Friday, 26 October 2012

Terorisme Tidak Pernah Mati

Terorisme Tidak Pernah Mati

Noordin Muhammad Top memang telah tiada. Bersama-sama rekannya, orang yang dikatakan teroris ini tewas di tangan Densus 88 Anti Teror dalam penggerebekan di Mojosongo, Brebes Solo menjelang lebaran kemarin. Bukti tewasnya Noordin dikuatkan dengan hasil tes DNA kedua anak biologisnya oleh tim forensik kepolisian dan dinyatakan negatif. Namun pertanyaannya, apakah para teroris telah habis?

Pertanyaan ini sempat menggema di media massa maupun elektronik seiring kematian Noordin. Seakan ingin tetap memberikan motivasi sekaligus pemberitahuan bahwa teroris belumlah habis. Tindakan antisipasi nampaknya akan tetap perlu digalakkan terus-menerus, karena sejatinya tindakan-tindakan anarkis bisa saja melalui modus lain tak melulu dari para teroris.

Terorisme selalu diidentikkan dengan bom. Tiap kali munculnya peristiwa pem-bom-an, maka itu adalah ulah para terorisme lantas kemudian diburu. Namun jika aksi pembunuhan terjadi di mana-mana, maka pelakunya tidak dikatakan teroris, tapi pembunuh. Meskipun sebenarnya antara pembunuh dan teroris memiliki visi sama, yaitu merenggut nyawa orang. Hanya, mungkin letak perbedaannya, jika para teroris cenderung merusak, membunuh dan meneror dalam kapasitas besar, namun pembunuh ibaratkan malaikat pencabut nyawa manusia dalam kapasitas kecil. Dengan demikian berarti, pembunuh bukanlah teroris, tapi teroris pastilah pembunuh.

Terlepas dari hal itu, kematian Noordin M Top di Mojosongo dinilai sebuah keberhasilan yang gemilang. Bahkan kepolisian negeri ini, khususnya Densus 88, menuai pujian dari berbagai kalangan, tak terkecuali presiden SBY. Bagaimana tidak, Noordin merupakan aktor yang paling diincar semenjak sembilan tahun silam. Ia dinyatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab (aktor intelektual) di balik peristiwa peledakan bom di sejumlah tempat di negeri ini. Tercatat setidaknya telah terjadi sepuluh kali peledakan bom di negeri ini sepanjang tahun 2000 hinnga 2009 dan merenggut jumlah nyawa manusia tak sedikit.

Namun demikian, Noordin senyatanya tidak bekerja sendirian. Dan salah satu rekannya ialah Dr. Azhari yang juga telah tewas beberapa tahun lalu. Kesimpulannya, Azhari merupakan satu dari sekian rekan Noordin yang berarti di belakang sana masih banyak orang yang berpotensi memiliki gerakan mirip dengan Noordin dan Azhari.

Bukanlah maksud penulis ingin menjustifikasi kalangan tertentu. Namun, perilaku dalam bentuk membunuh nyawa orang lain (manusia) merupakan perbuatan keji, meskipun ada pengecualiannya. Kematian Noordin M Top bukan berarti teroris telah terkikis habis. Bisa saja masih ada teroris lain yang memiliki visi dan misi sama layaknya Noordin, sebab ini lebih pada persoalan doktrin dan idelogi. Idelogi yang dianut Noordin disebut radikalisme negatif, anarkis dan provokatif. Sebagaimana pemahaman kolektif kita bahwa ideologi bisa menyebar atau merasuk, evolutif sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat.

Penyebaran pemahaman sebuah ideologi bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Bisa dengan cara doktrin yang diwarnai janji atau iming-imingan nan indah. Ideologi radikal yang dianut Noordin begitu mudah penyebarannya untuk diterima masyarakat awam karena imbalannya adalah surga. Siapa pun dia, binatang sekalipun andaikan bisa berpikir, sudah barang tentu mau jika diberikan surga. Sebab, banyangan manusia bahwa surga adalah tempat yang indah dan memang begitulah kebenarannya. Dengan demikian, surga dijadikan kedok penyebaran ideologi radikalisme Noordin meski belum tentu kebenarannya.

Untuk itulah, mengingat doktrin ideologi seperti Noordin telah mengakar, maka sikap antisipasi perlu kiranya tetap dipertahankan. Terutama bagi pihak yang berwajib serta masyarakat umumnya.

