Menggagas Pendidikan Murah
Disadari atau tidak, saat ini, kita seakan terbawa uforia wacana pendidikan gratis yang digulirkan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk meniadakan pembiayaan bagi peserta didik selama proses belajar di lembaga pendidikan formal ini adalah baik. Karena, sejak dulu kala, problem yang mendera dunia pendidikan adalah berkaitan dengan soal pembiayaan. Hampir semua lembaga pendidikan (sekolah) formal mematok tariff melangit alias mahal, bahkan sampai hari ini belum nampak perubahan nyata. Dan ini selalu menjadi polemik berkepanjangan yang kerap kali digugat dari berbagai kalangan. Dengan fenomena harga pendidikan yang mahal tersebut, lantas untuk siapakah pendidikan ditujukan?
Menyadari biaya pendidikan yang melangit tersebut, penulis berasumsi bahwa pendidikan hanya ditujukan bagi orang kaya belaka. Sedang rakyat menengah ke bawah (miskin) hanya bisa gigit jari tanpa mampu meraih meski diidam-diidamkan. Mereka seakan sengaja ingin dijauhkan dari akses pendidikan hanya karena tak memiliki cukup biaya. Ini merupakan realitas paradoks dari tujuan serta cita-cita mulia UUD 1945 pasal 31 yang jelas menyatakan bahwa, secara umum, seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta embiayainya. Ke mana cita-cita tersebut menghilang?
Kastanisasi
Di tengah karut marut wajah pendidikan kita, justru muncul kebijakan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Kebijakan kontroversial yang sempat mendapatkan kritikan tajam dari berbagai kalangan yang kontra, meski ada pula pihak yang pro dengan keberadaan kebijakan baru ini. Menyimak isi UU BHP penulis berkesimpulan bahwa sebenarnya kebijakan ini merupakan terjemahan dari UUD 1945 pasal 31 di atas. Sebab, bagaimanapun, pemerintah berkeharusan untuk menjelaskan maksud setiap bunyi sebuah Undang-undang kepada khalayak publik agar tidak terjadi kesalah-pahaman dan salah pengertaian. Undang-undang adalah produk pemerintah.
Namun demikian, kehadiran UU BHP bukan malah justru memperbaiki wajah serta citra pendidikan di negeri ini. Tetapi semakin memperkeruh serta menyulut kontroversi dari berbagai kalangan dan lagi-lagi peserta didiklah yang menjadi korban. Bagaimana tidak, karena secara tidak langsung, pnerapan UU BHP pada masa Bambang Sudibyo ini (menteri penddikan) telah melahirkan sekat antar peserta didik. Padahal, mereka berada dalam satu lembaga pendidikan dan saling berinteraksi dituntut rasa kebersamaan dan seperjuangan. Sedang yang terjadi, malah justrus sebaliknya, kastanisasi antar peserta didik sangat kental terasa melahirkan rasa kebersamaan derajat kian terkikis. Jurang pemisah antar mereka (si miskin vs si kaya) semakin dalam. Selain itu, UU BHP juga akan membuka kran kapitalisasi serta komersialisasi pendidikan.
Pendidikan gratis
Setelah itu, muncul kebijakan baru sebagai upaya pemerintah menjawab problematika yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Kebijaka ini bisa dikatakan sebagai upaya lain pemerintah menutup rasa kesal masyarakat atas realitas-empiris mahalnya biaya pendidikan selama ini. Pendidikan digratiskan. Para siswa dibebaskan dari pembiayaan selama menempuh pendidikan formal. Pendidikan gratis sebenarnya masih dalam tahap wacana dan rencana, meskipun di beberapa daerah sudah duterapkan, namun nyatanya belum merata dan menyeluruh.
Wacana (rencana) penerapan pendidikan gratis ternyata juga tak berjalan mulus. Bahkan mengundang polemik baru serta perdebatan panjang nan hangat (aktual). Meski pendidikan wacana ini adalah harapan seluruh elemen masyarakat, tetapi nampaknya pemerintah telah ceroboh dan cenderung tergesa-gesa. Sebab, persiapan secara administratif, mulai dari sosialisasi dan hal-hal yang berkaitan, ternyata belumlah dipersiapkan dengan matang-matang oleh pemangku kebijakan yang dikendarai Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo. Tak heran, kebingungan pun menghinggapi pihak-pihak pengelola sekolah, terutama dalam memahami definisi secara terminologis makna pendidikan gratis.
