Wulan dan Keinginannya; Tanda
Tanya?
Hari
demi hari berlalu. Perasaan cinta terhadap Wulan nayris tak berkurang barang
deikitpun, malah justru semakin bertambah. Hebatnya, perasaan cinta yang
membuncah itu belum sempat tersampaikan secara langsung di hadapan gadis jelita
itu, padahal penulis begitu mendambakan begitu dan mungkin begitu pula Wulan,
pikir penulis.
Ungkapan
perasaan cinta terhadap Wulan masih hanya sekadar mampu diucapkan lewat HP
sementara waktu ini, hingga kini. Dan itu jelas tak cukup untuk memberikan
sebuah keyakinan tentang ketulusan. Bahkan, sampai detik ini, Wulan pun memang
mengakuinya bahwa dirinya masih tak meragukannnya, lebih-lebih belum ada
semacam bukti kongkret yang disaksikannya secara nyata di hadapannya.
Penulis
terus berpikir. Hari-hari penulis berpikir cukup keras. Sibuk menghubungkan dan
menggabungkan berbagai variabel, sibuk menerka dan menebak serta membaca hati
Wulan. Apa yang dia harapkan, apa yang dia inginkan, perihal tindakan nyata
dari penulis yang seperti apa yang dia mau?
Pasalnya,
beberapa kali penulis kerp dikatakan tidak peka, tak mampu menebak apa
keinginan Wulan. Padahal, ujar dia suatu ketika, Wulan acap kali memantik
sindiran dan intrikan agar penulis melakukan sesuatu yang dia mau, sesuatu yang
dia harapkan. Tetapi penulis justru tak bergeming, alih-alih melakukan sesuatu
tindakan, penulis justru terkadang tampak bingung hingga kadang kali membuat
Wulan tampil dengan wajah kecewa.
Penulis
terus berpikir. Berpikir keras guna menjelaskan dinamika yang terjadi antara
penulis dan Wulan. Kami berdua.
Berpikir
dan terus berpikir, berharap nantinya akan ketemu poin penting tentang tindakan
apa yang mesti penulis perbuat demi menggugah apa yang Wulan harapkan.
Penulis
harus peka. Tentu saja. Sebab, tak mungkin rasanya harus menunggu dan menanti
Wulan bicara dan meminta. Tentu tak etis jika harus demikian.
Ya,
itu sudah barang tentu tak mungkin terjadi. Hanya, bagaimana respon dan
kepekaan penulis saja yang kini penulis sedang pikirkan keras.
Yang
diharapkan tak kunjung muncul jua. Pikiran mentok. Pikiran jadi kacau balau.
Dalam hati penulis bergumam; “Ya, aku memang telah menjadi sosok lelaki yang
tidak peka.”
Sulit
sekali bagi penulis tuk membaca keinginan seseorang. Wulan khususnya. Beda
halnya ketika membaca sifat dan sikap atau sebuah tindakan yang tampak, itu
perkara yang relatif mudah dibaca dan dicerna. Tetapi, membaca keinginan adalah
satu hal lain yang penulis rasakan sulit. Sungguh dan benar-benar sulit.
Ketidakpekaan
diri penulis ini seperti menjadi batu sandungan tersendiri untuk penulis
menjalin kisah asmara. Sebab, kata orang, lelaki yang romantis itu adalah dia
yang pandai membaca keinginan pasangannya. Namun, penulis merasakan amat jauh
dari kriteria itu. Ternyata, apabila disimpulkan penulis termasuk lelaki yang
tidak romantis. Haduh!
Setelah
tak kunjung tahu mengenai keinginan Wulan itu, penulis memutuskan untuk terdiam
sembari mengulik-ulik perasaan. Penulis berpikir bahwa mengungkapkan perasaan
cinta lewat HP adalah cara satu-satunya sementara ini yang penulis bisa
perbuat. “Mungkin di lain hari, saat waktunya telah tiba semua akan terungkap
dan terucapa,” pekik penulis dalam hati.
Penulis
pada akhirnya menyerah sementara waktu ini.
“Biarlah.
Mungkin ungkapan cintaku tak resmi, tak perlu harus datang lalu memberikan
sekuntum bunga sembari berlutut menghiba di hadapan Wulan. Cintaku bukan
sekadar ungkapan melainkan getaran. Ya, getaran yang telah mampu menghidupkan
gelora jiwa, memupuk asa serta melahirkan sebuah keyakinan. Biarlah. Bila sudah
waktunya, aku akan datang sendiri kepada Wulan. Aku akan membawakan segenap
hatiku untuk kupersembahkan kepada dia yang aku cinta. Biarlah. Terpenting
Wulan pernah tahu, atau setidaknya dia pernah mendengarkan ungkapan dariku
melalui bibirku yang dibasuh air cinta. Atau sekurang-kurangnya Wulan pernah
mengucapkan kata iya meski aku tak tahu makna di sebaliknya. Biarlah. Buarlah,
dan biarlah,” penulis berpuisi. Lanjut...