Bantul, Kawasan Bebas Mal ?
Boleh jadi Bantul, DIY adalah satu-satunya kabupaten di Indonesia yang memiliki komitmen berperang melawan serangan pasar bebas dalam hal industri properties seperti bangunan Mal. Berjalan-jalan keliling Bantul, maka Anda tidak akan menemui bangunan menjulang simbol pasar bebas dan modernisasi tersebut . Sedikit berbeda dengan kawasan Sleman dan Yogyakarta bagian kota yang memiliki menara gading bernama Mal tinggi menjulang sebagai identitas kota. Untuk kawasan Sleman ada Ambarukmo Plaza, Makro dan Alfa (supermarket grosir) sedangkan di Yogyakarta kota sendiri berdiri Saphir Squere, Gardena, Galeria, Ramayana, Matahari serta Mal-mal Malioboro lainnya.
Secara geografis, Yogyakarta dibagi menjadi lima daerah. Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul dan Yogyakarta kota. Kelima daerah ini akan menjadi sasaran empuk para pemodal asing untuk menanamkan investasi sekaligus mengeksplotasi kekayaan alam atas nama pasar bebas, sehingga otomatis akan menyingkirkan kearifan-kearifan lokal setempat. Maka, begitu riskan jika agenda pasar bebas membabi-buta masuk ke kelima kawasan tersebut tanpa ekstrakontrol yang protektif dari pemerintah serta pihak-pihak terkait. Agenda pasar bebas lebih banyak merugikan ketimbang mendatangkan keuntungan, karena kita hanya mendapatkan sepuluh persen dari pajak hasil investasi atau eksploitasi tersebut. Salah satu bentul investasi serta eskploitasi kaum pemodal terhadap kekayaan alam dan beberapa kearifan tradisional berbentuk bangunan Mal. Masyarakat seakan dipaksa untuk meniru gaya hidup modern agar melupakan kultur atau budaya-budaya daerah sebagai sebuah kearifan lokal, padahal, selama ini tradisi lokal telah membesarkan masyarakat dan merupakan warisan nenek moyang sebagai perisai modernisasi yang seakan sudah diprediksi kedatangannya oleh para leluhur kita dahulu kala.
Dalam konteks kebebasan ekonomi, keberadaan Mal sebetulnya sah-sah saja. Namun, jika keberadaannya malah justru memarjinalkan pasar-pasar tradisional, maka ini yang akan menjadi masalah. Lihat saja betapa fenomenalnya keberadaan pasar modern tersebut di kawasan strategis kota, dan nampaknya gelombang neoliberalisme sudah sedemikian kuat sehingga menafikan peran kontrol, terkhusus, pemerintah pusat.
Tanpa bermaksud promosi, Mal-mal sangat banyak berdiri di kawasan Malioboro. Fenomenal ini menunjukkan betapa Malioboro sudah menjelma menjadi kawasan perbelanjaan utama atau pusat industri di kota gudheg. Sementara untuk kawasan Kulon Progo dan Gunung Kidul sejauh ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berdirinya pusat perbelanjaan modern bernama Mal. Lantas bagaimana dengan kawasan Bantul?
Saya terpacu ingin mengetahui alasan mengapa Bantul tidak berdiri tempat perbelanjaan modern tersebut, dan setelah saya telusuri, ternyata Bupati Bantul Idham Samawi beserta pihaknya melarang pendirian Mal di wilayahnya. Bahkan tak hanya sekedar itu, pendirian mini market pun juga sengaja dibatasi, katanya, hal itu dilakukan untuk mempersempit pasar global (bebas) yang akan melanda Bantul. Selain itu juga, keberadaan Mal dan mini market akan dengan sendirinya menggusur pasar lokal milik masyarakat di kota Bantul.
Sebagaimana kita ketahui, pasar tradisional atau pasar lokal adalah benteng terakhir tempat usaha masyarakat. Saat ini sedikitnya tercatat 29 pasar tradisional di tingkat kabupaten, satu pasar seni dan 27 pasar tradisional di tingkat desa kawasan Bantul. Pasar tradisional ini merupakan simbol perlawanan terhadap pasar modern yang telah menggusur hak usaha masyarakat di kota-kota besar di Indonesia. Sementara pasar modern (Mal, Mini Market, Swalayan) serta pusat perbelanjaan modern lainnya adalah simbol semakin merasuknya pasar bebas di negeri ini. Dalam undang-undang, negara kita telah menyatakan pihak asing memiliki hak untuk menyewa tanah sampai 95 tahun lamanya, waktu yang cukup untuk menguras dan mengeruk kekayaan alam negeri ini. Dan kawasan Bantul mengandung sumber daya alam tak kalah kaya, sehingga di era persaingan bebas ini jika tidak difiltrasi, maka Bantul akan menjadi kawasan empuk bagi para pemodal asing. Dan dalam hal ini, pejabat daerah serta masyarakat harus bergandengan tangan untuk melawan arus pasar bebas yang kian menggila saja. Peran masyarakat tidak boleh dipandang sebelah mata, sebab, sejatinya merekalah yang akan menjadi korban kerakusan para pemodal asing, di mana mereka harus tersingkirkan dalam hal mencari nafkah.
Arus pasar bebas melaju begitu deras. Jika tidak waspada, maka akan merugikan kota Bantul khususnya, dan Yogyakarta umumnya sebagai kota kawasan ekonomi khusus atau KEK. Sebagaimana kita ketahui bersama di awal tahun 2009 Yogyakarta ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus karena mengandung potensi alam yang tidak kalah penting dari kota-kota lain. Dan kota Bantul adalah salah satu penyimpan asset kekayaan alam tersebut Label KEK dimaksudkan agar masyarakat Yogyakarta mampu memanfaatkan kekayaan alam sendiri demi menggapai kesejahteraan sosial yang selama ini kita cita-citakan. Lebih-lebih, Yogyakarta sudah dikenal sebagai kota budaya, kota pelajar (pendidikan) dan pariwisata. Tekanan asing di negeri kita menjelma di dalam berbagai lini kehidupan, hingga sumber daya alam menjadi target utama untuk dikeruk atau dieksploitasi kekayaan itu. Komitmen Idham Samawai dan pihaknya sebagai pejabat Bantul patut diacungi jempol dan tak berlebihan kiranya untuk dicontoh oleh kawasan lain, Yogyakarta kota, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo, agar pemberdayaan sumber daya alam di kawasan masing-masing murni untuk kepentingan serta kesejahteraan sosial masyarakat setempat. Bukankah kesejahteraan sosial adalah tujuan akhir dari perjalanan sebuah bangsa? Kita tunggu kiprah selanjutnya.