Waspadai BHP Jilid II
Pembatalan UU BHP tidak perlu disesalkan. Dalam kadar tertentu sebaliknya kita mesti bersyukur dengan kelegaan hati dan pikiran atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dibarengi sikap kritis mengingat UU BHP lebih banyak merugikan rakyat ketimbang untungnya. Karena bagaimanapun kelahiran BHP salah satu tujuannya ialah untuk meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan Indonesia agar kompetitif. Namun sungguh disayangkan, BHP malah justru mempertegas praktek komersialisasi pendidikan sekaligus menciptakan kastanisasi dalam kehidupan sosial peserta didik di lembaga pendidikan formal.
Hak-hak rakyat untuk mengakses pendidikan direduksi secara sistematis melalui legitimasi BHP. Atas dasar ini maka wajar bila UU BHP dinilai telah bertentangan dengan amanah UUD 1945 terutama pasal 31 tentang hak rakyat untuk memperoleh pendidikan tanpa dibatasi oleh status sosial, miskin dan kaya. Kedua-duanya tidak dapat dibeda-bedakan dalam konteks pendidikan juga hal lainnya, apalagi jika yang kaya justru dispesialkan. Jangan sampai jurang pemisah antara si kaya dan si miskin terbentang teramat dalam di dunia pendidikan karena hanya akan meruntuhkan nilai-nilai moral dan kesadaran peserta didik tentang kesamaan derajat sebagai makhluk sosial. Jika kesadaran peserta didik justru dikonstruk dengan nilai-nilai kastanistis, apalagi sampai menjadi sebuah karakter, lantas fungsi lembaga pendidikan patut dipertanyakan.
Ruh BHP
Praktek komersialisasi dan kastanisasi di lembaga pendidikan adalah dua spirit dasar di dalam batang tubuh UU BHP. Itu adalah fakta riil. Oleh karena itulah mengapa UU BHP, sedari awal, bahkan ketika masih dalam bentuk RUU menuai pertentangan keras dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa. Pertanyaan reflektifnya, apakah dengan dibatalkannya perkara telah usai?
Andai saya dipaksa menjawab pertanyaan sederhana itu, maka jawabannya tidak. Alasannya cukup sederhana pula. Begini. Kita tahu, saat ini pemerintah, terutama Kementrian Pendidikan Nasional tengah berupaya menggodok bentuk badan hukum pendidikan pengganti BHP untuk kemudian diundang-undangkan. Berita paling mutakhir, bahwa Kemendiknas telah mempersiapkan draf rancangan badan hukum pendidikan yang baru untuk kemudian diserahkan kepada presiden, dan diajukan setelahnya kepada DPR untuk diundang-undangkan. Sebelum badan hukum pendidikan tersebut disahkan menjadi undang-undang, sebaiknya Kemendiknas bersikap akomodatif terhadap aspirasi rakyat serta para praktisi pendidikan.
Ada sebuah prediksi menarik terkait pengganti BHP. Prediksi itu jelas bernada kekhawatiran serta ketakutan akan lahirnya badan hukum yang kulit luarnya baru tapi spirit serta substansinya masih tetap BHP. Spekulasi ini bukanlah dibangun atas dasar analisis kosong dan parsial, mengingat BHP merupakan titipan Bank Dunia (world bank). Sebagaimana kita ketahui bersama, Bank Dunia mematok selambat-lambatnya BHP harus sudah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan formal di negeri ini. Tuntutan pertama telah berhasil lolos di mana RUU BHP disahkan menjadi UU pada tahun 2008 lalu oleh DPR. Sedangkan tuntutan kedua malah justru belum sempat diloloskan karena ternyata UU BHP dibatalkan.
Dilematis. Itulah mungkin sebuah kata yang mengiringi Kemendiknas serta pemerintah dalam perkara ini. Di satu sisi UU BHP telah dibatalkan, dan di sisi lain tuntutan Bank dunia sudah terlanjur ditanda-tangani atau disepakati. Di sini, diperlukan sebuah keberanian. Beranikah pemerintah menerabas kesepakatan atau perjanjian dengan Bank Dunia itu?
Sepertinya kita ragu-ragu soal keberanian pemerintah. Sebab, ketergantungan pemerintah dengan pihak asing nyata terlihat dari beberapa kebijakan, kegemaran mengutang adalah salah satu contohnya, dengan alasan demi menutup defisit APBN. Sementara, APBN pun kerap dikorupsi dan badan usaha milik pemerintah acap diprivatisasi.
Otonomi PT
Ketidaktersediaan dana APBN itulah melahirkan beberapa kebijakan kontradiktif. Ambil contoh semisal, tentang wacana meng-otonomi-kan perguruan tinggi terus diupayakan pemerintah agar PT dapat mandiri dan tidak melulu menyusu kepada pemerintah. Otonomi perguruan tinggi (PT) ini membuat pihak pengelola lembaga pendidikan nasional berpikir keras bagaimana cara menghidupi diri. Sementara di sisi yang lain, desakan pemerintah kepada pihak pengelola PT untuk memperbaiki kualitas pendidikan amat sangat kuat dengan berbasis kemandirian. Akhirnya, pengelola PT “menjual” apa saja di lembaga pendidikan yang dikelolanya agar memperoleh pemasukan (omzet) demi sebuah eksistensi. Pemerintah lantas kelabakan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelola lembaga pendidikan tersebut yang kerap kali memberatkan masyarakat untuk mengakses pendidikan di sana.
Tidak dapat dipungkiri, peserta didik dijadikan pangsa pasar atas berbagai kebijakan komersial yang dilahirkan para pengelola. Bahkan terkadang bertentangan dengan logika pemahaman umum. Semisal, sistem pembayaran dana sumbangan pendidikan yang ditentukan jumlah angka rupiahnya, padahal, logika umum bahwa sumbangan itu sifatnya tidak memaksa, hanya sebatas kemampuan masyarakat (peserta didik) untuk membayarnya.
Pungkasnya, lembaga pendidikan tak ubahnya sebuah korporasi yang memproduksi komoditas keilmuan. Tak cuma itu, prasarana di lembaga pendidikan pun dijadikan sebagai komoditas yang dijual kepada peserta didik dengan tarif yang melangit. Oleh karena itu tak heran bila kemudian orang kaya dianggap berhak memperoleh akses pendidikan dan orang miskin otomatis tersingkirkan serta dilarang kuliah. Ini persoalan klasik yang terus menghantui masyarakat negeri ini, bahkan hingga kini tetap menjadi persoalan krusial yang seakan tidak sanggup teratasi.
.jpg)
.jpg)