Dilema Pemerintah Soal TKI
Pemerintah dipastikan akan tetap mempertahankan kebijakan pengiriman TKI/TKW ke luar negeri. Asumsi ini berangkat dari kenyataan pemerintah telah terlanjur memanfaatkan TKI sebagai salah satu asset pemasukan bagi negara, bahkan mereka disanjung dengan sebuah gelar pahlawan devisa. Sebutan pahlawan devisa yang dialamatkan kepada para TKI sudah umum di telinga kita, apalagi mereka ternyata memberikan pemasukan yang besar kepada negara. Kini, ibarat kata pepatah, kacang lupa kulitnya, nasib TKI benar-benar berada di ujung tanduk karena pemerintah terkesan tidak memberikan perlindungan hukum terhadap mereka. Hal ini terbukti dari beberapa kasus belakangan yang menyorotkan penderitaan TKI nun di luar negeri.
Sebagian lain melemparkan wacana bertolak-belakang dengan keinginan pemerintah. Mereka mewacanakan, mengusulkan, bahkan mendesak pemerintah agar berhenti mengirimkan TKI ke luar negeri karena sikap traumatis dengan kasus yang baru-baru ini terjadi. Sikap ini jelas memberikan kesan bahwa mereka tidak percaya lagi apakah pemerintah mampu memberikan perlindungan hukum serta keamanan bagi para TKI yang bekerja di luar negeri. Terlebih setelah vonis hukuman pancung kepada TKW di Arab Saudi beberapa hari yang lalu. Suatu hukuman yang membayangkannya pun tidak akan pernah mau, apalagi melihat serta mengalaminya.
Selain itu, alasan lain pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan pengiriman TKI ke luar negeri ialah soal kekhawatiran akan semakin tumbuh suburnya pengangguran di negeri ini. Maklum saja, pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja untuk rakyat Indonesia dan mereka, para pejabat, sangat gemar merampas uang negara. Kekhawatiran pemerintah dapat dikatakan berlebihan, karena jika dipikir-pikir justru hal itu mestinya dijadikan sebagai bahan wacana untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat negeri ini, serta tidak melulu mencari jalan pintas ketika dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit fakta kemiskinan di tengah-tengah kehidupan kita. Maraknya pengiriman TKI ke luar negeri adalah wajah frustasi pemerintah dalam menyikapi kemiskinan, sehingga jalan pintas ini dijadikan sebagai solusi utama. Sementara, di sisi lain, perlindungan serta jaminan keamanan para TKI di luar negeri justru terbengkalai. Penyiksaan, pelecehan, hingga pembunuhan adalah deretan kasus yang mengancam kenyamanan kerja para pahlawan devisa itu di luar negeri.
Selanjutnya, wacana sebagian kalangan yang mengusulkan pengiriman TKI hanya dari kalangan laki-laki saja perlu untuk diperhatikan. Bukan persoalan wacana ini bias gender, tapi ini lebih pada soal keselamatan para pahlawan devisa yang bekerja di luar neger itui, sebab, fakta di lapangan menunjukkan perempuan kerap kali mendapatkan perlakuan yang kurang baik, seperti pelecehan, penghinaan, penyiksaan hingga pembunuhan. Perempuan memang jadi pihak yang sensitif dari perilaku pelecehan, baik fisik maupun non-fisik. Hal ini mengindikasikan bahwa UU perlindungan terhadap para TKI, terutama TKW di luar negeri pun belum tentu jadi jaminan. Terlebih lagi, kadang kala, para TKI kerap tidak terbuka jika mendapatkan perilaku kekerasan dan pelecehan, terkecuali perilaku yang mereka dapatkan sudah berlebihan. Padahal, UU perlindungan TKI tidak menentukan apakah kekerasan terhadap mereka sudah berlebihan atau tidak. Karena alasan inilah wacana pengiriman TKI hanya laki-laki saja perlu digaris-bawahi jika memang pemerintah tidak punya solusi lain dalam menghadapi kemiskinan di negeri ini.
Jika kita flashback, tahun lalu, pemerintah gencar melakukan pembahasan mengenai UU Nomor 34 Tahun 2004. Namun sungguh disayangkan, UU ini justru dijadikan pemerintah sebagai alat untuk menafsirkan apakah PRT sebuah profesi atau bukan. Padahal, UU ini merupakan payung hukum bagi para TKI yang bekerja di luar negeri. Dari sini, tampak sekali keamanan serta keselamatan TKI di luar negeri, terutama tahun lalu, tidak dijadikan prioritas perhatian pemerintah, baru setelah beberapa kasus menimpa TKI perhatian itu seakan tiada hentinya.
Terlepas dari itu, keberadaan TKI/TKW, terutama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) sangat dibutuhkan di kota-kota (negara) besar. Keberadaan mereka telah meningkatkan produktifitas, bahkan terhitung sebagai pendapatan dunia yang produktif. Artinya, peran mereka cukup besar untuk pemasukan negara sehingga jika keselamatan mereka justru terabaikan di luar negeri, itu merupakan suatu kelalaian yang disengajakan.
Persoalan TKI/TKW yang memilih bekerja di luar negeri semestinya memang sejak awal harus memperoleh porsi perhatian yang serius, sebab, mereka berada di negeri orang yang notabene memiliki aturan hukum berbeda dengan Indonesia. UU perlindungan atau payung hukum terhadap mereka mesti dibahas secara serius, teliti dan cermat agar keselamatan serta keamanan para TKI/TKW terjamin, terlebih pemerintah yang tetap bersikeras mengirimkan TKI ke luar negeri.