Thursday, 25 October 2012

Teror Maut Tabung Elpiji

Teror Maut Tabung Elpiji

Jika dulu kita mengenal istilah kompor meleduk, seperti dalam lirik lagu Almarhum Benjamin, kini kita mengenal istilah tabung gas elpiji meledak. Kasus yang sedang ramai terjadi dan dibicarakan di sekitar lingkungan masyarakat negeri ini pasca kebijakan konversi minyak tanah ke gas. Awalnya, pemerintah tidak ikut-ikutan berbicara, tapi setelah ledakan terjadi dalam jumlah banyak barulah para pemangku kebijakan ikut bicara meski terlambat.

Istilah meleduk dan meledak sama-sama mengancam nyawa manusia dan kerusakan. Kompor meleduk mengakibatkan kematian tapi agak minim kemungkinan terjadi. Sedangkan ketika tabung gas elpiji meledak tidak hanya nyawa yang akan melayang, rumahpun bisa hancur.

Kasus tabung gas elpiji meledak sungguh sangat mengkhawatirkan. Meski polemik konversi minyak tanah ke gas elpiji sejak tiga tahun silam jadi perdebatan, namun pemerintah tetap bersikeras bahwa itu adalah kebijakan paling solutif untuk mengurangi besarnya subsidi minyak tanah. Alhasil, daerah-daerah yang telah berkonversi dari minyak tanah ke gas elpiji saat ini sedang diteror kematian. Lambat laun tapi pasti masyarakat akan melakukan gugatan (class action) karena elpiji telah meresahkan keseharian hidup masyarakat serta mencabut nyawa. Ini adalah kasus pidana dan seharusnya ada pihak yang dipidanakan. Atau setidak-tidaknya harus ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa yang sebenarnya tidak perlu terjadi andai saja maksud dari kebijakan itu benar-benar bermaksud ingin membuat masyarakat merasa nyaman. Sebab, kasus meledaknya gas elpiji murni karena alasan teknis dalam proses pembuatan serta penyalurannya. Boleh jadi karena produksi elpiji sangat banyak lantas tidak terkontrol apakah hasilnya baik dan layak, di samping itu bisa saja tabung gas elpiji rusak ketika didistribusi ke masyarakat.

Kasus meledaknya elpiji tidak patut masyarakat dipersalahkan. Bahkan dengan dalih serta alasan apapun bentuknya. Bukankah dulu pemerintah pernah berjanji akan melakukan sosialisasi cara penggunaan dan cara merawat elpiji? Bahkan pemerintah yakin dalam jangka waktu singkat upaya sosialisasi tersebut berjalan optimal. Tapi, fakta di lapangan masih ada sebagian masyarakat yang belum tahu bagaimana cara mengoperasikan serta merawat tabung elpiji. Dan hal baru justru terjadi, yakni buruknya kualitas tabung elpiji sehingga dengan amat mudah bocor lantas meledak.

Awalnya, memang elpiji terlihat akan ramah lingkungan. Tetapi, setelah digunakan justru elpiji yang ramah lingkungan itu berubah menjadi ganas dan tak kenal kompromi terhadap lingkungan, bahkan tak hanya itu, elpiji juga tidak ramah dengan nyawa manusia. Setidaknya sekitar 60-an buah tabung elpiji telah berhasil meledak, 27 nyawa orang terenggut, dan korban harta benda sudah tak terhitung jumlahnya. Itu pun yang terlihat dan terekspos ke media massa dan elektronik.

Soal terkait dengan selang, regulator dan katup tabung elpiji yang tidak berstandar nasional (SNI) merupakan suatu kelalaian. Kelalaian ini mengindikasikan bahwa pemerintah tidak optimal ketika akan menerapkan suatu kebijakan publik. Apalagi kebijakan konversi dari minyak tanah ke gas dapat dikatakan sensitif karena bisa menyebabkan kerusakan secara materi hingga kematian sekalipun. Hal inilah tampaknya luput dari pembacaan pemerintah karena kebijakan kerap kali dikeluarkan pada saat-saat kritis dan terdesak, sehingga secara teknis persiapan pun alakadarnya karena, bagi pemangku kebijakan, bukan substansi kebijakan yang diutamakan tapi bagaimana kebijakan itu diterapkan meski harus menerabas sekian potensi kerusakan.

Jika kita mau menggugat maka kepada Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pertamina tampaknya jadi sasaran tepat. Kementrian ESDM sebagai pemegang kebijakan dan Pertamina adalah pelaksana dari kebijakan tersebut. Kementrian Perindustrian, Kementrian Koperasi dan UKM, dan Kementrian Sosial juga berhak dimintai pertanggung-jawabannya. Soal Kementrian Sosial patut dipertanyakan mengapa terkesan melakukan pembiaran dan kurang begitu tanggap atas kasus meledaknya tabung elpiji?

Pungkasnya, kasus meledaknya tabung elpiji disebabkan beberapa faktor. Pertama, ada kesan pemerintah melakukan pembiaran. Kedua, buruknya kualitas tabung elpiji yang diproduksi, serta terakhir tidak optimalnya proses sosialisasi cara penggunaan dan cara merawat tabung gas elpiji. Setidaknya, ketiga faktor ini harus menjadi perhatian serius pemerintah, karena kasus meledaknya elpiji bukan hanya soal kerusakan, tapi juga menyangkut nyawa manusia. Jangan sampai setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah justru mengancam nyawa masyarakat, apapun alasannya, bahwa nyawa manusia bukanlah perkara main-main karena ini lebih pada soal hidup dan mati. Untuk itu, langkah yang mendesak dilakukan sekarang ialah menarik kembali tabung gas elpiji yang telah didistribusikan ke masyarakat, atau melakukan cek ulang tabung elpiji yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Disqus Comments