Nekat, Menyambangi Wulan
Rasa
ingin berjumpa dengan Wulan membujuk penulis untuk nekat mendatangi
kediamannya, kos. Rasa itu datang bagai tak diundang dan tiba-tiba saja. Bahkan
dibalut dengan keyakinan yang sangat kuat.
Dari
sebuah warung kopi, penulis beranjak dengan keyakinan yang memuncak. Penulis
beranjak malam itu, jam di tangan masih menunjukkan pukul 20:30 WIB.
Sebelumnya, penulis mampir ke kos untuk mengganti pakaian, memakai minyak
wangi, merapihkan rambut dan mengenakan sebuah jaket tebal.
Setelah
dirasa rapih dan wangi, penulis pun segera beranjak. Mengendarai sepeda motor,
penulis hanya membawa keyakinan yang sangat kuat bahwa nanti akan berjumpa
Wulan, tak lagi hanya sekadar berjumpa di alam mimpi.
Penulis
berangkat seorang diri.
Malam
itu tak hujan. Cuaca cerah, malam hening dan penulis lihat Malioboro tampak
ramai riuh dikunjungi ratusan manusia. Penulis tak berniat mampir.
Penulis
tetap fokus pada satu tujuan; mendatangi Wulan.
Sepeda
motor melaju cukup kencang untuk mengejar waktu supaya tak terlalu larut.
Tak
lama berselang, sampai lah penulis di sebuah kampus, UPY. Ya, berhenti di
kampus itu, tepat di gerbang kampus. Setelah itu penulis mengirimkan pesan
kepada Wulan bahwa penulis ingin datang kepadanya dan bilang sudah sampai di
kampus tempat dia studi. Saat itu penulis hanya tahu, kos Wulan tak jauh dari
kampus.
“Nduk,
aku mau ketemu kamu, dan sekarang sudah sampai di depan kampusmu,” pesan
penulis kepada Wulan.
Wulan
membalas pesan itu sedikit kaget. Mungkin dia tak percaya kalau penulis
benar-benar ingin bertemu dengannya malam itu.
“Ya
Allah mas, mas, aku kan tadi udah bilang kalau aku nggak bisa ketemu kamu.
Kalau aku udah bilang nggak bisa ya nggak bisa,” Wulan membalas pesan penulis
dengan nada kesal.
Penulis
bengong. Di depan kampus tampak sepi. Warung-warung sudah tutup. Penulis tak
tahu harus ke mana, berhenti sejenak untuk membujuk Wulan supaya mau menemui
penulis.
“Mas,
sumpah! Aku lagi nggak di kos, dan malam ini nggak pulang ke kos karena di kos
lagi ramai. Aku tidur di tempat temanku malam ini. Maaf ya, aku nggak bisa
menemuimu,” kata Wulan lagi dalam pesan singkatnya.
Membaca
pesan dari Wulan penulis hanya membalasnya singkat. Oke, yups, oh gitu, oh iya,
maaf ya, oke fine, oke sip, adalah deretan kata yang penulis ucapkan untuk
merespon pesan singkat dari Wulan. Tak tahu harus bicara apa, sebab memang
diakui penulis lah yang salah karena nekat mendatangi Wulan padahal sore harnya
Wulan sudah bilang tak bisa bertemu karena besok dia harus ujian dan malam ini
harus belajar di tempat temannya.
Penulis
masih menyimpan keyakinan bisa berjumpa Wulan. Penulis berhenti sejenak di
sebuah angkringan di depan kampus sembari menghangatkan badan dengan segelas
teh hangat. Namun, seketika harapan itu pun pupus. Wulan meminta agar penulis
pulang saja karena dia mengaku benar-benar tak bisa menyambangi penulis. Sebab,
kos teman yang dia datangi jaraknya cukup jauh dari kampus. Tak mungkin bagi
dia untuk datang kepada penulis karena malam memang sudah mulai larut.
“Pulang
aja mas, ngapain jam segini di kampus,” pinta Wulan. Jam memang telah
menunjukkan pukul 22: 24 WIB.
Penulis
mulai beranjak pulang dengan ragu-ragu. Sesekali berhenti. Motor melaju pelan. Pesan
terakhir penulis kepada Wulan masih belum ada balasan. Penulis masih berharap
bisa berjumpa dengannya. Penulis terus menyetir pelan, kemudian berhenti
menengok HP. Belum kunjung ada balasan. Batrai HP makin kritis, penulis semakin
cemas; harap-harap cemas.
Sesampainya
di suatu tempat, penulis berhenti. Melihat HP, belum ada balasan. Penulis
memutuskan kembali ke tempat semula, depan kampus. Sesampainya penulis di depan
kampus, pesan balasan dari Wulan pun datang.
“Maaf
ya mas, bukan karena aku nggak hargain tapi sumpah aku lagi di tempat teman dan
nggak tidur di kos. Hati-hati ya mas, maaf sekali lagi sudah ngecewain,” pesan
terakhir dari Wulan.
Membaca
pesan itu penulis langsung berbalik arah, pulang. Pesan itu hanya sekadar
dibaca dan tak dibalas oleh penulis. Sebab, memang konfirmasi dan kepastian
dari Wulan yang penulis tunggu-tunggu dalam kondisi harap-harap cemas. Namun,
pesan terakhir dari Wulan telah memastikan langkah penulis tuk segera pulang,
lagi pula malam sudah semakin larut.
Jujur
saja, terbesit sedikit rasa kecewa. Tetapi penulis tak mau mengambil hati, toh
memang itu murni kesalahan penulis yang terlalu nekat, terlalu yakin dan
memaksa keadaan.
Untuk
meredam gejolak rasa kecewa, sepanjang jalan penulis mengucapkan istighfar,
memohon ampun kepada Allah berharap diberikan ketenangan serta tak menuruti ego
diri. Penulis berusaha meruntuhkan segenap ego diri agar tetap istiqomah dengan
pendirian dan keyakinan. Sebab, ego apabila tak dikendalikan niscaya akan
melahirkan angkara murka. Bagi penulis, rasa kecewa lebih merupakan ego diri
yang lahir dari pikiran yang tak realistis dan rasional.
Ego
terkadang mendorong diri manusia untuk berbuat sesuatu hal yang irrasional,
tetapi penulis berusaha mengelola ego itu melalui otak atau pikiran supaya
dapat disaring sehingga melahirkan tindakan yang tetap terkontrol dan tidak
emosional.
Sembari
mengucapkan istighfar, sepanjang jalan penulis berusaha mengumbar senyum.
Senyuman untuk diri sendiri. Bukan karea kegilaan, tetapi lebih merupakan salah
satu cara untuk melampiaskan ego diri itu tadi.
Jam
di tangan sudah menunjukkan pukul 23: 30 WIB. Penulis mampir di sebuah warung
makan. Lapar.
Seusai
makan, penulis pulang ke kos dan segera tidur. Kepala tiba-tiba terasa begitu
pusing, badan lemas, otak pun malas diajak berpikir.
Padahal,
malam itu penulis berencana tuk menulis artikel. Namun, rencana itu buyar.
Kepala terasa sangat pusing, entah kenapa yang jelas penulis hanya ingin tidur
lebih awal. Itu saja, cukup!
Tak
lama berselang, penulis pun lelap.
Berharap
esok hari penulis bangun pagi-pagi untuk berolah-raga.
Selamat
malam dunia... Lanjut...