Mahasiswa; Beban Akademik dan Modernisasi

Keberadaan mahasiswa selayaknya diperhitungkan oleh Negara. Tidak hanya dipandang sebelah mata. Mengingat bahwa mereka merupakan asset terbesar serta generasi yang akan meneruskan arah bangsa. Gerakan mahasiswa telah terbukti semenjak kemerdekaan hingga peristiwa reformasi 10 tahun silam. Namun, bagaimana dengan kondisi civitas akademika saat ini?
Mahasiswa merupakan salah satu elemen besar dalam sebuah Negara. Tak jarang, terkadang, elemen ini selalu tampil di depan publik. Unjuk rasa misalnya, kerapkali mahasiswa turun ke jalan ketika menyaksikan kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat dan kaum civitas akademis dan Negara. Lebih dari itu, mahasiswa juga acapkali menjadi pelopor yang cukup diperhitungkan dalam tinta emas sejarah perjuangan serta kemerdekaan Indonesia sejak 63 tahun silam. Hingga sekarang, kaum pelajar ini pula yang kerapkali menyuarakan serta memberikan kesadaran akan realitas ketidakadilan yang sedang terjadi di bumi pertiwi.
Oleh karena peran itulah mahasiswa dijuluki sebagai agent of social change (agen perubahan sosial) atau agent of transformation (agen transfomasi). Mahasiswa juga selalu menjadi motor perjuangan demi terwujudnya perubahan yangn menjadi keniscayaan dalam sebuah negara merdeka. Namun, nampaknya idealitas tersebut mulai pudar dalam diri mahasiswa saat ini. Arus globalisasi sedikit demi sedikit telah mengikis habis ghiroh (semangat) pergerakan mahasiswa dan kebanyakan mereka lebih cenderung condong ke arah gaya hidup pragmatis dan hedonis.
Kenyataan pahit ini sungguh memperihatinkan sekaligus meresahkan. Karena terbawa arus modernisasi, beban mahasiswa nampaknya semakin hari kian berat terasa. Selain harus mengemban amanah sebagai agen perubahan, kaum terpelajar ini juga harus terbebani kewajiban-kewajiban akademik kampus. Anjuran back to campus seakan mengikis habis idealitas serta tanggung jawab sesungguhnya mahasiswa. Yaitu sebagai agen perubahan sosial yang dituntut bergerak tanpa kata patah semangat dan pantang menyerah. Hal ini dapat kita lihat, setiap kali bergerak, mahasiswa kerapkali dituduh sebagai provokator yang hanya bisa mengkritik serta memprotes pemerintah. Ya, mahasiswa memang harus mengkritisi kebijakan apapun dari pemerintah. Apalagi jika kebijakan tersebut merugikan dan tidak berpihak kepada masyarakat dan Negara sekalipun. Kalau tidak mahasiswa, maka siapa lagi yang akan menciptakan kontrol terhadap pemerintah. Dan apabila tidak dikritisi, maka pemerintah tak akan menyadari kesalahan dan kekeliruannya. Sebab, pemerintah juga bukanlah malaikat yang tak pernah berbuat kesalahan serta kekeliruan. Manusia adalah makhluk yang pelupa dan sering melakukan kesalahan, sehingga tugas mengingatkan tersebut harus dijalani secara keseluruhan.
Kebijakan di kampus bahwa mahasiswa harus memenuhi absensi 75% disadari ataupun tidak, telah berhasil memenjarakan kreatifitas dan aktifitas. Mereka harus duduk di bangku kuliah seharian penuh, sehingga waktu untuk mengembangkan bakat, minat, potensi, serta kreatifitas nyaris tidak ada. Bukankah para pelajar harus memiliki ketrampilan? Tentu hal yang mustahil, jika mahasiswa mesti menjadi kaum akademis semata (an sich), tanpa memanfaatkan serta mengembangkan potensi dan karakter individu yang telah dianugerahkan Tuhan semenjak lahir. Jika potensi tersebut tidak dikembangkan, maka bekal untuk menuju masa depan kian suram tanpa skill dan ketrampilan.
Jika kita kembali kepada esensinya, bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan potensi atau life skill. Dan sebagai sarana membentuk karakter yang sesuai dengan potensi individu. Kita mesti memahami bahwa kaum pendidik tidak dibenarkan berusaha membentuk karakter individu sesuai dengan karakteristik yang para pendidik inginkan. Carl Gustav Jung mengungkapkan bahwa, setiap kita (individu) membawa bentuk kehidupan sendiri. Begitupun Aristoteles, menggambarkan dalam istilahnya menyatakan, bahwa pada umumnya bentuk unik dari pohon X jika ditanam, maka ia akan tumbuh menjadi pohon X pula (entelechy). Dalam artian, bahwa setiap individu telah memiliki potensi sejak lahir, dan potensi tersebut harus dikembangakan sesuai dengan yang telah tertanam dalam diri pribadi tersebut dan terus menggali atau mencarinya. Lalu dikembangkan.
Begitulah sebagian kecil dari permasalahan yang dihadapi kaum pelajar ini dalam proses menunaikan kewajiban yang tertuang dalam UUD 45 tentang belajar. Namun semangat serta kesadaran untuk meraih masa depan yang lebih baik adalah suatu kekuatan sendiri bagi mahasiswa di tengah lajunya arus globalisasi. Karena keyakinan akan potensi yang dimiliki adalah keniscayaan yang mesti dikembangkan bekal mengharungi derasnya arus dunia yang kian menggila.
Jika tidak kita sadari kondisi ini, maka lama-kelamaan mahasiswa tercerabut dari akar sejarahnya sebagai pelopor perubahan. Bung Tomo, Syahrir, Tan Malaka, Sudirman dll patut menjadi inspirator kaum pemuda (mahasiswa). Agar semangat bergerak tersebut tidak terkalahkan oleh zaman yang kian edan. Sadar akan posisi serta tanggung jawab merupakan keniscayaan bagi mahasiswa yang notabene-nya adalah kaum pemuda sekaligus penerus bangsa. Sejarah tidak untuk dikenang belaka, tapi momentum yang mesti diambil pelajarannya serta mencontoh yang baik sebagai bekal bergerak menuju cita-cita. Modernisasi jika tidak diimbangi dengan kesadaran kritis niscaya akan membutakan mata (ahistoris) dari sejarah yang telah mendewasakan. Hidup Mahasiswa!