PEREBUTAN Blok Ambalat
bukan pertama kali ini terjadi antara Malaysia dan Indonesia. Beberapa tahun
lalu negeri jiran itu juga pernah mencoba menyulut api kemarahan Indonesia.
Waktu itu Malaysia mengklaim bahwa Ambalat masuk dalam daerah teritorialnya dan seakan penuh ambisi Malaysia selalu saja mempermasalahkannya. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, sebab Ambalat menyimpan segudang potensi alam seperti gas, minyak bumi, emas, uranium, titanium yang terkandung di dasar laut.
Mencermati gerak-gerik Malaysia akhir-akhir ini, tampaknya ada unsur kesengajaan. Seakan mereka sedang mengajak berperang terhadap Indonesia. Sebab perilaku mereka kerap memberikan sebuah provokasi, bahkan melecehkan negeri ini. Hal ini terbukti dari berbagai kasus yang menjadikan Indonesia sebagai korban sehingga hubungan antarkedua negara bertetangga ini semakin panas.
Malaysia seakan tak menghargai hubungan diplomatik yang telah berjalan baik selama puluhan tahun. Dari beberapa kasus yang pernah mencuat, selalu saja Indonesia yang menjadi pihak yang dirugikan. Kita dapat ambil beberapa contoh kasus tersebut: penyiksaan terhadap TKI yang kian kejam, kasus Manohara, pengakuan atas berbagai produk budaya bangsa, dan dari tahun ke tahun perilaku itu kian kentara.
Bahkan belum lama ini ada isu warga Indonesia dilatih secara militer untuk dijadikan tentara cadangan Malaysia dalam Askar Wataniah. Lalu baru-baru ini muncul masalah yang berkaitan dengan Blok Ambalat yang diklaim sebagai milik mereka. Begitu pun pada era Orde Lama di mana Presiden Soekarno sampai mengeluarkan pernyataan "ganyang Malaysia".
Ini semua tak lepas dari ulah mereka juga yang seakan tak mau bersahabat. Dari beberapa contoh kasus di atas, patut disimpulkan bahwa negeri jiran itu sudah tak lagi menghargai persahabatan dengan Indonesia. Mereka telah menyulut api peperangan dan ingin menjajah negeri ini. Sebab, mereka menyadari akan kelemahan dan kekurangan pada kita, terutama dalam hal pertahanan dan kekuatan militer.
Dengan kelebihan yang mereka miliki, mereka mencoba menantang Indonesia untuk beradu secara fisik serta berkonfrontasi. Sejatinya, sikap Malaysia terhadap Indonesia sudah tak bisa ditoleransi mengingat negeri pertiwi telah diremehkan serta dilecehkan sedemikian rupa.
Bahkan sudah mencapai titik nadir yang tidak bisa lagi dimaafkan. Sebab, tindakan mereka begitu provokatif dan sama saja telah menghina harkat serta martabat bangsa ini. Lalu apakah kita akan terus diam dan bersabar hati? Jawabannya barangkali tidak! Karena hal tersebut telah melewati rasa kesabaran.
Namun, apakah kita harus berperang untuk itu? Untunglah semua hal masih bisa diselesaikan secara diplomatik. Karena perang pun bukanlah sebuah solusi. Perang hanya akan melahirkan penderitaan dan kesengsaraan dan itu mutlak dihindari agar jangan sampai meletus.
Namun, bukan berarti tidak mungkin. Jika mereka tetap saja melakukan upaya provokasi dengan lebih dahulu membuka front, ketegasan mutlak ditegakkan. Atas dasar pembelaan terhadap negara, perang menjadi wajib hukumnya. Karena sejengkal saja tanah direbut, kita wajib membelanya.
Dengan catatan, jika semua masalah sengketa ini masih bisa diselesaikan dengan cara perundingan dan musyawarah, hal itu patut dikedepankan. Perdamaian adalah cita-cita mulia yang harus ditegakkan di muka bumi ini yang bahkan ditegaskan dalam preambul UUD 1945.