Hikmah

Terorisme merupakan persoalan besar yang membayangi negeri ini. Semenjak runtuhnya menara kembar World Trade Center dan Pentagon di Amerika Serikat beberapa tahun silam secara serentak dunia mendeklarasikan perang terhadap para teroris. Berbagai macam ormas disisir hingga ke akar-akarnya untuk mencari embrio keberadaan terorisme dan upaya tersebut seakan mengganggu keberadaan serta eksistensi berbagai macam organisasi masyarakat dan agama. Usaha spekulasi tersebut bahkan nyaris berubah menjadi prasangka yang relatif berlebihan. Opini-opini negatif tentang terorisme terus diumbar ke hadapan publik dan bahkan lebih dari sekedar itu, kriteria-kriteria orang yang dikatakan teroris menyeruak di mana-mana.

Bagi penulis, hal demikian memang ada sisi baiknya untuk upaya antisipasi. Namun begitu, marilah kita menganalisis persoalan ini, juga, dari sisi lain tanpa harus memberikan justifikasi negatif melulu. Alangkah adil sekiranya kita mencari motivasi atau alasan lain mengapa aksi terror kerap meneror.

Logikanya, orang yang melakukan suatu kejahatan pasti ada alasan di baliknya. Dan alasan-alasan tersebut terdiri dari berbagai macam. Presiden SBY sesaat setelah peledakan bom di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton beberapa bulan lalu pernah menyatakan bahwa aksi tersebut disebabkan karena motiv keterbelakangan ekonomi kalangan tertentu. Hal ini menunjukkan betapa presiden ingin bersikap objektif tanpa semerta-merta menuding atau menuduh tanpa alasan serta bukti yang kuat. Meski pada kesimpulannya Noordin (teroris) lah yang berada di balik aksi tersebut.

Bersikap objektif tanpa berburuk sangka adalah baik. Artinya, jika semua orang harus dicurigai ketika terjadinya aksi terror akan sangat naïf bahkan mengundang konflik. Sebab, menuduh orang sangatlah mudah, tapi tanpa diiringi bukti maka akan serasa keliru. Untuk itulah mengapa upaya penyidikan patut dikedepankan terlebih dahulu baru kemudian menjatuhkan sangsi.

Mencari akar penyebab aksi terror lebih substansitf ketimbang main tangkap dan asal tembak. Setelah mendapatkan motif di balik aksi keras tersebut barulah kemudian didiskusikan bagaimana usaha penanganannya dan menangkap atau menembak adalah alternatif terakhir jika memang para pelaku melawan atau menantang dengan konfrontatif.

Pendekatan secara individual atau kelompok merupakan cara yang lebih elegan. Karena pada dasarnya para teroris mengalami penyimpangan dalam sebuah pemahaman yang tidak dicouter dengan perspektif lain. Sehingga tak ayal, mereka cenderung menganggap dirinyalah paling benar lantas menyalahkan orang lain. Padahal, seperti dalam pemakluman kita, bahwa kebenaran pun sebenarnya masih relatif nan subyektif.

Dalam pada itu, boleh jadi aksi-aksi terror yang membayangi negeri ini bermula dari sebuah kekecewaan terhadap kinerja sebuah sistem yang menaungi kita. Bersikap moderat menjadi urgen dalam menyikapi persoalan ini. Mendahulukan egoisme akan berakibat fatal, karena upaya-upaya diplomatis sebenarnya masih bisa dilakukan. Sebagai contoh, andai saja kita mendahulukan sikap egoisme maka boleh jadi saat ini kita telah berperang dengan negara tetangga Malaysia.

Inilah yang dimaksudkan sebagai sebuah hikmah untuk kita refleksikan serta evaluasi. Adakah perilaku kita, terkhusus pemerintah, selama ini telah merugikan pihak lain, sehingga memunculkan kekecewaan bahkan mungkin berujung pada aksi terror? Karena secara psikologis, rasa kekewaan yang terlalu lama tependam dan menyakitkan membuat manusia condong melakukan aktifitas-aktifitas negatif. Rasa kecewa cenderung terasa perih.

Nah, hemat penulis, aksi yang dilakukan Noordin bersama rekan-rekannya boleh jadi karena alasan tersebut. Meskipun di sisi lain boleh jadi juga karena faktor kepentingan politik untuk mendirikan negara islam. Dan sebenarnya, musuh mereka jelas, yaitu Amerika dan anterk-anteknya. Ketidaksenangan mereka terhadap dunia barat bukanlah perkara baru, tetapi dendam lama semenjak puluhan tahun silam. Namun sungguh disayangkan, aksi mereka melakukan peledakan di Indonesia bisa dikatakan salah alamat. Wallahu ‘alam.
Disqus Comments