Friday, 26 October 2012

Mengumbar UU

Mengumbar UU

Dalam tataran kehidupan bernegara, UU adalah hal yang sangat substansial. UU dimaksudkan untuk menata sistem kehidupan bermsayarakat dan bernegara, sehingga dengannya akan terwujud suatu bangsa yang berkesadaran hukum. Norma serta aturan tersebut termanifestasikan dalam bentuk UU sah, namun bukanlah harga mati. Karena UU bukanlah ayat-ayat dari kitab suci yang kebenarannya tak bisa diubah dan terbantahkan.

Namun demikian, tak jarang para pengelola negara terjebak dalam pembuatannya yang nyaris tak luput dari nuansa kepentingan kalangan tertentu. Dengan arti lain, UU dibuat berdasarkan atau dilandaskan pada kepentingan suatu golongan tertentu yang ingin menoreh keuntungan dari padanya. Ideologi atau pemahaman yang berbeda-beda begitu sengit berlaga dalam satuan kursi kekuasaan. Mengutip istilah Antonio Gramsci kekuasaan ditujuakan untuk menciptakan suatu hegemoni kalangan yang lebih dominan.

Dalam pada itu, hampir setiap tahun, UU dibuat oleh pemangku kebijakan. Seperti yang baru-baru ini sedang sengit adalah RUU Rahasia Negara, RUU Tipikor sampai para UU perfilman yang baru saja disahkan. Sedangkan RUU Rahasia Negara dan RUU Tipikor masih meniti perdebatan serta polemik berkepanjangan. Belum lagi ditambah RUUK DIY yang juga masih terjadi tarik ulur di kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Aspirasi masyarakat Yogyakarta untuk tetap mempertahankan keistimewaaan Yogyakarta harus bertarung dengan keinginan pemerintah pusat agar Kota Gudheg diadakan Pilgub.

Melihat realitas seperti itu, tak berlebihan jika penulis mengatakan para pemangku kebijakan begitu doyan mengumbar UU. Pemerintah akan terus berpacu mengurusi UU tersebut yang sudah terlanjur diwacanakan dan diketahui khalayak publik. Mundur kena, maju pun kena. Mengapa? Sebab, jika wacana (RUU) tersebut ditarik kembali taruhannya adalah citra para pejabat negara. Sedangkan jika terus maju, polemik akan terus bekepanjangan mengingat tak sedikit kalangan yang menolak serta memprotes kebijakan tersebut.

Hal ini merupakan sebuah konsekuensi demokrasi. Bahwa para pemangku kebijakan bukanlah orang yang selalu benar bahkan nyaris tidak dipercaya akan kinerjanya sebagai pengelola negara. Perdebatan demi perdebatan akan keberadaan RUU terus mengalir deras seiring perbedaan pemahaman yang diboncengi kekhawatiran akan efek negetif di balik kebijakan tersebut. Lihat saja RUU Rahasia Negara, hampir semua kalangan menolak wacana tersebut karena dianggap akan mematikan perjalanan demokratisasi serta agenda reformasi. Begitupun dengan RUU Tipikor yang belum menemukan titik kejelasannya, bahkan nyaris ingin dihapus karena dianggap mengancam keberadaan para pejabat di kursi kekuasaan. Dan ini malah justru blunder bagi para elit, sebab, tarik ulur ini seakan kian menegaskan opini publik bahwa para pejabat memang suka korup.

Mengumbar

Seperti yang penulis sebutkan di atas, bahwa pemangku kebijakan cenderung mengumbar UU. Padahal, UU yang sudah ada semenjak dahulu dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi kekinian. Maka muncullah UU baru sebagai jawaban terhadap kondisi yang sedang berkembang saat ini. Tentang RUU Rahasia Negara, jelas-jelas masyarakat sipil, Lembaga Swadaya Masyarakat, Praktisi Hukum, Kalangan Pers, Dewan Pers, Peneliti, Serikat Penerbit Surat Kabar dan lainnya menolak dalam deklarasi 100 tokoh penolak penerapan RUU Rahasia Negara beberapa hari lalu. Reaksi ini menunjukkan betapa RUU RN akan rentan dan sensitif jika diterapkan. Pertimbangan stabilitas nasional harusnya menjadi tolak ukur yang perlu diperhatikan dengan seksama oleh DPR dan pemerintah. Sebab, tak menutup kemungkinan, jika nanti RUU Rahasia Negara diterapkan, maka akan memunculkan gejolak anarkis dan berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa. Atas pertimbangan itu, sebaiknya RUU Rahasia Negara ditarik.

Selain itu, RUU Tipikor lagi menjadi masalah. Upaya pelemahan terhadap lembaga KPK demikian kuatnya, sehingga hal ini justru mengindikasikan ketakutan para petinggi negara akan keberadaan lembaga ini karena dinilai mengancam. Terbongkarnya kasus korupsi beberapa pejabat negara oleh KPK menunjukkan betapa ketakutan tersebut terlihat. Implikasinya, KPK harus dipermasalahkan atau diobok-obok supaya tak lagi bekerja sebagaimana mestinya. KPK dalam jurang kehancuran jika tak ada dukungan. Oleh sebab itu, KPK saat ini benar-benar membutuhkan dukungan moril penuh, bahwa pemberantasan korupsi adalah sebuah keniscayaan.

Menyaksikan fenomena tersebut, citra pemerintah dan DPR akan semakin buruk. Hal ini berbahaya tentunya. Sebab, jika citra buruk tersebut telah melekat erat pada pemangku kebijakan, maka kepercayaan masyarakat akan hilang dengan sendirinya. Dan ini adalah paradoks. Namun juga konsekuensi, sebab mereka sendirilah yang telah mengenakan citra buruk tersebut pada dirinya.

Jika mengacu pada visi dan misi SBY, sebaiknya sistem kepemerintahan segera direformulasi. Atau bahkan direformasi untuk mengikis habis jiwa-jiwa yang lebih kuat nafsu kekuasaannya ketimbang kesadaran akan amanah serta tanggung jawab terhadap masyarakat dan negara. Begitupun dengan badan legislatif, wajib mendahulukan rakyat dari pada kepentingan pribadi, sebab mereka pun merupakan interpretasi dari rakyat dan kembali untuk rakyat. Setidaknya begitulah harapan ini
Disqus Comments