Pada titik inilah selayaknya pemerintah mesti berperang aktif. Di mana ketegasan itu harus ditegakkan, maka tegakkanlah. Karena kedaulatan bangsa merupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar.
Waktu itu Malaysia mengklaim bahwa Ambalat masuk dalam daerah teritorialnya dan seakan penuh ambisi Malaysia selalu saja mempermasalahkannya. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, sebab Ambalat menyimpan segudang potensi alam seperti gas, minyak bumi, emas, uranium, titanium yang terkandung di dasar laut.
Mencermati gerak-gerik Malaysia akhir-akhir ini, tampaknya ada unsur kesengajaan. Seakan mereka sedang mengajak berperang terhadap Indonesia. Sebab perilaku mereka kerap memberikan sebuah provokasi, bahkan melecehkan negeri ini. Hal ini terbukti dari berbagai kasus yang menjadikan Indonesia sebagai korban sehingga hubungan antarkedua negara bertetangga ini semakin panas.
Malaysia seakan tak menghargai hubungan diplomatik yang telah berjalan baik selama puluhan tahun. Dari beberapa kasus yang pernah mencuat, selalu saja Indonesia yang menjadi pihak yang dirugikan. Kita dapat ambil beberapa contoh kasus tersebut: penyiksaan terhadap TKI yang kian kejam, kasus Manohara, pengakuan atas berbagai produk budaya bangsa, dan dari tahun ke tahun perilaku itu kian kentara.
Bahkan belum lama ini ada isu warga Indonesia dilatih secara militer untuk dijadikan tentara cadangan Malaysia dalam Askar Wataniah. Lalu baru-baru ini muncul masalah yang berkaitan dengan Blok Ambalat yang diklaim sebagai milik mereka. Begitu pun pada era Orde Lama di mana Presiden Soekarno sampai mengeluarkan pernyataan "ganyang Malaysia".
Ini semua tak lepas dari ulah mereka juga yang seakan tak mau bersahabat. Dari beberapa contoh kasus di atas, patut disimpulkan bahwa negeri jiran itu sudah tak lagi menghargai persahabatan dengan Indonesia. Mereka telah menyulut api peperangan dan ingin menjajah negeri ini. Sebab, mereka menyadari akan kelemahan dan kekurangan pada kita, terutama dalam hal pertahanan dan kekuatan militer.
Dengan kelebihan yang mereka miliki, mereka mencoba menantang Indonesia untuk beradu secara fisik serta berkonfrontasi. Sejatinya, sikap Malaysia terhadap Indonesia sudah tak bisa ditoleransi mengingat negeri pertiwi telah diremehkan serta dilecehkan sedemikian rupa.
Bahkan sudah mencapai titik nadir yang tidak bisa lagi dimaafkan. Sebab, tindakan mereka begitu provokatif dan sama saja telah menghina harkat serta martabat bangsa ini. Lalu apakah kita akan terus diam dan bersabar hati? Jawabannya barangkali tidak! Karena hal tersebut telah melewati rasa kesabaran.
Namun, apakah kita harus berperang untuk itu? Untunglah semua hal masih bisa diselesaikan secara diplomatik. Karena perang pun bukanlah sebuah solusi. Perang hanya akan melahirkan penderitaan dan kesengsaraan dan itu mutlak dihindari agar jangan sampai meletus.
Namun, bukan berarti tidak mungkin. Jika mereka tetap saja melakukan upaya provokasi dengan lebih dahulu membuka front, ketegasan mutlak ditegakkan. Atas dasar pembelaan terhadap negara, perang menjadi wajib hukumnya. Karena sejengkal saja tanah direbut, kita wajib membelanya.
Dengan catatan, jika semua masalah sengketa ini masih bisa diselesaikan dengan cara perundingan dan musyawarah, hal itu patut dikedepankan. Perdamaian adalah cita-cita mulia yang harus ditegakkan di muka bumi ini yang bahkan ditegaskan dalam preambul UUD 1945.
Pada titik inilah selayaknya pemerintah mesti berperang aktif. Di mana ketegasan itu harus ditegakkan, maka tegakkanlah. Karena kedaulatan bangsa merupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar.