Ibnu Arabi dan Perempuan
Beberapa dekade terakhir, gerakan pengarusutamaan gender begitu massif digalakkan. Fenomena ini tentu akibat semakin terbukanya kran demokratisasi serta ada keinginan kuat kaum Hawa untuk disamakan status sosialnya dengan laki-laki. Sebab, selama ini muncul kesan sebuah kesan negatif yang diskriminatif, di mana kaum Adam kerap lebih diutamakan ketimbang perempuan dengan berbagai alasan mendasar, bahkan di segala bidang kehidupan.
Perempuan kerap kali diposisikan suubordinatif hanya karena asumsi sepihak bahwa kaum Hawa ini tak memiliki kekuatan sekuat fisik laki-laki. Sehingga, stigma perempuan lemah terus dipahami sebagai sebuah kelumrahan dan harga mati atau paten. Asumsi ini tentu saja dampak dari rekaysa sosial yang secara sengaja ditujukan untuk menyudutkan kaum perempuan di pojok ketertindasan. Dalam lingkupan rumah tangga semisal, perempuan kerap menerima kekerasan (violence) atau invasi (assault) baik secara fisik maupun integritas mental psikologis yang kerap dilakukan suami. Sekedar mengingatkan kembali (flash back), di tahun 2007 silam, tercatat 77,46 persen Kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) dominan dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Catatan atau data valid semacam ini tentu saja membuat para aktivis perempuan (feminis) meradang, maka gerakan-gerakan massif kaum Hawa melalui sebuah organisasi gender atau feminis kian merebak dan semarak.
Pengarusutamaan gender menjelma menjadi sebuah keniscayaan. Karena berbagai stereotipe negatif terus dialamatkan kepada kaum perempuan menyebabkan ketidakadilan di segala sisi atau bidang kehidupan. Ketertindasan kaum perempuan tampaknya sudah sampai pada titik nadir, sehingga, tak heran kemudian muncul gerakan-gerakan feminis radikal.
Perempuan Menurut Sufi
Ibnu ‘Arabi mengajarkan kepada kita bagaimana memposisikan perempuan. Sufi asal Andalusia ini menyatakan bahwa Tuhan tak pernah terlihat dalam keadaan tak berwujud, dan melihat-Nya dalam diri seorang perempuan adalah yang paling sempurna dari segalanya. Kalimat ini jika dipahami secara tergesa-tergesa tentu akan menyulut kontroversi, bahkan, mungkin kecaman super dahsayat. ‘Arabi merupakan seorang ulama Islam terkemuka pada masanya, dan dalam Islam Wujud Tuhan (Allah) adalah tidak boleh dimatrealkan dengan makhluk apapun, karena tidak ada yang serupa.
Ungkapan Ibnu ‘Arabi ini tentu saja bukan karena kegilaannya kepada perempuan. Tetapi, pandangan tersebut jelas terilhami oleh sebuah pengalaman pribadinya pada saat berguru kepada sejumlah perempuan. Adalah Fatimah binti Ibnu Al-Mutsanna, perempuan berasal dari Sevilla guru spiritual ‘Arabi yang paling beliau kagumi, meski usianya sudah senja, yakni kurang lebih 90 tahun, tetapi wajahnya masih terlihat merona, cantik, dan segar. Hal ini dapat diprediksi dengan pernyataan Fatimah kepada ‘Arabi ; Aku adalah ibu spiritualmu dan cahaya dari ibu jasmaniahmu’. Lebih lanjut bagi para Sufi bahwa mata boleh terkecoh, tetapi tidak demikian halnya dengan mata hati, di mana Tuhan adalah di tujuan (tamanni) utama dalam perjalanan sipitual.
Cerita singkat tersebut mengisyaratkan bahwa bagi para Sufi, perempuan ditempatkan pada posisi spesial, tidak suubordinat. Indikasi ini terbukti dari sosok Ibnu ‘Arabi yang justru belajar sekaligus hormat kepada seorang perempuan, hal yang sangat langka dilakukan para lelaki, lebih-lebih ulama sekelas ‘Arabi. Kaum Sufi jelas sangatlah menhormati serta menghargai kaum perempuan, tanpa memandang mereka sebelah mata, apalgi dianggap lemah dan tidak berdaya. Berbeda dengan para ulama fikih yang cenderung menempatkan perempuan secara sekunder dan segala hal mestilah tertutup atau ekslksusif, sehingga secara tidak langsung menghambat kiprah perempuan dalam kehidupan sosial.
Sufisme adalah bagian dari Islam. Sebuah aliran yang menempuh perjalanan spiritual dalam mencari kesucian diri, lahir dan batin, dalam rangka mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, sedangkan dunia, bagi mereka, lebih merupakan wasilah atau sarana untuk mengantarkan kepada keharibaan Ilahi. Oleh sebab itulah, sesungguhnya Islam tidak sama sekali mendikreditkan perempuan, dalam hal apapun, semuanya diposisikan secara proporsional demi sebuah keadilan. Ini menepis anggapan bahwa dalam ajaran Islam kerap mengajarkan ketidakadilan terhadap perempuan seperti dalam perkara poligami, pembagian harta warisan dan sebagainya. Sejatinya, hal itu dibangun atas dasar keadilan, di mana keadilan lebih tepat diartikulasikan proporsional.