Akibatnya, pihak pengelola sekolah seakan serba salah menyikapi kebijakan ini. Apakah piur para peserta didik tak mengelurkan biaya sepeser pun selama proses pendidikan atau mungkin dalam hal-hal tertentu siswa boleh dikenakan biaya. Semisal, untuk program penunjang pendidikan atau kegiatan ekstrakurikuler. Tak jarang, pihak sekolah terkadang dituduh melakukan pungutan liar terhadap siswa ketika akan melaksanakan agenda-agenda penunjuang seperti kegiatan-kegiatan ektrakurikuler. Fakta ini membuktikan ketidakjelasan definisi pendidikan gratis yang mengakibatkan kesalah-pahaman tentangnya.
Dampak lanjut dari wacana pendidikan gratis adalah munculnya fenomena sekolah bertaraf internasional. Secara khusus, sekolah internasional ini diperuntukkan bagi mereka yang berkantong tebal alias kaya. Bagaimana tidak, sebab biaya yang harus dikeluarkan peserta didik (orang tua) tak kepalang tanggung hingga mencapai jutaan rupiah. Berbanding lurus dengan label ‘internasional’ yang melekat pada lembaga pendidikan (sekolah) tersebut. Sekolah ini sudah barang tentu mematok tarif pendidikan mahal pula serata dengan namanya. Asusmsinya, sekolah bertaraf internasional menyandang keunggulan lebih ketimbang sekolah biasa, baik dalam segi kualitas (mutu), kuantitas murid (kignitif, afektif, psikomotorik), prasarana yang lengkap serta profesionalitas dak kapabelitas tenaga pengajar yang mumpuni, tak diragukan. Siapa yang tak mau dengan wajah pendidikan demikian!
Munculnya fenomena sekolah bertaraf internasional semestinya dijadikan eveluasi bagi pemerintah. Karena seharusnya, pemerintah resah dengan keberadaan sekolah ini yang notabebe-nya di luar wewenangnya, swasta. Bukan malah justru berbangga diri tanpa dibarengi kesadaran kritis, karena efek negatifnya jelas, rakyat miskin hanya akan bisa gigit jari menyaksikan sekolah yang berkualitas.
Pendidikan Murah
Setidaknya hal itu dijadikan pekerjaan rumah bagi para pemangku kebijakan, terutama menteri pendidikan saat ini dan nantinya. Sebab, kabinet tentu akan diganti seiring dengan kemenangan SBY-Boediono dalam pesta demokrasi beberapa bulan lalu.
Kesimpang-siuran mengenai pendidikan gratis menuntut solusi segera. Untuk it, mengagas pendidikan dengan biaya murah mungkin bisa dijadikan solusi alternatif di tengah huru hara pendidikan gratis tersebut. Artinya, pembiayaan proses belajar siswa disesuaikan dengan standar umum perekonomian serta pendapatan masyarakat seharinya. Secara umum, persoalan saat ini adalah biaya yang dipatok jauh di atas pendapatan keseharian masyarakat negeri, sehingga tak ayal, pemangku kebijakan seolah-olah tak begitu memperhatikan kondisi riil masyarakat kita. Sementara, tugas pemerintah ialah mensejahterakan masyarakat yang telah memberikan embanan amanat dan salah satunya melalui pendidikan.
Sedangkan harapan jangka panjangnya, agar pendidikan mampu diakses seluruh masyarakat tanpa terhalangi oleh status sosial. Sebab, pendidikan merupakan hak seluruh generasi bangsa ini demi mewujudkan bangsa yang memiliki karakter serta siap berkompetisi di level internasional. Selain itu juga, tujuan mulia pendidikan agar tercapai untuk seluruh masyarakat, seperti yang diidealkan Paulo Freire yaitu memberikan kesadaran kritis dan humanisasi supaya keluar dari kebodohan serta penindasan. Bahkan agar menjadi manusia seutuhnya yang memiliki perilaku dan akhlak yang mulia. Begitulah