Membangun pemerintahan yang kuat. Itulah salah satu jargon kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang cukup populer pada saat menjelang pemilihan presiden (pilpres) Juli lalu. Tak banyak kalangan yang mencoba menafsirkan makna di balik jargon tersebut karena lebih memperhatikan jargon yang satunya, "lanjutkan". Padahal, jargon di atas bergema hampir tiap waktu di belantara baik media massa maupun elektronik negeri ini kala itu.
Penulis baru sedikit menyadari maksud jargon tersebut ketika munculnya kebijakan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN). Kebijakan ini, disadari atau tidak, serentak membuat kita terhenyak seketika. Sebab, kebijakan tersebut secara implisit berkeinginan untuk mengembalikan sistem kepemerintahan yang otoritatif dengan memperkuat basis SBY yang didukung partai koalisi.
Sepuluh tahun sudah reformasi berjalan. Namun, tuntutan yang terkandung di dalam reformasi tak sepenuhnya terealisasikan. Justru dalam kondisi demikian, RUU RN malah hadir di hadapan kita yang seakan ingin melawan reformasi tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, reformasi merupakan simbol keluarnya negara dari hegemoni rezim Orde Baru.
Munculnya kebijakan RUU RN merupakan pukulan telak terhadap reformasi. Meski belum disahkan, namun keberadaan RUU RN ini agak sedikit merisaukan beberapa kalangan. Indikasinya jelas bahwa pemerintahan SBY mendatang tampaknya akan berlaku otoriter. Terlebih, setelah pasangan SBY-Boediono keluar sebagai pemenang pilpres dengan telak, setelah sebelumnya juga didahului kemenangan Partai Demokrat dalam pemilihan anggota legislatif (pileg).
Secara kuantitaif, kekuatan SBY berlipat ganda dan jargon di atas tampaknya sungguh akan terbukti. Terlebih, SBY didukung oleh koalisi PKS, PAN, PKB, dan PPP yang notabene adalah partai papan atas (top ten).
Belum lagi adanya indikasi akan bergabungnya dua partai besar lainnya dalam pemerintahan SBY nanti, Golkar dan PDIP. Otomatis, komposisi kepemerintahan akan semakin perkasa jika benar ditopang oleh parpol yang menduduki peringkat sepuluh besar tersebut. Tak lagi ada partai penyeimbang atau oposisi, karena partai-partai kecil tak mungkin kuat menjadi penyeimbang kekuatan yang terlalu besar. Padahal, oposisi menjadi penting untuk mengimbangi sekaligus kontrol terhadap kinerja atau kekuatan pemerintah. Dan, ini hanya bisa dilakoni oleh partai besar dengan pendukung besar pula. Kondisi ini menjadi dilematis jika tak dikatakan berbahaya.
Secara spesifik, RUU RN meliputi tiga hal: informasi, benda, dan aktivitas. Kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan ketiga hal itu tak boleh diketahui oleh publik karena dikhawatirkan mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga kepemerintahan.
Menurut hemat penulis, munculnya RUU RN diakibatkan kepercayaan masyarakat terlalu tinggi terhadap pemerintah. Hal ini pun sebenarnya tak lepas dari minusnya kontrol terhadap kinerja pemerintah sebelumnya. PDIP yang saat sebelumnya jelas sebagai partai oposisi tampaknya telah gagal menjalankan tugasnya. Selain itu juga karena keinginan SBY menerapkan sistem presidensial dalam pemerintahan yang jelas tak menginginkan adanya kubu oposisi.
Minimnya kontrol terhadap kinerja pemerintah justru mengakibatkan dua hal. Pertama, pemerintah akan lebih leluasa menjalankan agenda kepemerintahannya. Kedua, legitimasi tersebut justru akan dipakai pemerintah untuk meredam kritik publik. Jika kritik telah berhasil diredam, otomatis pemerintah dikhawatirkan malah semena-mena menggunakan kursi kekuasaan untuk berlaku otoriter. Berbahaya!
Oleh karena itu, keberadaan RUU RN makin mempertegas opini publik bahwa pemerintahan SBY mendatang akan otoritatif. Untuk itu, perlu kiranya pemerintah meredefinisi makna serta maksud RUU RN agar tidak menjadi kekhawatiran yang berlebihan dari masyarakat, bahkan tak tertutup kemungkinan menimbulkan gejolak layaknya peristiwa reformasi sepuluh tahun silam.
Sebab, sebenarnya, definisi, pembuat, serta pengelola RN belumlah menemukan titik kejelasan. Lihatlah pasal satu ayat satu (1) bahwa RN adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan oleh presiden dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui standar dan prosedur pengelolaan yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan RI dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan, sumber daya nasional, ketertiban umum dan/atau mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga pemerintahan.