Beberapa dekade belakangan, isu pemberedelan buku kembali mencuat ke permukaan. Aksi represif secamacm ini pernah terjadi dalam perjalanan pemerintahan Orde Baru, di mana buku-buku, media massa, tulisan, artikel dan lain-lain berisi tentang kritik terhadap pemerintah yang sedang berkuasa diberangus habis. Salah satu contoh korban ialah buku-buku karangan atau karya Pramoedya Ananta Toer yang sebagian besar diberangus puluhan tahun silam hanya karena sindiran serta intrikan terhadap pemerintah yang dipolesi beliau dengan sebuah cerita atau novel.
Buku adalah alat atau media alternatif masyarakat untuk mengontrol sepak terjang penguasa serta kritik sosial. Sebab, menuangkan serta menyampaikan gagasan dan kritik melalui catatan dalam sebuah buku memiliki kekuatan tersendiri, dan publik lebih bebas dalam memaparkan aspirasi. Namun, suara rakyat dibiarkan terbang bersama deru angin, serta hilang ditelan alam seakan tanpa makna di mata kaum elit nun jauh di atas simbol institusi tertinggi sebuah negara. Aspirasi rakyat bahkan nyaris tak didengarkan, alih-alih dihargai. Mungkinkah mereka lupa, bahwa rakyat adalah bagian super penting dalam sebuah negara merdeka, seperti negara tercinta kita ini?
Nada ini kontras ketika saat menjelang pemilihan legislatif serta presiden. Rakyat bahkan nyaris disembah-sembah demi satu kepentingan utama, yakni suara kaum jelata untuk menorehkan cairan tinta di atas gambar mulusnya dengan hati-hati agar tidak rusak, robek, lusuh, luntur dan sebagainya. Namun, apa jadinya setelah dirinya ternyata terpilih? Ketika suara rakyat bergemuruh memperingatkan bahwa perilakunya melenceng, justru dianggap itu adalah permainan politik yang digawangi figur-figur tertentu di balik layar, sedang permukaannya adalah lautan manusia dibarengi “omelan-omelan” nan pedas.
Tak berhenti sampai di situ. “Omelan-omelan” tersebut dimanifestasikan dalam sebuah bentuk tulisan yang disampul serta dijilid hingga menjadi ratusan halaman : kumpulan analisis dari sebuah peristiwa. Penguasa risau dan tersinggung. Ketersinggungan ini mengindikasikan dua hal mendasar. Pertama, karena berita tulisan tersebut berbau dan bernada fitnah serta muatan kebohongan lebih dominan. Kedua, bisa jadi kerisauan tersebut karena perilaku yang dikritik mampu dibongkar orang, yang berarti, benar figur tersebut telah melakukan sebuah kesalahan besar, persis menurut prediksi sang penulis buku.
Di akhir tahun 2009, penguasa Indonesia geger. Buku karangan George Junus Aditjandro mampu mengusik serta membuat tersinggun para oenguasa saat ini di kursi pemerintahan negara. Sikap tidak bijaksana pun bermunculan dari berbagai sosok yang notabene adalah figur negeri pertiwi. Ketidak-bijaksanaan tersebut tampak jelas dari berbagai ucapan bernada emosional ; marah, meradang, mengamuk, mengucilkan, melecehkan, merendahkan, bahkan sampai menghina bahwa buku terbitanpenerbit Galang Pres itu adalah sampah, merusak demokrasi, dan memfitnah serta berbagai kata-kata kotor lainnya.
Di tahun 2009 juga, kejagung tercatat telah membredel sebanyak lima buah buku. Pertama, bukuDalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto kararangan atau karya John Rosa. Kedua, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Ketiga, Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocratez Sofyan Yoman. Keempat, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Kelima, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan.
Atas nama melanggar UUD 1945 dan Pancasila, buku-buku bermuatan aspiratif serta harapan rakyat tersebut dilarang peredarannya. Perilaku ini jelas merugikan berbagai pihak, penulis, penerbit, editor, bahkan rakyat sekalipun yang membubuhkan asa besar muatan pesan-pesan di dalam karya berupa buku itu. Atau jangan-jangan, para penguasa sudah tidak betah membaca sebuah buku, karena menganggap diri paling cerdas, pintar dan mengetahui. Maka, pertanyannya, akankah buku Membongkar Gurita Cikeas yang fenomenal tersebut mengalami hal serupa? Andaikan benar, sungguh itu tindakan refresif, dzolim nan lalim.
Aksi semacam ini pernah menghiasi perjalanan pemerintahan Orde Baru. Tak hanya karya berbentuk buku, media massa maupun elektronik yang bermuatan otokritik terhadap pemerintah pun tak luput dari tindakan pemberangusan. Jelas, perilaku seperti ini melanggar hak asasi manusia dalam hal berkarya untuk menyampaikan suatu aspirasi yang jelas dilindungi oleh Undang-undang, “kitab suci” negeri merdeka ini. Kitab landasan berbangsa dan bernegara (UUD) ditopang oleh Pancasila mestinya diposisikan sebagaimana fungsinya, tidak saja hanya menjadi lembaran-lembaran kusam berdebu di balik lemari besi, dan andaipun ia dibunyikan tidak lantas menjadi pemicu debat-debat yang menghantarkan anak bangsa kepada berbagai dinamika konflik kepentingan, sebab akan berbuntut kepada disintegrasi bangsa.
Buku adalah jendela dunia. Gudang pengetahuan. Kita tak bisa membayangkan jika seandainya negeri ini menjadi sebuah negara yang anti terhadap keberadaan buku. Buku telah berhasil mendokumentasikan berbagai sejarah di sekitar kita, terlepas apapun motiv di balik keberadaan buku tersebut, sepantasnya disikapi dengan arif, objektif, akomodatif, dan bijaksana. Selain sejarah, buku telah mampu menganalisis, menuangkan fakta, serta menjawab problematika sosial-kebangsaan, karena setiap peristiwa yang condong mendorong kepada disintegrasi bangsa, mestilah didialogkan. Tapi, hingga saat ini, akses untuk menggapai penguasa bukan perkara gampang, dan sulitnya bukan main. Aspirasi yang berkecamuk di dalam otak dan benak setiap individu akhirnya tak tersalurkan. Maka, dengan menuliskan asprasi di dalam sebuah buku, justru menjadi efektif serta kontributif dengan harapan penguasa berkenan hati untuk membaca, memahami, menyimak, menganalisis, mengidentifikasi pesan di dalam sebuah buku, dan mengklarifikasi dengan bijak jika ternyata isinya bertolak-belakang dengan fakta sesungguhnya, bukan dengan aksi bredel atau berangus.
Atas pemaparan singkat di atas, patut sekiranya kita renungkan kembali bahwa keberadaan buku amat sangat penting di dalam lingkungan sebuah negara merdeka yang menganut sistem demokrasi. Harapannya agar jangan sampai buku malah justru dijadikan sebagai musuh dalam kehidupan kita, tapi jadikan ia sebagai penyemat sejarah hidup. Artikel ini sengaja ditulis dalam rangka memperingati hari buku yang diperingati tiap tanggal 17 Mei. Begitulah..