Wednesday, 24 October 2012

Ketika Masyarakat Haus Pendidikan



Pendidikan merupakan modal utama bagi sebuah bangsa. Bayangkan saja, jika pendidikan tak berlaku, niscaya sebuah negara akan runtuh karena pendidikan merupakan fondasi paling kokoh serta tembok utama untuk melawan arus disintegrasi bangsa. Bahkan pendidikan adalah pilar kemerdekaan dalam arti yang esensial.
Saat ini, disadari atau tidak, pendidikan telah menjadi tolok ukur moralitas kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, muncul stigma masyarakat bahwa orang yang berpendidikan tak akan pernah melakukan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan norma hukum serta agama sebagai buah hasil dari proses pemahaman dan kesadaran kognitif akan pentingnya kedua hal itu.
Oleh karena itulah, mengapa masyarakat amat sangat menghormati orang-orang yang berpendidikan, bukan semata karena kaya akan pengetahuan, tapi masyarakat lebih menilai pada aspek moralitas sebagai barometer penentu. Ini adalah fakta riil yang terjadi di lapangan terutama di tengah masyarakat yang hidup jauh di pedalaman, yang akses pendidikan masih jauh tertinggal ketimbang di kota Namun di sisi lain, di tengah masyarakat telah terjadi semacam kekeliruan dalam menginterpretasikan pendidikan pasca derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang kian membabi-buta.
Pemaknaan pendidikan bergeser dari yang esensial kepada hal yang lebih pragmatis, terutama terkait dengan semakin mendesaknya kebutuhan hidup. Sehingga, masyarakat dalam memaknai pendidikan lebih pada orientasi pekerjaan daripada misi luhur yang sesungguhnya
Negara memang bukan institusi sosial. Masyarakat tidak boleh beranggapan bahwa negara memberikan jaminan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara langsung. Tugas negara hanyalah menyediakan bahan mentah kepada masyarakat agar dengan modal pendidikan tersebut masyarakat mampu berpikir kreatif serta menggunakan segenap kemampuan untuk merubah diri.
Meski begitu, pemerintah sebagai pelaksana sekaligus pemegang kebijakan harus peka terhadap aspirasi serta harapan masyarakat. Dalam kasus ini, pemerintah seharusnya memberikan sebuah pemahaman tentang esensi pendidikan, tujuan dan fungsinya, serta mengembalikan pendidikan pada tujuan semula, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Praktik monopoli terhadap pendidikan harus segera dihapus dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan berbangsa kita karena bertolak belakang dengan amanat negara, tak ada lagi status sosial atau kasta yang hari ini kian dominatif.
Terjadinya pergeseran pemaknaan pendidikan merupakan bukti konkret dari kegagalan pemerintah. Transformasi maksud, tujuan serta fungsi pendidikan harus menyeluruh tanpa tebang pilih karena hak setiap individu di negeri ini.
Kegagalan lain pemerintah sangat tampak ketika realitas pendidikan kita justru terkotak-kotak. Sebab, akibat lebih jauh dari kegagalan tersebut justru berujung pada pembelaan terhadap mereka yang membayar, terutama pihak yang berani membayar lebih tinggi. Ini sekaligus menunjukkan seakan pendidikan kita bebas diperjual-belikan ibarat sebuah komoditas dagang. Nalar pendidikan kita akhirnya terjebak pada logika pasar atau kegiatan bisnis yang menyediakan barang berkuatas tinggi bagi siapa pun yang berani membayar dengan harga tinggi pula.
Ini adalah fakta riil dari realitas pendidikan kita saat ini. Pendidikan di-setting untuk tidak menghargai proses sebagai sebuah nilai yang esensial, tapi menghargai hal yang berbau pragmatis minus kualitas dan parsial. Seakan negara ini tak membutuhkan orang yang berkualitas, baik secara mentalitas maupun intelektualitas. Lihat saja, sudah berapa banyak orang pintar dalam arti sesungguhnya 'dibuang' serta diabaikan oleh negara ini hanya demi kepentingan kekuasaan, sementara perjalanan bangsa ini masih amat jauh ke depan.
Ancaman disintegrasi bangsa ini dari hari ke hari kian tampak di pelupuk mata. Tawuran antar-kelompok hingga aksi saling acung senjata tak terlepas dari kegagalan pemerintah mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan. Mentalitas premanisme bukanlah karakter yang tumbuh secara alamiah, tapi terbentuk karena aspek kognitif, afektif dan psikomorik kosong serta tak berjalan simetris. Sekurang-kurangnya ketiga aspek esensial tersebut merupakan tugas utama dari proses pendidikan.
Masyarakat sebenarnya haus akan pendidikan yang mampu mencerdaskan. Sebab, dengan begitu, sisi kesadaran setiap individu terisi dan mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan antara yang baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Sehingga, ketika akan memutuskan serta melakukan sesuatu hal yang krusial dilakukan melalui pertimbangan akal sehat atau rasional, bukan atas pertimbangan egoisme, sentimen serta fanatik golongan.
Terlepas dari itu, kerusuhan yang akhir-akhir ini terjadi sedikit banyak membuat kekhawatiran akan eksistensi bangsa ini. Keusuhan serta aksi saling acung senjata merupakan ancaman paling serius keberadaan sebuah negara, terlebih negara kita yang terkenal dengan multikultural, akan sangat rentan serta mudah pecah. Ibarat bom waktu, kapan saja bisa meledak tanpa terduga.
Peran pemerintah sangat vital dalam menyikapi persoalan ini. Bagaimana cara merangkul setiap elemen agar menghargai perbedaan, salah satu media paling efektif ialah dengan pendekatan preventif dan kuratif melalui pendidikan. Lewat mreativitas tertentu, banyak media yang dapat digunakan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat.
Disqus Comments