Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Nekat, Menyambangi Wulan

Rasa ingin berjumpa dengan Wulan membujuk penulis untuk nekat mendatangi kediamannya, kos. Rasa itu datang bagai tak diundang dan tiba-tiba saja. Bahkan dibalut dengan keyakinan yang sangat kuat.
Dari sebuah warung kopi, penulis beranjak dengan keyakinan yang memuncak. Penulis beranjak malam itu, jam di tangan masih menunjukkan pukul 20:30 WIB. Sebelumnya, penulis mampir ke kos untuk mengganti pakaian, memakai minyak wangi, merapihkan rambut dan mengenakan sebuah jaket tebal.
Setelah dirasa rapih dan wangi, penulis pun segera beranjak. Mengendarai sepeda motor, penulis hanya membawa keyakinan yang sangat kuat bahwa nanti akan berjumpa Wulan, tak lagi hanya sekadar berjumpa di alam mimpi.
Penulis berangkat seorang diri.
Malam itu tak hujan. Cuaca cerah, malam hening dan penulis lihat Malioboro tampak ramai riuh dikunjungi ratusan manusia. Penulis tak berniat mampir.
Penulis tetap fokus pada satu tujuan; mendatangi Wulan.
Sepeda motor melaju cukup kencang untuk mengejar waktu supaya tak terlalu larut.
Tak lama berselang, sampai lah penulis di sebuah kampus, UPY. Ya, berhenti di kampus itu, tepat di gerbang kampus. Setelah itu penulis mengirimkan pesan kepada Wulan bahwa penulis ingin datang kepadanya dan bilang sudah sampai di kampus tempat dia studi. Saat itu penulis hanya tahu, kos Wulan tak jauh dari kampus.
“Nduk, aku mau ketemu kamu, dan sekarang sudah sampai di depan kampusmu,” pesan penulis kepada Wulan.
Wulan membalas pesan itu sedikit kaget. Mungkin dia tak percaya kalau penulis benar-benar ingin bertemu dengannya malam itu.
“Ya Allah mas, mas, aku kan tadi udah bilang kalau aku nggak bisa ketemu kamu. Kalau aku udah bilang nggak bisa ya nggak bisa,” Wulan membalas pesan penulis dengan nada kesal.
Penulis bengong. Di depan kampus tampak sepi. Warung-warung sudah tutup. Penulis tak tahu harus ke mana, berhenti sejenak untuk membujuk Wulan supaya mau menemui penulis.
“Mas, sumpah! Aku lagi nggak di kos, dan malam ini nggak pulang ke kos karena di kos lagi ramai. Aku tidur di tempat temanku malam ini. Maaf ya, aku nggak bisa menemuimu,” kata Wulan lagi dalam pesan singkatnya.
Membaca pesan dari Wulan penulis hanya membalasnya singkat. Oke, yups, oh gitu, oh iya, maaf ya, oke fine, oke sip, adalah deretan kata yang penulis ucapkan untuk merespon pesan singkat dari Wulan. Tak tahu harus bicara apa, sebab memang diakui penulis lah yang salah karena nekat mendatangi Wulan padahal sore harnya Wulan sudah bilang tak bisa bertemu karena besok dia harus ujian dan malam ini harus belajar di tempat temannya.
Penulis masih menyimpan keyakinan bisa berjumpa Wulan. Penulis berhenti sejenak di sebuah angkringan di depan kampus sembari menghangatkan badan dengan segelas teh hangat. Namun, seketika harapan itu pun pupus. Wulan meminta agar penulis pulang saja karena dia mengaku benar-benar tak bisa menyambangi penulis. Sebab, kos teman yang dia datangi jaraknya cukup jauh dari kampus. Tak mungkin bagi dia untuk datang kepada penulis karena malam memang sudah mulai larut.
“Pulang aja mas, ngapain jam segini di kampus,” pinta Wulan. Jam memang telah menunjukkan pukul 22: 24 WIB.
Penulis mulai beranjak pulang dengan ragu-ragu. Sesekali berhenti. Motor melaju pelan. Pesan terakhir penulis kepada Wulan masih belum ada balasan. Penulis masih berharap bisa berjumpa dengannya. Penulis terus menyetir pelan, kemudian berhenti menengok HP. Belum kunjung ada balasan. Batrai HP makin kritis, penulis semakin cemas; harap-harap cemas.
Sesampainya di suatu tempat, penulis berhenti. Melihat HP, belum ada balasan. Penulis memutuskan kembali ke tempat semula, depan kampus. Sesampainya penulis di depan kampus, pesan balasan dari Wulan pun datang.
“Maaf ya mas, bukan karena aku nggak hargain tapi sumpah aku lagi di tempat teman dan nggak tidur di kos. Hati-hati ya mas, maaf sekali lagi sudah ngecewain,” pesan terakhir dari Wulan.
Membaca pesan itu penulis langsung berbalik arah, pulang. Pesan itu hanya sekadar dibaca dan tak dibalas oleh penulis. Sebab, memang konfirmasi dan kepastian dari Wulan yang penulis tunggu-tunggu dalam kondisi harap-harap cemas. Namun, pesan terakhir dari Wulan telah memastikan langkah penulis tuk segera pulang, lagi pula malam sudah semakin larut.
Jujur saja, terbesit sedikit rasa kecewa. Tetapi penulis tak mau mengambil hati, toh memang itu murni kesalahan penulis yang terlalu nekat, terlalu yakin dan memaksa keadaan.
Untuk meredam gejolak rasa kecewa, sepanjang jalan penulis mengucapkan istighfar, memohon ampun kepada Allah berharap diberikan ketenangan serta tak menuruti ego diri. Penulis berusaha meruntuhkan segenap ego diri agar tetap istiqomah dengan pendirian dan keyakinan. Sebab, ego apabila tak dikendalikan niscaya akan melahirkan angkara murka. Bagi penulis, rasa kecewa lebih merupakan ego diri yang lahir dari pikiran yang tak realistis dan rasional.
Ego terkadang mendorong diri manusia untuk berbuat sesuatu hal yang irrasional, tetapi penulis berusaha mengelola ego itu melalui otak atau pikiran supaya dapat disaring sehingga melahirkan tindakan yang tetap terkontrol dan tidak emosional.
Sembari mengucapkan istighfar, sepanjang jalan penulis berusaha mengumbar senyum. Senyuman untuk diri sendiri. Bukan karea kegilaan, tetapi lebih merupakan salah satu cara untuk melampiaskan ego diri itu tadi.
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 23: 30 WIB. Penulis mampir di sebuah warung makan. Lapar.
Seusai makan, penulis pulang ke kos dan segera tidur. Kepala tiba-tiba terasa begitu pusing, badan lemas, otak pun malas diajak berpikir.
Padahal, malam itu penulis berencana tuk menulis artikel. Namun, rencana itu buyar. Kepala terasa sangat pusing, entah kenapa yang jelas penulis hanya ingin tidur lebih awal. Itu saja, cukup!
Tak lama berselang, penulis pun lelap.
Berharap esok hari penulis bangun pagi-pagi untuk berolah-raga.

Selamat malam dunia... Lanjut...
Disqus Comments