MEMBUAT serta mengeluarkan kebijakan ibarat ibadah wajib bagi pemerintah selama memegang tampuk pemerintahan. Kebijakan itu tidak lain dengan niat dan tujuan untuk memperbaiki suatu sistem.
Karena itu jangan heran, ketika ganti pemerintah serta menteri, maka berganti pula kebijakan yang akan diterapkan. Selama terjadi pergantian kepemerintahan, selama itu pula kebijakan-kebijakan akan terus mengalami pergantian.
Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan, menggantikan Bambang Sudibyo, telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan ujian nasional. Dua tahun belakangan, Mendiknas mengeluarkan dua buah kebijakan yang mengundang kritik cukup tajam dari publik, yakni tentang standar nilai kelulusan siswa. Setiap mata pelajaran yang diujikan, minimal siswa harus mencapai nilai 5,5, dan ujian nasional dimajukan pada bulan Maret.
Selagi persoalan pertama dan kedua masih jadi perdebatan, Mendiknas kemudian melempar wacana penggabungan ujian nasiona (UN) dengan seleksi nasional masuk perguruan tinggi (SNMPTN). Wacana ini dengan alasan bahwa kalau sudah terintegrasi UN dan SNMPTN, maka secara otomatis hasil UN bisa dijadikan modal untuk masuk ke perguruan tinggi.
Mendiknas saat itu menyatakan bahwa hakikat penggabungan adalah integrasi sistem pendidikan di Indonesia, sehingga nanti jika siswa ingin masuk ke perguruan tinggi, tidak perlu lagi mengikuti tes SNMPTN karena sudah ada nilai UN. Sayang, wacana ini lenyap begitu saja, entah ke mana, namun yang pasti baru-baru ini Mendiknas kembali mengeluarkan kebijakan baru berupa nilai ujian nasional (UN) jadi salah satu syarat untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN).
Muhammad Nuh sudah memastikan bahwa nilai ujian nasional (UN) akan menjadi salah satu syarat untuk masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Nuh mengatakan bahwa ide ini terinspirasi oleh digunakannya nilai UN pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) sebagai prasyarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Jadi Momok
Mendiknas memastikan bahwa kebijakan ini akan berlaku pada tahun 2012 ini. Semangat dari ide ini ialah keinginan Kemendiknas untuk pengintegrasian dan upaya penyatuan sistem di lembaga-lembaga pendidikan negeri.
Terlepas dari itu, jika kita menilik pada wacana yang dilemparkan Mendiknas tentang integrasi UN dengan SNMPTN tahun lalu, maka inilah wujud nyata dari wacana tersebut. Artinya, bahwa memang sudah sejak lama wacana ini diembuskan, namun baru sekarang akan diterapkan mengingat ujian nasional juga tidak lama lagi akan segera digelar.
Dilihat dari prosesnya, pengintegrasian ini sebenarnya cukup baik. Namun di samping itu juga akan menambah tekanan psikologis peserta ujian nasional nanti. Jika benar SNMPTN ditiadakan karena telah diwakili UN, dapat dipastikan bahwa ujian nasional adalah penentu masa depan studi siswa, terutama bagi mereka yang berencana melanjutkan studi di PTN.
Kredibilitas ujian nasional memang harus meningkat meski cukup sulit. Apa pasal? Sebab, beberapa tahun belakangan, ujian nasional merupakan momok yang menakutkan bagi para siswa. Jangankan harta, nyawa pun terkadang dipertaruhkan siswa ketika mendengarkan kata tidak lulus. Padahal sebelum UN, berbagai upaya dilakukan agar kelulusan datang menghampiri pada saat hari pengumuman hasil ujian nsional.
Menghadapi ujian nasional ibarat hidup dan mati bagi para siswa. Terlebih jika benar nanti nilai ujian nasional jadi syarat masuk ke perguruan tinggi negeri. Beban siswa setidaknya ada dua; beban harus lulus dan beban harus mendapatkan nilai yang tinggi agar nanti ketika mendaftar di PTN dapat diterima.
Pertanyaannya, efektifkah kebijakan ini dalam upaya penyeleksian calon mahasiswa yang akan memsuki perguruan tinggi? Karena kita tahu, bahwa SNMPTN merupakan tradisi yang telah sekian lama berlangsung di hampir semua perguruan tinggi.