Menanamkan
Keyakinan dan Keseriusan
Babak
ketiga dari serangkaian perkenalan penulis dengan Wulan adalah upaya menanamkan
sebuah keyakinan dan keseriusan tentang perasaan cinta.
Perkenalan
penulis dengan Wulan terbilang cukup singkat. Jangankan menyentuh tahunan, satu
bulan saja belum sampai usia perkenalan kami. Di sinilah pertanyaan-pertanyaan
mulai terlontarkan dalam setiap perbincangan kami di telepon.
Wulan
tak percaya begitu saja jika penulis memang telah jatuh hati pada dirinya. Dia,
tampaknya terlebih dahulu ingin melewati proses perkenalan yang panjang agar
sampai pada kesimpulan bahwa penulis memang menawarkan sebuah ketulusan rasa.
Sementara di satu sisi, perasaan penulis semakin menggebu.
Wulan
selalu membantah segenap pernyataan cinta dari penulis. Baginya, perkenalan
yang terbilang singkat itu tak masuk akal jika telah terpaut perasaan cinta.
Penulis
kemudian berpikir keras tuk merasionalisasikan perasaan cinta kepada Wulan. Dia
tetap tak bergeming, belum yakin.
Wulan
terus berusaha mengorek tentang keseriusan penulis. Dengan berbagai cara.
Sepertinya dia butuh kepastian terlebih dahulu sebelum dia benar-benar percaya
dan yakin.
Penulis
biarkan usaha-usaha Wulan. Penulis bersikap seadanya, sesuai dengan yang
dirasa.
Lambat
laun, pikir penulis, Wulan akan tahu dengan sendirinya bahwa keseriusan serta
ketulusan rasa yang penulis punya bukanlah kepura-puraan belaka, melainkan
benar adanya.
Sikap
Wulan, semakin membuat hati penulis kian terpaut, perasaan cinta tumbuh subur
bak bunga yang terus disiram, dan secara tak langsung sikap Wulan telah merawat
perasaan ini sehingga bunga di hati mekar merah merona.
Di
samping itu, penulis terus berusaha meyakinkan Wulan. Penulis ingin keyakinan
itu segera menciptakan kebersamaan di antara kami yang dibalut dengan jalinan
kasih sayang yang tulus dan penuh keikhlasan.
"Lebay
terus kamu ini mas," ujar Wulan menanggapi pujian penulis kepadanya di
sela-sela obrolan kami di telepon suatu ketika.
"Aduh
dek...dek, aku lho berusaha tuk meyakinkan kamu kalau aku nggak main-main
dengan perasaan ini," ungkap penulis.
"Iya,
aku udah tahu kok," cetus Wulan sembari tertawa lirih.
"Sejak
beberapa hari belakangan ini aku kepikiran kamu terus nduk," ucap penulis.
"Tuh
kan lebay lagi. Aduh mas..mas," sahut Wulan membalas.
"Tugasku
gimana ini jadinya, hiks," Wulan mengalihkan pembicaraan.
Penulis
terdiam sejenak.
"Eh,
malah mengalihkan pembicaraan," cetus penulis.
Wulan
terdengar tertawa.
"Aku stres ini lho mas..mas, tugas
nggak kelar-kelas terus kapan aku bisa lulus. Aku pengen cepet lulus,"
ujarnya.
"Terus,
habis lulus mau ngapain hayo?," tanya penulis sewot.
"Ya,
mau lanjutin S2 mas, itu cita-citaku," Wulan menjawab datar.
"Wah,
rencana yang bagus. Aku dukung nduk," penulis menimpali.
"Tapi
aku pengen pas S2 udah punya suami biar ada yang bisa diminta tolong kalau
ngerjain tugas. Hehehe," Wulan melanjutkan.
Seketika
itu jantung penulis berdegub kencang. Penulis membayangkan penulis sendirilah
sosok yang akan dimintai tolong oleh Wulan seperti yang dimaksudkannya
tersebut.
"Kok
diem mas? Hayo mikirin apa?," tanya Wulan memecah keterdiaman penulis.
Penulis
terbangun dari khayalan itu.
"Iya,
nanti aku yang akan membantu kamu nduk," ucap penulis sambil tertawa
lirih.
Mendengar
itu, Wulan tertawa terbahak-bahak. Dan obrolan kami pun berhenti sampai di
situ. Karena sudah larut, kami menyudahi obrolan dan saling berpamitan untuk
tidur.
Selamat
malam! Lanjut....