Thursday, 25 October 2012

Dua Kesulitan Masuk Perguruan Tinggi

Dua Kesulitan Masuk Perguruan Tinggi

Mulai hari ini adalah musim penerimaan mahasiswa baru. Seiring hasil Ujian Nasional (UN) yang telah diumumkan pada akhir april lalu. Orang tua kini mesti harus bersiap-siap merogoh kocek dalam-dalam, dan para calon mahasiswa baru harus kebingungan memilih perguruan tinggi yang bertebaran di mana-mana. Terlebih, tawaran konsentrasi di setiap peguruan tinggi relatif sama, dan tak jauh berbeda. Akhirnya, pertimbangan logis orang tua dan calon mahasiswa ialah perguruan tinggi yang memihak pada kemampuan ekonomi mereka. Itu adalah fakta riil. Wajar saja, mahalnya ongkos kuliah di perguruan tinggi selama ini telah menjadi perbincangan semua pihak, dan masyarakat tak bisa berbuat lebih, terkecuali keluhan-keluhan karena pembiayaan tak peduli terhadap kondisi ekonomi menengah ke bawah. Standar yang digunakan para steak holders ialah orang yang berlatar-belakang ekonomi menengah ke atas. Padahal, meng-kuliah-kan anak-anaknya merupakan cita-cita besar sebagain masyarakat negeri ini, karena mereka ingin anaknya kelak memiliki masa depan cerah melalui pendidikan di perguruan tinggi. Mungkinkah hal itu terwujud?


Perguruan Tinggi  mahal, bukan rahasia

Perguruan tinggi bertebaran di mana-mana malah dirasakan jauh oleh masyarakat. Awalnya, perguruan tinggi yang membanjir mampu mewujudkan cita-cita mereka memasukan anaknya ke bangku kuliah. Sebab, perguruan tinggi besar nan elit tentu tak mampu digapai dengan kondisi perekonomian yang kurang memadai. Klaim kampus rakyat, kampus murah pada perguruan tinggi ternama tak lebih hanyalah bahasa iklan atau promosi belaka. Maklumlah, persaingan antar perguruan tinggi untuk mendapatkan jumlah mahasiswa kian terbuka ibarat produk bisnis yang bersaing menciptakan pasar sendiri. Lihat saja, saat ini, perguruan tinggilah yang lebih agresif mencari murid, bukan murid yang mencari tempat belajar. Istilah sederhananya, sekolah mencari yang mencari murid.

Pemandangan ini bertolakbelakang dengan kondisi atau budaya zaman dulu. Di mana murid begitu agresif mencari para guru yang merupakan lumbung ilmu, bahkan, para murid relah menempuh perjalanan jauh demi menamui seorang guru. Kondisi kini tentu lebih kontras. Sebab, para guru bertebaran di segala penjuru, tapi terasa jauh dan cenderung sulit diakses ilmunya, harus melalui lembaga formal. Dan lembaga formal pun tak mudah diakses karena dibenturkan sistem yang mengharuskan pembiayaan mahal.

Ambil contoh misalnya, beban mahasiswa baru untuk masuk perguruan tinggi mengalami beberapa kesulitan sistemik terkait administrasi serta mekanisme yang berbelit. Terutama dalam hal pendanaan, di mana calon mahasiswa harus mengeluarkan dana tak sedikit untuk membeli formulir pendaftaran yang berkisar Rp 175.0000 hingga Rp 800.000. Itu baru pada tahap pendaftaran. Belum lagi mekanisme jalur masuk ke perguruan tinggi beragam yang tak terlepas dari berbagai kesulitan administratif. Seleksi penerimaan mahasiswa baru (dulu, sinpenmaru, kini UMPTN), penelusuran minat dan kemampuan (PMDK), SNPMPTN, Ujian Tulis (UTUL), Penelusuran Bibit Unggul, dan berbagai jalur seleksi lainnnya. Padahal, jalur seleksi tersebut merupakan jalan alternatif bagi calon mahasiswa untuk memasuki dunia perguruan tinggi.

Ini merupakan potret nyata bahwa masuk ke peguruan tinggi tak semudah membalikkan telapak tangan. Ruang serta kesempatan calon mahasiswa baru memasuki perguruan tinggi seakan sengaja dipersempit oleh berbagai macam mekanisme yang berbelit atas nama penyeleksian. Mengapa mesti diseleksi?


Dua alasan seleksi

Pertanyaan filosofis ini setidaknya menjadi semacam bentuk evaluasi dalam proses penerimaan mahasiswa baru. Kita, setidaknya penulis, justru bertanya-tanya mengapa perguruan tinggi mesti membentuk sebuah badan seleksi dengan penamaannya, tiap kali musim penerimaan mahasiswa baru. Padahal, bukankah proses seleksi tersebut telah didahului oleh proses pendaftaran dan pengisian formulir dengan sekian biaya untuk proses itu? Dan setelah prose situ, baru kemudian tahap selanjutnya diseleksi. Tentu, ada keuntungan finansial yang diperoleh perguruan tinggi dalam tahap pendaftaran dan pengisian formulir calon mahasiswa, sebab, kuota pendaftaran jelas tak dibatasi, meski proses seleksi bertujuan untuk membatasi jumlah mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi tersebut.

Di sini, maka alasan lain dari prengadaan seleksi masuk ke perguruan tinggi ialah untuk membatasi jumlah calon mahasiswa yang akan dinyatakan diterima. Setiap perguruan tinggi tentu memiliki kapasitas yang terbatas. Dalam bahasa lain, perguruan tinggi membatasi penerimaan mahasiswa baru. Ambil contoh UGM semisal, perguruan tinggi ternama di Yogyakarta ini pada tahun 2010 akan menerima sekitar 7.145 mahasiswa baru.

Seandainya calon mahasiswa yang mendaftar dan mengisi formulir di suatu perguruan tinggi sebanyak 10.000 orang. Sedangkan, kampus hanya menyediakan 5.000 kursi mahasiswa baru yang akan diterima, berarti 5.000 calon mahasiswa lainnya tidak diterima di kampus tersebut. Tentu saja, 5.000 calon mahasiswa yang tidak diterima akan mendaftar serta membeli formulir ke kampus lain untuk kemudian diseleksi kembali. Dan belum tentu diterima karena tak ada jaminan.

Dari sini, kita, setidaknya penulis, menyaksikan betapa masuk ke perguruan tinggi amat sangat sulit. Seleksi itu perlu, tetapi bukan berarti malah digunakan sebagai suatu pendapatan bagi perguruan tinggi jika ternyata tak menjamin kelulusan calon mahasiswa dalam proses seleksi. Karena, secara tidak langsung, proses seleksi masuk ke perguruan tinggi telah membebani orang tua dan calon mahasiswa dari faktor ekonomi.
Disqus Comments