Tuesday 1 September 2015

HARGA KARET MENCEKIK WARGA SOKAN, KALBAR

Boleh jadi warga Sokan, Kalimantan Barat tengah berang dan geram dengan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pasalnya, janji kedua pasangan presiden-wakil presiden itu kala kampanye dulu jauh api dari panggang. Semua cuma habis di bibir saja setelah keduanya terpilih dalam pilpres satu putaran.

Salah satu janji keduanya kala itu ialah memperbaiki perekonomian rakyat yang dinilai masih jauh dari kata sejahtera meskipun sudah lebih dari separuh abad merdeka.  Jokowi-JK hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur. Mungkin biar diberi gelar “bapak pembangunan” yang dulu pernah disematkan pada Pak Harto.

Namun, bila dibandingkan, Jokowi dan Soeharto tentu beda konteks. Pak Harto begitu gencar melakukan pembangunan infrastruktur karena memang kala itu Indonesia berada dalam masa transisi pasca turunnya Bung Karno dari tampuk kepemimpinan NKRI. Tetapi, di era Jokowi misi pembangunan itu seharusnya tidak dijadikan sebagai program utama. Apa maksudnya terus gencar melakukan pembangunan infrastruktur kalau bukan demi melayani investor asing masuk ke wilayah NKRI.

Oke, kembali ke pembahasan awal. Terserah Jokowi-JK saja mau diapakan negara ini asal tidak menganggu dan mengusik rakyat, silahkan lanjutkan program andalannya tersebut. Kami tidak mau terlalu banyak berkomentar, nanti dikira menghina dan mengkritik terlalu tajam. Repot juga kalau kami harus berhadapan dengan hukum dan bui hanya karena melakukan kritik! Semenjak berakhirnya rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisi perekonomian di Sokan, Kalbar tak kunjung membaik. Kalau boleh jujur, SBY sempat mendapatkan tempat di hati warga ketika harga karet (kulat, dalam bahasa warga Sokan) pernah nyaris menyentuh Rp 20.000 per kilo selama beberapa tahun.

Namun, menjelang berakhirnya masa kepemimpinan SBY, harga karet tersebut jatuh tajam, terhitung mulai 2013 hingga kini. Warga Sokan, yang notabene menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai petani karet kini benar-benar tengah menjerit hingga putus asa. Coba bayangkan, saat ini harga karet hanya Rp 6. 000 per kilo, dan itu pun tidak merata. Kadang, harga yang sampai ke tengah warga hanya Rp 5. 000 saja per kilo. Saya lebaran tahun ini mudik ke Sokan, Kalbar.

Mayoritas keluhan warga adalah soal harga kareta yang mereka hasilkan tidak sesuai dengan tenaga dan waktu yang mereka keluarkan. Medan kebun kareta yang berada di perbukitan membuat warga benar-benar banting tulang. Bahkan, tak sedikit warga yang harus mengidap penyakit tulang akibat kelelahan luar biasa dalam menyadap dan mengangkut hasil karet. Maklum, warga masih bekerja secara tradisional, tidak menggunakan jasa mesin dan hanya mengandalkan fisik dan tenaga. Saya mengurut dada melihat kondisi warga selama sebulan di rumah. Saya tahu persis bagaimana kesulitan dan kelelahan warga.

Sebabnya, saya sendiri juga pernah merasakan bekerja sebagai petani karet tiga tahun silam selepas meraih titel sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri di pulau Jawa. BACA: Harga Karet Mencekik Warga Sokan, KalbarLiburan mudik lebaran kemarin, saya sebenarnya ingin mengulangi bekerja sebagai petani karet kembali, setidaknya buat menambah ongkos kembali ke Jawa. Namun, niat tersebut saya urungkan setelah tahu harga karet benar-benar di luar akal sehat. Saya kalkulasikan, seandainya saya harus bekerja selama sebulan (itu pun tak mungkin full), maka hasil kerja itu untuk membayar tiket pesawat saja tidak bakal cukup. Jangankan untuk mendapatkan hasil Rp 1.000.000 per bulan, Rp 500.000 saja sungguh betapa sulitnya. Warga kini benar-benar terjepit dan tercekik.

Bahkan untuk sekadar membeli sebungkus rokok saja banyak yang tidak mampu. Mungkin hanya PNS saja yang aman perekonomiannya. Presiden kita, maaf kritik lagi, di awal-awal kepemimpinannya sempat dicurhati warga waktu berkunjung ke Sumater soal harga kareta yang terlalu murah. Namun saying sekali bung, presiden kita yang terhormat hanya bilang, “kita tidak punya pabrik untuk mengelola karet dan harus dikelola di luar negeri”. Kurang lebihnya demikian itu pernyataan beliau tempo hari, kalau telinga saya tak salah dengar. Saya mengurut dada lagi.

Dalam bayangan saya hanya satu, kemarin kakak saya terkapar tak mampu bangun dari tidurnya selepas pulang bekerja akibat kelelahan yang sangat luar biasa. Artinya, saya ingin berucap, pembangunan ekonomi sudah seharunya dimulai dari pedesaan. Caranya, pemerintah memberdayakan potensi desa dan masyarakat tanpa harus melibatkan pihak asing, diberdayakan secara mandiri saja. Masyarakat tradisional tentu lebih berpengalaman di desanya masing-masing, bahkan mereka lebih pintar dan cerdas bagaimana mengelola dan memanfaatkan alam sehingga tidak terjadi kerusakan.

Saya kembali mengurut dada. Warga Sokan, Kalbar kini memang tengah pasrah. Meski hasil jerih payah mereka dihargai tak seberapa, mereka tetap bekerja dan seseorang berucap tegar, “Ya, kita bersyukur saja karena karet masih ada harganya walau cuma segitu”, ucapnya pasrah.
Disqus Comments