Friday, 26 October 2012

Krisis Kejujuran

Krisis Kejujuran

Ketika Anggodo, Sri Mulyani, Boediono, Jusuf Kalla, Robert Tantular hingga Susno Duaji dikatakan sebagai kunci penyelesaian beberapa persoalan yang sedang dihadapi negeri ini, maka kejujuran adalah juru kuncinya. Artinya, beberapa kasus, seperti pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, kriminalisasi KPK serta talangan dana segar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century akan terjawab tuntas jika kejujuran dijadikan panglima. Namun, faktanya kejujuran masih sangat mahal harganya.

Penulis tidak bermaksud mengatakan tokoh-tokoh di atas adalah para pembohong. Sebab, masing-masing memiliki kebenaran menurut perspektif subjektifitas sendiri dalam menilai beberapa kasus, baik sebagai tersangka maupun saksi. Satu kenyataan mesti dipandang jeli oleh mata dan pendengaran kita ialah ketika kesaksian masing-masing tentang beberapa kasus yang membutuhkan keterangan mereka justru bertolak belakang antara satu sama lain. Dalam kasus Bank Century semisal, kesaksian Sri Mulyani dan Boediono jelas-jelas berbeda dengan apa yang telah disampaikan JK di sidang pansus beberapa hari lalu.

Di samping itu, pengacara Anggodo justru bertanya balik alasan atau landasan hukum penahanan kliennya tersebut. Sedangkan KPK memegang pasal 21 tentang dugaan percobaan penyuapan serta menghalangi penyidikan perkara korupsi. Lantas Anggodo ditahan, juga karena faktor desakan publik yang kian besar ibarat gelombang air laut. Memang, para penegak hukum mesti peka terhadap aspirasi masyarakat yang tentunya tidak membawa alasan kosong melompong.

Kehadiran Susno Duaji dalam sidang Antasari Azhar pun hampir mirip. Polri geger. Susno dinilai telah melanggar kode etik Kepolisian terkait pada saat bersaksi, mantan Kabareskrim ini mengenakan seragam kepolisian, meskipun ia bersaksi atas nama pribadi, bukan institusi. Opini menyeruak tajam atas kejadian sporadis dan tiba-tiba tanpa diprediksi ini, seakan menunjukan indikasi ketidakberesan telah terjadi di tubuh institusi Polri.

Terminologi Senjata

Berkata bohong adalah upaya apologis untuk menjauhi sebuah fakta. Kebenaran sengaja ditutupi sedemikian rupa dan dengan berbagai cara walau harus mempertaruhkan reputasi serta citra baik diri pribadi. Maka tak heran, upaya-upaya pembelaan serta pembenaran diri menjadi hal yang lumrah sebagai bentuk perlawanan. Pembelaan dan pembenaran merupakan suatu kewajaran serta sah-sah saja dilakukan di depan hukum, tetapi justru menjadi masalah manakala kedua hal ini sengaja dilakukan demi sebuah kesalahan.

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling komplit dan sempurna. Setiap makhluk diciptakan dilengkapi dengan senjata untuk memproteksi diri dari bahaya ekternal yang kerap mengancam. Buaya memiliki kulit luar yang keras dan senjatanya ialah gigi yang tajam, buaya pun dikenal sebagai hewan buas. Begitu pula Cicak, meskipun kulit luar tipis dan mudah terluka, tetapi di sisi lain dia memiliki senjata ampuh berupa air liur berbisa dan mematikan. Tanpa bermaksud menyamakan, manusia juga demikian dan bahkan lebih lengkap. Kaki, tangan, gigi hingga akal adalah senjata untuk melindungi diri dari berbagai bahaya luar yang mengancam jiwa manusia. Akal merupakan senjata paling ampuh yang ada di dalam diri manusia meski tidak berbentuk secara materiil. Dengan akal manusia dapat memikirkan segala hal untuk dijadikan senjata pelindung diri. Untuk itu, dalam perspektif psikologis, kognisi, afeksi dan psikomotori pada diri manusia mutlak diintegrasikan dan disatupadukan. Dengan akal pikiran manusia bisa mengelak dari berbagai bahaya yang siap menerkam dari setiap sudut dan kapan saja. Inilah sisi kelebihan manusia yang tidak sama sekali dimiliki oleh makhluk lain.

