Di suatu malam, saya terlibat pembicaraan dengan salah seorang sahabat sekampung melalui handphone. Lama tak berjumpa, saya menayakan kabarnya. Begitu pula sebaliknya. Obrolan kami via HP panjang lebar setelah tahu sahabat tersebut kini sudah tak lagi bermukim di kampung halaman kami, Melana.
Dia mengatakan, di kampung sudah tidak lagi ada harapan untuk menggapai mimpi dan cita-cita sehingga akhirnya dia memutuskan hijrah ke kota. Ibu kota Kalbar, Pontianak tujuannya. Kota masih menjadi destinasi dan tujuan kebanyakan orang kampung karena anggapan klasik bahwa di kota rejeki mudah dicari, padahal tidak demikian adanya.
Di desalah sebenarnya rejeki itu mudah dicari karena di kota terlalu banyak manusia. Dia bilang kepadaku, di kampung lagi susah, untuk sekadar menjaga dapur tetap mengepul saja susahnya minta ampun. Maklum, usaha andalan warga Melana memang sedang tidak menjanjikan, terpuruk dan membuat pusing. Karet adalah usaha andalan itu. Pemerintah sejak lima tahun terakhir memang kurang begitu memperhatikan petani karet.
Harga per kilonya terjun bebas pasca lengsernya SBY dari tampuk kekuasaan. Usaha warga di sana hanya ditebus dengan Rp 5.000 per kilo. Harga yang tidak masuk akal memang. Sebab, menjadi petani karet bukanlah pekerjaan yang gampang, menguras tenaga dan bahkan tak jarang banyak warga yang mengidap penyakit tulang akibat tenaga terlalu dipaksa bekerja.
Bekerja adalah tuntutan. Kalau tidak bekerja lantas mau makan apa? Sahabatku itu termasuk salah satu warga Melana yang sudah bertahun-tahun jadi petani karet, bahkan pendidikan pun dia korbankan setelah ayahnya tiada. Dia, anak pertama. Adik-adiknya di bawah tanggungjawabnya. Sampai kemudian adik-adiknya telah besar, dia pun lantas memutuskan meninggalkan kampung halaman.
Tujuannya satu, mencari pekerjaan yang lebih baik yang tidak menguras tenaga. Jadi, singkat kata, sahabatku sudah tidak betah lagi bermukim di kampung halaman kami karena ekonomi lagi sulit-sulitnya. Kisah ini tentu bertolak-belakang dari agenda pemerintah Jokowi-JK yang menjanjikan kesejahteraan di desa-desa. Anggaran sekian triliun, katanya sudah ditetapkan untuk dikucurkaan ke desa-desa dalam rangka membangun perekonomian warga. Tetapi itu hanya judul berita yang tertulis di media-media.
Buktinya nol, nihil dan tidak nyata. Mungkin pemerintah memang sudah terbiasa dan terdidik untuk menelan ludahnya sendiri sembari mengumbar janji-janji.