Boleh jadi warga
Sokan, Kalimantan Barat tengah berang dan geram dengan pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla. Pasalnya, janji kedua pasangan presiden-wakil presiden itu
kala kampanye dulu jauh api dari panggang. Semua cuma habis di bibir saja
setelah keduanya terpilih dalam pilpres satu putaran.
Salah satu janji keduanya
kala itu ialah memperbaiki perekonomian rakyat yang dinilai masih jauh dari
kata sejahtera meskipun sudah lebih dari separuh abad merdeka. Jokowi-JK hanya berfokus pada pembangunan
infrastruktur. Mungkin biar diberi gelar “bapak pembangunan” yang dulu pernah
disematkan pada Pak Harto.
Namun, bila dibandingkan, Jokowi dan Soeharto tentu
beda konteks. Pak Harto begitu gencar melakukan pembangunan infrastruktur
karena memang kala itu Indonesia berada dalam masa transisi pasca turunnya Bung
Karno dari tampuk kepemimpinan NKRI. Tetapi, di era Jokowi misi pembangunan itu
seharusnya tidak dijadikan sebagai program utama. Apa maksudnya terus gencar
melakukan pembangunan infrastruktur kalau bukan demi melayani investor asing
masuk ke wilayah NKRI.
Oke, kembali ke pembahasan awal. Terserah Jokowi-JK saja
mau diapakan negara ini asal tidak menganggu dan mengusik rakyat, silahkan
lanjutkan program andalannya tersebut. Kami tidak mau terlalu banyak
berkomentar, nanti dikira menghina dan mengkritik terlalu tajam. Repot juga
kalau kami harus berhadapan dengan hukum dan bui hanya karena melakukan kritik!
Semenjak berakhirnya rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisi perekonomian
di Sokan, Kalbar tak kunjung membaik. Kalau boleh jujur, SBY sempat mendapatkan
tempat di hati warga ketika harga karet (kulat, dalam bahasa warga Sokan)
pernah nyaris menyentuh Rp 20.000 per kilo selama beberapa tahun.
Namun,
menjelang berakhirnya masa kepemimpinan SBY, harga karet tersebut jatuh tajam,
terhitung mulai 2013 hingga kini. Warga Sokan, yang notabene menggantungkan
hidup dengan bekerja sebagai petani karet kini benar-benar tengah menjerit
hingga putus asa. Coba bayangkan, saat ini harga karet hanya Rp 6. 000 per
kilo, dan itu pun tidak merata. Kadang, harga yang sampai ke tengah warga hanya
Rp 5. 000 saja per kilo. Saya lebaran tahun ini mudik ke Sokan, Kalbar.
Mayoritas keluhan warga adalah soal harga kareta yang mereka hasilkan tidak
sesuai dengan tenaga dan waktu yang mereka keluarkan. Medan kebun kareta yang
berada di perbukitan membuat warga benar-benar banting tulang. Bahkan, tak
sedikit warga yang harus mengidap penyakit tulang akibat kelelahan luar biasa
dalam menyadap dan mengangkut hasil karet. Maklum, warga masih bekerja secara
tradisional, tidak menggunakan jasa mesin dan hanya mengandalkan fisik dan
tenaga. Saya mengurut dada melihat kondisi warga selama sebulan di rumah. Saya
tahu persis bagaimana kesulitan dan kelelahan warga.
Sebabnya, saya sendiri
juga pernah merasakan bekerja sebagai petani karet tiga tahun silam selepas
meraih titel sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri di pulau Jawa. BACA: Harga Karet Mencekik Warga Sokan, Kalbar. Liburan mudik
lebaran kemarin, saya sebenarnya ingin mengulangi bekerja sebagai petani karet
kembali, setidaknya buat menambah ongkos kembali ke Jawa. Namun, niat tersebut
saya urungkan setelah tahu harga karet benar-benar di luar akal sehat. Saya kalkulasikan,
seandainya saya harus bekerja selama sebulan (itu pun tak mungkin full), maka hasil kerja itu untuk
membayar tiket pesawat saja tidak bakal cukup. Jangankan untuk mendapatkan
hasil Rp 1.000.000 per bulan, Rp 500.000 saja sungguh betapa sulitnya. Warga
kini benar-benar terjepit dan tercekik.
Bahkan untuk sekadar membeli sebungkus
rokok saja banyak yang tidak mampu. Mungkin hanya PNS saja yang aman
perekonomiannya. Presiden kita, maaf kritik lagi, di awal-awal kepemimpinannya
sempat dicurhati warga waktu berkunjung ke Sumater soal harga kareta yang
terlalu murah. Namun saying sekali bung, presiden kita yang terhormat hanya
bilang, “kita tidak punya pabrik untuk mengelola karet dan harus dikelola di
luar negeri”. Kurang lebihnya demikian itu pernyataan beliau tempo hari, kalau
telinga saya tak salah dengar. Saya mengurut dada lagi.
Dalam bayangan saya
hanya satu, kemarin kakak saya terkapar tak mampu bangun dari tidurnya selepas
pulang bekerja akibat kelelahan yang sangat luar biasa. Artinya, saya ingin
berucap, pembangunan ekonomi sudah seharunya dimulai dari pedesaan. Caranya,
pemerintah memberdayakan potensi desa dan masyarakat tanpa harus melibatkan
pihak asing, diberdayakan secara mandiri saja. Masyarakat tradisional tentu
lebih berpengalaman di desanya masing-masing, bahkan mereka lebih pintar dan
cerdas bagaimana mengelola dan memanfaatkan alam sehingga tidak terjadi
kerusakan.
Saya kembali mengurut dada. Warga Sokan, Kalbar kini memang tengah
pasrah. Meski hasil jerih payah mereka dihargai tak seberapa, mereka tetap
bekerja dan seseorang berucap tegar, “Ya, kita bersyukur saja karena karet
masih ada harganya walau cuma segitu”, ucapnya pasrah.