Menjadi Manusia Pandai Bersyukur
Apabila seseorang tak pernah terbesit hatinya untuk bersyukur terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya selama hidup di dunia, maka ia akan merasakan dunia ini sempit. Oleh karenanya, bersyukur merupakan suatu perkara yang urgen di dalam mengharungi kehidupan di dunia yang sementara ini. Sebab, kehidupan di dunia tidak abadi serta kekal, namun hanya sementara, dan seorang muslim khususnya, memaknai kehidupan ini sebagai sebuah ujian keimanan semata.
Ada kehidupan lain setelah di dunia. Yakni alam akhirat yang telah dipastikan kekal abadi, dan tak ada lagi kehidupan setelah itu. Demikianlah ketentuan Allah SWT yang telah digariskan di dalam lembaran kodrat dan takdir kehidupan manusia di bumi. Sungguh Maha Penyayang Allah SWT terhadap makhluk ciptaanNya terutama manusia dengan memberikan sebuah pegangan hidup berupa Kitab Suci Al-Qur’an agar tidak celaka oleh rayuan Iblis nan murka, bahkan dipertegas oleh Nabi Muhammad SAW melalui Sunnahnya.
Kasus korupsi Gayus Tambunan serta beberapa pejabat negara lainnya adalah potret dari krisisnya keinginan mensyukuri nikmat yang telah direngkuh. Sebab, korupsi sama artinya dengan pencurian, perampokan serta kecurangan. Dan adapun hasil dari perilaku syaitaniah itu sama saja dengan menabung dosa, karena predikatnya jelas diharamkan di dalam kitab suci dan sunnah nabi. Dalam Al-qur’an Allah SWT bersabda “Bahwa seorang pencuri, baik laki-laki maupun perempuan diganjar dengan hukuman potong tangan”. Ayat ini kita maknai bukan secara tekstual, tapi pemaknaan lebih lanjut bahwa kerasnya hukuman yang ditetapkan Allah SWT tersebut mengindikasikan betapa perilaku mencuri bukanlah persoalan sepele, tapi persoalan serius yang dimurkai Tuhan.
Korupsi terjadi bukan saja karena persoalan sistem. Tetapi juga berkaitan dengan moralitas serta mental individu. Sering melakukan suatu perkara buruk (korupsi), maka akan menjadi kebiasaan atau membudaya. Dan ini berbahaya. Kebiasaan mencuri seperti korupsi secara psikologis akan membentuk mental korup sertaa kepribadian yang menyimpang. Padahal, semua orang mengerti bahwa korupsi adalah suatu perilaku yang menyimpang atau berdosa. Tapi pertanyaanya, mengapa hal itu masih terjadi, bahkan marak dilakukan?
Manusia adalah makhluk paling rakus di muka bumi dibandingkan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Padahal,manusia adalah makluk ciptaan Tuhan paling sempurna, seperti yang termaktub di dalam Qur’an Surat At-tin ayat 4 “sesungguhnya manusia itu telah diciptakan sebaik-baiknya ciptaan”. Tetapi, sempurnanya ciptaan manusia itu justru membuatnya semakin mengingkari Tuhannya dan menjauh. Hal ini tak terlepas dari hilangnya moralitas serta spirtualitas dalam diri individu karena terlena dengan gemerlap kehidupan dunia. Nafsu birahi diikuti tanpa mampu dikontrol dengan baik, ketiga aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik tak sejalan. Qalbu, akal, jiwa, ruh, nafsu yang ada di dalam diri individu tak saling menyokong, malah justru dimenangkan nafsunya. Sementara nafsu jelas lebih condong mendorong seseorang melakukan keburukan.
Menjadi manusia yang selalu bersyukur ternyata tak mudah. Pantaslah, sebab, manusia adalah makhluk yang paling gemar berkeluh kesah. Ibarat kata pepatah, berkeluh kesah adalah ungkapan rasa tak rela terhadap kehendak Tuhan. Dalam keadaan susah berkeluh, keadaan miskin pun demikian, dan sebaliknya, meskipun tidak dalam keadaan susah, berarti gembira, pun berkeluh, juga dalam kondisi ekonomi mencukupi alias kaya raya, pun masih mengeluh. Hal itu tak lain, disebabkan tidak mensyukuri nikmat yang diperoleh, maka akan selalu bahkan terus merasa kekurangan melulu. Allah SWT dengan tegas menjanjikan di dalam surat Ibrahim ayat 7, “barangsiapa yang mensyukuri nikmat-Ku, maka akan Aku tambahkan nikmat tersebut, tapi sebaliknya, barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangatlah pedih”.
Akibat tidak pernah bersyukur ini, maka berdampak sistemik di dalam kehidupan sehari-hari manusia di dunia. Selalu merasa kekurangan meskipun kebutuhan primer dan sekunder telah terpenuhi, tak pernah kekurangan. Tapi, celakanya hal itu justru melahirkan sikap yang tak pernah merasa puas, menumpuk kekayaan meski harus menerabas hukum positif, hukum agama, dan moralitas digadaikan bagai sampah tak berharga. Parahnya lagi, perilaku itu terjadi pada diri para pemimpin sebuah negeri, dan bila tak segera berhenti, maka kita sama saja sedang menunggu detik-detik kehancuran serta keruntuhan.
.jpg)