Ada pernyataan menarik mengenai senjata. Yakni, segala sesuatu bisa menjadi senjata bagi manusia, tergantung bagaimana kemampuan manusia itu sendiri menggunakannya. Bayangkan saja, berkata dusta atau berbohong juga merupakan senjata paling ampuh dipergunakan manusia untuk menghindari diri dari bahaya-bahaya yang dianggap mengancam eksistensi diri. Orang bahkan sudah tidak canggung lagi menggunakan senjata tanpa berwujud ini untuk sekedar berdusta. Sehingga tak heran jika kemudian ada pepatah yang menyatakan bahwa lidah adalah senjata tak bertulang, tetapi sangat ampuh.

Kesaktian lidah merupakan senjata paling ampuh untuk berkilah. Kekuatan berkilah melalui lidah bukan berarti tidak bisa dilumpuhkan, tetapi kerap kali lumpuhnya kesaktian lidah harus melalui proses intimidasi dan tekanan-tekanan keras. Artinya, orang terkadang akan berkata jujur manakala sudah merasa terdesak serta terpojokkan.

Pesan moral

Berkata jujur masih terlalu mahal harganya. Sedang berbohong, berkilah serta tidak mau mengakui kesalahan sangatlah murah meski moral kemanusian diri sebenarnya menolak perbuatan ini tanpa henti. Kesimpulannya adalah moral kemanusian sudah tidak lagi dijadikan pertimbangan baik dan jahat sebuah tindakan atau pun perkataan. Tentu saja hal itu dilandaskan oleh beberapa pertimbangan eksternal yang intimidatif dan interventif.

Berbagai persoalan yang mendera bangsa ini dan tak kunjung usai disebabkan matinya pesan moral berupa kejujuran. Terutama terkait beberapa kasus superhot, yakni pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, kriminalisasi KPK, serta dana talangan kepada Bank Century. Nilai-nilai spiritual dan moralitas kemanusian seakan diperjualbelikan demi sebuah reputasi serta kemewahan materi yang tiada habisnya itu. Kenyataan paling miris, para petinggi negeri ini malah justru terlibat aktif di balik layar atau sebagai tokoh intelektualnya.

Andaikan mau jujur, sejak dulu sejarah telah memberikan pelajaran paling berharga, terutama kepada para pejabat negara. Keruntuhan, kemunduran serta kehancuran sebuah negara nyaris semua disebabkan oleh para penguasa yang tidak meletakan kepentingan rakyat di atas kepentingan individual. Begitu pula, nilai moralitas dan spiritualitas dikesampingkan untuk tidak dikatakan terkikis habis ditelan nafsu keserakahan. Namun, kita masih punya sejumput harapan di depan, karena belum adanya barometer untuk mengukur sebuah keyakinan. Harapan jika dibarengi dengan keyakinan kuat, niscaya akan menghapus ketakutan serta kekhawatiran bahwa tahun 2012 dunia berakhir. Sungguh disayangkan, sejarah kelam berabad-abad silam itu hanya tertulis dalam sebuah karya berupa buku, tetapi pelajaran penting serasa enggan ditanamkan serta dicamkan di hati dan pikiran.

Pungksanya, jika seluruh perkara yang menimpa negeri ini ingin segera dituntaskan, maka letakkanlah kejujuran dimana ia harus ditempatkan. Berkata jujur menunjukan kepribadian seseorang, dan para pemimpin negeri pasti akan dinilai rakyatnya dari sisi kejujuran untuk tidak berkata dusta. Meski pun ratusan tokoh dihadirkan di depan para penyidik, selama kebohongan masih bercokol niscaya sulit rasanya seluruh kasus dikupas tuntas. Otomatis, kasus-kasus tersebut akan membasi dan padam dengan sendirinya seriring kejenuhan karena terlampau lama proses penyelesaiannya.
Disqus Comments