Thursday, 25 October 2012

Thailand: The Land of Wars

Thailand: The Land of Wars

Selama dua bulan lebih Thailand yang kita kenal sebagai kota the land of smiles berubah ibarat neraka. Neraka yang menyengsarakan kehidupan serta aktivitas sosial masyarakat, terutama di Bangkok (Ratchaprasong) akibat perang politik antara kubu kaus merah versus pemerintah. Korban berjatuhan. Gerakan politik kaus merah harus dibayar dengan nyawa, namun hal itu tak lantas membuat mereka merasa ketakutan, malah semakin kuat. Sehingga menimbulkan pertanyaan mendasar apa sebenarnya yang menjadi faktor utama gerakan kudeta kaus merah tersebut? Benarkah hanya karena kepentingan politik semata? Sebab, massa kaus merah notabene adalah barisan pendukung mantan perdana menteri Thailand Thaksin Shinawatra yang dilengserkan melalui kudeta. Kudeta seakan telah menjadi tradisi politik di Thailand .

Massa kaus merah merupakan gerakan anti-pemerintah Thailand terpilih Abhisit Vejjajiva. Para pemrotes yang notabene adalah massa pendukung Mantan PM Thaksin ini menuntut dua hal krusial, yakni mendesak pemilu ulang dan pembubaran parlemen. Secara tidak langsung, kaus merah mendesak agar Abhisit Vejjajiva turun dari jabatannya sebagai Perdana Menteri. Dari sini dapat dikatakan bahwa gerakan massa kaus merah adalah gerakan politik kudeta. Dalam kamus ilmiah populer (1994) kudeta diartikan sebagai usaha perebutan kekuasaan dengan kekerasan, sebab dua tuntutan kaus merah diabaikan, lantas Abhisit menyambut gerakan itu dengan barisan tentara bersenjata lengkap atau operasi militer. Kehadiran militer untuk mengusir para pemrotes ibarat malaikat pencabut nyawa yang tak kenal siapa. Ambil contoh semisal, Mayjen Khattiya Sawasdipol, tokoh militer pendukung kaus merah tewas ditembak seorang penembak jitu dari kubu pemerintah. Persekongkolan pemerintah dengan militer adalah mimpi buruk demokrasi sekaligus mengingatkan kita pada masa rezim Orde Baru di Indonesia.

Sikap abai Abhisit terhadap dua tuntutan itu berbuntut panjang. Terlebih setelah seruan negosiasi dan rekonsiliasinya gagal membuahkan hasil positif. Karena dua tuntutan itu seakan telah menjadi harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar. Bahkan, dapat dikatakan seruan itu diabaikan para pemrotes. Kerusuhan pun tak dapat terhindarkan, bahkan dalam jangka waktu empat hari, korban telah mencapai sekitar 30 tewas dan 232 orang luka-luka (Kompas, 17/5).

Gerakan yang memakan waktu dua bulan lebih itu membuat negara berjuluk the land of smiles ini berubah menjadi the land of wars. Kapan saja, tak kenal waktu, nyawa bisa hilang akibat tertembus timah panas tembakan militer. Begitu pula di pihak militer, tentu akan berhadapan dengan senjata-senjata dari pihak pemrotes, seperti bom molotov, batu, hingga granat yang siap merenggut nyawa. Jadilah Thailand sebagai arena dan medan pertempuran antara kaus merah dan militer. Situasi berubah mencekam. Desingan peluru, ledakan, aroma bakaran ban, puing kerusakan fasilitas umum berserakan, serta batu berserakan di kota Bangkok , nyaris tak ada lagi pemandangan indah di sana . Hari-hari diselimuti awan hitam mengepal di langit Thailand .

Situasi ini otomatis membuat para wisatawan luar negeri berpikir ulang untuk mengunjungi Thailand . Padahal , Thailand dijuluki sebagai negara yang penuh senyuman karena faktor keindahan kepariwisataan membuat negara ini begitu kosmopolit. Begitu pula di sektor otomotif, Thailand adalah produsen industri otomotif terbesar yang menjadi kekuatan ekonomi utama. Bahkan, di tahun 2008 lalu, Thailand menempati peringkat ke-14 produsen otomotif terbesar di dunia (Kompas, 23/5). Potensi-potensi itu akan runtuh jika konflik politik ini tak segera berakhir, karena jaminan keamanan sebuah negara amat sangat menentukan dalam pertumbuhan serta laju perekonomian.

Situasi kondusif sepertinya sulit terwujud di Thailand . Sebab, massa kaus merah adalah barisan massa yang fanatik dan ideologis. Meskipun beberapa hari lalu para pemrotes sedikit demi sedikit telah mengundurkan diri. Tapi, hal ini bukanlah jaminan mutlak pulihnya situasi politik karena bom waktu kapan saja bisa meledak tanpa terduga. Artinya, mundurnya massa kaus merah boleh jadi untuk menyusun kekuatan yang lebih besar dan terorganisir. Apalagi gerakam massa kaus merah dilatarbelakangi oleh kepentingan politik semata, tapi dibarengi dengan kekuatan ideologi tertentu dan amat sangat fanatis. Dan ini terbukti, berita peling mutakhir (selasa, 25/5), massa kaus merah bergerak di timur dan utara yag merupakan basis kaus merah sekaligus tempat kelahiran Thaksin.

Tentu, kita sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak berharap hal ini terus berlanjut. Tinggal bagaimana upaya Abhisit sebagai pemimpin karena raja Bhumibol Adilyadej pun tak dapat berbuat lebih, untuk melalukan upaya rekonstruktif tanpa kekerasan dan pertumpahan darah.
Disqus Comments