja dan tak usah dibahas lagi, anggap saja sebagai
sebuah pengalaman dan pelajaran. Penulis mengiyakan saja apa permintaan Wulan
sembari berjanji dalam hati tak akan mengulanginya lagi di lain hari.
Obrolan
penulis dan Wulan berakhir. Siang itu, hujan pun turun beriringan dengan
kumandang adzan dzuhur. Allahu Akbar... Allahu Akbar!! Lanjut...