ILUSTRASI |
Gerakan independen menjelang Pilkada 2017 gencar. Sebuah fenomena oportunisme dalam konstelasi perpolitikan daerah. Kaum-kaum oportunis saat ini sedang menggalang kekuatan yang sekali lagi hendak memanfaatkan hak politik masyarakat untuk kepentingan kelompok. Legitimed memang. Sebab, tak banyak masyarakat yang secara formal menjadi bagian dari keanggotaan partai politik meski mereka mengepakkan sayapnya di sejumlah komunitas, paguyuban dan ormas. Lantas apakah kemunculan independen bisa disebut politis? Tentu saja. Namanya politik kaum independen. Lama-kelamaan nantinya akan berubah wujud menjadi partai independen yang berisi sosok-sosok yang tak mampu masuk dan berkompetisi di sejumlah partai politik.
Saya berani bilang, gerakan independen adalah wadah dan alat politik kaum oportunis yang juga ingin mengecap kursi kekuasaan. Menyambut Pilkada 2017, gerakan independen sejauh ini baru terdengar di dua daerah; DKI Jakarta dan Kota Yogyakarta. Gerakan independen Jakarta bisa dibilang lebih perkasa karena didukung partai politik. Parpol kok dukung independen, ente ini bagaimana sih bung. Gagal paham. Sementara di Yogyakarta, gerakan independen didukung sejumlah kalangan seperti seniman, budayawan, eks politisi, aktivis, pengusaha dan akademisi. Rumornya sih begitu. Formasinya sama saja dengan anggota partai politik. Unsur-unsur mereka itu juga ada.
Tapi, sejauh ini gerakan independen di Yogyakarta belum disusupi parpol. Mungkin mau lihat hasil survei dulu bagaimana tingkat elektabilitas calon yang diusung gerakan independen. Kalau tinggi, ya dukung lah supaya pamor parpol tak kalah. Begitulah cara sederhana jika hendak berkuasa. Apakah kemunculan gerakan independen dapat disebut sebuah upaya deparpolisasi? Jika mendengar opini sejumlah pengamat, banyak yang berkata tidak. Padahal, kalau mau jujur, gerakan independensi jelas menginginkan sistem kepartaian dalam segenap agenda pemilu dihapuskan karena parpol selama ini dianggap telah melakukan upaya monopoli kekuasaan di sejumlah jabatan publik seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pendapat pengamat yang tidak dapat diterima ialah ketika mereka bilang jika kepercayaan publik terhadap parpol sudah mulai luntur, citranya memudar. Motifnya bermacam ragam. Maklumlah, kadang pengamat juga tampil bicara di hadapan publik negeri bak agen-agen penguat sebuah wacana dengan harapan dapat merubah opini masyarakat, termasuk gerakan independen ini.